Bab 26. When Life Gives You Tangerines

Setelah pulang bertemu dengan Ibu nya Bagas, di perjalanan pulang Kirana hanya bisa melamun. Ia berusaha untuk menahan air matanya yang terus menerus menyeruak ingin segera di tumpahkan. Kata-kata dari Ibu nya Bagas terus terngiang di kepalanya, ia tidak lagi bertanya-tanya kenapa orang tua nya Bagas tidak menyukai nya.

Tapi disisi lain, hatinya juga sakit. Ia tentu tidak menginginkan hidup yang seperti ini. Tidak ada satu orang pun yang ingin berada di posisinya, setelah ini, Kirana masih bingung bagaimana hubunganya dengan Bagas, ia tidak yakin bisa menjauhi pria itu meski perlahan-lahan. Ia sangat menyayangi Bagas.

Katakan ini salahnya menjadikan Bagas sebagai sandaran hidupnya, ia terlalu menggantungkan Bagas dalam kebahagiaanya. Dengan langkah gontai, Kirana membuka pagar rumahnya. Ia agak sedikit terkejut karena mendapati mobil Bagas terparkir disana. Pria yang ia pikirkan sepanjang perjalanan pulang itu tengah duduk di teras bersama dengan Ibu nya.

Begitu melihat Kirana, pria itu berdiri. Tersenyum menyambut kedatangan wanita yang sedari tadi ia tunggu, sengaja Bagas tidak memberi tahu Kirana jika ia pulang ke Jakarta hari ini.

“Kok lesu banget, nduk? ini loh dari tadi Bagas nunggu kamu,” ucap Ibu begitu Kirana menyalaminya.

Bagas juga memberikan tanganya untuk Kirana salami namun Kirana hanya tersenyum sembari menepis tangan itu penuh gurau. Mereka sudah biasa seperti itu, Bagas hanya bercanda dan Kirana menanggapinya juga dengan candaan.

“Apaan sih.” Kirana terkekeh, “Kirana tadi habis meeting sama Mas Satya, Buk. Makanya lama.” Alibi nya, Kirana berharap Bagas tidak akan bertanya pada Satya karena kenyataanya ia bertemu dengan Ibu nya Bagas alih-alih meeting dengan Satya.

“Yasudah, Ibu masuk ke dalam ya. Temani Bagas dari tadi dia nungguin kamu.” Ibu mengusap pundak putri sematawangya itu.

Kirana hanya mengangguk, sepeninggalan Ibu. Kirana duduk di kursi yang bekas Ibu tempati tadi dan menghela nafasnya pelan, bingung harus bereaksi seperti apa pada Bagas. Ia tidak membenci Bagas atau pun ingin melampiaskan kekesalanya terhadap Ibunya pada Bagas, ia tidak sampai hati melakukan itu. Bahkan Bagas sendiri pun tidak tahu kalau Ibu nya bertemu dengannya hari ini.

“Kok enggak ngasih tau aku kalau pulang hari ini?” Tanya Kirana membuka percakapan di antara mereka.

“Sengaja biar surprise.” Bagas tersenyum. “Aku bawain oleh-oleh buat kamu sama Ibu.”

Kirana mengerutkan keningnya, “bawa apa?”

“Lapis Surabaya sama tahu tek,” Bagas tersenyum. “Di makan ya.”

Kirana hanya mengangguk pelan, tidak menatap Bagas lagi. Ia hanya memperhatikan lampu taman di rumahnya, hatinya masih sangat kacau. Meski ia sangat merindukan Bagas.

“Sayang?” Panggil Bagas, membuat Kirana menoleh.

“Hm?”

“Kok diam?”

Kirana menggeleng pelan, “gapapa, capek aja.”

“Kamu udah makan?”

