Bab 40. Jentera
Sudah sepersekian kalinya Bagas mencoba menguhubungi Kirana meski tak ia dapati jawaban dari sebrang sana, pikirannya kacau, hatinya galau. Tidak ada rasa tenang dalam kepala Bagas tentang ucapan Kirana beberapa hari yang lalu. Setelah mengatakan ingin berpisah dengan Bagas, hendak ia minta penjelasan dari wanita itu. Kirana langsung masuk ke dalam kamarnya dan mengatakan jika ia lelah. Pada hari berikutnya Bagas terus mencecar Kirana untuk bertemu, menelfonnya dan mengiriminya pesan untuk sekedar mengatakan apa alasan yang membuatnya ingin mengakhiri hubungan mereka, namun tak ada satu pun dari usaha Bagas yang mendapati jawaban yang ia inginkan.
Satu-satunya tempat yang memungkinkan bagi Bagas bertemu dengan Kirana adalah kantor, namun sampai hari ini Kirana belum masuk juga. Bahkan Bagas sudah meminta bantuan Almira untuk menghubungi Kirana, namun hasilnya pun sama. Tak ada jawaban, hari ini sepulang bekerja Bagas buru-buru ke rumah Kirana. Pikirannya tidak akan bisa tenang dan yang semua sedang ia kerjakan takan berjalan dengan semestinya sampai ia mendapatkan penjelasan dari Kirana kenapa wanita itu ingin berpisah.
Pagar rumah Kirana tidak terkunci, rumahnya tetutup namun dari luar Bagas melihat ada cahaya yang berasal dari ruang tamu rumah sewa Kirana. Sebelum mengetuk, ia sempat memperhatikan rak sepatu yang ada di dekat pintu masuk. Tak ada sepatu Kirana di sana, sepatu yang biasa wanita itu gunakan tidak ada pada tempatnya. Bagas mencoba peruntungannya kali ini, mengetuk pintu rumah Kirana, berharap wanitanya membukakan pintu untuknya.
Satu sampai empat ketukkan pintu tak membuahkan hasil untuknya, tak ada yang menyahut apalagi membukakan pintu untuk Bagas. Menandakan tidak ada orang di rumah. Kemana Kirana pergi? Wanita itu benar-benar menghindarinya? Atau justru Kirana berada di dalam namun enggan bertemu dengannya? Tadinya, Bagas ingin memberikkan waktu bagi Kirana untuk tenang sejenak setelah kepergian Ibu nya. Namun hatinya menyeruak memaksa ingin segera mendapati jawaban. Ego nya muncul dan memaksanya mencecar Kirana untuk mengatakan alasan wanita itu ingin berpisah darinya. Setidaknya jika sudah mengetahui alasannya Bagas baru bisa bernafas dengan lega.
“Cari siapa, Mas?” seseorang dari belakang kepala Bagas sedikit mengejutkannya. Bagas berbalik, mendapati seorang pemuda yang usianya tak jauh darinya. Tetangga sebelah rumah Kirana itu.
“Mbak Kirana nya ada di dalam gak ya?”
“Ohh.. Kayanya tadi pagi pergi, Mas. Gak tau kemana. Pakai tas dan rapih sekali.”
Dahi Bagas berkerut, memakai tas dan rapih sekali. Jika bukan untuk bekerja kemana Kirana pergi? Bahkan hari ini wanita itu tidak berada di kantor. “Ada yang menjemputnya atau dia pergi sendiri mungkin Mas lihat?”
“Pergi sendiri, Mas. Saya cuma berpapasan dan Mbak Kirana berjalan ke arah halte bus.”
Bagas mengehela nafasnya, pikirannya makin berkecamuk dan hatinya belum kunjung tenang. Bahkan jauh dari kata tenang, kemana wanitanya pergi? Dengan siapa dan kemana dia? Kalimat-kalimat itu terus berputar bagai nyanyian di kepala Bagas. Ia kemudian mengangguk pada pemuda di depannya itu dan tersenyum canggung.
“Terima kasih, Mas.”
