Bab 27. Pilu Membiru
Samarang, 1898.
Keeseokan harinya, ketika Ayahnya sedang mengajak Dimas ke toko roti milik keluarga Gumilar, Ayu memakai kesempatan itu untuk mengunjungi kediaman asisten residen Samarang, bukan Adi yang mengantar. Kondisi Adi semakin parah, bahkan pria itu sulit di ajak komunikasi sekarang ini. Ayu sudah membujuk Ibu nya untuk membantu keluarga Adi membawanya ke rumah sakit milik Belanda, tapi sayangnya sesampainya di sana Adi di tolak.
Untuk saat ini, keluarga Adi hanya mengandalkan pengobatan herbal dan berdoa agar Adi cepat pulih. Dokar yang di kendarai oleh kusir yang kini bekerja di rumahnya itu berhenti di kediaman asisten residen Samarang, Ayu turun perlahan-lahan dari dokar itu dan langsung di sambut oleh penjaga kediamanya. Seorang pria Belanda yang tingginya menjulang, bahkan Ayu harus mendongak agar bisa bertatapan dengan pria itu.
“Pardon, ik zoek de mener Jacob De Houtman.” (permisi, saya mencari Tuan Jacob De Houtman.)
Penjaga kediaman asisten residen itu menelisik penampilan Ayu, ia tidak tahu Ayu siapa. Tapi bisa ia pastikan Ayu bukan dari kalangan rakyat biasa, terlihat bagaimana dokar milik wanita itu yang tidak biasa dan kebaya yang dikenakannya.
“Wat heb je nodig?” (ada keperluan apa?)
“Ik moet hem iets vragen.” (ada sesuatu yang ingin saya tanyakan padanya.)
Penjaga itu tampak menimang-nimang, namun akhirnya Ayu di izinkan untuk masuk ke kediaman itu, di pintu masuk terdapat ruang tamu. Ayu di persilahkan untuk duduk disana, namun pikirannya makin berkecamuk setelah ia melihat foto residen dan wakil residen yang di pajang di ruangan itu.
Tidak ada foto Jayden disana yang setahu Ayu masih menjabat sebagai asisten residen Samarang, justru dua pria Belanda yang tampak asing bagi Ayu. Sungguh, pikirannya makin tidak karuan seperti hatinya baru saja di remas dari dalam membuat perasaan tidak nyamannya kian menjadi-jadi.
“Selamat siang,” ucap seseorang dari belakang Ayu, suara barinton nya membuat Ayu terkesiap dan menoleh ke belakang.
Seorang pria Indo, tubuhnya tinggi dan wajahnya perpaduan pria Asia dan juga Belanda. Matanya berwarna kecoklatan, dan kulitnya putih bersih meski tak sepucat pria Belanda lainya.
“Saya Djenar Ayu Asutiningtyas.” Ayu menjabat tangan pria itu, pria Indo yang ramah pada pribumi, pikirnya.
“Raden Ayu?” Tebaknya yang membuat Ayu mengangguk.
“Syukurlah, tiba saatnya kau datang.” Pria itu duduk di kursi yang ada di ruang tamu itu, tanganya terulur, menunjuk salah satu kursi di sana dengan ibu jari nya mempersilahkan Ayu untuk duduk juga di salah satu kursi yang ada di sana.
Ayu mengeluarkan secarik kertas pemberian dari Adi beberapa hari yang lalu, dan seperti benda ajaib. Pria itu langsung mengangguk dengan raut wajah yang piluh namun juga ada kelegaan yang tergambar jelas di netra kecoklatan miliknya.
“Saya akan membawa Raden Ayu ke kebun belakang, saya akan jelaskan di sana. Apakah Raden Ayu tidak keberatan?”
Ayu menggeleng, meski hamil besar. Ayu masih kuat berjalan pelan-pelan meski rasanya nafasnya tercekat. “Tidak apa-apa.”
Pria itu berdiri, “mari, ikuti saya. Saya akan menunjukan sesuatu yang menjadi milik anda.”
Ayu akhirnya ikut berdiri, langkah kakinya yang kecil-kecil karena mengenakan kain itu berusaha menyamai langkah kaki Jacob yang melangkah besar-besar. Di bawanya ia ke sebuah kebun yang penuh dengan melati-melati di sana, harum. Itu lah kesan pertama yang Ayu katakan dalam batinnya saat ia tiba di sana.
“Kebun ini, saya yang membuat atas perintah Meneer Jayden,” jelas Jacob, ia memperlihatkan hasil tanganya yang ia tanam sendiri melalui bibit yang ia bawa dari rumahnya.
