Bab 3. Dia adalah Djenar Ayu Astutiningtyas
Samarang, 1898.
Tidak ada hentinya pria kolonial itu mengulas senyum di wajahnya, selepas makan siang kedua anak manusia itu memilih untuk duduk di taman dekat pasar, Ayu banyak sekali bercerita tentang kegiatan baru nya. Jayden hanya tersenyum, matanya tak lekang memandang sang gadis pribumi berparas dahayu itu.
Rambut panjang yang selalu ia kepang, dan hiasi dengan bunga melati yang wangi nya selalu semerbak, bunga kesukaan Ayu. Rambut nya harum karena bunga itu. Ia selalu menghiasinya dengan bunga itu.
“Ayu?” Panggil Jayden tiba-tiba, membuat si gadis pribumi itu menoleh ke arahnya.
“Iya?”
“Apa warna kesukaanmu?”
Ayu tersenyum, selama berkencan dengan Jayden. Ayu enggak banyak bertemu dengannya, berbicara banyak dengannya karena sangat sulit bertemu dengan Jayden seperti ini. Jayden sangat sibuk sebagai seorang asisten residen, sedangkan Ayu harus pandai mencuri-curi waktu untuk bertemu dengan Jayden oleh romo nya.
Keduanya bertemu dan kenal di Soerabaja, saat Romo mengajak Ayu untuk menghadiri acara peresmian Bupati di sana. Bupati itu adalah kawan Romo, dan kebetulan Jayden ada di sana. Ayahnya adalah mantan Residen di sana jadi Jayden di undang sebagai perwakilan Ayahnya. Ayahnya sedang sakit kala itu.
“Saya suka warna putih, Sir Jay.”
“Itu sebab nya kebaya yang kau pakai selalu warna putih ya?” Selama ini Jayden selalu memperhatikan kebaya-kebaya yang di pakai oleh Ayu, kebanyakan warna putih. Namun beberapa kali Jayden juga mendapati kebaya yang Ayu pakai berwarna hitam dan coklat.
“Benar, bagaimana dengan Sir Jay sendiri?”
“Sama sepertimu.” Seulas senyum hadir di wajah Jayden, ia tidak punya spesifik warna yang menjadi kesukaanya. Tapi kini berubah, apapun yang Ayu sukai. Maka Jayden akan menyukainya juga.
“Benarkah?” tanya Ayu sekali lagi. “Sejujurnya saya membuatkan sesuatu untuk Sir Jay pakai, tetapi belum selesai saya buat. Memang bukan berwarna putih seperti kesukaan kita, tapi saya yakin. Sir Jay akan tampan dan gagah jika mengenakannya.”
Kegiatan baru Ayu adalah menjahit, ia di ajari oleh penjahit pakaian keluarganya. Ayu tidak di perkenankan keluar oleh Ayahnya selain sekolah, setelahnya pun ia akan langsung pulang. Tidak banyak kegiatan di luar rumah yang di lakukan oleh Ayu. Namun, menjahit kini membuatnya merasa jauh lebih hidup.
“Kau buat apa?” ucapan Ayu membuat Jayden penasaran tentang apa yang di buat gadis muda itu.
“Datanglah ke toko kopi tadi seminggu lagi, sebelum Sir Jayden pergi ke Soerabaja. Saya akan memberikannya pada anda.”
Seusai bertemu dengan Jayden, Ayu dan Adi langsung kembali ke rumah. Hari sudah semakin sore ia yakin Romo pasti sudah mengkhawatirkannya, terlebih hari itu mendung seperti sebentar lagi Samarang akan segera di guyur hujan. Adi yang mengemudikan dokar itu melajukannya agak sedikit lebih cepat, ia tidak ingin Ayu kehujanan.
“Mas Adi?” panggil Ayu, Ayu memang memanggil Adi dengan sebutan 'Mas' Adi lebih tua 2 tahun dari nya, namun Adi sendiri melarang Ayu memanggilnya begitu, menurutnya Ayu tidak perlu memanggilnya begitu karena ia hanya seorang yang bekerja di ladang milik Romo nya.
“Iya, Raden Ayu?”
“Seminggu lagi temani aku bertemu dengan Sir Jeyden lagi ya? Aku mau memberikan surjan buatanku untuknya.” Ayu menjahit surjan itu sendiri, ia ingin melihat Jayden memakai buatan tangannya sendiri.
“Baik, Raden Ayu.”
