Bab 41. Pelukan Terakhir

Di temani dengan suara televisi yang sedang menayangkan sebuah drama itu, kedua mata Kirana justru tertuju pada sebuah mesin print yang perlahan-lahan sedang mencetak sebuah surat yang baru saja selesai dibuatnya. Perlahan-lahan mesin itu mengeluarkan kertas dari dalamnya hingga akhirnya mesin itu berhenti karena sudah selesai mencetak, diambilnya kertas itu dan Kirana baca kembali. Itu adalah surat pengunduran dirinya dari perusahaan tempatnya bekerja.

Entah apa yang ada dipikiran Kirana saat itu sampai-sampai ia memutuskan untuk mengundurkan diri, sebenarnya faktor utamanya adalah ia ingin menenangkan diri dulu dari kehilangan Ibunya, yang kedua adalah ia ingin menghindari Bagas. Kirana bukan tidak bekerja sama sekali pada akhirnya, ia tetap akan bekerja namun bukan pada sebuah firma arsitektur lagi. Ia memutuskan untuk menggantikan pekerjaan Ibu nya di toko kue, alasannya sangat sederhana. Hanya dengan bekerja di sanalah Kirana bisa merasa dekat dengan Ibunya.

Bau dapur di toko itu, celemek yang selalu Ibu nya kenakan dan teman-teman Ibunya yang cukup perhatian dengannya. Kirana merasa hangat dan dekat, mungkin dengan cara seperti itu ia mengobati luka di hatinya. Setelah 3 hari menginap di rumah Almira, kondisi Kirana sudah cukup membaik meski setiap malam ia berjuang berusaha untuk terlelap, berusaha untuk tidak terisak dan terjun pada gelapnya kesepian dan kesedihan.

Besok ia akan kembali bekerja untuk yang terakhir kalinya, mengemasi barang-barang di kursinya sekaligus berpamitan pada rekan-rekannya. Malam ini ia sudah janjian dengan Bagas untuk bertemu, pilihannya sudah bulat. Ia akan tetap meninggalkan Bagas, berapa kalipun memikirkan hidup tanpa lelaki itu akan sangat menyakitinya. Namun Kirana berpikir itu jauh lebih baik dari pada Bagas harus kehilangan keluarganya. Tidak ada orang yang mau hidup seperti itu, jika memang harus ada yang dikorbankan biarlah itu dirinya dan hubungannya dengan Bagas.

“Mbak?”

Kirana menoleh, ada Almira di belakangnya. Membawa pie susu dan segelas teh hangat untuk mereka berdua. Selama beberapa hari menjadikan kosan Almira sebagai satu-satunya tempat pelarian mencari ketenangan. Akhirnya Kirana memutuskan banyak hal disana, termasuk keputusan-keputusan terberat yang akan ia ambil. Almira pun benar-benar menjaganya. Meski tidak sepenuhnya, dalam artian Almira memang memberitahu pada Bagas jika Kirana berada di rumahnya agar pria itu sedikit lebih tenang. Beruntulah Bagas mau mengikuti permintaan Almira untuk tidak menemui Kirana dahulu.

Almira duduk di sebelah Kirana, mengusap pundak wanita yang lebih tua darinya itu. “Udah selesai, Mbak?”

Kirana mengangguk, “udah, Mir. Doain yah.”

“Aku pasti doain kamu terus, Mbak. Keputusan berat ini gak mudah kamu ambil.”

Kirana tersenyum, senyum yang tulus seolah-olah ia tengah berterima kasih pada Almira lewat senyuman itu karena telah mau menampungnya, mendengar ceritanya dan menguatkannya. Meyakinkan jika ia bisa bertahan untuk hal-hal kecil di hidupnya. “Kira-kira setelah ini hidupku bakalan baik-baik aja gak yah, Mir.”

Kadang Kirana terlampau sering mengkhawatirkan hidupnya, setelah banyak mengalami kehilangan. Akan ada badai apa lagi di hidupnya? Kadang ia merasa kasihan pada dirinya sendiri, namun terkadang juga ia merasa bangga karna bisa melalui semua ujiannya.

