Bab 22. Sebuah Perbedaan

Hari itu Asri berkunjung ke rumah kedua orang tua Bagas, kemarin Ibu nya Bagas menelfon Asri dan menyuruhnya untuk datang ke rumah mereka. Ibu ingin bercerita sekaligus meminta maaf pada Asri karena Bagas tidak datang di acara keluarga mereka.

Siang itu Asri membawa cheese cake yang sempat ia beli dulu di jalan, Ibu nya Bagas bilang kalau beliau sempat sakit memikirkan anak sulung nya itu yang pergi meninggalkan rumah. Bahkan Bagas tidak memberi tahu orang tua dan Adiknya dimana ia tinggal.

“Kata Ibu langsung ke kamar aja, Non.”

Asri mengangguk, “oke, makasih ya, Bi. Ini cake nya saya taruh disini tolong di potong ya.”

Asri menaruh kotak berisi cake itu di meja makan agar Bibi yang bekerja di rumah Bagas itu memotong nya, kemudian wanita itu naik ke lantai dua menuju ke kamar orang tua Bagas. Asri sempat mengetuk pintu kamarnya dulu sampai akhirnya orang tua Bagas yang membukakan pintu kamar itu.

“Ibu gimana kabarnya?” tanya Asri setelah ia bersalaman dengan Ibu nya Bagas, wanita berusia 50an itu tampak sedikit pucat.

“Tensi Ibu sudah turun, Sri. Berkat minuman dari kamu itu. Tapi masih belum enakan badannya.”

Kedua wanita yang berbeda usia itu duduk di sofa bed yang ada di kamar itu, Asri tampak tidak tega melihat Ibu nya Bagas yang sakit dan mengkhawatirkan anaknya. Ibu mana yang tidak sakit melihat anaknya berani melawannya dan lebih memilih orang lain, pikir Asri.

“Masih kepikiran Bagas ya, Buk?”

Ibu mengangguk, “kamu sudah coba hubungi dia, Sri?”

“Sudah, Buk. Tapi buat di ajak ketemu Bagas belum bisa, dia bilang sibuk. Minggu ini juga harus ke Surabaya katanya.”

Ibu menghela nafasnya pelan, wanita itu bersandar sembari menopang kepalanya sendiri dengan satu tangannya. Hari-hari nya pusing memikirkan cara agar Bagas kembali ke rumah.

“Ibu tuh bingung sama Bagas, Sri. Kenapa dia jadi seperti ini? Kenapa dia enggak memihak Ibu nya dan malah memihak perempuan itu.” dulu, Bagas sangat penurut sekali pada orang tua nya. Ibu merasa sejak Bagas bersama dengan Kirana, Bagas banyak sekali berubah. Terutama perubahan sikap pada kedua orang tua nya. Ibu cuma merasa Kirana lah yang memberi dampak buruk itu pada Bagas.

“Nanti Asri coba bicarain sama Bagas ya, Buk.” Asri memegang tangan wanita di depannya itu, mengenggamnya agar Ibu jauh lebih tenang. Ia ingin mencoba bicara dengan Bagas, ya sukur-sukur pria itu mau mendengarkannya. Ah, setidaknya Bagas mau pulang sebentar untuk menjenguk Ibu nya yang sedang sakit.

“Makasih ya, Sri. Maafin Bagas ya, dia udah bikin kamu sama Bapakmu bingung karena enggak hadir di acara rencana pertunangan kalian.”

Asri mengangguk, baginya itu bukan masalah. Walau tetap saja Asri merasa tidak di hargai oleh Bagas, tapi disisi lain Asri bisa memahami kenapa Bagas bersikap seperti itu. “Gapapa, Buk. Ibu sekarang fokus sama kesembuhan Ibu dulu saja ya.”

“Iya, makasih ya sayang. Ibu tuh benar-benar suka banget sama kamu. Anak baik, manis, pintar, mandiri. Ingin sekali Ibu melihat kamu menikah sama Bagas.”

Asri tersenyum, jika di tanya ia ingin menikah atau tidak dengan Bagas, Asri akan menjawab dengan jujur bahwa ia juga ingin Bagas menikahinya. Bagas adalah cinta pertama Asri meski sampai hari ini Bagas enggak pernah mengetahui jika Asri menyukainya.

“Doain aja ya, Buk.”

Setelah menjenguk Ibu nya Bagas, Asri langsung pulang ke rumahnya. Dia udah enggak ada kegiatan lagi di butik hari ini, baru saja akan turun dari mobilnya untuk membuka pintu gerbang rumahnya. Kedua mata Asri membulat ketika mengetahui ada mobil lain yang terparkir di depan gerbang rumahnya.