“Mari..” setelah mengatakan itu, pemuda itu kembali masuk ke rumahnya. Meninggalkan Bagas yang temenung memandang pohon asam jawa yang berdiri kokoh di depan rumah Kirana.
Lampu-lampu jalan yang remang itu sudah mulai dinyalakan, burung-burung gereja yang berterbangan mencari makan telah kembali ke sarangnya. Dan beberapa menit kemudian suara panggilan sembahyang telah dikumandangkan, Bagas bersandar pada kursi di teras rumah Kirana, mengusap wajahnya yang kumal karena pagi tadi ia tidak sempat mandi. Begitu terjaga dari tidurnya, ia langsung melompat dari ranjang dan berganti pakaian. Sekacau itu Bagas sampai-sampai hal-hal seperti mandi dan sarapan saja ia lupakan begitu.
Hatinya memaksa mencari Kirana berkeliling ke jalanan padatnya ibu kota dijam pulang kantor, menelisik jalanan dan halte-halte bus barangkali ia menemukan Kirana sedang duduk di halte atau sedang berjalan. Namun tak dapat ia temui wanita yang menyita pikiran dan hatinya itu, sekali lagi Bagas tak ingin menyerah. Sembari melajukkan mobilnya menuju tempat-tempat yang biasa ia dan Kirana kunjungi. Ia mencoba menelfon Almira kembali. Mana tahu wanita itu bertukar kabar dengan Kirana.
“hallo, Mas Bagas?” suara Almira terdengar disebrang sana, mengintrupsi Bagas untuk sadar dari lamunan akan Kirana ditengah kemacetan itu.
“Mir, udah ada kabar dari Kirana belum? Atau dia nelfon lo mungkin?” Suara Bagas serak, tenggorokkanya rasanya tercekat, sakit, seperti ada kawat berduri yang melingkar menusuk langit-langit mulutnya.
“belum, Mas. Kalau ada kabar soal Mbak Kirana gue pasti kasih tahu ke elo kok. Udah coba ke rumahnya?“
“Udah, dia gak ada di rumah. Tadi tetangganya bilang kalau Kirana tadi pagi pergi.”
“Udah coba telfon ke Budhe nya, Mas? Atau ke teman Mbak Kirana yang lain?” Almira memberi saran mana tahu Bagas kepikiran kemana Kirana pergi.
“Dia...” Bagas memejamkan matanya, tak mungkin berkata jujur jika satu-satunya keluarga Kirana di Jakarta dari Bapaknya itu bahkan sudah tak lagi menganggapnya keponakan. Mana mungkin Kirana pergi ke rumah sanak saudara dari Bapaknya itu. “Gak ada keluarga di Jakarta, Mir.”
“Duh, Kemana ya. Gini deh, Mas. Gue coba hubungin lagi ya, kalo gak ada jawaban juga. Gue coba cari Mbak Kirana sebisa gue.“
“Perlu gue jemput biar kita cari Kirana bareng?”
“ah, gak usah, Mas. Gue pergi sama cowok gue kok.” Almira akan mengajak kekasihnya itu mungkin untuk mengatarnya mencari Kirana. Ia juga khawatir dengan keberadaan wanita yang sudah ia anggap seperti kakaknya sendiri itu.
“Oke, kabarin gue lagi yah, Mir.”
Dalam gemerlapnya lampu kota yang menerangi malam itu, melayang jauh pikiran Bagas ke hari-hari sebelumnya. Hidupnya kini bagai di putar balik ke arah yang berlawanan, bertanya entah pada siapa tentang apa yang terjadi pada Kirana sehingga wanita itu memutuskan untuk menghindarinya, memutuskan hubungan mereka yang dibangun setelah sekian lama dengan cinta, kepercayaan dan kasih sayang. Mata nya masih menelisik ke setiap jalan, ke tempat-tempat makan di pinggir jalan. Berharap disalah satu tenda sana ada Kirana yang tengah duduk atau mungkin tengah makan.