“Aku gak bisa mastiin hidupmu bakal gimana, Mbak. Tapi apapun yang Mbak lalui nantinya, aku akan selalu sama Mbak. Mbak tuh udah aku anggap kaya Mbakku sendiri.” tidak ada yang dapat menebak hari esok seperti apa, bahkan 5 menit dari sekarang. Almira hanya ingin meyakinkan Kirana jika ia tidak pernah sendiri bahwa akan selalu ada ia yang terus bersamanya. “Mbak?”

“Hhm?”

“Kamu yakin?”

“Soal?” Kirana menoleh ke arah Almira. Menelisik lewat wajah wanita itu tentang apa yang ia ragukan dari keputusannya.

Resign?” Almira mengigit bibirnya, takut-takut ucapannya menyinggung Kirana.

“Aku udah yakin, Mir. Aku mau kerja di toko ibuku kerja dulu. Masih mau ngerasain bau Ibu. Selain itu, kalau aku masih tetap di kantor. Itu artinya aku akan selalu ketemu Bagas. Makin sulit buat aku kalau terus-terusan ketemu dia.”

Almira mengambil tangan Kirana, mengenggamnya erat dan mengusapnya. Bersama Kirana ia merasakan memiliki seorang saudara perempuan yang di idamkannya selama ini, terkadang. Almira ingin protes kenapa wanita sebaik Kirana harus memiliki liku hidup yang pahit tapi disisi lain pun Almira yakin semua cobaan yang datang pada hidup Kirana itu semua karena Kirana sangatlah kuat.

“Aku akan selalu kangen hari-hari kita di kantor, Mbak. Walau udah gak sekantor, Mbak janji ya bakalan sering main kesini. Aku bakalan kangen banget cerita-cerita di kantor.”

Karena suara Almira yang sudah bergetar, Kirana merentangkan tangannya dan membawa Almira kepelukannya. “Kamu udah aku anggap kaya Adikku sendiri, Mir. Aku bakalan sering ke sini.”

Setelah berpamitan pada Almira, Kirana sempat kembali ke rumahnya dahulu untuk menaruh tas miliknya. Kemudian, menemui Bagas di Taman Kota seperti janji mereka, hari itu memang sengaja Kirana tidak ingin Bagas menjemputnya ke rumah atau menyuruhnya datang ke rumahnya. Begitu turun dari bus yang ditumpanginya, Kirana berjalan sedikit dari halte bus itu untuk sampai di Taman Kota. Tak susah rupanya untuk menemukan Bagas, pria itu tengah duduk sembari menonton pertandingan soft ball yang ada di sana.

Kirana sempat memperhatikan punggung lebar itu, mengusapnya dalam udara seolah-olah ia tengah mengusap punggung Bagas. Ia akan selalu merindukan pelukan dari pria itu kelak, dirasa cukup puas untuk memperhatikan punggung itu. Kirana berjalan mendekat, ia duduk di samping Bagas hingga membuat perhatian pria itu teralihkan padanya.

“Hai,” sapa Kirana.

Bagas tersenyum, ia lega bukan main bisa melihat wanita nya lagi. “Kamu naik apa kesini?”

“Bus, kenapa.”

“Gapapa, tanya aja. Harusnya tadi kamu aku jemput aja, kan kita bisa ke sini bareng.”

“Aku lagi mau naik bus, Bagas.”

Bagas mengangguk kecil, ia mengubah posisi duduknya menjadi menyamping. Memperhatikan wajah dahayu kesayangannya itu. Senyum Kirana sudah kembali meski belum seterang biasanya, pancaran matanya masih redup tapi wanita itu sebisa mungkin untuk terlihat baik-baik saja di depannya.

“Aku kangen kamu, Na.” Selama beberapa hari tidak mendapat kabar dari Kirana bahkan tidak bertemu dengan wanitanya itu. Bagas benar-benar rindu sekaligus khawatir, ia bersyukur bukan main begitu Almira mengabarinya bahwa Kirana berada di rumahnya. Walaupun Almira meminta Bagas untuk tidak menemui Kirana dahulu sampai wanita itu benar-benar tenang, Bagas lakukan itu. Apapun akan Bagas lakukan agar wanitanya membaik.