Dokar yang di kemudikan Adi itu sudah berjalan cukup cepat, namun sayangnya hujan deras tetap mengguyur Samarang sore itu. Keduanya basah kuyup kehujanan, untung saja mereka segera menemukan sebuah gubuk tak berpenghuni tak jauh dari sana.
Adi tidak memperdulikan tubuhnya yang basah akibat hujan, ia hanya mengkhawatirkan Ayu. Gadis kecil itu tampak pucat dengan tubuh mengigil berjongkok sambil menggosokan kedua tangannya ke lengannya.
“Raden Ayu, maafkan saya. Hujannya begitu deras, maaf saya terlambat menemukan tempat untuk berteduh.” Adi bingung harus apa, ia tidak membawa kain untuk menyelimuti tubuh Ayu yang mengigil.
“Mas Adi...” tubuh kecil nan ringkih itu gemetar, melati-melati yang ada di rambut Ayu itu berjatuhan karena terkena tetesan air dari atap gubuk yang sudah tua itu. “Dingin, Ayu mau pulang..”
Adi tidak berpikir panjang lagi, hanya bisa membuka baju dari kain jarik yang ia kenakan itu untuk menyelimuti Ayu. Tidak perduli tubuh bagian atasnya itu tidak mengenakan apapun terkena angin dan hujan, yang terpenting anak majikannya itu tidak kedinginan. Adi juga senantiasa memayungi Ayu dengan telapak tangannya yang besar agar air yang menetes dari atap gubuk yang sudah tua itu, tidak mengenai kepala Ayu.
“Tahan sedikit lagi Raden Ayu, begitu hujan reda. Saya akan melajukan dokar dengan cepat agar kita cepat sampai ke rumah.”
Yang Adi khawatirkan adalah Ayu, hanya anak majikannya itu. Fisik Ayu tidaklah kuat, ia ringkih. Ayu sakit tiap kali ia kelelahan gadis kecil bertubuh kurus itu akan batuk darah, kedua orang tua nya sudah sering membawa Ayu ke dokter, memberinya obat-obatan herbal, namun belum membuahkan hasil.
Makanya walau umurnya akan menginjak 19 tahun satu bulan lagi, Ayu masih bersekolah. Ia sempat berhenti karena penyakit yang di deritanya itu. Begitu hujan sudah redah, Adi buru-buru membawa Ayu pulang. Gadis ringkih itu bersandar pada punggungnya. Ayu tertidur dengan tubuh mengigil karena kedinginan.
(visualisasi rumah Ayu di tahun 1898)
Tuan Gumilar selaku Ayah dari Ayu itu sudah berdiri di depan pintu dengan air wajah yang kurang bersahabat, beliau memang di kenal sebagai seorang saudagar yang tegas tidak hanya pada para pekerjanya, tetapi juga dengan anak sematawayangnya itu.
“Seko ngendi wae koe gowo Ayu? Nopo kok iso kudanan?!” nada tinggi yang berasal dari suara Tuan Gumilar itu membuat Adi sedikit kaget.
“Nyuwun Pangapunten, Ndoro.“
“Romo, ampun ndukani Mas Adi.” Ayu bergumam, ia sudah di selimuti oleh kain yang di bawakan oleh Ibu nya. Dengan sisa-sisa tenaga yang masih ada, Ayu berusaha menjelaskan semampunya. ia tidak ingin Adi di marahi oleh Ayahnya.
“Ayu sing nyuwun dianterno Mas Adi jalan-jalan.”
“Ketemu sopo koe? Lungo ning ngendi? Dolan karo konco-konco londho kui?” Romo sangat membenci ketika Ayu bermain dengan anak-anak eropa. Walau berstatus sebagai seorang siswa di HBS, romo tetap tidak mengizinkan Ayu bermain dengan para Belanda itu.
Di tempatnya Adi hanya diam, ia menunduk. Tidak berani menatap Tuan Gumilar yang tampak marah itu. Ia tidak ingin ucapannya itu membuat majikannya bertambah marah, bagi Adi. Menjadi pekerja di rumah Tuan Gumilar sudah sangat menyelamatkan hidupnya dan orang tua nya. Beberapa kali Adi dan kedua orang tua nya di sambangi oleh Tentara Kolonial, mereka juga sering kali bersikap kasar dengan keluarga Adi.
