Bab 24. Pertemuan Dan Kebetulan
“Pagi, Mbak Kirana,” sapa Raka ramah pada Kirana yang kebetulan juga sedang menunggu lift. Ada wanita lain juga di sebelah Kirana tapi Raka lupa namanya, dia yang termuda di kantor. “Duh, saya lupa nama kamu.”
“Astaga Mas Raka parah banget sumpah, nama gue Almira, Mas. Almira Kusuma Djayanti ih parah banget ahh.” Almira prengat-prengut, ini untuk kesekian kalinya Raka enggak bisa mengingat namanya.
Raka tersenyum dan terkekeh pelan, lucu juga Almira kalau lagi ngomel-ngomel kaya gitu menurutnya. “Iya-iya maaf, ini sekarang udah inget deh beneran.”
Di sebelahnya Kirana cuma melirik Raka dengan sinis aja, dia masih gak mau beramah tamah sama pria itu. Ya anggap Kirana kekanakan hanya karena Raka mirip dengan pria bernama Dimas dimimpinya itu, Kirana jadi benci dan enggan bersikap profesional sama Raka, padahal ya Raka enggak punya salah apa-apa juga sama dia. Bahkan Raka orang yang ramah beda sama Dimas yang arogan.
Begitu lift terbuka, Kirana langsung buru-buru naik. Dia berharap Raka enggak ikut satu lift denganya namun pria itu justru langsung masuk ke dalam lift, mau enggak mau kan mereka jadi satu lift. Waktu gak sengaja lengan Raka nyenggol tangan Kirana, gadis itu melirik Raka dengan sinis.
“Ma..maf Mbak Kirana saya gak sengaja,” Raka gugup. Dia ngerasa kok kalau Kirana kaya enggak suka sama dia, dari bagaimana Kirana meliriknya aja sudah seperti wanita itu sangat ingin membunuhnya.
“Hati-hati lain kali!” jawab Kirana judes.
Almira yang berada di sebelah Kirana jadi menatap wajah wanita itu bingung, pasalnya Kirana enggak pernah sejudes itu sama orang lain. Enggak-enggak, bahkan Kirana itu terkenal ramah banget di kantor. Apa Kirana sedang PMS? Pikir Almira.
“Mbak lagi datang bulan?” bisik Kirana.
“Enggak, kenapa emang?” nada bicara Kirana langsung berubah drastis seperti biasanya kalau ia berbicara dengan Almira.
“Gapapa, jutek banget sama Mas Raka?”
Kirana menghela nafasnya pelan, ia enggan menjawab pertanyaan Almira itu bahkan sampai lift terbuka dan mereka tiba di lantai sepuluh. Waktu Kirana mau duduk di kursinya, ia melihat ke ruangan Raga. Pria itu sudah kembali ke kantor, Raga sudah sembuh sepertinya dan hari ini hari pertama Raga akan melihat Raka.
Kirana jadi penasaran bagaimana reaksi pria itu, sejujurnya Kirana ingin sekali bertanya beberapa hal sama Raga. Namun ia selalu teringat ucapan Bagas, ia gak ingin membuat Bagas cemburu. Apalagi Bagas sedang dinas di Surabaya. Jadi keinginanya itu ia urungkan. Ia ingij menjaga kepercayaan Bagas padanya.
“Itu namanya Pak Raga? Kok kemarin dia gak ada?” kursi Raka itu ada di sebelah Kirana, dan Raka saat ini sedang bertanya sama Kirana.
“Kemarin dia sakit,” jawab Kirana sekena nya.
“Masih muda ya saya pikir udah Bapak-Bapak.” Raka memang sempat mengira jika leader team nya itu Bapak-Bapak berkisar 40-50 tahunan ternyata Raga terlihat lebih muda darinya.
Kirana enggak menjawab lagi, dia justru langsung menyalakan PC miliknya dan mengerjakan pekerjaanya yang sempat tertunda kemarin. Sedang asik fokus pada pekerjaanya, tiba-tiba saja atensi Kirana teralihkan ketika pintu ruangan Raga terbuka. Ia sempat melirik ke arah Raga sebentar, pria itu tengah bicara pada Satya sebentar.
“Kirana?” panggil Raga.
“Ya, Pak?”
“Kamu sudah baca grup? Kenapa progress kita beda sama kontraktor?” tanya Raga dingin.
Kirana langsung terkesiap, “sa..saya periksa dulu, Pak.”
Kirana buru-buru memeriksa grup proyek miliknya dan memeriksa laporan miliknya, selama ini Kirana selalu teliti dalam memasukan volume harian sesuai yang di kirimkan inspektor lapangan padanya. Lalu kenapa kata Raga progressnya bisa berbeda? Pikir Kirana.
“Kayanya yang salah kontraktornya, Pak.”
