Bab 21. Akhir Perjalanan Jayden
Begitu sampai di rumah Raga, Kirana begitu panik, apalagi saat Raga tidak menjawab panggilannya dan tidak membukakanya pintu. Kirana sempat meminta bantuan pada satpam kompleks tempat Raga tinggal untuk membantunya membuka pintu rumah Raga.
Begitu pintu itu terbuka, Raga sudah tergeletak di samping ranjangnya, wajahnya pucat dan pria itu berkeringat cukup banyak. Kirana langsung membawa Bagas ke rumah sakit, dari hasil pemeriksaan dokter bilang kalau Raga terkena Gerd. Beruntungnya Kirana langsung segera datang dan membawa Raga ke rumah sakit.
Raga belum di pindahkan ke kamar rawat inap, administrasinya sudah selesai namun dokter masih menunggu hasil pemeriksaan darah Raga keluar. Selama Raga belum sadar, Kirana masih setia menemani pria itu di sebelah ranjangnya. Memperhatikan Raga yang masih terlelap dengan wajah pucat pasinya itu.
Kirana enggak tahu keluarga Raga seperti apa, pria itu hanya tinggal sendiri dan saat sakit pun Kirana orang pertama yang ia hubungi. Padahal, kalau di bilang hubungan mereka cukup dekat pun enggak. Mereka hanya saling bertukar cerita mengenai mimpi yang mereka alami saja, justru Raga lebih banyak tahu tentang Kirana dari pada Kirana sendiri yang mengetahui tentang Raga.
Sedang larut memperhatikan wajah Raga, tiba-tiba saja kedua kelopak mata itu terbuka perlahan-lahan. Keningnya mengekerut bingung, namun kebingungan itu terjawab dengan hadirnya Kirana di sana.
“Pak?” tanya Kirana.
“Kamu bawa saya ke rumah sakit, Na?” Raga bertanya balik, ia sedikit lupa apa yang terjadi padanya sampai-sampai Kirana harus membawanya ke rumah sakit.
Kirana mengangguk kecil, “Bapak pingsan, Bapak telfon saya sambil ngerintih, gimana saya enggak khawatir coba?”
Raga tersenyum lemah, ia baru ingat apa yang terjadi padanya. “Maaf ya ngerepotin kamu. Saya enggak tahu harus telfon siapa lagi, karena Mbak saya lagi di luar kota.”
Kirana mengangguk kecil, dia baru ingat kalau Raga mempunyai Kakak perempuan. Kakak perempuannya itu kalau tidak salah ada di dalam mimpinya Raga, ya, Raga pernah bercerita kalau ada orang lain yang ada di masa lalunya yang ia temui juga di saat ini.
“Gapapa, Pak. Maaf, Pak. Bapak punya gerd?” tanya Kirana hati-hati.
“Kata dokter seperti itu?”
Kirana mengangguk.
“Punya, tapi memang sudah lama tidak pernah kambuh. Padahal akhir-akhir ini saya jaga pola makan saya, udah enggak minum kopi juga.”
“Banyak pikiran juga bisa menjadi pemicunya, Pak.”
Raga menoleh ke arah Kirana, ia melihat wanita itu dengan baju tidur dan cardigan berwarna kuning yang ia kenakan. Rambut panjangnya juga hanya di ikat asal-asalan, Kirana benar-benar datang saat ia menelfonnya tadi pagi.
“Mungkin mimpi itu jadi penyebabnya gerd saya kambuh juga, Na.”
Raga baru ingat tentang mimpi akhir dari perjalanan hidup Jayden, pria Belanda itu di tembak dua kali di bagian dada sebelah kanan dan perutnya. Pemberontakan kaum pribumi itu banyak menewaskan para kolonial dan pihak pribumi juga, bahkan saat Raga bangun pun ia bisa merasakan sakit di bagian yang tertembus peluru itu. Entah kenapa ia bisa merasakan sakitnya juga.
Dan itu semua berujung ia harus opname di rumah sakit karena gerd yang di deritanya, agak sedikit tidak masuk akal bagi Raga karena sebelum tidur pun ia sehat-sehat saja.
“Soal Jayden, Pak?” tanya Kirana hati-hati dan Raga menjawabnya dengan anggukan.
“Dia udah tewas, Na. Dan saya tau bagaimana itu semua berakhir,” jawab Raga dengan nada yang mengambang.
