Bab 20. Setiap Kebahagiaan Pasti Butuh Pengorbanan
Mobil yang di kendarai Bagas itu berhenti di sebuah rumah yang tidak terlalu besar, halamannya pun tidak ada hanya ada teras yang di isi oleh satu kursi dan satu meja untuk sekedar bersantai, Itu lebih bisa di sebut kontrakan, entah apa maksud Bagas mengajak Kirana ke sana karena sampai saat ini pun pria itu belum mengatakan apa-apa.
“Ini rumah siapa, sayang?” tanya Kirana bingung, kedua matanya menelisik pada bangunan di depan mereka itu.
Rumah yang bisa di sebut kontrakan itu memang bangunan baru, struktur rumahnya juga terbilang modern, ada 2 jendela yang menghadap ke jalan dengan pintu yang sepertinya sudah mengenakan smartdoor Kirana bahkan sudah bisa mengira-ngira berapa harga dari rumah yang di kontrakan itu.
“Rumah siapa ya?” gumam Bagas, tak lama kemudian ia terkekeh sembari mengambil kantung belanja di kursi belakang yang berisi makanan-makanan yang mereka beli barusan.
“Ihh kamu mah, rumah siapa sih?”
“Turun aja dulu yuk, dari pada penasaran.” Bagas keluar lebih dulu, sengaja membuat Kirana terus bertanya-tanya.
Tak lama setelahnya Kirana ikut turun, mengekori Bagas sembari melihat-lihat kesekeliling lingkungan rumah itu. Terlihat sangat nyaman, banyak pepohonan juga di sekeliling rumahnya meski terlihat enggak di rawat dengan baik.
Tapi tetap saja membuat lingkungan dan rumah itu tampak lebih sejuk, menurut Kirana sangat nyaman untuk di tinggali apalagi lingkunganya pun tidak berisik. Walau enggak bisa di sebut komplek juga, karena posisi rumah itu pun masuk kedalam gapura.
“assalamualaikum,” ucap Bagas begitu ia membuka pintu rumahnya.
Kirana masih terpaku di depan pintu, sampai akhirnya Bagas menggandeng tangan kecilnya itu dan mengajaknya masuk ke dalam rumah yang Bagas sewa itu. Sudah sekitar 2 malam Bagas tidur di rumah itu, dia sengaja mengajak Kirana ke rumahnya sekarang karena dia baru rampung membereskan barang-barangnya.
Rumah itu terdiri dari satu ruang tamu, dapur dan satu kamar tidur. Ada dua kamar mandi juga di dalam kamar dan di dekat ruang tamu. Tidak terlalu besar namun cukup nyaman bagi Bagas, hanya ada ketenangan di rumah itu. Tidak ada ucapan menyakitkan dari orang tua nya atau paksaan melakukan hal-hal yang tidak Bagas sukai.
“Ini rumahku, sayang.” ucap Bagas tiba-tiba, membuat kebingungan di kepala Kirana itu sedikit terjawab.
“Rumah? Ka..kamu beli rumah ini?”
Bagas menggeleng dan terkekeh pelan, “belum, aku cuma sewa, sayang. Untuk sementara aku tinggal disini.”
Kening Kirana mengekerut, Bagas punya rumah sendiri bersama orang tua nya. Lalu kenapa pria itu harus menyewa rumah? Pikir Kirana. “Ka..kamu pindah ke sini? Terus orang tua kamu?”
Bagas mengajak Kirana untuk duduk di sofa yang ada di ruang tamu, ia akan menjelaskan pada Kirana tentang mengapa ia memutuskan untuk keluar dari rumah kedua orang tua nya itu.
“Aku cuma mau belajar hidup lebih mandiri aja, sayang. Aku ngerasa aku udah cukup bisa bertanggung jawab sama hidup aku sendiri.”
“Emangnya kalau masih tinggal di rumah orang tua kamu, kamu ngerasa gak bisa mandiri?”
Bagas terkekeh, “bukan begitu maksudku.”
“Terus?”
“Kita ini kan udah 27 tahun, selama ini setiap aku pulang kerja semua kebutuhan aku udah di siapin sama Bibi yang bekerja di rumah, kaya makan malam, baju yang udah rapih dan bersih. Aku cuma ngerasa mau lebih mandiri aja, biar jadi lebih dewasa sebelum kita berumah tangga.”