“Udah, tapi kalau kamu mau ngajak makan. Aku kayanya masih sanggup buat nampung makanan,” Kirana senyum. biarkan kali ini ia egois, ia ingin menumpahkan seluruh rindunya pada Bagas malam ini. Urusan menjauhi Bagas seperti yang di minta orang tua nya itu biarlah ia pikirkan lagi nanti.

“Mau makan apa, non?” Bagas berdiri dan berjongkok di depan Kirana yang masih duduk di kursi kayu teras rumahnya. Pria itu menggenggam tangan Kirana dan mengusap punggung tanganya dengan ibu jarinya.

“Makan nasi bebek yuk? Kayanya enak deh, aku lagi capek banget. Pengen makan yang pedas-pedas.” Kirana berpikir mungkin dengan melampiaskan kesedihanya dengan memakan makanan pedas bisa sedikit mengobati hatinya.

“Boleh, pamit dulu sama Ibu gih.”

Setelah berpamitan sama Ibu nya Kirana, kedua nya langsung melesat untuk ke tempat warung bebek bumbu hitam pinggir jalan langganan mereka berdua. Untuk malam itu, Kirana banyak sekali mengobrol dengan Bagas ketika sedang makan. Bertukar hari-hari mereka kala mereka tidak bertemu, untuk sejenak Kirana melupakan sakit hati nya. Ia lega bisa melihat senyum Bagas lagi, senyum pria itu seperti pelipur lara bagi nya.

“Mas, es teh nya satu lagi ya,” ucap Bagas pada pemilik warung itu.

Kirana yang masih asik memakan bebek bumbu hitam itu menoleh, Bagas sudah bercucuran keringat. Pria itu memang tidak kuat makan pedas, Bagas sudah menghabiskan 2 gelas es teh manis.

Kirana terkekeh, “kamu tuh kalo gak kuat pedas tadi bisa pesan bebek goreng loh, sayang.”

“Enggak, lagi kepengen bebek bumbu hitam nya.”

“Tapi jadi kepedasan kan?”

“Ya dikit, abis liat kamu makan lahap banget kaya gitu aku juga jadi kepengen.” begitu penjaga warung nya mengatarkan es teh pesanan Bagas, pria itu langsung meminumnya buru-buru hingga setengah gelas nya.

“Kamu meeting apa sama Mas Satya tadi, sayang?” tanya Bagas tiba-tiba, pria itu melanjutkan makannya lagi.

“Bukan meeting yang gimana-mana sih, aku cuma minta bantuin buat cek laporan aku aja. Kemarin ada yang salah terus di tegur deh sama Pak Raga.”

“Tapi udah beres kan?”

“Udah kok.”

Bagas senyum, sebenarnya malam ini ia ingin sekali mengajak Kirana ke Bukit Bintang. Ia sudah menyiapkan film yang bisa mereka tonton dalam mobil, ya seperti camping tapi di dalam mobil gitu. Itu juga yang menjadikan alasan mobil mini cooper Bagas, kursi belakangnya ia lepas dan di gantikan dengan karpet bulu.

“Kamu capek gak hari ini?” tanya Bagas.

Kirana menggeleng pelan, “enggak, kenapa?”

“Ke Bukit Bintang, yuk? Kita camping disana. Nanti beli bandrek sama jagung bakar di jalan.”

Kirana enggak langsung menjawab, ia justru memperhatikan air kobokan yang ada di sebelah piringnya. Ia jadi kepikiran, jika memang suatu hari ia harus menjauhi Bagas. Jika Bagas terus membuat kenangan manis padanya seperti ini, kelak kenangan ini akan sangat menyakitkan jika akhirnya mereka tidak bersama.

“Sayang?” panggil Bagas membuyarkan lamunan Kirana, sebenarnya sejak Kirana pulang Bagas ngerasa pacarnya itu agak sedikit pendiam. Tapi Bagas cuma mikir mungkin Kirana sedang lelah saja, mengingat wanita itu bilang ia baru saja selesai meeting.

“Hm?”

“Ngalamun sih, mau gak? Mumpung besok weekend.