“Aku juga.” Kirana tersenyum, memejamkan matanya. Membiarkan tangan besar Bagas itu menyingkirkan anak rambutnya dan menyelipkannya ke belakang telinganya.

“Kamu udah jauh lebih baik?”

“Um, sedikit lebih baik.”

“Syukurlah aku lega dengarnya.”

Sempat hening beberapa saat, mereka hanya saling memandang dan tersenyum seperti mengungkapkan kerinduan yang bisa dibayar hanya dengan saling menatap. Menelisik keadaan satu sama lain lewat lemparan tatapan mata itu, sampai akhirnya Kirana menelan saliva nya susah payah. Air matanya mengembang pada pelupuk matanya, bersiap untuk segera di tumpahkan. Lehernya tercekat bahkan disaat kata-kata perpisahan belum terlontar dari bibirnya.

“Ah sebentar, aku punya sesuatu untuk kamu.” Bagas menarik tas miliknya, dan mengeluarkan sebuah kotak disana dan membukannya. Sebuah cincin dengan permata mengkilap yang nampak begitu cantik. Kilapanya yang terkena pantulan sinar dari lampu Taman itu, membuatnya terlihat sangat mewah meski design nya sederhana.

Kirana yang hampir saja menangis itu, sedikit teralihkan. Sempat terlontarkan apakah disaat-saat seperti ini Bagas justru melamarnya?

“Bagas?”

“Jadi istriku, Na. Menikah sama aku. Aku akan berusaha menjadi suami yang baik untuk kamu. Kita bisa punya rumah buat tempat kita pulang, aku bisa buatin taman kecil di depan rumah kita buat kamu tanami bunga. Kamu suka bunga kan?”

Kirana terdiam, ia bahkan tidak mengambil kotak berisi cincin yang di berikan Bagaa padanya. Hatinya sakit, seperti ada jutaan pisau menghunusnya tanpa ampun. Ada teriakan direlung hatinya yang mengatakan jika ia tidak sanggup untuk berpisah, jika semesta sudah sangat kejam padanya dan bagaimana caranya mengucapkan kata perpisahan yang bukan hanya menyakiti hati pria nya itu.

“Bagas?” Kirana menengadahkan wajahnya, matanya sudah memerah dan sedetik kemudian air mata turun membasahi wajahnya. “Berhenti.”

Tak ada sahutan dari Bagas. Ia hanya menatap wajah Kirana dengan jutaan pertanyaan di kepalanya, Kirana memintanya berhenti untuk apa? “Maksud kamu, Na?”

“Hubungan kita.” Kirana kembali memperjelas ucapannya tempo hari. Saat mengatakan hal itu dadanya kembali sakit.

“Kenapa, Na? Kenapa sama hubungan kita? Kamu kecewa ya sama aku karna aku gak ada waktu Ibu kamu meninggal, iya?”

“Aku capek, Gas..”

“Capek?” Bagas mengerutkan keningnya. Ia sempat berpikir awal mula Kirana meminta pisah darinya karna kekecewaan wanita itu saat ia tidak ada waktu Ibunya meninggal, tapi malam itu Bagas tersadar ketika Kirana mengatakan ia lelah. Bisa jadi Kirana lelah karena keluarganya? Karena sampai hari ini pun, orang tua Bagas belum memberikan restu untuk mereka. Pikirnya.

“Aku mau kita benar-benar berakhir.”

“Kita benar-benar berakhir?” Bagas mengulang ucapan Kirana. “Gak ada harapan lagi, Na? Kamu udah gak sayang sama aku?”

Kirana menangis sesegukan, ia berusaha mengusap wajahnya dari air mata yang terus turun membasahi pipinya. “Karena aku sayang kamu, Gas. Aku sayang kamu. Gimana mungkin enggak?”