“Kebun melati ini milik Raden Ayu,” lanjutnya.
“Milik saya?”
Pria itu mengangguk, “Meneer Jayden membuat kebun ini karena Raden Ayu suka sekali dengan bunga melati, sering memakai hiasan bunga melati ini di kepala juga sebagai hiasan rambut.”
Jacob melirik ke rambut panjang milik Ayu yang masih di hiasi melati-melati, wangi kebun ini yang berasal dari bunga putih itu sangat menggambarkan harum Ayu sekali.
“Lalu.. Meneer Jayden kemana? Kenapa di ruangan tadi, tidak ada fotonya? Apakah masa jabatanya sudah selesai?” Akhirnya Ayu memuntahkan semua pertanyaan yang ada di kepalanya.
“Biarkan saya menjawabnya satu persatu, Raden Ayu. Saat ini, saya tahu anda pasti kebingungan. Saya akan menjelaskannya.” Tangan kanan Jacob, menunjuk sebuah kursi di kebun itu. Menyuruh Ayu untuk duduk di sana, Ayu menurut. Kedua anak manusia itu akhirnya duduk di sebuah kursi panjang berbahan bambu yang ada di sana.
“Meneer Jayden memerintahkan saya untuk membuat kebun ini serta merawat melati-melati ini untuk anda, sebagai hadiah dari pernikahan kalian, kelak kalian menikah nanti. Namun takdir berkata lain, semesta tidak merestui kalian bersama. Namun, Meneer Jayden tetap meminta saya untuk merawat melati-melati ini. Ia ingin suatu hari anda melihatnya.”
Jacob tidak menatap Ayu, matanya terus menerus menatap hamparan kebun melati itu yang nampak subur hasil tanganya. Bahkan melati-melati di kediamannya dulu kalah subur di banding melati yang ia tanam di kediaman asisten residen ini.
Perasaan Ayu yang mendapatkan penjelasan seperti itu semakin tidak karuan, ingin sekali ia bertemu dengan pria nya. Memeluknya jika memungkinkan dan mengatakan terima kasih karena sudah membuatkan kebun melati itu untuknya.
“Setelah Raden Ayu menikah, Meneer sempat sakit. Dokter sudah berusaha memberikan pengobatan untuknya, namun sakitnya urung membaik. Hari demi hari yang ia tunggu hanya balasan surat dari Raden Ayu yang bahkan sampai saat ini tidak mendapatkan balasan.”
Ayu masih bergeming, ia ingin sekali membalas surat itu. Namun geraknya selalu terhalang oleh Dimas dan juga para pekerja yang bekerja di rumah Dimas yang ada di Soerabaja.
“Raden Ayu tahu tentang penyerangan yang di lakukan oleh pribumi pada para pejabat kolonial?” Tanya Jacob.
Ayu menggeleng, ia tidak di izinkan membaca surat kabar oleh Dimas. “Tidak..”
“Ah,” Jacob mengangguk-angguk. “Sayangnya, maafkan saya harus menyampaikan berita seperti ini tetapi, hari itu Meneer Jayden menjadi salah satu korban nya. Ia di temukan tewas di salah satu ruangan di kantor keresidenan.”
Ayu terdiam di tempatnya, kabar dari Jacob itu tidak Ayu percayai sepenuhnya. Tidak mungkin Jayden menjadi salah satu korbannya, ia masih sangat ingin menemui pria itu bahkan jika ia hanya di perbolehkan melihatnya saja tanpa bertegur.
“Berita itu tidak benar kan, dia masih ada. Dia bahkan selalu berada di pihak pribumi bagaimana mungkin ia mati di tangan pribumi juga?” Ayu menahan tangis nya yang hampir saja pecah, kepalanya masih berusaha untuk meyakinkan dirinya jika Jacob hanya mengada-ngada.
“Saya harap juga seperti itu, tapi maaf Raden Ayu. Meneer Jayden memang sudah tidak ada, bahkan jasad nya di bawa ke negara asalnya. Sampai hari ini, para tentara Belanda masih memburu pelaku pembunuhan itu.”
Setelah mengatakan hal itu, Jacob meninggalkan Ayu di kebun melati itu sendirian. Jacob hanya berpikir jika mungkin wanita ringkih itu butuh waktu sendiri untuk mencerna semua berita tidak mengenakan untuknya, dari dalam rumahnya ia bisa mendengar isakan Ayu yang menyesakan.