Kirana senyum, walau jawaban dari Bagas itu rasanya masih ada yang mengganjal bagi Kirana. Entah kenapa Kirana cuma kepikiran kalau hubungan Bagas dan orang tua nya belum membaik, jujur saja sempat terlintas di kepala Kirana kalau Bagas mungkin di usir oleh kedua orang tua nya.
“Kamu enggak di usir sama orang tua kamu kan, sayang?” tanya Kirana hati-hati, ia tidak ingin menyinggung perasaan Bagas.
Namun pertanyaan Kirana itu justru mengundang tawa bagi Bagas, meski bukan di usir oleh kedua orang tua nya. Melainkan ia yang memang memilih pergi dari rumah, tapi bisa-bisa nya Kirana kepikiran kalau ia di usir.
“Sayang, aku nanya serius loh. Aku khawatir sama hubungan kamu dan orang tua kamu.” Kirana cuma enggak mau hubungan Bagas dan orang tua nya renggang hanya karena Bagas membela dirinya. Dia gak mau merebut Bagas dari orang tua nya.
Bagas mengambil kedua tangan Kirana, Bagas paham kekhawatiran itu. Dia sendiri ingin mengatakan bagaimana hubungannya dengan orang tua nya pada Kirana. Walau ada perasaan ragu, Bagas hanya takut Kirana merasa ia menjadi penyebab retaknya hubungan Bagas dengan kedua orang tua nya.
“Hubungan aku sama orang tua ku emang belum membaik, sayang. Tapi aku tinggal sendiri itu udah jadi pilihan aku, aku udah dewasa. Aku berhak menentukan hidup aku harus kaya gimana kan?” ucap Bagas meyakinkan Kirana.
“Orang tua kamu setuju kamu pidah dari rumah?”
Bagas menggeleng, “awalnya memang enggak, aku tetap maksa buat pindah. Aku pikir, dengan aku pindah orang tua aku bisa mulai sadar kalau aku ini bukan anak kecil lagi, aku cuma mau mereka menghargai keputusan aku.”
Kirana diam, jawaban Bagas sama sekali tidak salah. Umur mereka memang sudah matang dan cukup dewasa untuk mengambil sebuah keputusan, bukannya cukup aneh jika di usia mereka yang sekarang. Orang tua masih ikut campur dalam menentukan hidup anaknya?
“Aku cuma bisa dukung apapun yang menurut kamu baik. Tapi tolong jangan jauhin orang tua kamu ya.”
Bagas menggeleng, “gak akan, sayang. Aku masih sayang mereka, mereka masih orang tuaku.”
Sore menjelang malam itu mereka menghabiskan waktu bersama dengan memanggang daging, menonton film bersama sampai rasanya Bagas dan Kirana ingin menghentikan waktu sebentar. Sudah lama sekali keduanya tidak berkencan seperti ini sejak Kirana kecelakaan. Kirana enggak ada rencana menginap kok, dia juga enggak mungkin membiarkan Ibu nya tidur sendirian di rumah. Enggak tega, dan Ibu pasti khawatir.
Dadu yang di keluarkan dari tangan Kirana itu menujukan enam titik hitam di atasnya, ia kemudian menjalankan kerucut miliknya. Mereka sedang bermain ular tangga, dan sialnya kerucut milik Kirana itu justru harus kembali turun ke nomer bawah, padahal hanya delapan langkah lagi dia akan berhasil menang melawan Bagas.
“Hahahaha, kebawah lagi dia kasian banget,” ledek Bagas yang membuat Kirana semakin jengkel.
“Awas aja nanti juga ujung-ujungnya aku yang menang,” gerutunya.
“Kita liat aja nanti.” Kini giliran Bagas yang jalan, ia memasuk dadu itu ke tangannya dan mengocok dadu itu. Setelahnya ia keluarkan, Bagas mendapati titik lima di dadu itu. Dan alhasil kerucut miliknya sudah tiba di garis finish.
Ini untuk ketiga kalinya Bagas menang melawan Kirana, mereka sudah bermain lima ronde dan Kirana baru menang dua kali melawan Bagas. Ya, dia anggap sih Bagas malam ini sedang beruntung saja. Karena biasanya Kirana lebih jago bermain ular tangga.
“CURANG!!” pekik Kirana enggak terima.
“Mana ada curang, kamu kan liat sendiri dadu aku lima tadi.”
“Masa mukaku lagi sih yang di coret,” rengek Kirana.
