Bab 23. Pagi Yang Buruk

Pagi ini Ibu menyiapkan sarapan seperti biasa, ia tidak bekerja, hari ini Ibu libur. biasanya kalau Ibu bekerja, Ibu hanya meninggalkan Kirana cemilan saja untuk sarapan paginya. Tapi pagi ini ia membuatkan nasi goreng untuk putri sematawayangnya itu, setelah selesai menata setiap hidangan di atas meja makan, di liriknya jam yang ada di ruang tamu itu. Terlihat dari ruang makan kok karena tidak ada sekat lagi di sana.

Jam sudah menunjukkan pukul 7 pagi, dan sepertinya Kirana belum bangun. Jadi Ibu berinsiatif untuk memeriksa kamar Kirana, ya siapa tahu putrinya itu kesiangan atau Kirana sudah bangun dan sedang bersiap-siap di kamarnya.

nduk??” Ibu mengetuk kamar Kirana sebelum masuk, tidak ada sahutan dari dalam. Namun sebelum Ibu pergi meninggalkan kamar itu, Ibu mendengar suara rintihan dari dalam.

“Kirana merintih apa ya?” Ibu mengerutkan keningnya bingung, karena khawatir terjadi sesuatu pada putrinya itu. Ibu membuka kamar Kirana pelan-pelan.

Kirana masih tertidur dengan posisi terlentang, selimut masih ada di tubuhnya namun putrinya itu tidur dengan kepala yang bergerak ke kanan dan kirinya, seperti tengah bermimpi buruk dan keningnya itu bercucuran keringat, bahkan Kirana juga terlihat meremas selimut yang ada di atas tubuhnya itu.

“Aah.. Mmhh.” rintih Kirana.

Ibu duduk ditepi ranjang Kirana, menepuk pelan pipi putrinya itu sekaligus memeriksa suhu tubuh Kirana. Tubuhnya dingin namun Kirana berkeringat seperti menahan sakit.

nduk? Kirana? Kamu kenapa, Nak?” ucap Ibu khawatir.

Kirana masih bergerak di atas ranjangnya dengan gerakan tidak nyaman, ia bahkan menangis dan bibirnya terus merintih. Membuat Ibu yang duduk di tepi ranjangnya menepuk bahu Kirana dengan panik. Ibu berusaha membangunkan Kirana karena seperti nya anaknya itu mimpi buruk.

nduk, bangun!! Heh, istigfar, nak.”

Begitu Ibu menepuk bahu Kirana agak kencang, Kirana kaget dan terbangun dari tidur nya. Matanya terbuka ia buru-buru bangkit dan memeluk Ibunya erat, Kirana menangis. Malam-malam kelam tentang mimpi buruk yang terjadi pada Ayu di dalam mimpinya itu membuat perasaanya berkecamuk, tubuh Kirana bahkan seperti masih mengingat betapa sakitnya perut Ayu di dalam mimpinya itu.

“Kamu kenapa, Na?” tanya Ibu khawatir, di usapnya punggung putri nya itu agar isak Kirana meredup dan membuatnya tenang.

Kirana belum menjawab, ia masih menangis. Hatinya sakit, takut dan perasaan tidak nyaman itu kembali menghampirinya, Ibu membiarkan Kirana memeluknya dan tidak menjawab pertanyaanya. Setelah putrinya itu tenang, Ibu keluar dari kamar Kirana dan membawakan Kirana secangkir teh hangat buatanya.

Itu teh melati kesukaan Ibu dan juga Kirana. Sangat harum, rasanya sedikit sepat dan ada rasa pahit setelahnya namun di padukan dengan madu jadi ada sedikit rasa manis. Menurut Ibu dan Kirana cara menikmatinya memang seperti itu.

“Udah tenang?” tanya Ibu yang di jawab anggukan oleh Kirana. “Kenapa, nduk?

“Kirana cuma mimpi buruk aja, Buk.” ia jujur, namun Kirana tidak mengatakan kalau perutnya juga sedikit sakit. Entah kenapa seingatnya ia tidak makan yang aneh-aneh dan terlalu pedas.

“Keringatmu banyak banget, Na. Ada yang sakit gak?”