Mendengar ucapan Raga itu, Kirana menunduk. entah kenapa perasaanya menjadi tidak karuan mengetahui Jayden sudah tewas. Meski Kirana sendiri enggak tahu bagaimana akhir hidup dari pria Belanda itu karena Raga belum bercerita dan ia sendiri pun belum bermimpi, semalam setelah pulang dari rumah Bagas.
Kirana enggak langsung tidur, ada beberapa laporan yang harus ia revisi dahulu. Setelah itu, ia menemani Almira melakukan panggilan video karena wanita itu ingin bercerita banyak mengenai kencan nya.
“Jayden sakit, Pak?”
Raga menggeleng pelan, “dia di tembak, Na.”
“Di tembak?”
Baru saja Raga ingin menjelaskan seperti apa mimpinya, tiba-tiba saja seorang perawat membuka korden yang menjadi pemisah antara ranjang yang di tempati oleh Raga dengan pasien lain.
“Selamat pagi Bapak Raga, kita pindah ke ruang rawatnya dulu ya. Setelah itu nanti ada staff yang mengatar sarapan pagi, jangan lupa sarapannya di habiskan.”
“Mbak Kirana kemana, Mas?” Tanya Almira pada Bagas sewaktu pria itu baru saja tiba di kantor.
Melihat kursi Kirana yang masih kosong, Bagas juga terlihat bingung. Pasalnya telfon dan pesan singkat darinya itu juga belum mendapatkan balasan dari Kirana. Mereka memang tidak janjian untuk berangkat bersama ke kantor karena Bagas hari ini harus bekerja di luar kantor dahulu.
Bagas pikir Kirana mungkin hanya terlambat saja dan belum sempat memeriksa ponselnya, tapi siapa sangka jika wanita itu tidak masuk bekerja.
“Dia gak masuk?”
“Ih kok lo malah nanya balik sih, Mas. Gue aja bingung ini kenapa Mbak Kirana gak ada kabar, HP nya juga enggak aktif.” Almira menunjukan layar ponselnya yang menampakan beberapa panggilan keluar dari nya tidak terjawab oleh Kirana.
Bagas tidak menjawab pertanyaan Almira lagi, dia hanya menaruh tas kerja miliknya di kursinya kemudian mencoba menghubungi Kirana lagi. Bahkan mencoba untuk menelfon ke nomer telfon rumah Kirana, tapi sama seperti yang di dapati Almira. Ia pun tak mendapatkan jawaban. Sebenarnya kemana Kirana? Pikir Bagas.
“Gak di angkat juga..” Gumam Bagas.
“Semalam tuh gue sempat video call sama dia, Mas. Sampai jam 2 pagi malahan.”
“Terus?” Bagas mengubah posisi duduknya jadi menghadap ke arah Almira.
“Ya yaudah, habis itu gue pamit tidur karena udah ngantuk. Maksud gue, gak ada yang aneh sama Mbak Kirana. Tapi kenapa tiba-tiba paginya dia enggak datang,” ucap Kirana masih bertanya-tanya.
Hampir seharian ini Bagas bekerja dengan suasana hati yang tidak karuan dan pikiran yang tidak tenang karena memikirkan Kirana. Hari itu juga Bagas lumayan sibuk, ia tidak sempat keluar kantor lagi setelah nya karena harus mengerjakan laporan dan meeting dengan mandor proyeknya.
Bagas baru bisa tenang pada akhirnya setelah jam kerja berakhir, ia langsung buru-buru pergi ke rumah Kirana. Namun saat ia tiba di sana, Bagas justru terlihat semakin bingung ketika Kirana baru saja turun dari taksi dan masih mengenakan baju tidurnya. Begitu melihat Kirana, Bagas langsung keluar dari mobil miliknya.
“Kamu habis dari mana, Na?” Tanya Bagas tiba-tiba, Kirana pun kaget karena saat ia ingin membuka pagar rumahnya Bagas justru datang tiba-tiba dan menahan tangannya.
“Bagas...”
“Habis dari mana, Na? Aku telfon kamu gak di angkat habis itu HP kamu mati. Kamu juga gak kerja, kamu kemana?”
Kirana merhatiin wajah pria di depannya itu, Bagas nampak gusar dan khawatir padanya. Salahnya sendiri yang tidak mencoba memberi kabar pada Bagas sampai-sampai ia harus ke rumahnya demi memastikan dirinya baik-baik saja, sebenarnya saat Raga sudah di pindahkan ke ruang rawat Kirana sudah bisa pulang.