Keduanya terdiam, Bagas sibuk memandangi Kirana dengan hati yang hancur, mata yang mulai memanas bersiap untuk menangisi hubunganya yang rumit itu. Sedangkan Kirana sibuk mengusap air matanya, syukurnya tak banyak pasang mata di sana, para pemain soft ball pun tak memperdulikan kehadiran keduanya di sana. Mereka terlalu fokus pada permainan. Kotak berisi cincin yang sudah Bagas buka tadi ia tutup dan ia taruh begitu saja di antara mereka.

“Tapi aku juga sayang diriku sendiri, Gas. Makanya aku gak bisa melanjutkan hubungan ini.”

“Aku siap ninggalin keluargaku, Na.” Air mata yang sedari tadi Bagas tahan itu akhirnya terjun juga. Ia menangis, hatinya pedih seperti ada silet yang menyayatnya. “Aku siap ninggalin orang tuaku.”

Kedua bahu Kirana merosot, kepalanya menggeleng dan ia tatap pria yang sangat ia cintai itu lekat-lekat seolah-olah esok hari ia takan melihat Bagas lagi. “Gak ada yang mau hidup seperti itu, Bagas. Aku juga sakit kalau kamu sakit. Kalo kita tetap maksain bersama, aku cuma gak mau hidup dalam kebencian orang lain. Aku gak mau merebut kamu dari keluargamu, Gas.”

“Aku gak mau putus dari kamu, Na.” Bagas sebisa mungkin membujuk Kirana, ia bahkan sudah tidak perduli menangis menyesakan di depan wanita itu. Ia raih tangannya dan ia genggam tangan kurus itu erat-erat, berharap hati Kirana luluh dan ia mengurungkan niatnya untuk mengakhiri hubungan yang sudah mereka bangun selama hampir 7 tahun itu. “Aku gak bisa kehilangan kamu, Na. Aku harus gimana..”

“Bagas, kamu pasti bisa..” Suara Kirana bergetar, ia masih menangis namun ia berusaha menenangkan Bagas. Ia usap pucuk kepala pria itu dengan senyuman paling menyakitkan yang ia berikan. “Aku akan selalu mendoakan kebahagiaan kamu, Bagas.”

Bagas tak menjawab lagi, ia buru-buru menarik Kirana dalam dekapannya dan menangis sepuas hatinya dalam bahu kecil wanita itu. Menghirup aroma tubuh Kirana yang selama ini selalu berhasil membuatnya tenang. Bagas sama sekali tak menampik jika sikap keluarganya memanglah sudah keterlaluan dengan Kirana hingga membuat wanita itu sakit hati dan berakhir melepaskannya.

“Aku akan selalu kangen bau kamu, Na.”

Kirana mengigit bibir terdalamnya, berusaha meredam isaknya sendiri dengan menenggelamkan wajahnya pada bahu pria yang sangat ia sayangi itu. “Setelah ini kamu harus pulang ya, Gas. Minta maaf sama orang tua kamu karena udah melawan mereka.”

Bagas menggeleng, ia semakin memeluk Kirana dengan erat. Setelah memutuskan untuk berpisah pada Bagas. Kirana pulang, dalam bus pun ia masih menangis. Apalagi ia pulang lebih dulu dari pada Bagas, awalnya Bagas memaksa untuk mengantarnya pulang namun Kirana menolaknya. Ia masih ingin sendiri, meski belum sepenuhnya terima Bagas mencoba untuk mengerti kenapa pada akhirnya Kirana menyerah pada hubungan mereka.

Hubungannya memang tidak mudah, meski Bagas mencoba berkali-kali untuk tetap mempertahankannya. Semua sia-sia karena Kirana sudah terlanjur sakit hati. Malam itu Kirana pulang ke rumah sewanya, tidur di kamar Ibunya sembari mendekap daster milik Ibunya itu. Masih ada aroma tubuh Ibu di sana karena daster itu belum ia cuci.

“Buk, hari ini adalah hari yang berat buat Kirana.” Matanya terasa membengkak kembali karena untuk kesekian kalinya, air mata itu kembali terjun dengan bebas ke wajahnya. “Kirana udah gak punya Bagas, Buk. Kirana sendirian..”