Karena tidak ingin wajahnya itu di coret dengan tepung yang sudah mereka larutkan dengan air. Kirana akhirnya berlari, namun Bagas tidak diam saja. Ia mengejar Kirana yang mulai berlari mengelilingi ruang tamu itu.
“Heh, yang curang tuh kamu. Udah kalah gak mau di coret mukanya!”
“Coretan di mukaku udah banyak ih, kamu tuh kalo nyoret tebal-tebal yah!” Kirana ngeles.
“Kamu gak liat kamu nyoret muka aku pake lima jari?!” Pekik Bagas tidak mau kalah, dan ucapannya itu membuat Kirana terkekeh.
Wanita kembali berlari, namun sayangnya Bagas lebih sigap menangkap tangannya, Kirana nyaris oleng dan tersandung kakinya sendiri, karena tidak menyangka Kirana akan tersandung Bagas pun kaget, dia tidak siap dan membuat keduanya jatuh di atas sofa bed ruang tamu dengan posisi Kirana berada di bawah Bagas.
Keduanya sama-sama terkekeh pelan, sebelah tangan Bagas menahan bobot tubuhnya sendiri agar tidak menindihi tubuh Kirana sepenuhnya. Sementara itu, tangannya yang lain mengusap wajah cantik kesayangannya itu. Enggak pernah bosan rasanya ia hanya dengan menatap wajah Kirana, ia selalu mengimpikan suatu hari ia akan terbangun dan Kirana lah orang pertama yang akan ia lihat di sampingnya.
“Aku sayang kamu, Na,” bisik Bagas.
“Aku juga..”
“Juga apa?”
“Sayang Kirana,” ledek Kirana dan Bagas terkekeh pelan. Sampai akhirnya hening tercipta, hanya ada deru nafas keduanya yang saling beradu dan tatapan mata yang saling menelisik itu.
Keduanya saling memejam, Bagas perlahan-lahan memajukan wajahnya hingga ia Kirana bisa merasakan hembusan nafas Bagas menyapu wajahnya. Degup jantung Kirana menggila rasanya, ini bukan pertama kali baginya berciuman dengan Bagas. Namun setiap kali Bagas menciumnya, rasanya selalu sama. Seperti saat pertama kali Bagas mencuri ciuman pertamanya dulu.
Bibir milik Bagas itu bergerak mengecupi bibir Kirana, melumatnya kecil hingga mengigitnya. Kirana itu kaku, ia terbiasa menerima apa yang Bagas lakukan pada bibir ranumnya. Tapi malam itu ia beranikan dirinya untuk menaruh kedua tanganya di bahu pria itu, mengecup bibir pria yang sangat ia sayangi itu dengan seduktif.
Bagi Bagas tidak ada yang lebih adiktif dari pada Kirana, kedua anak manusia itu saling mengecup. Mengutarakan perasaan sayang satu sama lain melalui kecupan-kecupan kecil itu yang terkadang bergerak lamban dan terbata-bata. Sampai pada akhirnya, bunyi dari ponsel milik Kirana itu menyadarkan keduanya. Kirana sedikit mendorong dada Bagas, ponselnya berbunyi ia harus segera mengangkatnya.
“Ada telfon, sayang,” ucap Kirana.
Bagas bangkit dari atas tubuh wanitanya itu, berjalan mengambil ponsel milik Kirana yang ia taruh di meja ruang TV. Ternyata itu adalah panggilan dari Ibu nya Kirana, dan Bagas baru sadar kalau saat ini sudah jam sebelas malam.
“Ibu, sayang. Kayanya aku kemalaman mulangin kamu nih sampai Ibu telfon.” Bagas memberikan ponsel Kirana itu pada pemiliknya.
“Aku angkat dulu ya.”
Samarang, 1899.
Banyak-banyak Jayden hirup aroma yang berasal dari wewangian yang Jacob buatkan dari ekstrak bunga melati itu, hari ini Jayden menaruhnya di ruang kerjanya di kantor keresidenan. Mungkin hanya kebahagiaan kecil itu yang tersisa dari Ayu, Jayden hanya bisa menghirup aroma melati yang selalu mengingatkannya akan wanita itu.
Sajak-sajak masih ia tulis, namun tak pernah Jayden kirimi sajak-sajak itu ke Soerabaja. Ia tidak ingin membuat Ayu tersiksa karena tulisan-tulisannya, namun doa dan harapan akan kebahagiaan wanita itu tak pernah sekalipun terputus untuknya.
