Bab 28. Pancarona
Mobil yang Bagas kendarai itu ia parkir tepat di depan pagar rumahnya, sebelum turun dari sana. Ia sempat memandang pagar itu sebentar, sudah satu bulan lebih ia tidak menginjakan kakinya di rumah, tak melihat wajah Ibu dan Ayahnya bahkan Adiknya. Hari ini Bagas mengunjungi mereka, itu pun bukan dari hatinya sendiri, melainkan karena Kanes dan juga permintaan dari Asri.
Enggak ada yang berubah sedikit pun dari pagar kayu itu, bahkan halamannya yang di penuhi tanaman kesukaan Ibu. Masih terawat, hijau dan beberapa bunga bermekaran. Melepaskan seatbelt yang terpasang di tubuhnya, Bagas keluar dari dalam mobil. Membuka pagar rumahnya dan masuk ke sana. Baru saja tanganya menutup pagar, derap langkah kaki dari sandal rumahan itu terdengar memenuhi telinga Bagas.
“Mas Bagas?!” Pekik Kanes, “Ibu, Mas Bagas pulang, Buk!!” Wanita itu sedikit berteriak, ia kemudian berlari dan menghampiri Kakak laki-lakinya itu.
Alih-alih memeluk, Kanes justru meninju lengan berisi Bagas dengan bibir yang sedikit ia majukan, wanita itu cemberut. Kesal karena Bagas baru pulang hari ini padahal ia sudah seminggu di Jakarta.
“Gausah teriak-teriak heh! Pake mukul lagi, orang tuh kalo Mas nya pulang di sambut yang manis, di bikin teh kek, di siapin makanan kesukaanya kek,” protes Bagas. Ia terkekeh pelan saat bibir Kanes menirukan ucapannya itu.
“Ngapain! Mas aja gak ngasih tau mau pulang sekarang.”
Tidak lama kemudian, Ibu dari keduanya keluar dari rumah. Matanya berseri ketika melihat si sulung yang ia rindukan itu pulang.
“Bagas!! Ya ampun, Nak. Ibu kangen banget sama kamu..” Ibu langsung memeluk Bagas begitu si sulung menghampirinya untuk menyalaminya, hatinya lega, Bagas sudah mau pulang. Ibu berpikir jika ini pertanda baik, mungkin Kirana sudah mulai menjauhi putra kesayanganya itu. Makanya Bagas merasa putus asa dan akhirnya pulang, ia merasa usahanya membuahkan hasil.
“Maaf ya, Buk. Bagas baru bisa mampir, kemarin-kemarin Bagas sibuk banget di Surabaya.”
“Gapapa, Nak. Ibu kangen banget, Ibu sampai sakit mikirin kamu. Untung ada Asri yang ngerawat Ibu. Emang bener deh dia tuh calon menantu idaman sekali.”
Mendengar ucapan Ibu baik Bagas maupun Kanes merasa canggung, suasana hati Bagas yang tadinya menghangat karena mampir ke rumahnya itu juga jadi sirna begitu Ibu menyebut nama Asri.
“Bagas bisa sewa suster buat rawat Ibu loh, Buk. Jangan ngerepotin orang,” Bagas enggak menanggapi ucapan akan kata calon menantu itu, ia tidak ingin memulai perdebatan sama Ibunya.
“Enggak kok, malahan ini insiatif Asri sendiri buat rawat Ibu, Bagas. Ibu lebih ngerasa nyaman kalau di rawat sama Asri.”
“Ya tapi kan Asri juga bukan perawat, Buk. Dia juga punya kerjaan.”
“Benar kata, Mas Bagas, Buk. Lagian Kanes kan juga yang lebih paham, Ibu lupa ya kalo Kanes ini kuliah kedokteran?” Kanes mendukung ucapan Bagas.
“Ck,” Ibu mendecak dan menajamkan tatapannya saat bertemu dengan kedua mata Kanes, Ibu merasa Kanes tidak berada di pihaknya. “Kamu kan sibuk terus.”
“Ya tapi kan Kanes juga yang ngasih tau obat Ibu apa aja Ibu gak boleh makan apa aja—”
“Udah-udah, kita masuk yuk? Mas lapar mau makan masakan Ibu, Ibu masak apa?” Bagas menengahi meski ia memotong ucapan Kanes, ia tidak ingin Ibu dan Adiknya itu bertengkar, Bagas menggandeng Ibu masuk sembari menoleh ke arah Kanes yang berjalan di belakang mereka. Memberi kode pada Adiknya itu untuk tidak menanggapi lagi ucapan Ibu.
Ketiga nya makan malam bersama di meja makan, tidak lama kemudian, setelah ketiganya selesai makan malam. Ayah pulang, pria yang perawakannya mirip dengan Bagas itu tampak lega melihat putranya telah kembali ke rumah, namun tidak di pungkiri jika masih ada kekecewaan besar di hati sang Ayah perihal Bagas yang tidak datang ke acara pertungannya dengan Asri.