“Masalahnya yang salah kamu, Na. Periksa sekali lagi, tolong jangan asal input aja sesuaikan dengan bobot rencana. Kan bisa kamu lihat volume yang kamu input benar atau tidak,” ucap Raga tegas, baru kembali ke kantor setelah opname nya hari ini justru hectic karena ada beberapa pekerjaan yang menumpuk.
“Iya, Pak.”
Karena sadar ucapanya dingin pada Kirana, Raga memejamkan matanya. Biar nanti ia bicara lagi pada Kirana jika urusan pekerjaan mereka sudah selesai, ingin kembali lagi ke ruanganya tiba-tiba saja ekor mata Raga melihat Raka yang kini juga menatapnya. Pria itu, pria yang mirip sekali dengan Dimas. Duduk di sebelah Kirana yang sangat mirip dengan Ayu.
Karena sadar di perhatikan, Raka berdiri dan menghampiri Raga. Pria itu mengulurkan tanganya pada Raga dan memperkenalkan dirinya.
“Saya Raka, Pak. Arsitektur yang baru, yang menggantikan Pak Ilyas.”
Raga tidak menjawab, ia hanya terus memperhatikan wajah Raka sampai pria itu sadar jika sapaan tanganya tidak di beri sambutan oleh Raga. Bukan hanya Almira saja yang terlihat bingung menyaksikan itu, tapi Satya juga. Hanya Kirana yang paham apa yang ada di dalam pikiran Raga saat ini.
Namun sedetik kemudian tangan Raka yang tadinya ingin ia tarik kembali karena tidak di sambut oleh Raga akhirnya berbalas, Raga menjabat uluran tangan itu juga membuat Satya dan Almira yang tadinya bingung sekaligus tegang bisa bernafas lega.
“Raga, di lanjut kerjanya.” hanya ucapan itu saja yang keluar dari mulut Raga, karena setelahnya ia kembali ke ruanganya. Kirana tahu bahwa pria itu mungkin masih terkejut jika sosok yang menyerupai Dimas pun ada di kehidupan ini juga.
Sedang kembali fokus pada laporan miliknya tiba-tiba saja ponsel Kirana bergetar, menampakan 2 notifikasi pesan singkat dari dua orang yang berbeda. Yang pertama ada dari Raga yang mengatakan mereka harus bicara saat makan siang nanti dan yang kedua dari Ibu nya Bagas, beliau bilang ingin bertemu dengan Kirana setelah Kirana pulang bekerja.
Saat ini perasaan Kirana bercampur aduk, ia mungkin sudah tahu kemungkinan apa yang akan di katakan oleh Raga saat makan siang nanti. Tapi, apa yang akan di katakan oleh orang tua Bagas saat bertemu denganya? Apa yang membuat beliau ingin sekali bertemu dengan Kirana? Apa ia akan mendapatkan sebuah permintaan maaf? Pikir Kirana.
Siang itu, Kirana memutuskan untuk berbicara dengan Raga di rooftop kantor saja. Kebetulan ia juga sedang tidak berselera untuk makan akhir-akhir ini, apalagi mengingat mimpinya kemarin dan semalam rasanya benar-benar melelahkan dan menyakitkan sekaligus.
“Kamu pasti kaget banget ya, Na. Karena tiba-tiba ada orang lain yang mirip banget sama Dimas?” ucap Raga to the point saat mereka bertemu di rooftop.
Kirana mengangguk, “sangat, Pak. Bersamaan dengan orang yang menyerupai Dimas muncul malam nya itu saya bermimpi sesuatu yang buruk tentang Ayu sampai berdampak sama saya.”
Raga menoleh, ia yang tadi sedang menyesap caramel machiato miliknya itu jadi teralihkan karena ucapan Kirana barusan. “Ada apa sama Ayu?”
Kirana menarik nafasnya berat, rasanya sesak dan sedikit ngilu mengingat bagaimana Ayu di dalam mimpinya. Bahkan sudah dua hari ini sejak bangun dari tidurnya, Kirana selalu merasa kelelahan alih-alih merasa segar. Seperti energinya di kuras habis, entah sampai kapan ia akan merasakan hal seperti ini.
“Ayu mengalami pendarahan, Pak. Dia jatuh karena Dimas, suaminya.”
“Ayu hamil?!” pekik Raga kaget dan Kirana mengangguk.
“Tapi setelah pendarahan dia baik-baik aja walau kondisi kesehatanya memburuk.” Kirana terkekeh sekaligus mendengus setelahnya. “Mungkin itu juga yang menjadi alasan kenapa setiap kali lihat Mas Raka saya selalu sensi.”
