Bab 39. Akhir Dan Rahasianya.

Sudah satu minggu sejak kepergian Ibu, ini jelas masih meninggalkan duka yang teramat dalam bagi Kirana. Tapi setidaknya kekhawatiran Bagas berkurang sejak Budhe dari pihak Ibu nya datang untuk menemani Kirana di rumahnya. Kirana belum bekerja, kemungkinan besok ia akan kembali bekerja. Dan wanita itu juga masih belum banyak bicara dengan Bagas.

Kirana bukan kecewa dengan Bagas, ya meski sempat ia bertanya-tanya kemana Bagas saat ia membutuhkannya. Bagas juga belum punya kesempatan untuk menjelaskan itu semua pada Kirana, mungkin nanti, saat wanita itu sudah tenang. Saat acara pengajian mengenang 7 hari kepergian Ibu Kirana itu sudah selesai. Bagas membantu Kirana bebenah rumahnya.

Menaruh piring bekas makanan kecil disajikan, membersihkan sampah, menggulung karpet-karpet dan menyapu ruang tamu. Wanita itu masih lebih banyak diam dan melamun, kadang ia mau sedikit berbicara dengan Budhe nya walau kadang hal itu juga sedikit menjadi pemicu Kirana menangis, karena yang mereka bicarakan lebih sering soal Ibu. Jangan bicara tentang Ibu, melihat karangan bunga yang di kirimkan oleh kantor Kirana bekerja, rekan Bapak dulu, dan teman-teman Ibu saja Kirana sudah menangis menyesakkan.

“Makasih yah, nak Bagas. Sudah bantu beres-beres,” ucap Budhe, wanita tua itu tersenyum hangat wajahnya yang agak sedikit menyerupai wajah Ibu nya Kirana itu membuat Bagas menatapnya selayaknya ia menatap Ibunya Kirana.

“Sama-sama Budhe.” Bagas duduk di ruang tamu, tepat di samping Kirana yang masih melamun. Hanya ada mereka bertiga di rumah itu, tamu-tamu yang lain sudah pulang. Termasuk Almira, Raga dan juga Satya.

“Dimakan kue nya Nak Bagas. Budhe mau ke belakang dulu ya, mau beres-beres baju.” sudah 1 minggu Budhe berada di Jakarta, beliau harus segera pulang ke Semarang karena di sana beliau juga mengurus kebun milik keluarga.

“Iya, budhe. Ah iya, besok kalau Budhe mau ke stasiun, biar Bagas saja yang antar ya Budhe, besok pagi Bagas ke sini lagi kok.”

Budhe tersenyum, menampakan kerutan pada wajah dahayu masa lampaunya itu. “Terima kasih ya nak Bagas, besok Budhe kabari ya.”

Kemarin, Bagas sempat mendapat wejangan serta amanat dari Budhe Kirana itu untuk menjaga keponakannya. Mengingat di Jakarta ini, Kirana benar-benar seorang diri tanpa orang tua. Sebenarnya masih ada keluarga dari pihak Bapak yang tinggal di Jakarta, tetapi hubungan Kirana dan keluarga dari Bapaknya itu tidak baik. Apalagi selepas kepergian Bapak, setelah kebangkrutannya itu keluarga Bapak seperti sudah tidak menganggap Kirana sebagai keponakan dan Ibu sebagai iparnya. Jadi Kirana pun sudah menganggap ia tidak memiliki siapa-siapa lagi.

Kini keduanya berada di ruang tamu, Kirana sibuk dengan isi kepalanya sendiri. Ada begitu banyak penyesalan kenapa ia telah abai memeriksakan kesehatan Ibunya, ada banyak kata andai dalam kepalanya yang Kirana harap ia bisa memutar balikan waktu agar Ibu nya masih ada di rumah ini bersamanya. Setelah Budhe kembali ke Semarang, Kirana akan seorang diri di rumah. Ia tidak mungkin tidak meratapi Ibunya kembali. Meski rumah itu belum banyak memiliki kenangan bersama Ibu, tapi hari-hari mereka banyak di isi dengan memasak bersama, menanam berbagai jenis tumbuhan di depan rumah dan banyak hal yang diobrolkan anak dan orang tua itu.