“Yah,” Bagas menghampiri Ayahnya, alih-alih di beri tangan kanan pria itu untuk di salaminya, Ayahnya justru mengangkat tangannya tinggi dan melayangkan sebuah tamparan yang mendarat tepat di pipi kiri Bagas.
Bagas kaget, pipi nya memerah dan telinganya berdenging agak nyaring karna tamparan dari Ayahnya itu. Ibu dan Kanes pun kaget, alih-alih sambutan hangat seperti yang di tunjukan oleh Kanes dan Ibu. Ayah justru malah menampar Bagas.
“Kurang ajar kamu, Bagas. Bikin malu orang tua saja!” Sentak Ayah.
“Yah!!” Ibu memperingati, namun suaminya itu enggan menggubrisnya.
“Kamu tahu tidak, Ayah malu sekali dengan orang tua nya Asri karena kamu tidak datang di malam pertunangan kalian.” Saking tidak enaknya dengan keluarga Asri, Ayah sampai-sampai harus mengucapkan maaf berkali-kali atas kelancangan putranya.
“Kan Bagas sudah jelasin sama Ayah dan Ibu kalau Bagas gak bisa sama Asri, Bagas punya Kirana, Yah,” Bagas pikir setelah ini orang tua nya bisa sedikit menerima keputusaanya, ternyata semuanya masih sama.
“Halah perempuan itu lagi, kamu udah di butain sama perempuan itu, Bagas. Kamu tahu tidak sih keluarganya seperti apa? Keluarganya terlilit hutang, bisnis orang tua nya bangkrut. Kalau kamu menikah sama dia—”
“Kirana enggak pernah minta Bagas buat bantu bayar hutang-hutang orang tua nya, Yah. Gak pernah..” Ucap Bagas menyela ucapan Ayahnya, kedua bahu pria itu naik turun berusaha meredam emosinya sendiri setiap kali Ayah atau Ibu nya menghina Kirana.
“Kalau memang Ayah dan Ibu enggak bisa menerima Bagas sama Kirana, Bagas enggak akan datang ke rumah ini lagi. Kalian mau enggak anggap Bagas bagian dari keluarga ini pun gapapa, toh selama ini Bagas enggak pernah di beri kesempatan ambil keputusan untuk hidup Bagas sendiri. Ayah sama Ibu selalu yang ambil kesempatan itu dengan alasan tahu apa yang terbaik buat Bagas!”
Bagas sudah cukup lelah, selama ini ia merasa orang tua nya cukup menyetir hidupnya. Ah, tidak. Bahkan keduanya yang terus mengambil keputusan di setiap pilihan hidupnya, dan kini, Bagas sudah lelah dengan hal itu. Ia ingin hidupnya sendiri.
Malam itu tanpa berpamitan kembali pada kedua orang tua nya, Bagas melangkahkan kaki keluar rumahnya. Kanes hanya bisa mengejar Kakak laki-lakinya itu hingga ke depan mobilnya, berusaha untuk menahan Bagas agar tidak pergi.
“Mas..Mas Bagas!!” Pekik Kanes, ia berusaha menyamai langkah kakinya dengan Bagas. Sampai akhirnya ia berhasil menarik tangan Bagas untuk ia tahan sebentar.
“Mas udah capek, Nes. Mas juga yakin kamu capek kan di atur sama Ayah dan Ibu?” Kanes memang sering bercerita hal ini pada Bagas, mengeluh jika ia sebenarnya tidak ingin masuk kedokteran. Semua Kanes lakukan karena itu pilihan orang tua nya.
“Iya, Mas.” Kanes menangis, ia juga merasa lelah. Tapi ia tidak bisa menentang orang tua nya, ia tidak memiliki keberanian itu. “Mas Bagas mau pergi lagi?”
Bagas menghela nafasnya pelan, tidak tega melihat Adiknya itu menangis. Ia paham jika Kanes juga mungkin tersiksa berada di rumah, mungkin yang Kanes takutkan ketika Bagas benar-benar tidak kembali ke rumah adalah, ia akan kehilang seorang pendengar. Karena selama ini yang bisa mendengar cerita Kanes hanyalah Bagas.
“Kita cuma pisah rumah, kalau Kanes mau ke rumah, Mas. Kan udah Mas kasih alamatnya, Mas masih tetap bisa dengarin cerita-cerita kamu.” Bagas menaruh kedua tanganya di bahu Kanes, wanita itu masih menangis.
Setelah Kanes tenang, baru lah Bagas bisa pulang ke rumahnya. Di perjalanan pulang, ia mengabaikan telfon dari Ibu nya. Ia masih belum ingin bicara dengan kedua orang tua nya itu, entah sampai kapan.