Asri sangat mengenali mobil itu, terlebih sang pemilik mobil itu berdiri tepat di samping mobilnya dengan kedua tangan di lipat di depan dada dan kini tengah memperhatikan Asri dari dalam mobil.

“Ck, mau ngapain lagi sih dia?” gerutu Asri, ia keluar dari mobilnya untuk bicara dengan pria itu agar menyingkirkan mobilnya yang menghalangi jalan masuk.

“Kamu ngapain lagi sih?” tanya Asri sedikit sewot.

“Ngapain? Asal kamu tau ya, aku gak akan kesini kalo kamu jawab telfon dari aku,” ucap pria itu tak kala sewot nya dengan Asri.

“Ada apa lagi sih, Raka? Aku rasa hubungan kita juga udah selesai ya.”

Reiraka Indra Soerja, pria berusia 33 tahun itu menatap Asri dengan pandangan tidak menyangka nya, kecewa sekaligus marah dengan wanita yang dulu ia cintai habis-habisan itu.

“Eh, denger ya. Hubungan kita emang udah selesai, tapi kamu mikir gak kalau kita masih punya Saka? Dia nyariin Ibu nya!!” Bentak Raka naik pitam.

Tidak ada sama sekali hati Asri tersentuh mendengar nama anak yang sudah ia tinggalkan itu, ia justru membuang pandanganya ke arah lain. Asri dan Raka memang pernah menikah dulu, mereka memiliki satu orang anak laki-laki bernama Reisaka Bumi Soerja.

Dulu, memang hubungan mereka di landasi cinta. Reisaka juga hadir karena Asri dan Raka saling mencintai, mereka menikah pun karena kehadiran Saka. Meski tidak di dapati restu dari keluarga Asri, setelah Saka lahir Keduanya berpisah, Asri memilih pindah ke Jakarta bersama Bapaknya dan meninggalkan Raka dan Saka.

Raka sama sekali tidak keberatan dengan hal itu, pria itu hanya mau Asri tidak melupakan kewajibannya sebagai Ibu dari Saka. Setidaknya Asri masih mau menjenguk Saka hanya untuk tahu kabar bocah itu, tapi yang di lakukan Asri justru sebaliknya. Wanita itu tampak tidak perduli dan bahkan bersikap seolah-oalah ia tidak pernah memiliki anak.

“Aku belum ada waktu buat jenguk dia, mending sekarang kamu minggirin mobil kamu deh, sebelum Bapakku tau kamu disini.”

Mendengar ucapan Asri itu, membuat alarm yang berada di kepala Raka rasanya menyala. Pria itu menunjuk wajah Asri dengan rahang yang mengeras, mungkin jika Asri bukan seorang wanita. Ia pasti sudah menghajarnya.

“Aku tau ya kamu berencana menikah lagi sama laki-laki yang jadi cinta pertama kamu itu kan? Kalau sampai besok kamu enggak nemuin Saka, aku gak akan segan-segan ngasih tau keluarganya kalau kamu punya anak dan pernah menikah!” Ancam Raka, ia hanya terpikirkan cara itu agar Asri mau menjenguk anak mereka yang saat ini sedang sakit.

Dan terbukti wajah wanita itu terlihat tegang, Asri kelihatan ketakutan bukan main saat Raka berbicara seperti itu. Imej yang ia bangun selama ini setelah berpisah dengan Raka memang lah baik, tidak banyak orang yang tahu ia pernah menikah bahkan memiliki anak. Karena pernikahannya dahulu memang di lakukan secara tertutup.

“Bajingan kamu, Raka!” Pekik Asri.

“Kamu juga brengsek, Ibu gak bertanggung jawab. Perempuan enggak tahu malu!” Setelah mengatakan itu, Raka langsung mendorong Asri minggir dari samping mobilnya. Pria itu langsung bergegas pergi dari sana, meninggalkan Asri yang berdiri dengan kaki bergetar sembari berpegangan pada bagian depan mobilnya.

“Gak ada yang boleh tau!” Gumam Asri, tanganya bergetar bukan main.


Sudah dua hari Mama dan Papa nya menemani Raga di rumah sakit, Adel dan Ethan yang sudah selesai berlibur juga turut menjenguk Raga. Raga masih belum di perbolehkan untuk pulang dengan dokter, padahal Raga sendiri sudah merasa jika kondisinya sudah membaik.