“Kamu yang telfon Ibu ya?”

“Aihhh siap sayang.” Bagas terkekeh, dia senang banget akhirnya Kirana mau ia ajak ke Bukit Bintang.

Di perjalanan menuju Bukit Bintang, mereka sempat berhenti di jalan untuk membeli kacang rebus,jagung bakar dan bandrek. Udaranya dingin karna Bukit Bintang memang berada di daerah pegunungan, begitu sampai di sana. Tidak banyak orang yang camping, dari bawah sini Bagas dan Kirana bisa melihat di bukit sana hanya ada beberapa lampu dari tenda yang menyala.

Mereka gak nanjak ke bukit, mereka memutuskan untuk bersantai di mobil saja. Menikmati pemandangan lampu kota malam itu, di temani angin sejuk dan juga udara yang masih bersih. Langit malam itu juga indah, ada bintang dan cuacanya terang tidak hujan.

“Mau nonton apa, sayang?” tanya Bagas, ia membuka MacBook miliknya dan membuka aplikasi untuk menonton film.

“Apa ya? Hmm..” gumam Kirana, ia memperhatikan layar MacBook itu sembari menggulirnya untuk mencari film apa yang cocok mereka tonton. Kirana enggak suka genre horor, dia lebih menyukai film dengan tema-teman slice of life menurutnya, banyak pelajaran hidup yang bisa di ambil dan terkadang sangat relate dengan dunia nyata.

“Ini aja ya?” Kirana menunjuk sebuah drama alih-alih film.

“Drama?” Bagas mengerutkan keningnya, ia membaca judul drama itu. Pemeran wanita dan pria nya sangat tidak asing di matanya. “When Life Gives You Tangerines? Apa nih, ketika hidup memberimu jeruk keprok?”

Mendengar celetukan Bagas yang terkesan asbun itu bikin Kirana terkekeh, ia menepuk pundak pria itu dengan gemas. “Iya tapi gak usah di translate ke bahasa Indonesia juga, jadi aneh kedengeranya tau.” protesnya.

“Ini pemeran ceweknya yang penyanyi itu bukan sih, Sayang? Kalau enggak salah Almira pernah nonton konser nya ya?” Almira memang pernah menonton konser banyak idol, salah satunya adalah konser dari pemeran wanita di drama itu.

“Iya, namanya IU cantik ya?”

“Cantikan kamu ah,” Bagas mulai memutar film nya, ia mengubah posisinya dari duduk menjadi tiduran. Ia menaruh kepala nya di atas paha Kirana sembari sesekali mengupas kacang.

Tidak ada obrolan saat drama itu di putar, hanya sesekali celetukan Bagas saja yang mengomentari akting dari para aktor dan aktris di drama itu. Drama yang sangat melankolis itu bahkan jauh lebih menyedihkan perasaan Kirana hari ini.

Di tengah-tengah episode 4, Kirana menitihkan air matanya. Drama itu memang sedih, tapi ia bukan menangis karena alur cerita drama nya. Melainkan menangisi dirinya sendiri, Bagas masih belum sadar Kirana menangis sampai akhirnya air mata Kirana jatuh tepat ke pipi Bagas.

Membuat pria itu menoleh ke arah wanitanya dan buru-buru mengubah posisinya menjadi duduk, “sayang, kenapa?”

Kirana terkekeh, hatinya perih tapi ia tidak ingin membuat Bagas khawatir. “Gapapa, drama nya sedih aja.”

“Kirain kenapa,” Bagas menarik bahu Kirana. Membawa wanita itu pada dekap nya. “Tapi cowoknya tuh keren ya?”

“Hm?” Kirana berdeham, “kenapa?”

“Iya, dia nemenin si cewek terus, siapa namanya tadi aku lupa.”

“Oh Aesun?”

“Ah iya, Aesun. Gwansik kelihatan perjuangin dia banget.”