Samarang, 1898.
Sudah beberapa hari ini kondisi Ayu mulai membaik, ia masih sering berada di kamar untuk memulihkan kondisinya. Namun jika merasa sedikit bosan, kadang Ayu hanya duduk di teras rumahnya saja. Memperhatikan para pekerja di rumahnya yang tengah sibuk menjalankan tugas-tugasnya. Pagi itu, ketika Dimas sudah berangkat bersama Romo nya.
Ayu bangun dari ranjangnya, mencoba mencari surat yang di berikan oleh Jayden melalui Adi. Seingatnya, ia menaruh surat dengan kertas lusuh itu di nakas meja riasnya. Namun sudah nyaris ia keluarkan semua isinya, tidak ia dapati juga kertas bertuliskan untuknya itu.
“Kemana yah..” gumam Ayu.
Ia bangun dari kursi di depan meja riasnya, memegangi perutnya yang bertambah besar seiring dengan nafasnya yang kerap kali sesak akhir-akhir ini. Menurut dokter yang memeriksanya, kondisi paru-paru Ayu sangat memperihatinkan. Kuman dari tubercolosis di paru-parunya itu semakin parah karena selama ini Ayu hanya mengandalkan pengobatan herbal saja.
Dokter sudah mengingatkan pada suami Ayu dan kedua orang tua nya untuk selalu menjaga kebersihan, karena penyakit yang di derita Ayu ini memang menular. Bahkan dokter sudah memberikan peringatan pada Dimas jika ada kemungkinan bayi yang di kandung Ayu juga tertular penyakit dari Ibu nya.
“Iya, anaknya meninggal tadi subuh, Buk.”
“inalillahi.. kalau begitu nanti saya segera ke sana.”
Sayup-sayup Ayu mendengar suara Ibu nya tengah berbicara dengan orang lain, kalau tidak salah dengar ada yang meninggal? Tapi siapa? Pikir Ayu. Dengan langkah terdopoh-dopoh, Ayu berjalan keluar dari kamarnya. Menghampiri Ibu nya yang masih terduduk di meja ruang tamu sembari memeriksa laporan hasil dari perkebunan miliknya.
“Buk, sinten ingkang seda?” Tanya Ayu, ia duduk perlahan-lahan di bantu Ibu di kursi tamu.
Ibu yang di tanya seperti itu tidak langsung menjawab, Ibu menunduk seperti bingung ingin mengatakan apa pada Ayu. Ayu yang melihat perubahan di raut wajah Ibu nya itu semakin bertanya-tanya.
“Buk?” Panggilnya sekali lagi, Ayu juga menaruh telapak tanganya di pundak Ibu.
““Kowe ngaso dhisik nang njero, Yu. Mengko nek bojo-mu weruh kowe neng kéné, isa nesu.“
Ibu tampak mengalihkan pembicaraan dan itu semakin membuat kebingungan di kepala Ayu, “bosan di kamar, Buk. Ibu belum menjawab pertanyaan Ayu, Buk. Siapa yang meninggal, Buk?”
Ibu menelan saliva nya sendiri, seperti pertanyaan itu sulit ia katakan pada Ayu. Tidak ingin membuat putri satu-satunya itu kembali sakit jika mendengar berita duka yang datang dari keluarga Adi ini. Ya, Adi meninggal subuh tadi, pria malang itu sudah tidak kuat menahan sakit di kepala nya. Selama sakit, tidak pernah sekalipun kedua orang tua Adi membawanya ke dokter.
Bahkan keduanya menolak bantuan dari keluarga Ayu untuk membawa Adi ke dokter, mereka lebih memilih untuk tetap merawat Adi sendiri dengan pengobatan tradisional ala kadarnya saja.
“A..Adi, Yu,” jawab Ibu gugup.
Mendengar nama Adi di sebut, hati Ayu mencelos perasaanya berubah menjadi berkecamuk, hatinya menyangkal jika ia benar-benar mendengar apa yang telah di ucapkan Ibu nya. Mimpi buruk yang selalu Ayu takuti adalah di tinggal oleh orang-orang yang ia cintai, termasuk Adi.
Baginya Adi sudah seperti seorang kakak dan teman untuknya, ia lebih nyaman bercerita bahkan menjadi dirinya sendiri saat bersama Adi ketimbang dengan orang tua nya. Lalu, bagaimana jika Adi tidak ada? Ia sudah di tinggalkan oleh Jayden. Ia tidak sanggup menghadapi kenyataan jika Adi juga harus meninggalkannya.
“Ma..Mas Adi ke..kenapa, Buk?” Ayu kembali bertanya. Berharap ia benar-benar salah mendengar.