Apalagi dahulu hanya Ibu sumber kekuatan Kirana dan begitu pula sebaliknya. Banyak duka yang mereka lalui bersama selepas kepergian Bapak. Dan kini Kirana menanggung duka itu sendirian tanpa ia tahu barus membaginya pada siapa.

“Sayang, kamu belum makan. Makan sama aku yuk?” Bagas khawatir bukan main, sudah satu minggu ini Kirana tidak makan nasi. Yang ia makan hanya kue jajanan pasar, roti atau bahkan minum saja. Bagas dan Almira sudah membujuk Kirana untuk setidaknya makan nasi sedikit saja, namun wanita itu tetap enggan.

“Tadi kan udah, Gas.”

“Kan cuma makan lemper aja.”

“Tapi tetap makan kan?” Kirana menjawabnya agak sedikit ketus, perasaanya belum kunjung membaik. Ada sepercik keputus asaan dalam diri Kirana akan sebuah kehilangan, sebuah kepemilikan yang kemudian direnggut paksa. Bapak, Ibu, rumah miliknya dan mungkin sebentar lagi Bagas.

“Aku cuma gak mau kamu sakit, Na.”

“Lebih baik juga aku nyusul orang tuaku, Gas. Aku udah gak punya siapa-siapa lagi.” air mata Kirana kembali mengembang, yang mungkin jika ia berkedip sedikit saja air mata itu akan terjun bebas dari matanya.

“Masih ada aku, Na.”

“Kamu bukan keluargaku, Gas!” Kirana meninggikan sedikit nada bicaranya. Setelah sadar, ia kemudian mengusap wajahnya putus asa dan memegang tangan Bagas. “Kamu bukan orang tuaku.”

Bagas mengangguk kecil, ia paham Kirana tidak bermaksud menyinggung perasaanya. Biar bagaimana pun yang dikatakan wanita itu benar, ia belumlah menjadi keluarganya. Ia masih kekasih Kirana. “Na, mungkin aku gak bisa menggantikan peran kedua orang tua kamu, tapi aku, aku mau nemenin kamu terus, Na. Jadi tempat kamu pulang.”

Kirana tidak menjawab, ia justru terisak. Bagaimana mengatakan pada Bagas jika mungkin benar pria itu tidak akan pernah meninggalkannya. Tapi justru sebaliknya, Kirana lah yang akan meninggalkan Bagas. Sebelum Ibu meninggal Kirana telah memikirkan cara bagaimana mula-mula ia menjauhi Bagas kembali setelah kejadian malam itu. Ia ingin melepaskan Bagas, dan mungkin kesempatan itu telah datang kepadanya bersamaan dengan duka kepergian Ibunya. Ia bisa memanfaatkan ketidakhadiran Bagas saat ia membutuhkannya, lebih baik sakit sekalian kehilangan dua orang yang ia sayangi. Dari pada harus melepasnya satu persatu dan merasa sakit kembali.

“Waktu hari Ibu meninggal dan kamu telfon aku, aku minta maaf karena aku gak aktifin HP ku. Aku dan Kanes lagi nyiapin sesuatu untuk kamu, Na. Aku kaget waktu tiba-tiba aja Mas Satya datang dan ngasih kabar tentang Ibu kamu, maafin aku, Na.” Bagas mengenggam tangan Kirana, masih terus merasa bersalah bila ia mengingat kejadian hari itu. Ia merasa begitu bodoh, padahal biasanya ia tidak pernah mematikan ponselnya dalam keadaan apapun dengan sengaja.