Sajak-sajak yang ia tulis, bersamaan dengan rangkaian bunga-bunga melati kering yang menghiasi kertas itu. Ia simpan di dalam laci meja kerjanya, biar ia sendiri yang membacanya. Atau jika orang lain membacanya, biarkan orang itu yang menjadi saksi betapa ia mencintai wanita pribuminya itu.
Tak lama kemudian, derap langkah kaki yang terburu-buru itu terdengar dari penjuru lorong. Membuat atensi Jayden teralihkan, ia keluar dari ruang kerjanya dan mendapati para pegawai kantor sedang berlari dengan wajah paniknya.
“Ada apa?” tanya Jayden.
“meneer para pribumi sialan itu menyerang kantor kita! Mereka melakukan pemberontakan!” pekik pegawai lainnya dengan panik.
Belum sempat Jayden mencerna apa yang sedang di jelaskan oleh pegawai lainnya, tiba-tiba saja pasukan pribumi yang memberontak itu berhasil memasuki kantor keresidenan. Beberapa ada yang tumbang karena tentara kolonial menembaki mereka, namun tak sedikit juga para tentara yang menjadi korban dan berakhir tewas. Mereka menyerang menggunakan clurit dan beberapa melempari gedung dengan batu.
“Lari!! Lari!!” teriak yang lainnya.
Jayden tak ingin sembunyi, ia tak ingin menjadi pengecut ia ingin tahu apa yang membuat para pribumi itu menjadi pemberontak. Ia berusaha keluar dari dalam ruanganya meski banyak sekali pegawai lain berlari berlawanan arah dengannya.
“meneer lari!” ucap Max, dia adalah salah satu pegawai disana yang cukup dekat dengan Jayden.
“Ada apa sebenarnya, Max? Kenapa mereka menyerang kantor keresidenan?”
Max tak mungkin menjelaskannya di antara kerumunan seperti ini, apalagi beberapa pribumi sudah berhasil mengambil alih senjata milik tentara kolonial yang tewas dan menyerang para Belanda itu. Jadi, Max tarik tangan Jayden dan ia cari tempat persembunyian untuk mereka.
Jayden hanya mengikuti saja, ia butuh penjelasan untuk setidaknya mengerti posisi para pribumi saat ini. Selain Jayden, Max juga orang Belanda yang banyak memihak pribumi. Ia pernah mengecani seorang tawanan dan memiliki anak dari wanita pribumi itu, meski hubungan mereka berakhir mengenaskan karena sang wanita berakhir di bunuh. Max membesarkan anak itu sendiri.
“Mereka memberontak karena merasa tertindas, bukan hanya kantor keresidenan saja yang di serang, meneer, jelas Max terengah-engah.
“Dari kalangan mana mereka?”
“Buruh.”
Terdengar suara tembakan yang begitu kencang dari lantai dua tempat Jayden dan Max bersembunyi, terdengar rintihan pula di sana dari seorang wanita entah siapa itu. Jayden ingin keluar namun Max menahannya, Jayden hanya merasa mereka tidak bisa menjadi pecundang seperti ini.
“Kita harus pergi meneer.” Max berjalan ke arah jendela, ternyata jarak dari lantai dua untuk turun ke lantai satu lumayan jauh. Jika mereka memaksa melompat, bisa saja kaki mereka berakhir patah.
“Kau mau melompat? Kau gila?” pekik Jayden.
“Kau mau mati di tembaki membabi buta oleh para pribumi itu?”
“Aku hanya merasa kita harus berbicara pada mereka, Max. Kita pejabatnya disini.”
“Itu bisa kita lakukan nanti jika mereka berhenti menyerang, mereka tengah di landa kemarahan. Dan bicara dengan dengan orang yang tengah di landa kemarahan hanya sia-sia, meneer.“
Sedang berdebat dengan Max, tiba-tiba saja pintu ruangan tempat mereka bersembunyi di paksa terbuka oleh seseorang. Pintu itu di dobrak dengan kasar, membuat Max begitu panik.
“Turun lebih dulu, Max. Aku akan menyusulmu,” perintah Jayden.
“Tidak, meneer. kau yang lebih dulu turun.”
Jayden menggeleng pelan, “turunlah, kembali pulang ke rumahmu. Anakmu pasti khawatir.”
Yang Jayden pikurkan saat itu adalah hanya menyelamatkan Max, pria itu harus kembali pada anaknya. Jika Max mati di tangan para pribumi itu, anaknya akan menjadi seorang yatim piatu. Jayden tidak ingin itu terjadi yang di punya dari putri kecilnya itu hanya Max, Ayahnya.