Sejak Mama dan Papa nya melihat Kirana, mulai hari itu juga Raga sering sekali di ledeki jika Kirana adalah kekasih Raga. Padahal sudah berkali-kali Raga jelaskan jika Kirana hanya bawahannya saja di kantor dan Kirana sudah memiliki kekasih. Tapi tetap saja keduanya beranggapan jika Raga hanya malu saja dan masih menutup-nutupi hubungan mereka.

“Serius loh, Del. Anaknya cantik sekali, baik, suaranya halus, sopan. Tapi Adikmu itu loh pakai segala bilang kalau dia bukan pacarnya, padahal kalau pacarnya juga gapapa yah, Pah. Malahan kami senang,” celoteh Mama pada Adel.

Raga di ranjangnya hanya menggeleng pelan saja, sepertinya kedua orang tua nya itu benar-benar menyukai Kirana. Jika sudah seperti ini, sudah bisa Raga pastikan ia akan terus di jadikan bahan guyonan. Karena ini pertama kalinya Mama dan Papa melihat Raga bersama seorang wanita.

Katakan lah Raga memang cupu, kurang pergaulan atau apapun itu. Tapi memang selama 31 tahun ia hidup, Raga belum pernah memiliki kekasih. Jaman kuliahpun sebenarnya Raga cukup di gandrungi oleh teman-teman yang pernah satu kelas dengannya, di kalangan senior nya pun Raga pernah beberapa kali menjadi bahan omongan.

Ah tidak, bahkan jauh dari itu. Wajahnya dulu pernah masuk televisi karena mewakili kampus nya untuk orasi di depan gedung pemerintahan. Sejak itu sosial media Raga di banjiri oleh permintaan pertemanan oleh orang-orang tidak di kenalnya, rata-rata wanita yang ingin menjadi pengikutnya.

Tapi entah kenapa, Raga tidak pernah tertarik untuk memulai suatu hubungan. Ia juga tidak memiliki trauma apapun sampai-sampai enggan menjalin hubungan, semuanya normal. Malahan Raga kadang merasa hidupnya sedikit membosankan.

“Siapa sih namanya, Mah? Jadi penasaran, sayang banget Adel gak di Jakarta jadi enggak bisa lihat.” Adel melirik Adiknya itu wajah Raga sudah masam karena Mama terus berceloteh mengenai Kirana.

“Kirana, Del. Ih cantik pokoknya deh.”

“Cantik-cantik juga udah punya pacar, Mah.” samber Raga.

“Yah, masa naksir cewek orang, Ga,” Ethan yang sedang duduk di dekat Papa itu terkekeh pelan ikut meledek.

“Siapa yang naksir sih, Mas. Mama tuh yang udah ngarep, orang di bilang Kirana udah punya cowok juga.”

Papa yang sedari tadi menyimak itu tersenyum, agak kasihan lihat Raga sedari tadi terus di cecar. “Wajar Mama mu berharap, Ga. Ini pertama kalinya loh kami melihat kamu dengan perempuan. Umurmu tuh sudah 31 tahun, Papa dan Mama ini sejujurnya sudah ingin sekali melihat kamu mengenalkan calonmu.”

Raga mendengus, Raga paham. Tapi bagaimana jika ia juga belum menemukannya? Enggak mungkin kan Raga merebut Kirana dari Bagas hanya karena kedua orang tua nya menyukai wanita itu, ia tidak segila itu untuk merebut kebahagiaan orang lain.

“Doain lah, Mah, Pah. Raga kan lagi usaha juga ya, Ga?” Adel menyenggol bahu Raga, namun Adiknya itu hanya bergeming.

“Kalau memang kamu berjodoh dengan Kirana, Mama tuh bakalan bahagia banget, Ga. Enggak tahu kenapa Mama senang dan suka sekali melihat dia.”

Bagi Mama, Kirana adalah wanita yang baik. Kalau untuk urusan paras, Kirana itu enggak perlu diragukan lagi. Meski pertama kali bertemu hanya mengenakan piyama tidurnya dan cardigan kuning, wajah dahayunya itu tidak sirna.

Terlebih wanita itu sangat sopan, Mama sangat nyambung sekali berbicara dengan Kirana. Rasanya nyaman, seperti mereka berdua sudah kenal lama, akrab sekali. Dan enggak bisa Raga pungkiri jika ia juga bahagia melihat Mama dan Kirana berbicara berdua, berbicara mengenai banyak hal. Rasanya waktu itu seperti ada jutaan kupu-kupu yang terbang di perutnya.