Entah sesuatu apa yang Bagas maksud, karena Bagas juga belum menjelaskannya pada Kirana. Ia merasa waktu untuk menjelaskan itu semua belum pantas. Kirana masih dalam masa berkabung dan perasaanya juga belum membaik, mungkin jika Kirana sudah sedikit lebih baik ia akan menjelaskannya pada Kirana.

Sempat hening beberapa saat diantara mereka, Kirana yang sibuk menangis dan kemudian saat tenang ia lebih banyak melamun dan Bagas yang sibuk menatap wajah cantik di depannya itu yang masih meratap. Jika ada cara untuk mengambil alih seluruh sakit, kerapuhan dan kesedihan pada wanitanya. Bagas akan melakukan berbagai cara itu agar hanya tersisa senyum di wajah Kirana.

“Sayang? Istirahat ya, aku antar ke kamar kamu ya? Besok pagi aku kesini lagi buat antar Budhe ke stasiun. Besok kamu mau sarapan apa?”

Kirana masih diam beberapa saat sampai akhirnya ia menoleh pada Bagas, wajahnya masih tertutup awan mendung. Kedua netranya terlihat menyakitkan bagi siapapun yang melihatnya. Dengan gerakan lembut, Kirana menarik tangannya dari genggaman tangan Bagas.

“Bagas?” panggilnya dengan suara lirih.

“Ya, sayang?”

“Aku mau kita putus.”

Tidak ada sahutan dari Bagas, ia berharap ia salah mendengar atau ia berharap ini mimpi buruk, apapun itu asal bukan ini kenyataanya. Ia menampilkan wajah bingungnya dan kemudian tertawa hambar. Ia anggap ucapan Kirana barusan adalah sebuah lelucon. “Gimana? Aku belum dengar kamu tadi ngomong apa.”

“Aku mau putus, Gas. Aku mau kita udahan,” Kirana memperjelas ucapanya dengan penuh penekanan.

🍃🍃🍃

Setelah menyelesaikan meeting nya bersama kliennya pagi ini, Raga kembali ke ruanganya. Harinya mulai hectic sekali menyelesaikan proyek-proyek yang digarapnya. Ia belum memberitahu pada siapapun soal pengunduran dirinya nanti, ia masih menyimpannya sendiri. Beberapa hari ini Kirana juga belum masuk kerja sebenarnya Pak Suryana selaku HRD sudah menanyakan perihal seringnya Kirana tidak hadir di kantor pada Raga. Mengingat Raga lah team leader di kantor itu.

Bisa dikatakan Raga terlampau sering menutup-nutupi soal keabsenan Kirana pada Pak Suryana. Ia tidak ingin Kirana berhadapan dengan Pak Suryana soal kedisiplinan, apalagi jika sampai-sampai dia mendapatkan surat peringatan atau lebih buruknya dipecat. Raga tidak ingin itu terjadi dan menambah penderitaan Kirana, sudah cukup sampai dikehilangan orang tuanya saja. Raga tidak ingin Kirana kehilangan hal-hal lain yang ia sayangi.

Merenggangkan badannya yang sedikit kaku, Raga bersandar pada kursinya. Menatap meja Kirana yang kosong terlihat dari ruangannya yang hanya dibatasi oleh dinding kaca. Lalu tak lama kemudian ia melihat ke meja Bagas, meja pria itu juga kosong. Entah kemana Bagas. Pria itu bahkan tidak menghubungi Raga untuk memberikan informasi kenapa dirinya tidak hadir di kantor.

Terlalu lama terbuai dalam isi kepala dan lamunanya sendiri, Raga sampai tidak sadar jika Satya mengetuk pintu ruanganya dan berakhir membuka pintu itu tanpa menunggu jawaban darinya. Pria yang seumuran dengannya itu tersenyum, menampakan rentetan giginya yang rapih dengan senyum menjengkelkan khas dirinya. Tak ada kata segan jika mereka sedang berdua, karena pada dasarnya Satya memang temannya.