Tuan Gumilar lah yang menyelamatkan mereka, mempekerjakan mereka dan melindungi mereka. Sebagai seorang Priyai di Samarang, keluarga Ayu memiliki kedudukan yang sama dengan para Belanda. Mereka tidak bisa berbuat semena-mena dengan keluarga Ayu dan karyawan-karyawan nya.
Terlebih Ayah Ayu adalah seorang saudagar, Ayu dan keluarganya adalah distributor pemasok roti terbesar di Jawa Tengah, roti-roti itulah yang akan di kirimkan kepada orang-orang Belanda dan juga tentara Kolonial.
“Nyuwun pangapunten, Romo. Ayu sampun nggawe Romo kuwatir, tapi Ayu mboten madosi sinten-sinten, Ayu namung jalan-jalan. Ayu kepingin menghirup udara segar.“
“Koe kui bocah wedok, pie nek ning dalan koe diculik karo londho-londho kae? Koe isone nggawe angele Romo.“
“Nyuwun Pangapunten e, Romo.“
“Seko saiki, nek mulih sekolah koe kudu ndang mulih, Romo ora peduli koe bosen. Nek pingin howo seger, mlaku mlaku ning kebon.“
Ibu yang sedari tadi mengeringkan tubuh Ayu itu hanya bergeming, tidak berani melawan Suaminya itu. Setelah nya Ayu di bawa masuk oleh Ibu nya ke dalam kamarnya, meninggalkan baju Adi yang tadinya bertengger di bahu Ayu itu jatuh ke lantai. Adi yang masih bersimpuh di depan Tuan Gumilar itu hanya diam, memperhatikan baju nya yang jatuh ke lantai.
Siang itu Raga memilih makan siang di sebuah restoran makanan khas minang tak jauh dari kantor nya berada, namun sebelum masuk ke dalam restoran itu. Ada beberapa pedagang jajanan pasar yang mangkal di depan restorannya, Raga berdiri di sana sebentar, melihat kue yang di bungkus dengan daun pisang. Kue yang belum pernah ia coba sebelumnya.
“Gak masuk, Pak?” itu Satya, Raga memang makan siang bersama Satya dan karyawan-karyawan laki-laki lainnya.
Raga bukan atasan yang kaku kok meski raut wajahnya kerap kali menampilkan keseriusan, ia sangat santai. Enggak harus membicarakan pekerjaan saja dengannya, ia pandai mencari topik obrolan lain.
“Duluan aja, Sat. Saya mau beli ini dulu buat anak-anak di kantor.” Raga menepuk pundak Satya, membiarkan bawahannya itu masuk lebih dulu untuk mencari kursi.
Jagaraga berjongkok di sana, Ibu-Ibu berumur sekitar 55 tahun itu tersenyum begitu melihat Raga melihat dagangannya, maklum saja, Berjualan di area pertokoan yang di kelilingi gedung tinggi perkantoran agak sedikit sulit, kebanyakan karyawan di sana lebih gemar makan fast food atau bahkan mampir ke coffe shop. Anak-anak muda sekarang sudah jarang yang menggemari jajanan pasar.
“Ini kue apa namanya, Buk?” Raga mengambil satu kue yang di bungkus dengan daun pisang itu.
“Nagasari, Mas.”
“Nagasari?”
Ibu-Ibu itu mengangguk, Raga masih asing dengan nama kue itu. Memang belum pernah memakannya sebelumnya. “Isinya pisang, di luar nya itu tepung beras, rasanya manis. Mas nya bisa cicipi dulu kalau mau membeli.”
Lumayan lama Raga memperhatikan kue yang ada di genggaman tangannya itu, seolah-olah kue itu adalah sesuatu yang berharga berisi sebuah kenangan, si Ibu-Ibu pedagangnya saja sampai keheranan sendiri.
“Saya mau ya, Buk,” ucap Raga pada akhirnya.
Wajah si Ibu sumringah, seperti ia tengah mendapatkan lotre. Sedari tadi memang dagangannya belum laku dan Raga adalah pembeli pertamannya hari ini, meski di awal Ibu itu mungkin berpikir jika gerak gerik Raga agaklah aneh.
“Mau berapa, Mas?” si Ibu mengambil kantung plastik putih untuk mengantongi kue nagasari itu.
“Semuanya.”
Begitu selesai membayar jajanan pasar yang ia beli, Raga langsung masuk ke dalam restoran. Ia dengan mudah menemukan rekan-rekan kerjanya di sana, ia menaruh kantong plastik berisi kue nagasari yang hampir penuh itu di atas meja, membuat Satya dan Bagas saling melempar pandangan bingung.