“Um..” Kirana hanya mengangguk, ia sangat menikmati pelukan itu. Menghirup aroma Bagas sedalam-dalamnya, menjadikan aroma tubuh pria itu sebagai obat hatinya. “Kalo kamu bakalan kaya Yang Gwansik gak?”

Kirana cuma penasaran aja, walau sejauh ini. Ia selalu merasa Bagas selalu ada di pihaknya, membela nya dan memilihnya meski hubunganya dengan orang tua nya tidak baik-baik saja. Kalau boleh jujur, Kirana senang. Tapi di sisi lain, ia merasa telah merebut Bagas dari keluarganya dan Merusak hubungan mereka.

“Jelas lah, aku sayang banget sama kamu,” jawab Bagas tanpa sedikit pun keraguan.

“Kalau akhirnya gak sama aku gimana?” Kirana melonggarkan pelukanya pada pinggang Bagas, ia mendongak dan memperhatikan wajah pria nya itu.

“Aku acak-acak aja bumi berserta isinya.” Setelah Bagas mengucapkan hal itu, keduanya terkekeh. Kirana tahu Bagas hanya bercanda, padahal Kirana bertanya dengan serius.

“Oiya, sayang. Kamu masih mimpiin tentang Ayu?” Bagas cuma kepikiran aja, soalnya akhir-akhir ini Kirana juga udah enggak pernah cerita tentang mimpinya.

Kirana mengangguk, “masih.”

“Lama juga ya..” gumam Bagas, “mimpinya masih berlanjut kaya cerita?”

“Um.”

“Udah sampai mana?” Bagas penasaran sejujurnya, kenapa Kirana bisa mengalami mimpi berlanjut seperti sebuah cerita setiap kali dia tidur. “Aku... Masih ada di mimpi kamu?”

Alih-alih menjawab, Kirana justru menatap Bagas dalam. Ia mengingat akan Adi yang kehilangan pendengarannya, kalau mengingat Adi dan melihat Bagas. Kirana jadi tidak tega, menatap Bagas pun rasanya ia seperti menatap Adi. Ada kesedihan karena nasib tidak baik pria itu.

“Sayang?” panggil Bagas, ia sadar Kirana menatapnya dengan pandangan yang sulit di artikan, Bagas bukan risih. Dia cuma penasaran apa yang Kirana pikirkan ketika menatapnya seperti itu.

“Hm?”

“Tadi aku tanya apa coba?”

Kirana mengurai pelukan itu, ia menarik nafasnya dalam. “Adi masih ada kok, walau keadaanya gak baik-baik aja.”

Setelah Kirana mengatakan itu, keadaan agak hening sejenak. Bagas juga bingung kenapa perasaanya bercampur aduk saat ini, apalagi saat ia mengetahui kabar Adi dari mimpi Kirana.

“Ak..aku kenapa?” tanya Bagas gugup.

Kirana menggeleng, “aku gak bisa kasih tau kamu.”

“Kenapa, Na?”

Sebenarnya Kirana bisa saja bercerita pada Bagas, tapi akan sangat sulit untuknya selain karena nasib Adi yang piluh. Bagas juga mungkin tidak akan merasakan rasanya bermimpi dalam jangka waktu yang lama, menguras seluruh emosinya dan mimpi yang terus berlanjut.

“Apa itu bikin kamu gak nyaman? Kalau iya, aku gak akan tanya-tanya lagi.” Bagas hanya tidak ingin membuat Kirana enggak nyaman karena ia bertanya tentang mimpinya.

Kirana takut Bagas salah paham, jadi ia peluk lengan pria itu yang kini tengah sibuk membersihkan bekas sisa makan mereka di mobil.

“Aku bukan gak nyaman, aku cuma gak tega mau ceritanya. Karena benar-benar nguras perasaan aku banget. Cuma ada sedikit bagian bahagia di mimpi itu,” jelas Kirana.

“Iya gapapa.” Bagas mengerti, ia mengusap-usap punggung Kirana karena merasa tidak enak.