Kirana menggeleng, “enggak, Buk. Gapapa.”

“Beneran?”

“Um.” Kirana mengangguk, “Ibu libur ya?”

“Iya, makanya Ibu bikinin sarapan dan bekal kamu ke kantor. Kamu ke kantor gak?”

“Ke kantor, Buk.”

Ibu menghela nafasnya pelan, mengusap wajah putri kesayanganya itu dengan penuh kasih sayang. Sejak Kirana kritis, setiap kali Kirana tidak terlihat baik-baik saja. Ibu selalu merasa khawatir berlebihan padanya, bahkan seperti saat ini. Hanya karena mimpi buruk sekalipun. “Yasudah, siap-siap gih. Takut nya nanti Bagas jemput kamu.”

“Hhm.. Bagas gak jemput aku, Buk. Dia ke Surabaya hari ini. Jam 12 kayanya dia udah ke bandara.”

“Yasudah, mandi ya. Kita sarapan sama-sama.”

Di perjalanan selama menuju kantor, Kirana melamun memikirkan Ayu di dalam mimpinya. Menurutnya itu adalah mimpi yang membuatnya lumayan traumatis, Ayu jatuh karena bertengkar dengan Dimas suaminya. Wanita muda nan ringkih itu mengalami pendarahan sampi Dimas harus memanggil dokter ke rumahnya.

Sepanjang menunggu dokter itu, Ayu terus menerus merintih, keringat bercucuran keluar dari keningnya hingga Kirana tidak sadar kalau dalam tidurnya ia juga merintih sampai Ibu membangunkannya. Karena larut dalam lamunan, Kirana hampir saja melewatkan halte tempatnya turun. Untung saja supir bus hari ini baik, masih mau membukakan pintu untuknya walau tadinya pintu sudah di tutup.

Kirana berjalan dari halte bus menuju kantor nya, ia jadi teringat akan cerita Raga. Mimpi mengenai Jayden dan akhir hidupnya, Raga bilang Jayden sudah meninggal dengan cara yang paling tragis. Dan Raga bisa merasakan juga sakit nya, dan ternyata ia pun juga bisa merasakan sakit ketika Ayu, wanita dalam mimpinya itu mengalami pendarahan hebat.

Dengan langkah gontainya, Kirana menekan tombol lift untuk sampai ke ruanganya. Namun siapa sangka jika ada pria tinggi di sebelahnya yang baru saja muncul entah dari mana, wangi dari pria itu menyita atensi Kirana sampai-sampai ia menoleh ke sebelahnya.

Pria itu, pria dengan paras yang sangat ia kenali. Kaki Kirana seketika mundur beberapa langkah dengan penuh keraguan, membuat pria yang baru pertama kali bertemu denganya itu bingung. Bibir Kirana bergetar mengucap nama seseorang tanpa suara.

“Di...mas?” bisiknya nyaris tak terdengar.

“Mbak? Mbak kenapa?” tanya pria itu bingung, ia menoleh ke sekitarnya. Wanita yang berada di depannya itu ketakutan seperti melihat hantu.

“Mbak?” panggil Pria itu sekali lagi dan berhasil membuyarkan lamunan Kirana.

Waktu pria itu mau menyentuh bahu Kirana yang sedikit bergetar, tangan Kirana menepisnya dengan kasar. Membuat suasana di antara mereka menjadi sedikit canggung.

“Ma..maaf. Saya bukan mau kurang ajar, saya cuma khawatir aja Mbak kenapa-kenapa. Habis lihat saya soalnya, Mbak langsung kaya orang ketakutan,” jelasnya dengan sopan.

“Ga..gapapa.” dalam hati, Kirana menggerutu kenapa pintu lift tak kunjung terbuka. Ia ingin sekali lari dari pria yang berada di sebelahnya, parasnya sangat mirip dengan Dimas. Yup, Dimas suami Ayu di dalam mimpinya.

“Mbak kerja di lantai 10 juga?” tanyanya basa basi. Ya, Raka sudah menilihat nama perusahaan Kirana bekerja dari lanyard yang wanita itu pakai.