“Karena dia mengingatkan kamu sama sosok Dimas suaminya Ayu kan?” tebak Raga, karena ia pun juga merasakan hal yang sama. Ia tidak membenci Raka, Raga hanya tidak nyaman saja melihat Raka lama-lama. Padahal secara sifat pun Dimas dan Raka berbeda. Dimas sangat arogan, sedangkan Raka di kehidupan sekarang ini sangat ramah. Bahkan baru beberapa hari bekerja saja karyawan lama sudah dekat dengannya termasuk Satya dan Almira.
Kirana mengangguk sekali lagi, “Bapak sendiri bagaimana?”
“Ajaib nya setelah saya tau akhir hidup Jayden, saya enggak pernah bermimpi lagi, Na. Bahkan setiap saya tidur saya enggak pernah bermimpi apa-apa lagi.”
Selama di rawat di rumah sakit pasca penyakit lambung yang di derita Raga, sehabis bermimpi akhir hidup Jayden yang di bunuh oleh pribumi. Sejak itu lah Raga enggak pernah bermimpi apa-apa lagi, Jayden tewas adalah mimpi terakhir nya. Sebenarnya Raga sempat berpikir jika Kirana sudah mengetahui akhir hidup dari Ayu, kemungkinan juga mimpi berlarut Kirana akan segera berakhir.
Kening Kirana berkerut, ia masih berusaha mencerna kata-kata Raga barusan meski kalimat yang di ucapkan bukanlah hal yang sulit di cerna. Kirana hanya berpikir kenapa semuanya datang dan pergi secara tiba-tiba.
“Ba..bapak serius? Enggak pernah bermimpi apapun tentang Jayden?”
Raga mengangguk, “saya sempat berpikir, kalau mungkin kamu akan berhenti bermimpi tentang Ayu juga saat kamu sudah tahu akhir hidup Ayu, Na. Kamu harus kasih tau saya setelahnya ya, biar kita bisa cari tahu maksud dari mimpi kita itu apa.”
Di tengah-tengah hectic nya pekerjaan Bagas di Surabaya hari ini, ia merogoh kantong miliknya karena ponselnya berdering. Bagas yang tadinya sedang memantau proses pengecoran itu menyingkir sebentar, ia masuk ke dalam gedung kontraktor dan melepas helm proyeknya di sana. Itu telfon dari Kanes adiknya.
“Hallo, Nes. Kenapa?” Bagas menarik kursi dan duduk di sana.
“Mas Bagas masih kerja? Masih di Surabaya?” Kanes langsung membondonginya dengan pertanyaa, hari-hari di rumah tidak ada Bagas agak sedikit membuat Kanes kesepian. Biasanya Kanes suka bercerita banyak hal pada Bagas termasuk tentang kuliah dan juga hubunganya dengan pacarnya itu.
“Iya nih, lagi mantau pengecoran. Ada apa?”
“pulangnya kapan, Mas?“
“Hmm.. Mungkin besok kalo enggak mundur lagi,” Bagas terkekeh, ia membuka MacBook miliknya untuk memeriksa surel yang di kirimkan Raga padanya.
“dih masa gitu? Bisa mundur-mundur melulu.” harusnya Bagas pulang hari ini, namun sempat ada kendala kerusakan mesin pengecoran yang membuat Bagas akhirnya mengurungkan niatnya untuk pulang, ia harus memantau dulu dan memastikan jika semuanya berjalan dengan baik.
“Ada apa sih emang? Mau malak nih pasti?”
“Dih.. Enggak ya, Kanes cuma mau nagih janji Mas Bagas aja, katanya mau ngasih tau di mana Mas Bagas ngontrak rumah?“
Bagas terkekeh, ia sempat menjanjikan hal itu pada Kanes. Memberitahu dimana ia tinggal, namun tetap merahasiakannya pada kedua orang tua nya. “Yaudah, pulang dari Surabaya, Mas kasih tau. nanti kamu main ya.”
“awas aja bohong!!” ancam Kanes. “eh iya, Mas. Selama Mas enggak di rumah, Mbak Asri sering banget ke rumah loh buat jagain Ibu.“
“Ibu masih sakit emangnya?”
“udah sembuh kok, Mas. Ya mungkin Mbak Asri mau make sure aja kali ya. Mereka dekat banget, Mbak Asri baik sih. Cuma gak tau kenapa aku ngerasa canggung aja kalau sama dia. Ibu sama Ayah juga kayanya masih rencanain pertunangan Mas sama Mbak Asri,” Jelas Kanes yang membuat Bagas tidak habis pikir.
Orang tua nya tentu saja masih rajin mengiriminya pesan, mengatakan padanya untuk segera pulang dan bicara pada mereka. Keputusan mereka bulat untuk menjodohkan Bagas dan Asri, bahkan setelah Bagas pergi dari rumah sekalipun itu tidak melunturkan niat mereka.