“Begini Kirana, sebenarnya sebelum Bagas berangkat ke Surabaya harusnya Bagas dan Asri bertunangan. Tapi Bagas enggak datang ke acara itu, dia lebih memilih kamu. Pindah dari rumah, enggak mengunjungi orang tua nya, jadi anak pembangkang itu semua karena kamu.”

“Bapakmu bunuh diri karena depresi kan?”

“Keluarga kami adalah keluarga yang menjunjung tinggi mertabat dan keutuhan keluarga Kirana. Hal itu yang membuat saya enggak pernah setuju Bagas berhubungan dengan kamu, belum lagi hutang Bapakmu banyak kan?”

Raga mengehela nafasnya, tubuhnya sudah berada di atas ranjang untuk siap terlelap malam ini. Namun suara dan kata-kata yang menyakitkan itu terus bergema di kepalanya, bagaimana bisa seorang Ibu berkata seperti itu pada wanita muda lain? Yang bahkan ia sendiri memiliki anak seorang wanita juga.

Sore itu, Raga memang tidak sengaja mendengar obrolan menyakitkan itu di cafe. Ia sendiri awalnya tidak berniat menguping atau bahkan berniat membuntuti Kirana, ah tidak. Bahkan Raga datang lebih dulu. Tadinya ia hanya ingin menyelesaikan beberapa pekerjaanya di cafe, sembari menikmati secangkir kopi dan kudapan di sana.

Namun siapa sangka jika ia bertemu Kirana, sore itu, Raga memang sengaja tidak menyapa Kirana, ia melihat jika wanita itu mungkin ingin bertemu seseorang yang spesial. Terlihat dari bagaimana ia memakai baju, make up dan juga membawa bunga matahari yang ia bawa di tanganya.

Raga fokus pada pekerjaanya sampai tiba obrolan itu terdengar sangat menyakitkan di telinganya, itu bukan tertuju untuknya. Untuk Kirana tapi Raga juga seperti ikut merasakan sakitnya. Kirana di hina, di anggap tidak pantas bahkan harga dirinya di jatuhkan oleh Ibu dari pria yang ia sangat cintai.

Raga berbalik untuk kesekian kalinya, mengubah posisinya dari tiduran menjadi duduk. Ia menatap buket bunga matahari yang Kirana bawa dan di tinggal di kursi cafe itu, Raga bawa buket itu pulang dan ia pindahkan bunga itu di dalam vas.

“Kok bisa ada Ibu yang sejahat itu?” gumam Raga.

Ia keluar dari kamarnya dan berjalan ke arah balkon, menikmati semilir angin malam itu. Berusaha untuk melupakan kejadian menyakitkan tadi sore. Pikiranya melaung kemana-mana, memikirkan kejadian tadi sore lalu kemudian memikirkan arti dari mimpinya yang urung memberikan jawaban.

“Aneh kalo di pikir-pikir, kalau benar mimpi itu kehidupan sebelumnya punya gue. Di kehidupan sebelumnya gue sama Kirana pacaran? Jayden janji mau menikahi Ayu, tapi di kehidupan ini justru gue gak sama Kirana?” gumam nya pada diri sendiri.

“Tapi Ayu juga nikah sama Dimas, tapi di kehidupan ini. Dimas justru udah menikah dan punya satu orang anak, ah enggak-enggak. Raka duda, dia cerai sama istrinya,” ralat Raga.

Iya, Raga sudah tahu kalau Raka seorang duda yang memiliki satu orang anak. Raka sendiri yang cerita saat makan siang, walau Raga enggak begitu menanggapi ceritanya. Pria yang ternyata lebih tua darinya dua tahun itu cukup ramah, berbeda dengan karakter Dimas di dalam mimpinya.

“Itu artinya, ada sesuatu yang berubah? Kayanya gue emang harus nunggu kelanjutan mimpi Kirana supaya bisa mikirin jawabanya..”

Bersambung