Bab 25. Kabar Tanpa Suara
Pagi itu, Ayu bangun lebih dulu dari Dimas. Dia sempat membantu Ibu di dapur alakadarnya, perutnya yang makin membuncit serta pernafasan Ayu yang tidak begitu baik membuatnya mudah sekali lelah. Ayu duduk di amben dekat pintu belakang rumahnya, sampai akhirnya Ibu nya Adi mengantarkan jamu untuk Ayu minum.
“Buk, ngapunten, Mas Adi ten pundi? Ayu enggak melihat dia dari kemarin.” biasanya Adi akan membawa beberapa hasil kebun ke rumah untuk persediaan pangan di dapur, tapi sedari kemarin Ayu enggak melihat kehadiran pria itu.
“Adi sedang sakit, Raden Ayu.” Semenjak di pukuli oleh Dimas waktu itu, kondisi kesehatan Adi memang naik turun. Telinga pria itu sudah tidak bisa lagi mendengar dan terkadang, Adi sering mengeluhkan sakit kepala. Seperti saat ini, pria itu izin tidak bekerja karena kepalanya yang sangat sakit.
“Sakit apa, Buk?” Mendengar hal itu, Ayu meneggapkan duduknya, ia khawatir pada Adi.
“Sakit kepala, Raden Ayu.”
“Ayu boleh datang ke rumah? Ayu ingin melihat keadaan Mas Adi.”
Ibu nya Adi itu tampak menimang-nimang jawaban, wajahnya sedikit bingung dan takut. Seperti ia tidak enak jika menolak permintaan Ayu tapi disisi lain, Ibu juga khawatir jika Suami Ayu tahu kalau Ayu menjenguk Adi. Adi bisa dalam bahaya lagi.
“Buk?” Panggil Ayu, wanita itu memegang tangan Ibu nya Adi dengan lembut. “Ayu hanya ingin melihat Mas Adi.”
“Mbok bisa kirimkan salam pada Adi jika Raden Ayu mengizinkannya.” Hanya itu kalimat yang Ibu nya Adi ucapkan sebagai bentuk penolakan halus, mungkin dengan menyampaikan salam untuk Adi dari Ayu. Ayu bisa tahu jika ia tidak mengizinkannya menjenguk Adi.
“Kali ini saja, Buk. Ayu mohon.” Ayu mengambil satu tangan Ibu nya Adi dan menganggamnya.
“Mbok bukanya ndak mau ajak Raden Ayu ke rumah, Mbok takut kalau Raden Mas tahu, Raden Ayu akan di marahi.” Mau tidak mau Ibu jujur pada akhirnya, hal itu lah yang memang di takuti oleh Ibu. Ibu tidak ingin Ayu dan Dimas bertengkar hanya karena Ayu menjenguk Adi yang sedang sakit.
“Enggak, Buk. Mas Dimas masih tidur. Ayu mohon, Buk. Ayu perlu bertemu Mas Adi,” ucap Ayu lirih penuh permohonan.
Karena tidak tega melihat Ayu yang memohon, akhirnya pagi itu Ibu mengantar Ayu ke rumahnya. Gubuk tua yang di penuhi ranting kayu dengan berbagai ukuran di depannya itu membuat Ayu tampak prihatin dengan kondisi rumah Adi. Ia duduk di amben depan rumah Adi, sementara Ibu membangunkan Adi yang masih tidur di dalam rumah.
Rumah Adi itu kecil, hanya berukuran 2x3 m² saja. Tidak ada dapur, karena Ibu biasanya memasak di depan rumah dengan tungku kayu. Kamar mandi pun tidak ada, biasanya Adi dan kedua orang tua nya akan pergi ke sumur atau sungai di dekat rumah untuk mandi dan buang air. Memang semiskin itu keluarga Adi.
Sedang melamun akan nasib Adi, Ayu menoleh ke asal suara pintu kayu yang berbunyi jika seseorang membukanya. Itu Adi, pria jangkung yang saat ini nampak kurus itu tersenyum pada Ayu, wajahnya pucat dan ia duduk di bawah. Di atas tanah alih-alih duduk di amben bersama dengan Ayu.
“Duduk di atas, Mas. Jangan di bawah,” Ayu bangun, ia membawa tangan Adi untuk bangun dan duduk di atas amben bersama dengannya.
“Di bawah saja, Raden Ayu.” Adi tidak mendengar yang Ayu ucapkan, ia hanya bisa sedikit demi sedikit membaca gerak bibir wanita itu. Kedua telinganya masih tidak bisa mendengar apapun.