Wanita itu terisak bahkan terbatuk-batuk menerima kenyataan jika Jayden benar-benar mati terbunuh, setelah di rasa cukup melampiaskan kesedihannya di kebun itu, Ayu pulang dengan dokarnya. Tangisnya masih terus pecah sembari sesekali ia mengatur pernafasanya, ia sesak dan beberapa kali batuk darahnya kambuh lagi.
Dokar yang di kendarai seorang kusir itu melaju sedikit kencang membelah kebun-kebun milik warga dan pedesaan, kusir yang bekerja untuk keluarga Gumilar itu panik mendapati Ayu yang terus terbatuk-batuk mengeluarkan darah.
Begitu sampai di kediamannya, kedua orang tua Ayu langsung menghampiri Ayu yang masih tergeletak lemas dalam dokar. Bahkan Dimas pun langsung berlari dan membawa Ayu keluar dari dokar itu.
“Panggilkan dokter Corlenis cepat!!” sentak Ayah Ayu, beliau panik bukan main begitu melihat Ayu tak sadarkan diri dengan darah di sekitaran mulut hingga dada nya.
Seorang pekerja di rumah keluarga Gumilar itu yang sudah menjadi tangan kanan bagi Tuan Gumilar langsung pergi ke kediaman dokter Cornelis, beliau adalah orang Belanda yang sudah menjadi dokter keluarga Gumilar, bahkan beliau yang juga mendiagnosis jika Ayu mengidap tubercolosis.
“Ayu? Sadar Ayu!!” Dimas menepuk-nepuk pipi istrinya itu.
“Ayu masih bernafas kan, Romo?” Ibu sudah terisak, beliau tidak tega melihat putri satu-satunya itu kembali terbaring lemah.
“Dokter Cornelis akan segera datang menyelamatkan Ayu.”
Setelah dokter Cornelis datang, Ayu di suntikan beberapa antibiotik, kondisinya jauh lebih stabil meski Ayu belum juga sadar.
“Dimas, kita harus segera mencari pengobatan untuk Ayu. Salah satu kawan saya di Batavia memberi kabar jika di sana ada dokter spesialis paru-paru yang bisa mengobati Ayu,” jelas dokter Cornelis, beliau melirik Ayu. Nafasnya sudah stabil, tapi jika di biarkan seperti itu terus menerus. Kuman yang berada di paru-paru Ayu akan semakin memperparah keadaanya.
“tetapi Ayu sedang hamil, dok. Apa tidak apa-apa jika ia menjalani pengobatan?” Dimas ingin mempertahankan anaknya, anak yang di prediksi berjenis kelamin laki-laki itu kelak akan menjadi penerus keluarganya. Ia tidak ingin kehilangan anak dalam kandungan Ayu.
“Setelah dia melahirkan, resiko nya cukup tinggi.”
Dimas menghela nafasnya pelan, setelah dokter Cornelis berpamitan. Pria itu kembali duduk di ranjang tempat Ayu berbaring, memperhatikan wajah pucat istrinya itu.
“Kenapa aku harus menikahi wanita penyakitan sepertimu, Ayu?”
Jakarta, 2025.
Pagi itu, ketika Raga keluar dari mobil yang di kemudikannya. bersamaan itu dengan Kirana dan Bagas yang juga keluar dari mobil, keduanya masih berangkat ke kantor bersama pagi ini. Raga terdiam di kursi kemudinya sejenak, memperhatikan dua anak manusia itu berjalan bersamaan sembari membicarakan sesuatu yang entah apa, Raga masih mengingat bagaimana Ibu nya Bagas datang menemui Kirana.
Bagaimana wanita itu menangis di kursi cafe setelah ibu dari pria yang ia cintai itu pergi, tapi pagi ini. Kirana masih bersikap seperti biasanya pada Bagas. Sejujurnya, Raga enggak tau ini perasaan apa, tapi dia merasa sangat bersimpati pada Kirana sekaligus salut, Raga berpikir jika wanita itu ingin tetap mempertahankan hubunganya dengan Bagas.
Menghela nafasnya dengan kasar, Raga membuka pintu mobilnya. Bersamaan dengan itu, ia juga bertemu dengan Raka. Pria yang lebih tua darinya 2 tahun itu terseyum ramah padanya.
“Pagi, Pak,” sapa Raka, ia berjalan beriringan dengan Raga.
“Pagi,” jawab Raga sekena nya.
Raka masih tampak canggung dengan Raga, di matanya Raga adalah seorang yang tidak banyak bicara. Walau kata Almira dan Satya, Raga cukup ramah untuk ukuran seorang atasan. Di depan lift ternyata mereka bertemu dengan Kirana, Bagas dan juga Almira yang sedang menunggu lift terbuka.