Max seperti menimang-nimang ucapan dari atasannya itu, dengan penuh keraguan ia mulai mencoba turun dari jendela lantai dua. Kakinya gemetar karena takut akan ketinggian dan juga memikirkan nasib Jayden. Sebagai seorang bawahaan, ia yang harusnya melindungi Jayden bukan malah sebaliknya.
“meneer..“
“Pergi, Max!!” pekik Jayden. Ia sedikit mendorong bahu Max agar segera menjatuhkan dirinya ke bawah karena pintu ruangan itu akan segera terbuka.
Max akhirnya dengan cepat keluar dari jendela, ia langsung lompat begitu saja dan jatuh di semak-semak. Kakinya terkilir, sangat sakit dan membuatnya tidak bisa begitu saja berlari. Max bersembunyi di sana, ia tak berani keluar dari semak-semak. Namun yang membuat hatinya pilu adalah, suara tembakan yang berasal dari lantai dua. Dimana ruangan ia dan Jayden bersembunyi barusan.
Max menangis ketakutan, kemungkinan terburuk adalah Jayden tewas di tembak para pemberontak itu. Dalam hati Max bersumpah, tak akan pernah ia lupakan apa yang di lakukan Jayden untuknya.
Di ruangan yang menjadi saksi bisu akhir perjalanan hidupnya, Jayden yang sedang di ambang kematian karena dua peluru yang mendarat di perut dan dada sebelah kanan nya itu tersenyum dalam sakit yang ia rasakan. Dalam bayangan yang sudah tampak samar dan bau anyir dari darah yang mengalir dari dalam tubuhnya, ia bisa melihat Ayu berdiri di depannya.
Mengulurkan tangan dengan senyum manisnya, wanita itu mengenakan kebaya terbaiknya dengan rambut panjang yang di hiasi oleh melati-melati. Jayden ingin sekali mengucapkan salam perpisahan, namun lidahnya keluh. Tubuhnya seperti tercabik-cabik dan nyawanya perlahan terasa seperti di tarik.
Malaikat maut mungkin sedang menjemputnya, di akhir nafasnya itu Jayden tersenyum. seseorang yang menjemputnya pergi ke sebuah lorong penuh cahaya itu adalah Ayu. Wanita itu mengenggam tangannya, tersenyum namun tidak berbicara. Dan ini adalah akhir dari perjalanan hidup seorang Jayden Van Den Dijk.
Pagi buta itu Raga bangun dengan terengah-engah, keringat di sekujur tubuhnya itu berjatuhan, perasaanya tidak karuan dan bagian dada serta perutnya terasa begitu ngilu. Ia seperti bisa merasakan apa yang di rasakan oleh Jayden yang tewas dalam mimpinya itu.
“Aaarghh....” erangnya.
Raga meraba sisi ranjangnya untuk mencari ponselnya itu, dengan nafas yang tersenggal-senggal ia berusaha mencari nama Adel di sana namun Jayden sadar jika kakak perempuannya tidak sedang berada di Jakarta. Mbak Adel sedang liburan bersama dengan anak dan Suaminya ke Bali.
“Aaahhh...” Raga meremas dadanya sendiri, rasanya semakin sakit dan nafasnya juga semakin sesak.
Pada akhirnya ia menekan asal kontak yang ada di ponselnya itu untuk meminta bantuan, ia benar-benar tidak kuat menahan sakitnya. Raga sendiri juga tidak tahu kenapa ia bisa merasakan sakit seperti yang Jayden rasakan di dalam mimpinya.
“hallo, ada apa, Pak?“
Dari ponselnya, Raga bisa mendengar suara Kirana. “Na, tolong saya..”
“ada apa, Pak? Bapak kenapa?” suara Kirana itu berubah menjadi panik ketika ia mendengar suara Raga yang sedikit parau itu seperti tengah merintih.
“Tolong.. Bawa saya ke rumah sakit.. Arrrhghhh—”
Raga tidak sempat menjelaskan kondisinya, ia kehilangan kesadarannya dengan sambungan telefon yang masih terhubung ke Kirana. Di sebrang sana, di jam tiga pagi Kirana panik bukan main. Ia langsung bersiap-siap untuk pergi ke rumah Raga dengan memesan taksi online setelah Raga tak lagi menjawab ucapannya.
Bersambung...