Karena tidak ingin memulai perdebatan, akhirnya Ayu pun ikut duduk di atas tanah. Ia merasa tidak nyaman duduk di atas amben sendirian sementara Adi di bawah. Untungnya Ayu membawa secarik kertas dan pena untuknya berkomunikasi dengan Adi, Ayu sudah tahu jika pendengaran Adi terganggu akibat ulah Suaminya.
Ayu juga sudah menyuruh Dimas untuk bertanggung jawab membawa Adi ke dokter meski Adi dan kedua orang tua nya terus menolak. Sampai hari ini pun, Ayu selalu di liputi perasaan bersalah. Karena dirinyalah Adi bisa kehilangan pendengarannya.
Adi masih tertunduk, wajahnya yang pucat itu seperti enggan menatap Ayu meski dalam lubuk hatinya ia sangat merindukan wanita ringkih itu. Karena hening yang tercipta membuat Ayu tidak nyaman, ia mulai menulis sesuatu di atas kertas lusuh yang ia bawa.
“Mas Adi apa kabar?”
Dalam hati Adi membaca tulisan yang di berikan Ayu itu, pria pribumi itu tersenyum. “Baik, saya baik-baik saja, Raden Ayu.”
Ayu tersenyum, ia kemudian menuliskan sesuatu di kertas itu lagi. “Ayu senang bisa bertemu dengan Mas Adi lagi.”
“Saya juga senang bisa melihat Raden Ayu lagi.” Adi tersenyum, namun tidak lama kemudian senyum itu sirna. Mengingat ada kabar duka sekaligus amanat yang harus Adi sampaikan pada Ayu. Ini sudah cukup lama, sampai Adi pernah berpikir mungkin ia takan bisa menyampaikan hal ini pada Ayu.
Karena melihat perubahan pada raut wajah Adi, Ayu kembali menulis sesuatu pada kertas yang sedari tadi ia pegang itu. “ada apa, Mas Adi?”
Begitu membaca surat itu, Adi termenung sebentar. Dia ingin memberitahu pada Ayu mengenai kebun melati yang di buat oleh mendiang Jayden, kemudian memberi tahu wanita itu tentang kabar Jayden. Tapi memberitahunya pun Adi tidak tega.
“Mas Adi?” panggil Ayu, ia menepuk pundak Adi pelan dan membuyarkan lamunan pria pribumi di depannya itu.
“Saya mau memberitahu sesuatu tentang Sir Jayden pada Raden Ayu.” walau begitu, Adi tetap mengatakannya. Ia tidak tahu kapan Ayu akan kembali lagi ke Samarang, ia takut Ayu tidak lama di Samarang. Ada banyak ketakutan di kepala Adi, termasuk ketakutan jika ia tidak sempat menyampaikan amanat Sir Jayden termasuk tentang kabar pria Belanda itu.
Ayu menuliskan sesuatu di kertas yang ia pegang, ia menuliskan. “Tentang apa? Sir Jayden bilang apa?“
Lalu ia berikan lagi kertas itu pada Adi, Adi membacanya. Namun setelahnya ia masuk ke dalam rumahnya, membawa sebuah kertas lusuh yang sudah menguning di dalam genggam tangan besarnya. Dahi Ayu mengerut, ia bingung.
“Ini apa?” gumamnya, ia lagi-lagi lupa jika kedua telinga Adi sekarang tidak bisa mendengar suaranya lagi. Ayu menggeleng pelan, kemudian menuliskan ucapanya barusan pada secarik kertas yang ia bawa tadi.
“Ini alamat kediaman asisten Residen Samarang. Jika Raden Ayu memiliki waktu luang, datanglah ke kediaman asisten Residen. Bertemulah dengan seorang Indo bernama Jacob De Houtman. Dia kawan Sir Jayden,” jelas Adi, Adi sudah bertemu dengan Jacob. Pria itu juga yang memberitahu tentang kematian Jayden padanya sekaligus memberikan surat dari Jayden untuk Ayu.
Perasaan Ayu mencelos, hatinya sakit dan ia merasa ada sesuatu yang tidak beres. Tenggorokan wanita itu tercekat, ia takut mendengar sesuatu yang buruk terjadi pada pria yang di cintainya itu. Jadi ia tuliskan sesuatu pada Adi di sana.