🍃🍃🍃

Pada suatu pagi yang bahkan matahari belum muncul di permukaan, Raga terjaga dalam tidurnya. Nafasnya tak beraturan setelah sekelebatan mimpi tentang Jayden itu kembali dalam kilasan yang sangat amat jelas dalam kepalanya, ah tidak, lebih tepatnya itu seperti sebuah ingatan yang sudah lama ia lupakan dan kini ingatan itu telah kembali. Begitu bangun ia terengah, keringat bercucuran bukan main derasnya membasahi kening hingga turun ke lehernya. Tampak sedikit asing ruangan yang menjadi tempatnya istirahat itu, ada sebuah kesadaran yang terbelenggu lama kini muncul kembali bahwasanya ia adalah pria Belanda itu sendiri, ia adalah Jayden yang terlahir kembali menjadi seorang pribumi.

Ia melihat ke arah jam dinding yang tergantung tak jauh dari ranjangnya berada, sudah pukul 5 pagi. Ia bergegas bangkit dari ranjangnya dengan gerakan tergesah untuk segera menuju kamar mandi. Di basuhnya wajahnya dan ia cermati cermin di depannya itu lekat-lekat, seolah-olah ia tak mengenali dirinya sendiri. Hidung mancungnya, kulit putih pucatnya dan rambut hitam legam itu. Raga sentuh kepalanya dengan wajah yang bingung, namun sedetik kemudian ia menghela nafas pelan.

“Apa Ayu juga mengingat ini semua? Atau hanya aku?” desahnya dalam keputusasaan.

Pagi itu Raga mandi dan segera berangkat ke kantornya, kini ingatan tentang jiwa masa lalunya itu sudah terkumpul. Dan ia akan tetap hidup sebagai Raga, melajukan mobilnya ia membelah jalanan pagi itu yang belum ramai. Dan dengan langkah besar-besar ia segera berjalan menuju ke ruanganya, belum ada karyawan lain. Hanya ada cleaning service saja yang menyapanya pagi itu dan menawarinya untuk di buatkan kopi.

Hari ini harusnya Kirana datang ke kantor, ada sesuatu yang ingin ia pastikan. Seperti hal nya mimpi itu juga terjadi pada Kirana, kemudian ingatan tentang masa lalu itu yang baru saja Raga sadari. Apa kali ini Kirana juga sudah mengingatnya jika ia adalah Ayu yang terlahir kembali? Raga tidak melakukan apa-apa di ruanganya selain mencari tahu tentang reinkarnasi, separuh dalam dirinya itu berdecap kagum akan kecanggihan teknologi masa kini. Dan ada yang sangat Raga syukuri saat ini, karena ia terlahir sebagai seorang pribumi.

Satu persatu meja terisi oleh karyawan yang berdatangan, namun yang ditunggu belum juga datang, beberapa kali Raga mengintip dari tirai di ruanganya namun meja Kirana belum juga terisi oleh sang empunya. Sampai akhirnya ia di beritahu oleh Satya jika jam 9 nanti mereka harus meeting dengan klien di luar kantor. Mau tak mau Raga harus menuruti perintah itu, 2 jam meeting pikiran Raga hanya berputar pada Kirana. Seperti, apakah wanita itu juga mengingat dirinya sebagai Ayu, apakah mereka terlahir kembali untuk memenuhi janji-janji itu, dan kenapa bukan hanya dirinya dan Kirana saja yang terlahir kembali. Melainkan ada Adi yang kini terlahir sebagai Bagas, Dimas yang kini terlahir sebagai Raka.

Raga menoleh ke arah pria yang tengah berbicara di sebelahnya itu oleh klien mereka, di tahun 1898. Satya adalah kawannya, seorang Indo Belanda yang bernama Jacob. Pria itu terlahir kembali dan tetap menjadi sahabatnya. Apa Satya juga mengingat dirinya di masa lalu? Saking terbuainya dalam lamunan, Raga sampai tidak sadar jika Satya memperhatikannya.

“Pak,” Satya sedikit menggoyangkan tubuhnya, membuat Raga tersadar dari lamunannya itu.