Namun Raga menahannya sebentar, pria itu minta di temani hingga kedua orang tua nya yang berada di luar kota itu datang. Dan saat mereka datang, Kirana justru kembali di tahan. Mereka banyak mengajak Kirana mengobrol. Jujur saja, Kirana sempat merasa terharu dengan kedua orang tua Raga yang menyambutnya hangat dan memperlakukkanya dengan baik.
Bahkan keduanya sempat mengira jika dirinya adalah wanita yang di kencani Raga, namun pada akhirnya Raga menjelaskan semuanya. Setelah itu Kirana sempat di ajak makan di kafetaria rumah sakit sampai akhirnya dia berpamitan untuk pulang, saat di perjalanan pun Kirana baru sadar kalau ia tidak membawa ponselnya.
“Masuk dulu ya? Aku jelasin di dalam aja.” Kirana membuka pagar rumahnya sedikit lebih lebar agar Bagas bisa memarkirkan mobilnya di dalam.
Keduanya masuk ke dalam rumah Kirana, malam itu Ibu belum pulang, Ibu memang baru akan pulang setelah menutup toko milik temannya itu. Agak sedikit malam, sekitar jam delapan malam biasanya Ibu baru saja tiba di rumah.
“Maaf ya, aku jadi bikin kamu khawatir.” Kirana ngerasa bersalah banget rasanya, karena jika posisi nya ia adalah Bagas ia pasti akan khawatir juga.
“Habis dari mana, Na? Kenapa kamu masih pakai baju tidur?” Bagas masih terus mencecarnya dengan pertanyaan.
“Aku habis nolongin Pak Raga, Gas.”
Wajah khawatir Bagas itu berubah menjadi datar, ia baru sadar kalau hari ini Raga tidak datang ke kantor. Padahal pria itu pun harusnya hadir dalam meeting bersama dengan mandor proyek yang Bagas pegang.
“Kenapa dia?” tanya Bagas.
“Pagi-pagi banget dia telfon aku, suaranya kaya dia tuh lagi ngerintih. Setelah itu gak ada suara lagi, tapi telfon nya juga enggak dia matiin. Aku panik banget, aku mikir apa Pak Raga kerampokan. Jadi aku datang ke rumahnya waktu aku datang pun dia gak jawab panggilan aku sampai akhirnya aku minta bantuan satpam komplek nya buat bantu buka pintu rumahnya.”
“Terus?”
“Dia pingsan, Gas. Aku sama satpam komplek itu bawa dia ke rumah sakit. Udah itu aja.”
Bagas mengusap wajahnya gusar, ia juga menyandarkan punggungnya ke sofa yang ia duduki, katakan Bagas kekanakan. Tapi ia benar-benar ingin marah, rasanya cemburu tengah melanda Bagas saat ini. Namun, satu hal yang Bagas hargai dari Kirana. Wanitanya itu mau berbicara jujur dengannya meski pada akhirnya ia cemburu.
“Sayang, maafin aku..” ucap Kirana.
“Aku gak ngerti ya, Na. Kenapa dia harus telfon kamu.”
“Dia udah berusaha hubungin nomer Kakak nya, tapi dia sadar Kakaknya di luar kota. Aku juga gak ngerti kenapa dia tiba-tiba hubungin aku.”
“Enggak.. Maksud aku, dia kan bukan cuma kenal kamu. Dia bisa hubungin aku atau Bang Satya. Kenapa harus kamu?”
“Kamu cemburu?” tanya Kirana hati-hati.
“Iya aku cemburu, akhir-akhir ini aku gak suka liat kamu sama dia, Na. Tapi aku coba buat mengesampingkan itu semua karna aku pikir setiap kalian berdiskusi berdua itu cuma ngobrolin kerjaan. Tapi sekarang, dia bahkan minta tolong sama kamu buat hal di luar kerjaan.”
Kirana hanya diam, Bagas itu jarang sekali marah. Selama 7 tahun mereka berpacaran, bisa terhitung jari masalah yang datang ke hubungan mereka sampai-sampai buat Bagas marah kaya sekarang. Kirana enggak denial, dia mengakui kalau dia salah dan memaklumi kemarahan Bagas.