Kirana melirik pria itu dengan tatapan sedikit sinis, katakan ia tidak sopan tapi pagi ini rasanya sangat aneh. Ia membenci pria yang mirip sekali dengan Dimas.

“Iya,” jawab Kirana ketus.

“Saya juga, saya arsitek baru.”

Kirana menoleh, menelisik penampilan pria itu yang nampak sopan dan rapih. Ya, agak sedikit menyilaukan mata menurutnya, kemeja dari brand ternama Yves Saint Laurent, dasi yang ia kenakan dari Prada dan juga jam tangan Rolex yang harganya mungkin bisa membeli satu unit mobil. Mungkin dengan melepaskan seluruh barang branded di tubuhnya itu sudah setara dengan gaji Kirana 10 tahun bekerja di firma arsitektur ini.

Kirana heran, kenapa pria itu mau bergabung di firma arsitektur tempatnya bekerja jika mungkin pria di depannya ini mampu membuka firma sendiri. Gayanya saja sudah seperti CEO dalam cerita-cerita fiksi.

“Penggantinya Mas Ilyas?” tebak Kirana.

“Yup, benar sekali. Ah, nama saya—” baru saja Raka ingin memperkenalkan dirinya. Kirana sudah lari duluan masuk ke dalam lift begitu pintu lift terbuka, bahkan Kirana juga menutupnya buru-buru seolah-olah wanita itu memang tidak ingin satu lift dengan Raka.

“Aneh,” gumam Raka begitu lift itu tertutup dan membawa Kirana ke lantai 10.


Hari ini Bagas menyempatkan diri untuk bertemu dengan Asri karena wanita itu yang meminta bertemu walau sebentar, Asri bilang ada yang perlu dia bicarakan pada Bagas. Akhirnya Bagas mengiyakan ajakkan itu dan ia menyempatkan waktunya sebelum ia berangkat ke Surabaya.

Mereka bertemu di cafe yang tak jauh dari rumah Asri berada, kebetulan cafe nya juga searah dengan bandara jadi selepas bertemu Asri, Bagas akan bergegas pergi ke Surabaya. Begitu Bagas tiba di cafe itu, ternyata Asri sudah ada di sana lebih dulu. sudah memesankan minuman untuknya karena di pesan singkat mereka, Asri sempat bertanya Bagas ingin minum apa.

sorry, sudah lama ya?” tanya Bagas begitu ia tiba, ia langsung menarik kursi dan duduk berhadapan dengan Asri.

“Belum kok.” Asri senyum.

“Kayanya gue gak bisa lama, Sri. 1 jam lagi harus berangkat, takut macet. Lo mau ngomong apa?” Bagas langsung to the point ia bukan menghindari Asri saja tapi kenyataanya memang jalur menuju bandara kerap kali terjadi kemacetan.

“Gas, kamu pergi dari rumah?” tanya Asri hati-hati.

“Pergi?” Bagas mengerutkan keningnya, menurutnya apa yang ia lakukan sekarang bukan pergi dari rumah melainkan pindah. Toh ia pamit kepada kedua orang tua nya meski mereka tidak memberi restu.

“Gue cuma pindah rumah, Sri. Bukan pergi atau kabur.”

“Kenapa, Gas? Kamu gak kasian sama Ibu kamu? Beliau sekarang sakit loh mikirin kamu.”

“Mikirin kok, gue tau Ibu sakit.” nyatanya memang begitu, Bagas tahu Ibu nya sakit dari Kanes. Tapi buat menjenguk atau kembali ke rumah pun rasanya Bagas enggan selama Ibu dan Ayahnya belum bisa menghargai keputusan hidupnya.

“Kamu gak jenguk?”

Bagas menghela nafasnya pelan, “sorry, Sri. Tapi kalau maksud lo ketemu gue cuma buat ngomongin hal ini, gue rasa belum saat nya. Ya, maksudnya kan. Ini masalah gue sama orang tua gue.”

Asri menghela nafasnya pelan, dia jadi sadar sesuatu kalau kayanya dari dulu dia memang enggak benar-benar mengenal Bagas. Dia bahkan enggak tahu kalau Bagas sekeras kepala ini.