“ada apa? Kenapa aku harus bertemu dengan Jacob? Kemana Sir Jayden memangnya?” Ayu menyerahkan tulisan itu pada Adi, Adi hanya menggeleng pelan. Sungguh ia tidak tega, biarkan Ayu tahu dari Jacob sendiri. Ia tidak sampai hati melihat wanita yang ia cintai itu menerima kabar tidak baik dari pria yang di cintainya.
“Ada surat dari Sir Jayden, tapi baca surat ini setelah Raden Ayu mendapatkan penjelasan dari Tuan Jacob saja ya.” Adi memberikan surat itu pada Ayu, surat yang kertasnya sudah menguning. Bahkan tinta nya sudah memudar karena terkena air, Ayu menebaknya mungkin sisa air hujan yang menetes pada celah dinding rumah berbahan bilik itu. Adi suka bercerita atap rumahnya sering bocor jika hujan menerpa, begitu juga dinding rumahnya.
Jakarta, 2025.
Begitu turun dari bus yang di tumpanginya, Kirana enggak langsung masuk ke cafe tempat ia dan Ibu nya Bagas bertemu. Kirana berkaca pada layar ponselnya dahulu untuk memastikan jika make up nya tidak berlebihan dan juga tidak berantakan, jantung nya berdegup tidak karuan. Kirana gugup, karena ini pertama kalinya Ibu nya Bagas mengajaknya bertemu.
Kirana juga menyempatkan diri membeli bucket bunga matahari, Ibu nya Bagas itu suka banget sama bunga. Kirana tahu ini dari Bagas langsung, begitu sudah memastikan dirinya rapih. Ia melangkah dengan penuh percaya diri masuk ke dalam cafe tempatnya dan Ibu nya Bagas bertemu.
“Untuk berapa orang, Kak?” tanya pelayan cafe tersebut begitu Kirana masuk.
“Untuk dua orang ya, Mbak.”
“Oke, di sebelah sini ya, Kak. Untuk dua orang.” pelayan itu mengantar Kirana ke kursi yang sudah di sediakan, pas untuk dua orang, untuknya dan juga Ibu nya Bagas. Letaknya juga sangat strategis, di dekat jendela. Jadi Kirana bisa melihat ke luar cafe yang menampakan lampu-lampu kota yang mulai menyala karena senja.
Seharusnya pertemuan ini berlangsung kemarin, tapi Kirana enggak bisa karena dia harus lembur untuk memperbaiki progress pengerjaan proyek yang sedang ia pegang. Oiya, Bagas juga sudah dalam perjalanan pulang dari Surabaya ke Jakarta. Bagas enggak tahu kalau Kirana bertemu dengan Ibu nya hari ini karena Ibu sendiri yang meminta Kirana untuk tidak bercerita pada Bagas.
Tidak lama kemudian, pintu cafe terbuka. Kirana tersenyum karena mendapati wanita yang sudah melahirkan Bagas ke dunia itu datang. Pelayan yang tadi mengantar Kirana juga mengantarkan Ibu nya Bagas menuju kursi Kirana.
“Sore, Buk.” Kirana ingin menyalami Ibu nya Bagas, namun wanita itu langsung duduk dan enggan mengulurkan tanganya untuk Kirana salami.
Kirana meringis, hatinya agak sakit namun ia masih bisa memaklumi. Ia tidak boleh menyerah pada hubungan ini, ia yakin suatu hari Ibu nya Bagas bisa menerima dirinya. Ia hanya perlu sedikit usaha dan keteguhan hati untuk bisa merayu Ibu nya Bagas.
“Ibu mau pesan apa? Biar Kirana pesanin, Buk.”
Ibu menghela nafas, memperhatikan penampilan Kirana hari ini dari ujung kepala hingga kakinya. Seperti tengah menilai wanita yang seusia dengan putra sulungnya itu, dandanan Kirana khas karyawan kantoran biasa menurutnya.
“Tidak usah repot-repot Kirana, saya enggak lama,” jawab Ibu dingin. Kirana hanya mengangguk, ia juga tidak memesan apapun. Sungkan jika hanya ia yang memesan makanan atau minuman. “Langsung saja Kirana, niat saya bertemu kamu adalah untuk membicarakan hubungan kamu dengan Bagas.”
Kirana yang tadinya menunduk itu kini memberanikan diri menatap Ibu nya Bagas, “ada apa, Buk? Apa enggak sebaiknya kita bicara sama Bagas juga?”
Kirana cuma berpikir jika ini tentang hubunganya dengan Bagas, bukankah Bagas juga harus tahu, bukan?