Bagas menghela nafasnya, ia mengusap wajahnya gusar. Kadang, ada malam dimana Bagas selalu memikirkan cara bagaimana membuat kedua orang tua nya mengerti dirinya. Setidaknya menghargai pilihan hidupnya, Asri memang baik. Tapi Bagas tidak mencintainya. Baginya Asri masih orang asing.
“Mas tuh kadang bingung gimana caranya bikin Ibu sama Ayah ngerti.”
Di seberang sana Kanes menghela nafasnya pelan, “kalau menurut Kanes, mungkin Mas bisa mulai bicara dulu ke Mbak Asri. Kasih pengertian ke dia kalau Mas enggak bisa menikah sama dia, nurutin apa kata Ibu sama Ayah. Mungkin dari situ nanti Mbak Asri bisa bantu bicara ke Ibu, kan mereka dekat banget tuh.“
Bagas menunduk, Kanes benar. Selama ini ia memang belum pernah bicara serius sama Asri mengenai hal ini. Bisa di bilang ia bisa memakai pengaruh Asri untuk membuat Ibu nya mengerti, mungkin ia bisa coba cara ini. Selama ini ia bertemu dengan Asri pun hanya bicara seperlunya saja.
“Yaudah, nanti Mas coba deh ya.”
Setelah menutup panggilan dari Kanes, Bagas sempat membalas pesan dari Kirana kemudian melanjutkan pekerjaanya lagi. Fokusnya terbagi, memikirkan cara nya berbicara dengan Asri dan mencari waktu yang tepat. Sekaligus memikirkan masa depannya bersama dengan Kirana.
Bagas ingin akhir tahun ini ia bisa membawa orang tua nya untuk melamar Kirana, ya itu pun jika pada akhirnya keduanya merestui. Tapi kalau pun tidak, kemungkinan Bagas akan melamar Kirana sendiri membawa kerabatnya yang lain tanpa kedua orang tua nya. Tapi jauh dari pada itu, ia mungkin harus menjelaskan terlebih dahulu mengenai orang tua nya pada orang tua Kirana. Jika sudah seperti ini, apa nantinya Ibu nya Kirana akan tetap merestuinya? Atau justru meragukan kebahagiaan putri sematawayangnya itu pada Bagas?
Samarang, 1898.
Setelah pulih pasca pendarahan beberapa hari yang lalu, Ayu meminta di antar pulang ke Samarang oleh Suaminya itu. Ayu berencana untuk melahirkan di Samarang, ia ingin ada Ibu nya saat melahirkan nanti. Mengenai kondisi kesehatan Ayu yang kerap kali naik turun, Dimas sendiri khawatir. Apalagi akhir-akhir ini Ayu sering mengeluhkan kalau ia sesak nafas.
Dimas sudah meminta bantuan pada rekan dan beberapa kolega Ayahnya yang kebetulan bekerja di rumah sakit orang Belanda, namun saat ini belum di temukan obat untuk penyakit yang di derita Ayu. Yang wanita itu andalkan saat ini hanyalah meminum minuman herbal saja untuk mengurangi sesak nafas yang di deritanya.
Pagi itu saat dokar yang menjemput Dimas dan Ayu di stasiun tiba di kediaman rumah Tuan Gumilar, Dimas membantu Ayu turun dari dokar yang menjemput mereka. Ayu tersenyum melihat rumah yang sudah lama tak ia kunjungi itu.
“nduk!” pekik Ibu, wanita itu menghampiri Ayu dan memeluk putri sematawayangnya itu.
Ayu juga memeluk Ibu, rindu sekali dengan Ibu nya itu. Harumnya, sentuhan lembut tanganya dan juga masakannya. “Ayu rindu sekali sama Ibu.”
Dimas yang melihat itu hanya mematung, sesekali matanya berpendar pada para pekerja di rumah mertuanya itu. Tak ia jumpai Adi sama sekali, pria pribumi miskin itu tidak nampak di sana. Padahal Dimas tahu kalau Adi bekerja di rumahnya Tuan Gumilar alih-alih di kebun sejak ia pukuli.
“Kita masuk ke dalam, Yuk? Ibu sudah masak untuk kalian.” Ibu tersenyum, mengusap perut buncit Ayu penuh kasih sayang.
Ketiga nya masuk ke rumah Ayu, namun saat masuk mata Ayu berpendar ke sekitar pekarangan rumahnya mencari kemana Adi. Ia ingin sekali bertemu dengan pria itu, ingin sekali tahu kabarnya bagaimana.
“Cari siapa?” tanya Dimas, nadanya terdengar dingin ketika ia memergoki Ayu seperti tengah mencari seseorang.
Ayu hanya menggeleng, kemudian tersenyum kikuk. Ia langsung mengapit lengan Suaminya itu dan membawa Dimas masuk ke rumahnya.
Bersambung...