“Singkirin ego kamu sebentar aja, Gas. Dia Ibu kamu loh. Dia cuma mau yang terbaik buat anaknya aja, aku harap setelah kamu kembali dari Surabaya kamu bisa jenguk Ibu kamu.”

“Nanti gue pikir-pikir lagi,” jawab Bagas sekena nya.

Pertemuan mereka enggak lama, karena Bagas juga harus segera ke Bandara. Bahkan pria itu tidak sempat meminum minuman miliknya yang di pesankan Asri, Setelah pertemuan yang hanya sebentar itu saja, Asri langsung menuju rumah Ibu nya Bagas. Semoga dengan membujuk Bagas seperti tadi hati pria itu terketuk untuk menjenguk Ibu nya selepas ia dinas di Surabaya.

Kondisi Ibu nya Bagas sudah membaik, tensinya sudah stabil, namun Ibu masih terus di pantau oleh dokter keluarga dan belum boleh banyak melakukan aktifitas. Begitu Asri datang, Ibu yang sedang merangkai bunga itu tersenyum dan menyambut Asri.

“Cantik nya Ibu sudah datang, sini duduk. Sudah minum teh kamu, Sri?” tanya Ibu.

“Udah kok, Buk. Asri tadi habis ketemu sama Bagas.” Asri duduk di kursi yang bersampingan dengan Ibu, ia mengambil satu tangkai bunga yang ia tidak tahu namanya itu dan memotong tangkainya seukuran dengan bunga-bunga yang sedang Ibu rangkai barusan.

“Ah, apa katanya Sri? Dia mau kembali ke rumah kan?” Ibu penasaran, baru beberapa minggu Bagas pindah tapi Ibu sudah sangat merindukan putra sulung nya itu.

“Dia mau ke Surabaya dulu, Buk. Pelan-pelan ya, Buk. Asri baru bisa bujuk dia buat jenguk Ibu dulu. Nanti bakalan Asri bujuk lagi kok buat kembali ke rumah, Asri janji sama Ibu.”

Hati Ibu menghangat, Ibu seperti mendapatkan harapan baru atas peran Asri. Wanita itu meraih tangan wanita yang sangat ia impikan menjadi menantunya itu dan memeluknya erat.

“Asri, Ibu sangat berterima kasih, Ibu selalu berharap kamu yang menjadi menantu Ibu.”

Asri tersenyum, semakin Ibu menyukainya dan berharap banyak bahwa ia akan menjadi menantunya. Hal itu juga semakin membuat Asri untuk menutup rapat-rapat tentang masa lalunya bersama Raka, ia tidak ingin Ibu atau pun Bagas tahu bagaimana masa lalunya dulu.

Semalaman kemarin, Asri memikirkan cara agar Raka setidaknya tidak muncul seenak jidatnya seperti kemarin di depan rumahnya. Ia juga tidak ingin Raka sampai membuka mulutnya pada siapapun mengenai mereka, Asri mengenal Raka sekali seperti apa pria itu. Ia tidak pernah main-main dengan ucapannya, maka untuk kali ini Asri akan mengikuti keinginan Raka untuk menemui anak mereka demi pria itu tetap menutup mulut.

“Sri?” Panggil Ibu yang berhasil membuat Asri membuyarkan lamunanya.

“Ya, Buk?”

“Ibu tuh sebenarnya mau bertemu sama Kirana deh.”

Asri mengerutkan keningnya bingung, “ma..mau ngapain, Buk?”

“Ya, Ibu mau bicara sama dia buat jauhin Bagas. Ibu tuh mau dia sadar dirinya dan keluarganya siapa, Ibu juga ingin bilang kalau sebenarnya kamu dan Bagas akan segera tunangan.” Ibu sudah lama memikirkan hal ini, ingin mendatangi Kirana dan bicara terus terang pada wanita muda itu untuk menjauhi putra nya. Ya meski selama ini sikap Ibu sudah cukup membuktikan bahwa Ibu menolak Kirana.