“Oh enggak perlu Kirana, Bagas enggak perlu tahu. Maksud kedatangan saya bertemu kamu adalah, saya ingin memberi tahu soal pertunangan Bagas dengan Asri.”
Deg...
Hati Kirana mencelos, ia sudah tahu jika Bagas di jodohkan dengan Asri. Tapi dia sama sekali tidak mengetahui tentang pertunangan itu. “Maksud Ibu?”
“Begini Kirana, sebenarnya sebelum Bagas berangkat ke Surabaya harusnya Bagas dan Asri bertunangan. Tapi Bagas enggak datang ke acara itu, dia lebih memilih kamu. Pindah dari rumah, enggak mengunjungi orang tua nya, jadi anak pembangkang itu semua karena kamu.” Ibu benar-benar merasakan perubahan drastis sejak Bagas mengenalkan Kirana ke rumah mereka. Meski sudah berpacaran cukup lama, Ibu baru merasakan Bagas berubah sejak Kirana di perkenalkan pada keluarga mereka. Mungkin dampak penentangan hubungan mereka, makanua Bagas jadi seperti ini.
“Saya juga heran, apa yang kamu kasih ke Bagas sampai dia menjadi anak pembangkang seperti itu.” Ibu nya Bagas itu membuang pandanganya ke arah lain, melihat hiruk pikuk kota Jakarta menjelang magrib hari itu yang nampak sibuk.
“Saya minta sama kamu, Kirana. Dengan penuh hormat sebagai sesama wanita. Suatu hari kamu akan menjadi seorang Ibu, kamu akan merasakan sakit jika anakmu membangkang ucapanmu dan lebih memilih orang lain. Saya minta tolong ke kamu Kirana, jauhi Bagas. Biarkan dia bersama pilihan saya dan juga Ayahnya.”
Kirana berusaha mati-matian menahan air matanya agar tidak jatuh, ia menunduk. Meremas dress yang ia pakai hari itu dengan perasaan berkecamuk. Ia merasa dunia benar-benar jahat padanya, di saat ia memiliki sandaran. Semesta seperti berusaha keras memisahkanya dari Bagas.
“Ibu, boleh saya tahu kenapa Ibu segasuka itu sama saya? Apa saya pernah berbuat salah sama Ibu?” setidaknya Kirana harus mengetahui kenapa kedua orang tua Bagas sangat membencinya, mungkin dengan itu ia bisa menjadi lebih tahu diri atau mungkin ia bisa memperbaiki hal yang di benci kedua orang tua Bagas itu.
“Kirana seperti yang kita sama-sama tahu kalau menikah itu butuh kesetaraan, bukan? Apa kamu merasa setara dengan Bagas? Saya tahu, orang tua kamu dulu sangat berpengaruh. Punya perusahaan lampu kan? Tapi sayangnya itu semua dulu, Kirana.”
Air mata Kirana yang sedari tadi ia tahan akhirnya jatuh, jadi alasan orang tua Bagas sangat membencinya adalah karna orang tua nya bangkrut? Pikir Kirana.
“Karena orang tua saya sudah bangkrut, Buk?”
Ibu menghela nafasnya sekali lagi, sama sekali hatinya tak bergetar melihat Kirana menangis. Beliau justru merasa puas, dengan ucapanya itu Ibu berharap Kirana akan lelah dan menjauhi Bagas.
“Bapakmu bunuh diri karena depresi kan?” tanya Ibu yang membuat hati Kirana terasa di remas dari dalam. Ibu mengingatkanya pada kejadian traumatis sepanjang hidupnya itu.
“Keluarga kami adalah keluarga yang menjunjung tinggi mertabat dan keutuhan keluarga Kirana. Hal itu yang membuat saya enggak pernah setuju Bagas berhubungan dengan kamu, belum lagi hutang Bapakmu banyak kan?”
“Tapi saya enggak pernah melibatkan Bagas dalam masalah keluarga saya, Buk. Termasuk hutang Bapak saya,” jelas Kirana. Ia berusaha membela dirinya. Semua hutang Bapaknya, ia dan Ibu nya sendiri yang berusaha melunasinya.
“Iya saya tahu Kirana. Dan itu enggak mengubah cara pandang saya terhadap kamu, maaf Kirana. Saya mohon ya, kembalikan Bagas pada keluarganya. Saya ingin Bagas menikah dengan putri dari keluarga yang memiliki reputasi yang baik.”
Bersambung...