“Kenapa?”

“Jangan ngalamun. Itu Pak Wicaksono tanya soal kolam nya.”

Nyawa Raga rasanya seperti dipaksa berkumpul, ia buru-buru mencari design miliknya dan ia jelaskan pada kliennya itu. Setelah meeting yang berjalan cukup lama menurut Raga akhirnya ia bisa bernafas lega ketika kembali menginjakan kakinya di kantor, begitu sampai ia sudah dibuat terperangah oleh kehadiran Kirana yang duduk di kursi meja nya. Kebetulan tatapan mata keduanya saling bertemu.

Ada sesuatu yang membuat hati Raga mencelos begitu matanya bertemu dengan mata Kirana, ada sebuah sirat kerinduan dari tatapan matanya. Seperti ia baru bertemu dengan kekasihnya setelah sekian lama berpisah dan menunggu, ada dorongan pada diri nya yang membuatnya ingin memeluk Kirana erat. Namun akal sehatnya masih berjalan untuk menahan keinginan itu semua. Terlebih ia bukan siapa-siapa Kirana dikehidupan kini dan lagi pula ini di kantor.

Kirana berdiri dan mengangguk kecil pada Raga yang entah sejak kapan kakinya sudah berhenti di depan meja Kirana itu, dengan tatapan yang Kirana sendiri sulit artikan. Bahkan bukan hanya Kirana yang memandang Raga bingung, namun Almira dan Satya pun sama.

“Sia..siang, Pak.” Kirana menyapa demi menyadarkan Raga dalam tatapan dalamnya itu. Ia berhasil di buat salah tingkah dan bingung dengan tatapannya.

“Hm.. Ka..mu baru mulai masuk lagi, Na?”

Kirana mengangguk kecil, “hari ini hari terakhir saya bekerja disini, Pak.”

Raga mengerutkan keningnya bingung, “terakhir?”

“Saya sudah mengajukan resign, Pak.”

“Kenapa mendadak sekali, Na?”

Kirana tersenyum getir, satu ruangan di sana menoleh ke arahnya. Termasuk Satya yang sama kagetnya dengan Raga, Bagas dan Almira yang sudah mengetahui alasannya pun masih di buat menoleh. Raga yang menyadari banyak mata tertuju pada Kirana itu akhirnya memutuskan untuk mengajak Kirana bicara di ruangannya.

Di dalam ruangan itu, keduanya sempat saling diam. Kirana yang menyerahkan surat pengunduran dirinya pada Raga dan Raga yang masih terus menerus memperhatikan wajah Kirana. Pagi itu bukan hanya Kirana saja yang merasa Raga bersikap aneh, tapi Satya pun yang memperhatikan mereka berdua dari kursinya juga berpikir demikian.

“Kirana?” Panggil Raga.

“Ya, Pak?”

“Kenapa mendadak sekali?”

Kirana menelan salivanya susah payah, hatinya berkecamuk. Berat sebenarnya ia mengambil keputusan ini. Terlebih kantor yang menjadi tempat ia mencari nafkah selama ini cukup membuatnya nyaman, meski beban kerjanya terbilang cukup tinggi namun lingkungan pertemanan di dalamnya cukup hangat. Bahkan di sana pula Kirana dapat mencicil sedikit demi sedikit hutang Bapak walau belum sepenuhnya selesai.

“Saya ngerasa belum cukup stabil untuk bekerja, Pak. Saya mau memulihkan mental saya dulu. Maaf kalau terdengar kekanakan.”

“Oh, enggak sama sekali, Na.” Raga menggeleng, ia tidak pernah meremehkan keputusan karyawannya. “Saya mengerti kok.”

“Terima kasih, Pak.”

Sebenarnya ada yang ingin Raga tanyakan pada Kirana mengenai dirinya, namun Raga tahan itu semua. Dia cuma merasa waktunya belum tepat saja untuk membicarakan hal ini. Lagi pula, ia bisa bertanya hal itu pada Kirana kapan saja. Toh mereka masih akan tetap terikat sebagai pemilik rumah dan penyewa.

Bersambung...