“Pagi-pagi udah sumringah aja, Mir?” sapa Raka begitu melihat Almira yang sedang senyum-senyum sendiri menatap layar ponselnya.
“Habis di antar sama gebetannya, Mas. Yang katanya mirip Lee Sangyeon The Boyz,” sahut Bagas.
“Betul itu!” Almira menjentikkan jarinya.
“Seganteng apa sih?” Raka sudah tahu kalau Almira itu Kpopers garis keras, ya gimana enggak 3 kali makan siang bersama wanita itu, Almira selalu membicarakan boy grup yang berbeda-beda.
“Ah, ini Mas Raka bukan? Yang gantiin Pak Ilyas?” tanya Bagas begitu melihat Raka yang berdiri tepat di belakangnya, Bagas sudah tahu perihal pengganti rekan kerjanya. Karena Raka bekerja di kantor arsitektur itu atas rekomendasi dari Pak Ilyas.
“Iya, benar, Reiraka Indra Soerja.” Raka menjabat tangan Bagas.
“Banyu Bumi Bagaskara, panggil Bagas aja.”
“Wah, namanya unik. Kalo di singkan bisa jadi BBB ya?” Raka kemudian tertawa dengan leluconnya sendiri, sementara itu Almira, Kirana, Bagas dan Raga yang sedari tadi diam hanya melihat ke arah Raka secara bersamaan. “Hehe gak lucu ya?”
“Garing banget Mas Raka,” celetuk Almira.
“Lucu kok, Mas. Hehehe.” Bagas yang tidak enak tertawa sedikit, enggak enak sama Raka yang udah berusaha membangun lelucon pagi itu.
Begitu pintu lift terbuka, kelimanya langsung masuk secara bersamaan. Berbarengan dengan karyawan-karyawan yang lainnya, di dalam lift, Kirana bersebelahan dengan Raga. Saking penuhnya pagi itu, Bahkan Bagas jadi berada di paling depan. Dekat dengan tombol lift.
“Kirana?” panggil Raga, sejujurnya ada hal yang ingin Raga tanyakan pada Kirana. Terutama soal kelanjutan mimpinya.
“Ya, Pak?”
“Ada yang saya mau bicarain, setelah jam makan siang. Tolong ke ruangan saya ya.”
Kirana hanya mengangguk, keduanya seperti bisa saling membaca pikiran. Kirana juga berpikir jika Raga ingin menanyakan kelanjutan mimpinya, mimpi semalam, menurut Kirana cukup menguras emosinya. Ayu kini telah mengetahui jika Jayden sudah meninggal, dan hal itu juga yang menjadikan kondisi Ayu dalam mimpinya kian memburuk.
Begitu sampai di meja kerjanya, Kirana duduk. Ia merasa tengkuknya sedikit pegal, sebenarnya Kirana merasa kurang sehat pagi itu. Namun karena harus meeting hari ini, ia terpaksa masuk bekerja.
“Kenapa, Mbak?” Almira khawatir, soalnya Kirana tuh jarang banget pakai minyak angin kalau di kantor. Dia cuma takut kalau Kirana sakit aja tapi tetap maksain kerja.
“Agak pegal,” jawab Kirana, badannya emang pegal bahkan cuma di sekitar leher saja tapi tangan dan kakinya juga. Kirana cuma mikir ini efek setress atau bahkan ada kaitannya dengan mimpinya.
“Mau pake koyo gak, Na?” di kursinya Satya mengangkat koyo yang selalu ia stok di laci kecil meja kerjanya, Satya yang paling sering lembur makanya dia selalu nyiapin koyo, minyak angin dan obat sakit kepala.
Kirana terkekeh, “enggak usah, Mas. Makasih. Masih bisa tahan ini.”
“Yaudah, kalo butuh obat-obatan ambil di laci gue aja ya. Gue lengkap banget ini.”
“Sejompo itu ya, Bang?” Almira meledek.
“Yee.. Belom ngerasain aja, ntar kalo udah umur-umur segini kerasa dah,” Satya membela diri.
Bagas dan Raka yang duduk bersebrangan itu cuma geleng-geleng kepala saja. Mereka tidak satu tim, namun dalam ruangan itu celotehan dan kekerabatan yang erat membuat ruangan itu menjadi lebih hangat. Suasannya sehat meski beban kerjanya sangatlah tinggi.