Tapi entah kenapa, rasanya pagi itu dia benar-benar mengkhawatirkan Raga. Dia takut terjadi sesuatu pada pria itu, apalagi setelah mendengar cerita dari Raga tentang bagaimana akhir dari hidup Jayden. Rasanya seperti ada cubitan kecil di hati Kirana, yang saat itu hanya ingin memastikan bahwa Raga baik-baik saja.
“Dia tau kamu punyaku loh, Na..”
Kirana membawa tangan Bagas pada genggamannya, “aku minta maaf ya, aku bakalan jaga jarak sama dia.”
Bagas terdiam, emosinya tadi yang memuncak itu sedikit luluh. Enggak bisa dia lihat wajah Kirana merasa bersalah seperti itu, enggak pernah tega. Bagi Bagas, Kirana mengaku salah dan meminta maaf saja itu sudah cukup. Selama ini yang membuat hubungan mereka bertahan lama karena keduanya saling mengakui kesalahan dan tidak segan meminta maaf.
Bagas membawa Kirana pada pelukannya, dia khawatir setengah mati. Dia pejamkan matanya dan hirup aroma dari rambut panjang kesayangannya itu. “Maaf ya, maaf aku jadi marah banget kaya tadi. Aku cuma cemburu Kirana.”
“Gapapa, maaf udah bikin kamu enggak nyaman..”
Samarang, 1899.
Sudah lima bulan sejak kepergian Jayden sampai hari ini pun Ayu masih belum mengetahuinya, kabar tentang wanita itu di Soerabaja cukup baik meski tak sebaik itu. Ayu masih suka memikirkan Jayden saat hari-hari kosongnya.
Sejak menjadi istri Dimas, yang Ayu lakukan sehari-hari hanya berada di rumah. Memasak, menunggu Dimas pulang dan sesekali ia belajar merajut. Kabar baiknya adalah Ayu kini tengah mengandung, usia kehamilannya sudah memasuki bulan ke enam.
Sejak mengetahui ia hamil, Ayu tidak pernah merasakan kesepian lagi ketika Dimas sedang tidak ada di rumah. Ia merasa ada yang menemani, katakanlah cinta itu belum tumbuh untuk Dimas. Tapi bagi Ayu, bayi yang di kandungnya itu tetap anaknya. Dimas memang bukan suami yang baik, ia terkadang kasar jika sedang marah.
Dimas juga enggan membantunya dalam urusan rumah, namun satu hal yang membuat Ayu bisa menghormati Dimas sebagai seorang suami. Dimas selalu berterima kasih ketika Ayu melayaninya seperti mengambilkan makanan, memasakinya makanan kesukaanya dan ketika Ayu membangunkannya di pagi hari.
Malam itu Ayu tertidur sedikit pulas dari biasanya, perutnya yang semakin besar itu terkadang membuatnya kesulitan hanya untuk sekedar tidur dengan nyaman. Sampai-sampai, Ayu tidak dengar jika Dimas mengetuk pintu rumah mereka untuk segera di bukakan pintu.
Malam itu Dimas sedikit mabuk, setelah menikah Dimas di beri kepercayaan oleh Ayahnya untuk mengelola perternakan. Namun malam itu Dimas bukan pulang bekerja, melainkan ia habis pulang berjudi. Pintu rumah itu di dobrak paksa oleh Dimas, membuat Ayu terkesiap karena terkejut. Wanita itu buru-buru bangkit dari tidurnya untuk melihat siapa yang datang.
“Ya ampun, Mas. Kamu mabuk lagi?” Ayu buru-buru menghampiri Dimas, memapah Suaminya itu dan membantunya untuk tidur di kamar mereka.
“Kau tidur? Tidak dengar aku mengetuk pintu dan memanggilmu berkali-kali?” Dimas meracau.
“Nguwun pangapunten sanget, Mas. Aku tertidur.”
Ayu membuka sepatu yang di pakai oleh Dimas itu, menaruhnya kembali ke depan pintu rumah mereka dan menutup pintu itu kembali. Setelahnya, Ayu membuka lemari baju mereka. Mengambil salah satu baju untuk ia gantikan baju yang tengah di pakai suaminya itu.
“Ayu?” panggil Dimas, membuat Ayu menoleh ke arah Suaminya itu.
“nggih, Mas?” Ayu segera menghampiri Dimas, duduk di sebelah Suaminya itu. Dimas kebetulan bangkit dari tidurnya dan duduk di sisi ranjang mereka.