“Ibu yakin? Apa enggak kedengaran jahat, Buk?” Menurut Asri memang begitu, ia membayangkan posisinya seperti Kirana. Mungkin ia pun akan sedih dan sakit, di tolak mentah-mentah dan di paksa menjauhi dari pria yang ia sayangi bahkan itu sama orang tua pria itu sendiri.

“Kok jahat sih, Sri. Lebih jahat mana? Dia saja sudah mencuci otak anak Ibu. Gak bisa bayangin Ibu punya menantu seperti dia, makin gak ingat si Bagas sama Ibu tuh nanti.”

Setelah dari rumah Ibu nya Bagas, Asri bergegas ke rumah sakit tempat anaknya dan Raka di rawat. Sebelum masuk ke ruang rawat anaknya itu, ia menarik Raka ke kafetaria sebentar. ada kesepakatan yang harus mereka berdua bicarakan agar Raka tidak membocorkan perihal hubunganya.

“Mau ngomong apa sih?” Tanya Raka agak sedikit sewot.

“Kamu tinggal di Jakarta sekarang?” Tanya Asri tanpa basa basi.

“Iya, kenapa emangnya?”

“Gila, kamu ya? Kamu sengaja ngikutin aku?”

Raka menyeringai, Asri benar-benar tidak berubah ternyata. Sikap egois wanita itu masih sama. “Ge'er amat sih? Aku pindah ke Jakarta karna emang pindah kantor. Lagian kita udah pisah kan, ngapain kamu ngatur-ngatur aku segala mau pindah kemana.”

Asri menghela nafasnya kasar, agak terpancing emosinya setiap kali ia berbicara dengan Raka. “Aku mau kita bikin kesepakatan.”

“Soal apa?” Raka mengerutkan keningnya bingung.

“Aku bakalan sering jenguk Reisaka satu bulan sekali, asalkan. Kamu gak buka mulut ke siapapun itu tentang kita.”

Raka kembali menyeringai, ia memendarkan pandanganya ke arah lain. Enggan melihat Asri dengan sikapnya yang hobi mengatur itu. Kadang, Raka mempertanyakan kenapa ia dulu bisa jatuh cinta dengan wanita seperti Asri.

“Kamu takut kalau calon mertua kamu tau kalau kamu itu janda dan punya anak?”

“RAKA!!!” Pekik Asri, kedua matanya membulat memperingati Raka.

“Atau kamu takut dia tahu kalau kamu pernah hamil di luar nikah?” Tebak Raka lagi.

“Bisa diem gak kamu hah?!” Asri menoleh ke kanan dan kirinya, takut-takut ada orang lain yang mengenalinya dan mendengar ucapan Raka barusan.

“Pengecut kamu, Sri. Perempuan gak tau malu,” ucap Raka tegas, setelah itu ia pergi meninggalkan Asri dari kafetaria. Membiarkan wanita yang dahulu ia cintai itu berjalan dengan langkah terburu-buru di belakangnya.

Asri sempat gugup saat ia melihat Reisaka untuk yang pertama kalinya. Anak itu lahir tanpa Asri yang merawat dan mengasihinya, bahkan Asri sendiri enggak pernah melihat Reisaka waktu bayi. Waktu melihat Ibu nya itu pun, bocah itu terlihat bingung. Namun ia tetap menorehkan senyuman.

“Hai..” Sapa Asri, ia bingung harus mengatakan apa untuk pertama kalinya.

“Ini Mama kan, Pah?” Tanya Reisaka pada Raka yang duduk di sebelahnya.

Pria itu hanya tersenyum kecil dan mengangguk, “iya, Mama. Papa gak bohong kan waktu bilang Papa bakalan bawa Mama ke Saka?”

Bocah itu mengangguk, Reisaka, mata bocah itu tampak berbinar terang seperti ia menemukan harapan baru. Bertemu dengan wanita yang nelahirkannya meski tidak menjadi Ibu yang benar-benar merawatnya.

“Mama cantik sekali.”

Saat Reisaka mengucapkan itu Asri hanya tersenyum kecil, ia bingung harus menjawab apa, harus bersikap bagaimana dan harus melakukan apa pada anaknya itu. Ia sangat canggung, bahkan tidak ada getaran seorang Ibu saat ia melihat putra nya itu.

Bersambung...