“Beli kue nya banyak amat, Pak?” tanya Satya, Satya memanglah yang paling dekat dengan Raga. Mereka seumuran, dan Satya lah yang sudah menjadi karyawan lama di kantor kontruksi itu. Satya masuk saat Raga baru saja di angkat menjadi Team leader.
“Iya, buat cemilan saya. Ah, iya. Ngomong-ngomong kalian tau kue nagasari?” Raga menunjukan kue itu ke kedua rekannya.
Kedua nya mengangguk, tentu saja Satya dan Bagas tau. “Itu dalamnya pisang kan, Pak. Emangnya Bapak belum pernah makan?” tanya Bagas.
Raga menggeleng, “belum. Kamu suka kue ini, Gas?”
“Suka-suka aja, Ibu saya suka bikin di rumah kalau ada arisan keluarga.”
“Saya baru tau malah kalau Bapak suka kue beginian, saya kira cuma suka kue cubit rasa matcha doang.” Satya sering sekali melihat driver online mengantar pesanan Raga ke kantor, pria itu selalu memesan kue cubit berwarna hijau yang selalu Satya yakinin itu adalah rasa matcha.
“Pistachio, Sat. Saya capek banget ngasih tau kamu kalau yang hijau itu bukan cuma matcha.”
“Iya, padahal lumut juga hijau.” Samber Bagas sembari memakan rendang pesananya.
“Saya gak makan lumut, Gas. Kamu pikir saya ikan sapu-sapu,” protes Raga yang di balas dengan cengiran oleh Bagas.
Tidak lama kemudian, ponsel di saku Bagas bergetar. Pria itu buru-buru mengambil ponselnya, begitu melihat ke layar ponselnya ia tersenyum dan berpamitan pada kedua atasannya itu untuk mengangkat telfonnya di luar.
“Pak, Bang Satya, saya angkat telfon dulu ya,” pamit Bagas pada keduanya, Satya hanya mengangguk masih khidmat menikmati ayam bakar khas padang di piringnya, sementara Raga justru asik memperhatikan kue nagasari itu.
“Habis pulang kerja, saya, Bagas, sama Almira mau jenguk Kirana lagi, Pak. Bapak mau ikut?” tanya Satya yang berhasil membuyarkan lamunan Raga.
“Kayanya saya enggak bisa, Sat. Saya ada acara keluarga. Salam saja untuk dia yah, ngomong-ngomong gimana kondisi dia waktu kamu jenguk dia?”
“Udah jauh membaik, Pak. Kirana sih bilang minggu depan dia udah bisa pulang. Sebenarnya dia juga bilang ke anak-anak kalau gak perlu repot-repot jenguk dia lagi, tapi Almira ngotot banget mau jenguk, itu anak emang belum sempat jenguk Kirana.”
Almira itu teman dekat Kirana di kantor, jatuhnya lebih ke juniornya Kirana sih karena Almira anak magang di sana. Umurnya juga terpaut sekitar 3 tahun dengan Kirana, tapi keduanya sangat dekat.
“Saya boleh titip sesuatu gak ke kamu, Sat?”
“Apa, Pak?”
“Saya mau titip bakpau rasa coklat untuk Kirana.”
“Ini serius Pak Raga beliin Mbak Kirana bakpau? Random amat sih.” Almira terheran-heran waktu Satya ngeluarin bungkusan berisi bakpau dengan berbagai rasa. Enggak hanya coklat, Raga bilang. Siapa tau Kirana suka rasa yang lain.
Jangankan Almira, Satya yang di titipi oleh atasannya sendiri saja terheran-heran. Biasanya kan kalau bawa bingkisan untuk orang sakit tuh kalau enggak makanan ringan yang bisa bertahan lama ya buah. Sore ini Kirana di jenguk kembali oleh teman-teman kantor nya, ini ajakan Almira. Padahal Kirana sendiri sudah bilang ke Almira untuk menjenguknya nanti saja di rumah.
Toh minggu depan dia sudah pulang, walau tetap saja Kirana masih harus bulak balik ke rumah sakit untuk rawat jalan. Tapi Almira tetap ngotot untuk menjenguknya di rumah sakit, hari ini juga Bagas menginap di rumah sakit nemenin Kirana. Besok hari sabtu dan Bagas menyuruh Ibu nya Kirana untuk istirahat di rumah saja.