Pria itu tersenyum, bukan seringaian yang biasa Dimas berikan untuk Ayu. Melainkan senyum konyol khas orang mabuk, tanganya itu kemudian beralih mengusap perut Ayu yang sudah terlibat membesar itu.
“Ini anakku kan? Bukan anak pria Belanda sialan itu!!”
Mendengar ucapan Dimas itu, entah kenapa selalu berhasil melukai perasaan Ayu. Dimas sudah sering mengatakan hal itu, meragukannya jika anak yang ia kandung adalah darah dagingnya.
“Ini anak kita..” ucap Ayu terisak.
“Kau menangis?”
Ayu tidak menjawab, ia hanya diam sembari mengusap wajahnya yang sudah basah dengan air mata nya sendiri.
“Mas istirahat saja ya, biar Ayu bantukan berganti pakaian.”
“Jawab dulu pertanyaan suamimu, Ayu.”
“Tidak menangis, Mas..” jawab Ayu lirih.
Dimas terkekeh, “aku berharap pria Belanda munafik yang kau cintai itu segera mati. Mungkin dengan begitu, kau bisa mencintaiku.”
Setelah menggantikan baju Dimas, Ayu tidak bisa kembali tidur. Ia hanya bisa menangis di ranjang mereka, ia sangat merindukan Jayden, sungguh. Sudah beberapa hari ini ia mengimpikan pria itu. Mendengar ucapan Suaminya barusan, membuat keraguan Ayu untuk bisa belajar mencintai Dimas itu pupus rasanya.
Wanita itu bangun dari ranjangnya, ia berjalan ke laci meja riasnya itu dan mengambil secarik surat berisi tulisan Jayden. Sajak yang pria itu tulis berserta hiasan kepala untuknya dari bunga melati yang sudah menghitam dan layu itu.
Dua benda dari Jayden untuknya, jika merindukan pria itu. Hanya kertas itulah yang bisa Ayu peluk erat, ia ingin sekali kembali ke Samarang hanya untuk sekedar menjenguk Ibu dan Romo nya. Namun Dimas melarangnya, Ayu tidak di izinkan kembali ke Samarang jika Dimas tidak ikut bersamanya.
Tapi tak lama kemudian Ayu terkejut ketika tiba-tiba surat yang di tulis Jayden itu di renggut paksa begitu saja oleh Dimas, Suaminya itu bangun dan tampak marah saat melihat Ayu tengah membaca kembali sajak itu.
“Kau masih menyimpan tulisan sialan ini, iya?!” sentak Dimas, membuat Ayu kaget setengah mati.
“Mas.. Kembalikan, Mas.”
“ARRGHH!” Dimas merobek kertas itu hingga berkeping-keping. Dan ketika Dimas ingin mengambil hiasan kepala yang dikirimkan oleh Jayden bersamaan dengan sajak itu.
Ayu berusaha untuk merebutnya, hiasan kepala berbentuk bando itu rusak, melatinya berjatuhan dan kawat kecil yang di gunakan untuk merangkainya pun rusak hingga mengenai telapak tangan Ayu, kedua anak manusia itu masih saling berebut benda itu hingga akhirnya Dimas mengerahkan seluruh tenaga nya untuk merebutnya seutuhnya dari Ayu. Namun na'as nya adalah, Ayu justru jatuh tersungkur di lantai.
“Pria bajingan!! Brengsek, akan aku bunuh dia!!” Dimas menginjak-injak bando itu bersamaan dengan melati yang gugur.
“Mas...” Ayu sudah tidak memperdulikan lagi bando dari Jayden yang sudah rusak itu, kini yang ia rasakan adalah nyeri di perutnya. Bersamaan dengan darah segar yang mengalir dari pangkal paha hingga merembas ke kakinya.
“Mas tolong...” Ayu memegangi perutnya.
Begitu Dimas menoleh, pria itu kaget bukan main. Ia langsung membawa Ayu ke ranjang mereka tanpa memperdulikan kaki istrinya itu yang terus mengeluarkan darah.
“Sebelah mana yang sakit, Yu? Sebelah mana?” tanya Dimas panik.
“Aahhh..” Ayu tidak menjawab, nafasnya tersenggal dan perutnya semakin sakit. Ayu mengalami pendarahan karena benturan keras barusan, sampai akhirnya wanita itu tak sadarkan diri.
*Bersambung...