Sementara itu, di belahan jalan lain. Seorang wanita dengan tas punggung berwarna abu berjalan gontai dengan pandangan kosong mengawang jauh dari pikirannya. Tubuh dan roh nya seperti terpisah, berjalan tanpa arah dan tujuan tadinya. Mendatangi tempat-tempat ramai demi mengisi kekosongan di hatinya namun itu semua tidak lantas membuat kesedihannya mengabur. Ketika hari mulai malam dan jalanan mulai lenggang, pada pemberhentian terakhir bus itu kakinya turun melangkah. Kirana tak ingin pulang, ia tak ingin mati karena kesepian dan hilang ditelan isi kepalanya sendiri yang ramai porak poranda.
Tempatnya mengadu kini menjadi sesuatu yang ia hindari, maka biarkan ia melangkah ke kosan milik Almira. Tidak perduli pada titik air gerimis yang berjatuhan mengenai kepalanya, pada cahaya remang lampu pinggir jalan, pada siulan pria-pria yang tengah bergitar di pos dan bertanya dirinya hendak kemana hujan-hujanan. Ia tak perduli, ia hanya ingin mencoba mengabaikan rasa sakitnya.
Begitu sampai di depan pintu kamar kost Almira, Kirana mengetuknya pelan. Sangat pelan namun mampu membuat sang empunya kamar berjalan keluar dan membukakan pintunya, begitu terkejut Almira mendapati Kirana datang ke kosannya dengan keadaan kacau. Rambutnya basah, dan sedikit berantakan, kemeja yang dikenakannya basah dan wajahnya yang dingin dan pucat.
“Ya ampun, Mbak.” Ditariknya tangan wanita itu ke dalam kamarnya, kemudian ia tutup kembali. Menyuruh Kirana untuk duduk di sofa yang ada di kamarnya. “Mbak kamu habis dari mana? Semua orang nyariin kamu.”
Kirana masih diam, ia ingin menjerit jika ia sudah tidak sanggup untuk melanjutkan hidup ini. Namun itu semua tertahan di tenggorokannya yang sangat kering, seharian ini ia belum minum apalagi makan. Yang di telannya hanya saliva nya saja. “Mir, aku haus.”
Almira mengangguk kecil, “iya sebentar, aku ambil air dulu ya.”
Almira buru-buru melangkahkan kakinya ke dapur, menuang segelas air putih dan kembali ke sofa tempat Kirana duduk. Almira berjongkok dan memberikan air itu ke tangan Kirana yang sangat dingin. Sementara itu, Kirana mengambil gelas itu dan menenggak habis air di dalam gelas itu. Tenggorokannya yang kering itu terasa sejuk begitu air yang dinginnya pas mengalir masuk hingga ke kerongkongannya.
Almira sempat mengambil handuk kecil untuk mengeringkan rambut Kirana dan menyelimuti tubuh ringkih itu dengan selimut miliknya. Pandangan Kirana masih kosong, entah apa yang ada dipikirannya. Dunia benar-benar menyakiti wanita itu tanpa sisa, tanpa belas kasih hingga seluruh senyumnya ia renggut.
“Mbak?”
“Hm?”
“Kamu habis dari mana?” Almira berusaha bertanya pelan-pelan. “Atau kalau Mbak belum mau cerita, Mbak mau istirahat aja? Ganti baju, Mbak. Pakai bajuku aja.”
“Mir?”
“Iya?”
“Jangan kasih tau siapa-siapa ya kalau aku disini.” suara Kirana terdengar mengawang, masih menatap Almira dengan pandangan kosongnya.
“Iya, Mbak. Aku gak akan kasih tau siapa-siapa kamu disini, tapi jangan pergi lagi ya. Disini aja, kalau Mbak mau pergi kasih tahu aku ya.”
Kirana hanya mengangguk, setelah menemani Kirana berganti pakaian dan memastikan wanita itu terlelap di ranjangnya. Almira berjalan keluar kamar kostnya, ia mengabari Bagas jika ia sudah bertemu dengan Kirana tanpa memberi tahu Kirana ada dimana. Yang terpenting baginya, Bagas sudah bisa tenang jika sudah mendapat kabar tentang Kirana. Untung saja Bagas menurut pada Almira untuk tidak ngotot ketemu Kirana dulu, biarlah nanti Almira sendiri yang akan menjelaskannya pada Bagas di kantor besok pagi.