Jam makan siang ini, Kirana sempat di tawari untuk makan di restoran padang yang ada di sebrang kantor mereka sama Almira, tapi Kirana menolak. Hari ini dia membawa bekal, jadi Kirana hanya makan di meja kerjanya saja sambil mengerjakan progress proyek yang sedang ia pegang.
Kebetulan, Bagas juga pergi makan siang keluar. Dia nemenin Mas Satya juga buat nyari bahan maketnya, makanya tinggalah Kirana sendiri di meja nya. Kirana sempat berpikir jika Raga sudah keluar makan siang lebih dulu, namun ternyata laki-laki itu masih ada di ruanganya. Begitu ia keluar, Kirana sempat tersenyum dan Raga juga menganggukan kepalanya kecil.
“Makan, Pak.” tawarnya, Kirana sempat memerkan kotak bekalnya.
“Saya udah makan, Kirana.” Raga menghampiri Kirana, pria jangkung itu menarik kursi milik Almira yang berada tepat di samping Kirana. “Ada yang mau saya tanyain ke kamu, Na.”
“Ada apa, Pak?” Kirana memang hanya membawa roti bakar, jadi ia tutup kotak bekalnya itu demi menyimak obrolannya pada Raga.
“Soal mimpi kamu, Na.”
Kirana mengangguk kecil, “Bapak pasti mau tanya mimpi saya sudah sampai mana ya?”
“Hm.” Raga berdeham mengiyakan, “gimana sama Ayu, Na?”
Kirana menghela nafasnya pelan, agak menyesakkan menceritakan bagaimana Ayu dalam mimpinya. Tapi, ia harus tetap bercerita pada Raga agar bisa memecahkan apa arti dari mimpinya.
“Ayu sudah tau soal kabar Jayden yang jadi korban pembunuhan oleh pribumi yang menyerang kantor residen, Pak. Dia terpukul banget, sampai-sampai penyakitnya kambuh.”
“Terus?”
“Baru sejauh itu, Pak. Dimas dan keluarga Gumilar ada rencana membawa Ayu berobat menemui dokter yang ada di Batavia. Tapi sayangnya pengobatan itu gak bisa berlangsung saat itu juga karena Ayu sedang hamil.”
Raga mengangguk-angguk kecil, ia memijat pelipisnya pelan. Sangat menggantung, ia masih belum bisa memikirkan apa jawaban dari mimpi mereka. Masih seperti kepingan puzzle yang hampir lengkap namun komponen utamanya masih kurang.
“Adi, gimana sama dia, Na?” Raga jadi teringat sama pria pribumi miskin itu, ia sangat tahu kabar pria itu bagaimana. Raga hanya ingin tahu apakah Adi membaik atau tidak.
“Kondisi Adi semakin menurun, Pak. Telinganya masih gak bisa mendengar dan sekarang dia sakit-sakitan.”
Waktu Kirana menjelaskan hal itu, sontak mata Raga tertuju pada kursi milik Bagas yang kosong. Hanya ada jaket milik pria itu yang di taruh di sandaran kursinya saja.
“Masih seperti kepingan puzzle, Na. Saya belum bisa mikirin jawaban soal arti mimpi kita,” Raga pikir ia masih harus menunggu kelanjutan mimpi Kirana.
“Gapapa, Pak. Besok saya akan kasih tau Bapak kelanjutannya.”
Raga mengangguk, sebenarnya selain ingin bertanya tentang mimpi Kirana. Ia juga ingin menyampaikan kabar pada Kirana, mungkin wanita itu agak sedikit tidak menyukainya. “Na, sebenarnya selain tanya soal mimpi kamu, saya juga mau kasih kamu kabar yang mungkin kamu gak terlalu sukai tentang next proyek kamu.”
“Maksudnya, Pak?” Kirana mengerutkan keningnya bingung. Karena tumben sekali Raga memikirkan perasaanya, biasanya pria itu tidak begitu perduli jika bawahannya suka atau tidak dengan proyek yang ia berikan.
“Iya, jadi firma kita dapat klien. Namanya Pak Suryo, beliau itu owner dari restoran masakan padang yang ada di sebrang kantor kita.”
“Serius, Pak?!” pekik Kirana. “Yang restorannya itu ada dimana-mana?”
“Yup.” Raga mengangguk mengiyakan. “Beliau ingin kita bantu untuk proyek rumahnya, ya hadiah sih untuk pernikahan anak bungsu nya. Dan beliau percaya sama firma kita.”
“Jadi ini next proyek saya, Pak? Lalu kenapa jadi kabar yang gak menyenangkan buat saya?”
“Kamu akan kolaborasi sama Raka, Kirana.”
Bersambung“