Menjelang malam, Ethan mengajak kedua orang tua Raga untuk makan malam di restaurant tak jauh dari rumah sakit. Sementara Adel menjaga Raga, Adel hanya meminta di bungkusi saja.

“Kirana itu yang waktu itu lo ceritain ada dalam mimpi lo bukan sih, Gas? Ayu?” Tanya Adel setelah kedua orang tua mereka dan juga Ethan pergi.

Raga mengangguk, Adel masih ingat ternyata. “Iya yang itu, Mbak.”

“Kok bisa dia ada disini? Kata Mama dia yang bawa lo ke rumah sakit?” Adel menaruh jeruk-jeruk yang sudah ia kupas itu di atas piring, Raga suka sekali jeruk makanya Adel membelikannya saat perjalanan menuju ke rumah sakit.

“Gue tadinya mau telfon lo, terus inget kalau lo lagi di Bali liburan sama Mas Ethan. Gak tau kenapa di kepala gue waktu itu cuma kepikiran Kirana.”

“Terus dia datang?”

Raga mengangguk seraya memasukan 2 jeruk ke dalam mulutnya. “Dia bahkan enggak ke kantor demi nungguin Papa sama Mama datang, ya tentu aja gue yang minta.”

Adel menghela nafasnya pelan, dia cuma kepikiran takut kalau Raga terbawa perasaan karena mimpinya. Maksudnya, di mimpi itu kan Jayden dan Ayu adalah sepasang kekasih. Sedangkan di dunia nyata ini Kirana sudah memiliki kekasih enggak mungkin kan Adel mendukung Adiknya itu untuk merebut kekasih orang lain.

“Lo gak baper gara-gara mimpi itu kan?” Tanya Adel hati-hati.

“Gila kali, ya enggak lah.” Raga agak sedikit gugup ketika menjawabnya. Menurutnya saat ini ia hanya kagum dengan Kirana. “Gue cuma bangga atau kagum aja sama dia, Mbak.”

“Bangga dan kagum?” Adel mengerutkan keningnya bingung. “Kenapa emangnya?”

“Pokoknya ada alasan kenapa gue bangga dan kagum banget liat dia, hatinya lapang. Dan dia bukan perempuan lemah menurut gue.”

“Ck.” Adel berdecak sebal, penasaran sama alasan Raga bisa kagum dengan wanita itu. “Ya kenapa Jagaraga kan pasti ada alasannya, gue ini ngeri lo baper deh sama dia. Ya gue bukan nya enggak suka ya lo naksir cewek, tapi lo tau sendiri kan kalau Kirana udah punya cowok?”

“Gue paham, Mbak. Emang menurut lo, kalau gue kagum dan bangga sama dia itu berarti gue naksir sama dia? Kan enggak.”

“Oke terus?” Adel menaikan satu alisnya.

“Dia itu hidup berdua sama Ibunya, Mbak. Lo tau perusahaan distributor lampu CityLight yang sekarang udah tutup?” Tanya Raga, Adel enggak mungkin enggak tahu. Pengetahuannya tentang perusahaan-perusahaan besar di Indonesia itu cukup luas.

“Tau, yang kalau enggak salah ownernya itu meninggal karena.. suicide?

“Itu bokap nya Kirana, Mbak.”

Adel membulatkan matanya kaget, “serius lo?!”

Raga mengangguk, “dia berusaha bangkit setelah kepergian Bapaknya, kerja mati-matian buat bantu Ibunya bayarin hutan Bapaknya. Gue cukup tau bagaimana dia struggle selama ini karena beberapa kali dia ngajuin pinjaman ke kantor. Kerjaanya bagus, Mbak. Dia bukan perempuan yang pantang menyerah sama keadaan.”

Adel mengangguk-angguk, bisa sedikit ia pahami mengapa Raga bisa kagum dan bangga sekali dengan Kirana, terlebih Mama juga sangat menyukai wanita itu. Adel sendiri jadi penasaran seperti apa Kirana ini jika ia bertemu dengannya langsung.

“Tapi sayang aja.”

“Kenapa?”

“Keluarga cowoknya enggak memperlakukan dia dengan baik, ah udah lah kok jadi ngomongin orang gini sih,” Raga terkekeh pelan.

“Gak ngomongin dong, kan kita juga gak ngomongin yang jelek-jelek. Gue cuma penasaran aja.” Adel mengulum bibirnya itu, “kapan-kapan kenalin ke gue ya, Ga.”

Bersambung...