🍃🍃🍃
Entah sudah berapa jam Asri menunggu seorang pria yang tengah berbicara pada seorang pria lainnya di pojok sebuah cafe itu, dengan wajah yang serius seperti tengah membicarakan sesuatu yang genting. Keningnya sesekali Asri perhatikan mengkerut dengan wajah yang sedikit masam namun terkadang menampilkan senyum yang ia paksakan. Katakanlah ini sebuah kebetulan, karena ia datang ke cafe itu bukan karena sengaja untuk membuntuti Bagas yang juga tengah bertemu dengan klien nya. Asri sedang makan siang sendiri, sampai akhirnya ekor matanya menangkap pria yang sangat ia rindukan akhir-akhir ini.
Tentang kabar kepergian Ibu nya Kirana sampai kabar tentang Bagas yang mempersiapkan lamaran untuk Kirana itu sudah sampai ke telinganya, sebagian memang ia dapatkan sendiri dari hasil membuntuti Kirana hanya demi memastikan wanita itu sudah menjauhi pria yang Asri cap sebagai miliknya itu. Dan sebagian lagi ia dapat dari Kanes, seperti sewaktu Kanes memesan beberapa bunga, mereservasi tempat dan berbincang dengan Bagas melalui telefon.
Semua Asri dapatkan kabarnya sampai pada akhirnya ia bertanya pada Kanes langsung, bahkan di hari Kanes dan Bagas tengah mempersiapkan itu semua pun Asri tahu karena dia ada di sana. Bahkan, kematian mendiang Ibu nya Kirana di jadikan momen telak baginya karena acara lamaran Bagas itu batal. Asri senang bukan main saat mengetahui itu, apalagi akhir-akhir ini Bagas cukup sering sendirian karena Kirana tidak terlihat bekerja di kantornya. Apalagi dengan wajah Bagas yang seperti menampakan jika ada yang tidak baik-baik saja pada hubungannya dengan Kirana.
Itu semua semakin menambah kesenangan bagi Asri, karena justru kesempatan kosong seperti ini lah ia bisa masuk lewat celah sekecil apapun untuk merebut hati Bagas. Setelah bersalaman pada kedua pria yang duduk di depannya dan pria itu pergi, semua itu menandakan jika pertemuan mereka sudah selesai. Ini adalah kesempatan bagi Asri untuk menghampiri Bagas dan mengajaknya bicara barang sebentar.
Wanita itu membawa tas miliknya, berdiri dan berjalan penuh dengan kepercayaan dirinya. Wajahnya ia naikan beberapa senti sampai memperhatikan leher jenjangnya yang tidak terhalang rambut panjangnya itu, ketukan dari heels yang dipakainya beradu dengan lantai marmer cafe tersebut, membuat Bagas yang tadinya sedang fokus dengan ponselnya itu jadi menengadahkan kepalanya untuk melihat siapa yang tengah berjalan ke arahnya.
“Hai,” sapa Asri dengan senyum yang merekah pada wajah angkuhnya itu.
Bagas agak sedikit terperangah karena kehadiran Asri yang tiba-tiba dan tidak diduganya, ia tersenyum sedikit kemudian mengangguk kecil. “Hai.”
“Aku boleh duduk sini? Atau kamu udah janjian sama orang lain?”
“Duduk aja, gue udah selesai ngobrol sama klien.” Tanpa menghiraukan Asri, Bagas mengemasi beberapa berkas miliknya, charger Macbook nya dan menaruhnya kembali kedalam tas.
“Habis meeting ya, Gas?” Asri basa basi, dia sudah tahu dari tadi. Bahkan sejak klien Bagas masih duduk di kursi yang ia tempati.
“Iya nih.” Bagas melihat ke arloji yang ada di pergelangan tangannya, bergerak dengan gelisah sembari sesekali menoleh ke arah ponselnya. Gerak geriknya seperti tengah menunggu kabar dari seseorang. “Sri, sorry gue enggak bisa lama-lama.”