“Tadi juga random banget waktu makan siang, dia tiba-tiba beli kue nagasari banyak banget kan sampe satu kantong loh.” Bagas menimpali, dia masih heran sama kelakuan atasan mereka hari ini.
“Serius Mas Bagas? Dia suka jajanan pasar?” pekik Almira.
“Serius, Ra. Udah gitu dia cuma liatin itu kue aja.”
Kirana hanya menyimak obrolan Bagas dan teman-teman mereka saja, pikirannya masih mengawang tentang mimpinya semalam. Mimpi itu berlanjut, bahkan kali ini meninggalkan bekas ketidaknyamanan di hati Kirana. Sebenarnya ini semua apa? Pikirnya.
“Na? Diam aja? Kenapa?” Satya menyenggol bahu Kirana dari tadi Kirana hanya diam saja.
“Gapapa, Bang.” Kirana senyum. “Hhm.. Sebenarnya Pak Raga kasih gue bakpau bukan tanpa alasan sih.”
Kirana menimpali, tidak enak kalau ia banyak diam saat di jenguk. Ia harus mengesampingkan perasaan tidak nyamannya demi menjaga perasaan teman-temannya itu. Takutnya mereka berpikie Kirana tidak senang di jenguk seperti ini.
“Hah?” Pekik Almira, Bagas dan Satya bersamaan.
“Sssttt!” Kirana menaruh jari telunjuknya di bibir, bangsal rawat Kirana ini terisi 6 orang bukan VIP yang hanya Kirana sendiri saja. Kirana tidak ingin teman-temannya itu menganggu kenyamanan pasien yang lain.
“Jadi kenapa?”
“Waktu Pak Raga jenguk gue, awkward banget rasanya. Dia kaya bingung harus ngobrol apa sama gue, dia bilang dia gak mau ngobrolin kerjaan karna kesannya kaya nagih gue buat kerja. Terus dia tiba-tiba dengan gak jelasnnya nanya gue suka bakpau atau onde-onde,” jelas Kirana.
“Terus kamu pilih bakpau?” Tanya Bagas yang di jawab anggukan oleh Kirana.
“Beneran random ternyata, gak nyangka gue Pak Raga yang ganteng paripurna begitu bisa jadi laki enggak jelas, ck ck ck ck.” Almira berdecap sembari menggeleng-gelengkan kepalanya.
Teman-teman Kirana enggak begitu lama menjenguk Kirana, karena jam besuk kebetulan sudah habis. Setelah mengantar teman-temannya itu ke loby rumah sakit, Bagas kembali naik ke ruang rawat Kirana. Di sana wanita itu masih melamun memperhatikan jendela rumah sakit yang menampakan lampu-lampu kota yang mulai menyala karena hari mulai gelap.
“Ngalamunin apa?” Bagas memeluk wanitanya itu dari belakang, ia kemudian duduk di ranjang Kirana sembari memperhatikan lampu-lampu kota dari jendela bangsal Kirana.
“Akhir-akhir ini aku sering mimpi,” gumam Kirana.
“Mimpi?” Bagas menoleh ke Kirana. “Mimpi apa, sayang?”
“Kalo aku cerita aku mimpi yang kemarin kamu bakalan percaya sama aku, Gas?”
“Soal mimpi kamu di masa kolonial itu?”
Kirana mengangguk, setelah bangun dari tidurnya. Hati Kirana selalu di selimuti gundah, ia benar-benar seperti ada di era itu. “Mimpi itu berlanjut, bukan mimpi yang menakutkan tapi setiap kali aku bangun perasaan aku selalu enggak nyaman.”
“Kamu lagi banyak pikiran? Atau sebelum tidur kamu mikirin sesuatu?”
“Enggak, Gas. Aku gak mikirin apa-apa.” Kirana putus asa, dia mengusap wajahnya. “Aku gak mikirin apa-apa sebelum tidur.”
“Besok pagi aku temenin konsul sama dokter kamu aja yah, mungkin ada obat yang punya efek samping sampai kamu mimpi kaya gitu.” Bagas membawa kepala Kirana ke bahu nya dan mengusap lengan wanitanya itu.
“Aku takut tiap kali mau tidur.”
“Ada aku, aku jagain. Nanti sebelum tidur kita dengerin lagu dulu ya biar kamu lebih relax.”
Bersambung..
(Satya Haris Wardana)
(Almira Kusuma Djayanti)