“Adi sudah tidak ada, Yu. Adi meninggal...” air mata Ibu mengembang tertahan di pelupuk matanya, meski Adi hanya anak dari pekerja di rumahnya. Ibu sudah menganggap Adi seperti anaknya sendiri juga, ia melihat bagaimana dahulu pasangan suami istri itu membawa Adi kecil saat keduanya bekerja.
Bahkan Adi kecil juga sudah membantu Ibu dan Bapaknya bekerja, ketika Adi dewasa. Pria malang itu berjanji akan terus menjaga Ayu. Dan sepertinya, janji itu benar-benar Adi tepati. Ayu yang mendengar kabar duka tentang Adi itu menangis, ia pergi begitu saja dari rumahnya tanpa mengenakan alas kaki, berlari menuju rumah Adi meski nafasnya tersenggal-senggal.
“AYU... AYU MAU KEMANA, NDUK?” teriak Ibu, Ibu tidak bisa pergi kemana-mana, akan ada tamu nanti siang.
“Parjo!! Kejar Ayu, Jo. Dia berlari ke rumah Adi!!” Ibu memanggil kusir yang biasa mengantarnya kemana-mana itu untuk mengejar Ayu, Ibu takut terjadi sesuatu yang buruk setelah ini pada kondisi kesehatan Ayu.
Di perjalanan, Ayu menangis, nafasnya sesak namun kaki nya terus berlari menuju rumah Adi, tak ia hiraukan dadanya yang sakit menjalar ke perut buncit nya itu. Yang ada di kepalanya saat ini adalah, ia ingin memastikan apakah ucapan Ibu nya itu benar.
Begitu ia sampai di depan rumah Adi, gubuk itu nampak ramai oleh para tetangga sekitar yang datang silih berganti memberi penghormatan pada Adi untuk yang terakhir kalinya. Kaki Ayu lemas, ia berjalan gontai masuk ke dalam gubuk itu bertepatan dengan jenazah Adi yang kebetulan akan hendak di mandikan.
“Mas Adi...” gumam Ayu lirih, ia jatuh terduduk. Memperhatikan wajah pucat Adi yang sudah terbaring kaku di atas amben.
Ayu menangis, memegangi dadanya yang terasa sesak. Sudah lengkap pula penderitaanya di tinggal orang-orang yang ia sayangi dalam hidupnya, isi kepalanya hanya ada tanya kenapa Tuhan menghukumnya? Apa dosa yang telah ia lakukan sampai semua yang ia sayangi di renggut dengan cara paling menyakitkan?
“Raden Ayu... Adi sudah tidak ada.. Maafkan dia kalau dia pernah berbuat salah padamu yah,” Ibu nya Adi itu berjongkok di sebelah Ayu, mengusap rambut panjang wanita ringkih itu dan membawanya ke pelukannya.
“Kenapa Mas Adi pergi, Buk...”
“Adi sudah tidak kuat, Raden Ayu.”
Sayup-sayup adegan menyedihkan itu sirna di gantikan dengan guncangan yang Kirana rasakan pada tubuhnya, seseorang seperti tengah memanggil namanya berkali-kali. Dan ketika ia membuka matanya, ia kaget bukan main karena ada Ibu yang duduk di sisi ranjangnya.
“Buk...” ucap Kirana, ia bangun dan betapa bingungnya ia waktu melihat wajah Ibu panik sekaligus khawatir saat melihatnya.
“Kamu mimpi apa, Na? Kamu nangis loh sampai setengah teriak.”
“Hah?” Kirana bingung, ia perlahan meraba mata hingga wajahnya sendiri. Ibu benar, matanya basah dan dia menangis. Seketika ingatan akan mimpi jika pria miskin bernama Adi itu memenuhi kepala Kirana.
Hatinya sakit, pikirannya melambung tinggi akan Bagas. Ia tahu jika Bagas bukan Adi, namun memastikan keadaan pria itu baik-baik saja setelah mimpi buruk yang menimpa Adi dalam mimpinya itu, sudah seperti sebuah keharusan untuknya.
Kirana meraba ranjangnya, mencari ponsel miliknya kemudian menelfon Adi. Wanita itu mengambaikan Ibu yang masih separuh khawatir, namun ketika melihat Kirana butuh waktu untuk menjelaskan. Ibu memilih untuk keluar kamar, sedangkan Kirana masih sibuk dengan gestur tubuh yang gelisah menunggu panggilannya di jawab oleh Bagas.
“Kamu kemana sih?!” gumam nya gelisah.
Tak lama kemudian suara Bagas terdengar di ponsel milik Kirana, “hallo, sayang? Kenapa? Aku habis mandi.“
Mendengar suara Bagas yang nampak baik-baik saja, Kirana memejamkan matanya. Hatinya yang gundah gulana pagi itu agak sedikit tenang. “Gapapa, cuma mau mastiin kamu udah bangun aja. Ya.. Yaudah, aku siap-siap dulu ya, sayang.”
bersambung...