“Ah, Gas. Tunggu sebentar, sebentar aja please ada yang mau aku omongin sama kamu.” Asri sebenarnya sudah menduga jika Bagas akan segera bergegas meninggalkan cafe itu, maka kedua tangan kurusnya itu bergerak dengan cepat menahan lengan Bagas yang tadinya sudah siap memakai tas nya kembali.
“Mau ngomong apa?”
“Soal Ibu..” Asri memejamkan matanya. “Ibu kamu.”
“Kenapa sama Ibu?” Bagas selalu mendapat kabar soal Ibu dari Kanes, kedua orang tua nya itu bahkan baik-baik saja meski sesekali bertanya kabar Bagas melalui Kanes. Karena mereka tahu, Kanes dan Bagas masih sering bertukar kabar.
“Ibu nanyain kamu, Gas. Kamu kapan mau pulang?”
Bagas menghela nafasnya, di lihatnya ke arah luar jendela siang itu. Mataharinya terik Jakarta siang itu nampak tidak lenggang sama sekali, tak ada kata lenggang bahkan. Orang-orang masih berlalu lalang entah kemana, para pedagang di pinggir jalan masih menjajahkan dagangannya tanpa surut semangatnya bahkan oleh matahari yang terik sekalipun. Pemandangan di luar sana nampaknya lebih mengasikan bagi Bagas di banding ia harus bertatap muka dengan Asri, membicarakan orang tua nya.
Ini bukan karena Bagas anak kurang ajar yang tidak perduli akan kabar orang tuanya, bukan. Hanya saja, Bagas sudah tahu kabar kedua orang tua nya dari Kanes. Dan apa yang Asri katakan padanya itu selalu sama tentang orang tua nya, topiknya hanya berputar pada kapan ia akan segera pulang, kapan ia akan segera berbaikan dengan kedua orang tua nya. Seolah-olah ia harus di tuntut selalu mengalah pada ego orang tua nya, lagi pula. Dalam persoalan ini sebenarnya Asri tidak bisa terlalu bisa ikut campur seharusnya, ia adalah orang lain. Ranahnya tidak bisa sejauh itu menjangkau urusan orang tua dan anak ini.
“Gue udah pulang, Sri. Waktu itu, tapi ujung-ujungnya gue tetap ribut. Lagi pula gue selalu tau kabar mereka dari Kanes,” Bagas sedikit ketus, waktunya tak banyak. Ia harus segera kembali ke kantor.
“Iya aku tau, Ibu juga udah cerita soal itu. Maksudku disini, tinggal lagi sama orang tua kamu. Mereka tuh sayang banget sama kamu loh, Gas. Ayolah turunin sedikit ego kamu yang mereka lakuin ini sebenarnya demi kebaikan kamu juga.”
“sorry, Sri. Kebaikan yang mana maksud lo?”
Asri terperangah, wajah ramah Bagas itu berubah menjadi masam. Tatapannya tajam dengan kedua alis yang nyaris menyatu karena keningnya mengekerut. “Yang maksa kehendak mereka dan mengorbankan kebahagiaan anaknya?”
“Gas, kamu tau kan hubungan yang dilandasi tanpa restu orang tua itu berat? Mereka gak setuju kamu sama Kirana loh, bisa aja kan ucapan orang tua kamu benar tentang Kirana.”
“Dan bisa juga ucapan mereka salah tentang Kirana. sorry, Sri. Kalo lo disini cuma mau menghakimi Kirana dan ikut campur urusan pribadi gue. Waktu gue enggak banyak, gue harus balik ke kantor ada hal yang lebih penting dari pada sekedar bahas obrolan yang gak akan ada habisnya ini.” Bagas buru-buru memakai tasnya, tanpa memperdulikan panggilan Asri ia melangkah panjang-panjang keluar dari cafe itu.
Hatinya panas, bukan hanya Bagas tapi juga Asri. Kedua tangan wanita itu mengepal kuat di sebelah pahanya. Dalam hati ia menyupah serapahi Kirana yang entah sudah memberikan apa pada Bagas sehingga pria itu begitu membela dan tergila-gila padannya. Nafsu makannya tak lagi menggebu sejak kepergian Bagas, ia ingin segera pergi juga namun saat kakinya ingin melangkah keluar, lengan tanganya itu ditahan oleh sebuah tangan besar yang melingkar begitu pas di lengannya yang kecil.