“Ngalamun aja, emang punya cicilan ya?” ledek Satya, pria itu menarik kursi yang ada di depan meja Raga dan duduk di sana. Menyerahkan berkas yang Raga minta, ah sebenarnya Satya memang ingin numpang ngadem saja di ruangan Raga.

“Yang banyak cicilan kan elu.” Raga menggeleng, memeriksa berkas yang Satya beri dan menaruhnya kembali.

“Kenapa sih?” semenjak obrolannya dengan Bagas beberapa hari lalu di Hutan Kota, Satya jadi kepikiran, apalagi soal gerak gerik Raga yang jauh lebih sigap pada Kirana. Apa benar dugaan Bagas soal Raga yang menyukai Kirana itu benar? Tapi setahunya, Raga bukanlah pria seperti itu.

Satya mulai menaruh curiga saat Raga memeluk Kirana di lorong rumah sakit saat Ibunya Kirana meninggal. Awalnya Satya hanya menganggap itu bentuk dukungan demi menguatkan hati Kirana yang tengah berkabung, namun apa pantas seorang atasan seperti itu bilamana ia tidak memiliki perasaan lebih pada bawahannya? Itu yang pertama dan yang kedua adalah, Raga lah yang sibuk mengurus pemakaman bahkan mengurus soal catering untuk pengajian 7 hari kepergian Ibu nya Kirana. Sebenarnya Bagas juga melakukan hal yang sama, Bagas juga memesan catering namun soal keabsenan pria itu saat Kirana membutuhkan pelukan seperti sudah diserobot oleh Raga.

Satya dan Almira tentu saja merahasiakan adegan berpelukan itu pada Bagas, keduanya sepakat merahasiakan ini demi menjaga hati Bagas dan juga nama baik Raga. Mereka hanya menganggap itu sebagai pelukan belasungkawa saja, meski rasa curiga keduanya tepis pelan-pelan.

“Gapapa.” Raga menghela nafasnya kasar.

“Ah masa? Muka lu kaya lagi nyimpen banyak beban gitu. Gak mungkin mikirin cicilan kan? Elu mah nganggur juga tetap kaya, Ga.”

Raga terkekeh, ucapan asal dari Satya itu selalu bisa membuatnya tertawa. Ia bahkan tidak merasa sekaya itu sampai-sampai tidak bekerja pun akan tetap kaya. Keluarganya memang memiliki perkebunan dan toko bunga, tapi kalau tidak dikelola dengan baik pasti akan habis juga bukan?

“Mikirin cicilan mah elu.”

“Terus kenapa dong, Pak?”

“Sat?”

“Hm?” Satya tidak mengadahkan pandanganya ke arah Raga, ia sibuk memainkan rubik yang ada di atas meja Raga tadi.

“Gue berencana buat resign.

“Hah?!” kedua mata Satya terbelalak, ia menegakkan duduknya dan melupakan rubik yang belum selesai ia kerjakan itu. “resign? kenapa?”

“Gue ditawarin buat jadi partner di kantornya Mas Ethan.”

“Suaminya Mbak Adel?”

Raga mengangguk, “gue harus keluar dari zona nyaman, Sat.”

Satya terdiam, dia tidak bisa mengomentari hal ini karena Raga pasti sudah memikirkannya matang-matang. Satya kenal Raga, pria tenang itu adalah pria yang sebelum melakukkan sesuatu sudah memikirkannya dengan sangat matang dan penuh perhitungan. Raga bukan orang yang mudah sekali gegabah mengambil sebuah keputusan.

“Kapan, Ga?”

“Mungkin kalau semua proyek yang gue pegang selesai.”

Satya mengangguk-angguk, entah sejak kapan Raga memikirkan ini tapi bagi Satya kenapa semuanya terasa terburu-buru. “Gue beneran kaget sih, Ga. Gak nyangka juga elu bakalan udahan gini aja. Maksud gue, semuanya buru-buru banget. Gue tau banget berkali-kali Mas Ethan minta lo pindah ke kantornya terus elu tolak melulu dan sekarang saatnya? Ini beneran lo gak ada something apa-apa kan?”