Membuat Asri seketika menoleh, dan betapa terkejutnya ia melihat siapa asal pemilik tangan yang sudah menarik lengannya kini. Raka, pria itu menyeringai dengan gestur yang membuat Asri seketika mati kutu. Sejak kapan pria itu disini? Apa ia melihatnya berbicara dengan Bagas barusan?
“Lepasin gak?!” Pekiknya tertahan.
“Duduk.” Raka menunjuk kursi yang tadi di duduki Asri dengan dagunya itu, menyuruh wanita di depannya itu untuk kembali duduk ke kursinya.
“Gak, gue buru-buru.”
“Duduk atau gue bilang sama Bagas kalau elo udah pernah menikah bahkan punya anak.” Raka mengatakannya dengan santai, namun ucapannya itu berhasil membuat kedua mata Asri membulat sempurna sehingga tubuhnya spontan mengikuti apa kata Raka untuk kembali duduk ke kursinya.
Ia kalah telak. Raka terlanjur melihatnya, salahnya sendiri karena ia kurang hati-hati. Ia lupa jika Raka dan Bagas satu perusahaan, bisa jadi memang mereka meeting bareng atau lebih buruknya lagi terlibat dalam satu proyek yang sama.
“Jadi Bagas?” Raka menaikan satu alisnya, kemudian terkekeh mengejek Asri.
“Lo gak perlu tau.”
“Oh ya jelas gak perlu, tapi gue penasaran aja. Ternyata selain lo nelantarin anak lo, pembohong ulung dan sekarang? Ada sebutan yang lain yang bisa gue kasih ke elo? Perebut cowok orang?” Tawa Raka hampir meledak ketika kedua mata Asri membulat sempurna, wanita itu tampak kesal dan bahkan kesulitan menelan salivanya sendiri.
“Gue udah dijodohin sama Bagas, jauh sebelum kita kenal bahkan gue udah kenal sama dia dari lama.”
“Selama apapun lo kenal, itu gak akan mengubah fakta kalau elo tetap ngerebut Bagas dari Kirana.”
“Orang tua nya Bagas bahkan gak ngerestuin hubungan mereka.”
Raka hanya memajukan bibirnya, kepalanya mengangguk-angguk dengan santai. Sama sekali tidak terpancing dengan apa yang Asri katakan barusan, ia hanya sedikit kaget awalnya waktu ia ingin turun ke lantai 1 cafe yang memang memiliki 2 lantai. Raka mengurungkan niatnya untuk lebih memilih mengamati Asri dan Bagas dari kejauhan, Asri nampak begitu kenes saat berbicara dengan Bagas. Namun Bagas jauh dari kata itu, pria itu bahkan kelihatan tidak nyaman dan ingin segera meninggalkan Asri.
Awalnya Raka hanya menebak kira-kira apa hubungan keduanya, namun, mengingat Asri memang tidak pernah dekat dengan pria lain dan dari gerak-geriknya yang memang seperti sedang memikat Bagas. Maka Raka simpulkan sendiri jika Bagas adalah pria yang memang di jodohkan dengan Asri.
“Lo mau ancam gue pake ini? Tega lo hancurin kebahagiaan gue? Inget yah, gue Ibu dari anak lo dan sejak kita cerai. Hak asuh Resaka ada di tangan gue. Gue bisa rebut dia dan gak akan gue biarin lo ketemu sama dia lagi.”
“Asri..Asri, lo kok bisa nya cuma ngancam. Setakut itu gue bakalan buka mulut? Sepenting itu reputasi lo di hadapan orang tua nya Bagas? Gak takut lo bikin mereka kecewa?”
Asri menyeringai, ia berdiri dan menendang salah satu kaki meja hingga meja itu mundur dan mengenai kaki Raka. “Gue udah nurutin apa yang lo mau buat ketemu sama Resaka, itu perjanjian kita kalo lo lupa.”
Bersambung...