Raga sempat terdiam beberapa saat, ia sempat melirik pada meja Kirana di luar sana yang tentu saja ditangkap oleh Satya. Pria itu juga memperhatikan ekor mata Raga mengarah kemana. Satya masih menepis kecurigaanya.

“Gak ada seseorang yang lagi lo hindarin kan, Ga?”

Raga tertawa hambar, ia tahu Satya mungkin hanya menebak. Tetapi kenapa tebakan pria itu tepat pada sasaran? “Menurut lo begitu, Sat?”

Satya mengangguk, “siapa, Ga?”

“Lo udah tau pasti, Sat. Gue enggak mungkin bilang.” firasat Raga, Satya sebenarnya sudah paham. Pria itu hanya butuh pembuktian saja yang asalnya keluar dari mulut Raga.

Damn!” Satya mengusap wajahnya gusar, ternyata dugaan Bagas benar adanya jika Raga menyukai Kirana. Walau masih kaget dan tidak menyangka tapi Satya sudah melihat sendiri sebuah kenyataan. Raga sendirilah yang mengucapkannya bahkan. “Sejak kapan, Ga?”

“Lumayan lama, Sat. Mungkin sejak Kirana sadar dari koma nya. Ada sesuatu yang hanya gue dan dia yang tau.”

“Sinting!!”

“Sat, ini gak kaya apa yang lo pikir.”

“Gue harap pikiran gue salah, Ga.” Satya mulai berpikiran negatif dengan temannya sendiri, ia selalu berharap pikiran itu keliru. Tidak mungkin mereka telah berselingkuh kan?

“Gue bingung harus ngejelasin ini gimana ke elo, dan mungkin ini juga susah dipercaya, Sat. Cuma gue sama Kirana yang percaya karena kami yang ngalamin.”

Satya tertawa hambar, kecewa dan sedikit marah menguasainya namun ia tetap ingin mendengarkan penjelasan Raga. Hari itu Raga menjelaskan tentang mimpinya dan Kirana tentang pemikiran Raga yang menghubungkan dirinya dan Kirana adalah reinkarnasi dari Jayden dan Ayu, termasuk janji kedua pasangan itu. Satya tentu saja tidak percaya, beberapa kali pria itu tertawa dan memandang Raga dengan tatapan meragukkan, mungkin Satya berpikir jika Raga sedang mendongeng, atau sedang mengerjainya atau mungkin lebih buruk lagi Raga sedang mabuk kecubung, tetapi raut wajah Raga sama sekali tidak menampakan kebohongan.

Wajah pria itu terlalu serius untuk sekedar mengerjainya atau mendongengkannya. Satya jadi bingung sendiri, memangnya ada hal seperti itu terjadi di dunia nyata? Satya hanya tahu hal semacam reinkarnasi dan cerita-cerita seperti itu hanya ada di sebuah film.

“Jadi intinya lo pindah buat ngelupain Kirana juga iya?” dari cerita Raga, sejauh ini yang Satya tangkap hanyalah Raga yang pindah kantor demi melupakan Kirana. Bisa dibilang kawannya itu sudah baper.

“Mungkin bisa dibilang begitu, Sat.” Raga mengakuinya. Terdengar konyol memang, bahkan Satya sedari tadi hanya tertawa dan menggelengkan kepalanya.

“Gue bahkan gak percaya reinkarnasi itu ada, Ga. Gue yakin elo gak setolol itu buat ngehubungin semua mimpi lo dan Kirana sama janji si cowok kolonial dalam mimpi lo itu.” bagi Satya, ini semua tidak masuk akal.

“Gue bahkan berusaha ngeyakinin diri gue sendiri, Sat. Gue banyak nyari tahu soal reinkarnasi dari beberapa artikel. Tapi ini yang terjadi sama gue dan Kirana. Lo bisa tanya sendiri sama dia.”

Bersambung...