Bab 43. Ayu Dan Kebun Melati

Uploaded image on Imghippo

Petang itu disaksikan oleh swastamita dan langit merah serta hiruk piruk dari bunyi kendaraan yang semakin ramai, dan burung-burung yang berterbangan kembali ke sarang setelah mencari makan. Dua anak manusia itu duduk disebuah taman, sesekali keduanya saling melirik atau bahkan berlempar pandangan dengan malu-malu. Ada kelegaan hati, sedikit rindu yang masih menyelinap dan rasa kagum yang ingin keduanya utarakan. Kirana bingung harus bersikap seperti apa, harus bagaimana ia memperlakukan pria di depannya ini.

Apakah ia harus memperlakukan pria itu sebagai Jayden kekasih nya dulu ataukah memperlakukannya sebagai Raga? Mengingat Jayden yang saat ini adalah seorang pribumi bernama Raga. Meski mereka telah mengingat bahwasanya mereka telah terlahir kembali dalam sosok baru. Tanpa obrolan itu sama sekali tak membuat keduanya canggung, justru saling berdiam diri seperti ini malah menyelimuti mereka dalam rasa nyaman.

“Saya harus panggil kamu apa?” Tanya Raga tiba-tiba, ia menoleh pada wanita yang duduk di sebelahnya itu. Kirana tadi tampak asik melihat ke atas, melihat kereta yang berjalan di atas mereka.

“Sebagai Kirana?” Ia menaikan satu alisnya. “Karena kita hidup di tahun 2025. Kita terlahir dalam kehidupan baru, Mas.”

Raga mengangguk setuju, meski dikatakan mereka hidup dalam raga yang sama tetapi kehidupan mereka baru jiwa mereka baru, nasib mereka berbeda dan karakter mereka pun tentunya berbeda.

“Kamu sejak kapan sadar soal reinkarnasi itu?”

“Hhmm..” Kirana tersenyum, matanya kembali memandang kereta yang berlalu lalang yang seperti tidak berada jauh dari mereka jika di lihat dengan pandangan mata sesaat. “Sejak hari dimana saya mengundurkan diri.”

“Lama juga yah..” Raga mengangguk-angguk. “Kirana?”

“Hm?”

“Kamu tau kenapa waktu itu saya mati?” Raga menggeleng pelan, memejamkan matanya dan meralat ucapannya kembali. “Maksud saya, Jayden.” Ia menunjuk dirinya sendiri dengan menaruh telapak tangannya di dada.

“Tau, Mas. Waktu itu kan saya pernah cerita kalau Ayu ketemu dengan Jacob. Jacob yang menggantikan posisi Sir Jayden sebagai asisten residen, dia juga yang mengantarkan saya ke kebun melati yang kamu buat.”

“Waktu itu Jacob yang saya minta untuk memanam benihnya di sana. Jayden tertarik buat bikin kebun itu buat kamu, karena kamu sering menjadikan melati sebagai hiasan untuk rambut kamu. Dia selalu mikir kalau kamu identik dengan melati, wanginya dan rupanya itu menyerupai kamu”

Raga tersenyum, mengingat bagaimana Jayden tersenyum ketika Jacob De Houtman selesai menanam benih-benih melati itu. Menunggu hingga pohonnya tumbuh hingga berbunga, pertama kali memetik melati itu dan mengekstraknya hingga menjadi wewangian untuk kamarnya. Disaat itulah Jayden merasa hidup kembali, merasakan seperti masih ada Ayu yang menemaninya meski saat itu Ayu sudah menikah dan diboyong oleh Dimas ke Surabaya.

“Waktu itu Jayden berharap bisa memberitahu kamu tentang kebun itu sendiri, tapi sayangnya dia sakit. Mungkin depresi karena kamu menikah sama Dimas. Dan setelah sembuh, dia mulai sibuk kembali sama pekerjaanya sampai hari dimana dia dibunuh.” Raga meringis, mengingat bagaimana dengan jelas Jayden terbunuh dalam pemberontakan yang melibatkan petani dan para pribumi itu.

Para petani pribumi itu tidak terima karena karena sistem cultuurstelsel itu menjadi pajak tanah dan pajak hasil bumi, yang membuat para petani merasa pajaknya memberatkan, Laporan hasil pajak tidak transparant dan priyai lokal sering memeras. Jayden tak lepas dari serangan pembrontakan itu yang tak terencana tanpa organisasi, Jayden dibunuh dengan senapan milik tentara Kolonial yang sudah tewas dan senjatanya diambil alih oleh pemberontak, Meskipun sangat berpihak pada pribumi, Jayden tak lepas dari para petani yang membabi buta itu karena di anggap ikon Kolonial.

“Jacob cerita soal itu, tapi Ayu gak sanggup dengarnya.”

“Kirana?” Raga menoleh ke arah Kirana, ingin sekali dia berbicara pada wanita itu sebagai Jayden pada Ayu. Itu pun kalau Kirana tidak keberatan, karena sejak kematian Jayden ada banyak kata yang tak tersampaikan pada wanitanya. meski Jacob dan Adi menyampaikan pesannya untuk Ayu.

“Ya, Mas?”

“Saya boleh bicara sama kamu sebagai Jayden?”

Hening beberapa saat, keduanya masih saling menelisik lewat lemparan pandangan mata itu. Hanya ada suara adzan berkumandang di sekitar mereka dan lampu-lampu taman yang mulai dinyalakan, serta air mancur yang berada di bagian bawah taman itu yang ikut menyala seperti menyaksikan cerita dua anak manusia yang belum usai itu.

“Boleh,” jawab Kirana pada akhirnya.

Raga tersenyum, senyum itu mengingatkan Kirana akan Jayden dalam mimpinya. Ah tidak, itu memang Jayden. Pria di depannya ini terlahir kembali dan mengingat semuanya dengan baik. Begitu juga dirinya.

“Saya senang kamu terlahir kembali Ayu, terima kasih sudah menepati janji kita untuk sama-sama terlahir kembali.” saat Raga mengatakan itu rasanya tak ada sekat lagi di antara Kirana dan Raga, maksudnya Kirana benar-benar tidak melihat Raga sebagai Raga lagi. Tetapi sebagai Jayden dan dirinya sebagai Ayu.

Suasana ramai dan penuh dengan gemerlap lampu serta suara dari kereta yang ada di atas sana seakan sirna, digantikan dengan keduanya seolah-olah berdiri di tengah kebun melati yang wanginya bahkan menyeruak memenuhi cuping hidung Kirana. Suasananya dingin namun tetap sedikit hangat, pria di depannya itu yang biasa ia lihat lekat dengan surai legamnya kini berubah menjadi rambut pirang khas Eropa dengan topi fedora khas dan pakaian serba putih gading itu.

Semua berubah dimata Kirana, bahkan cardigan biru yang ia gunakan itu berganti dengan sebuah kebaya cantik dengan bawahan kain. Rambut panjangnya itu di epang dan diberi hiasan bunga melati. Keduanya seperti ditarik kembali pada masa lalu.

“Maaf saya belum sempat membaca surat yang Sir Jayden tulis. Surat itu diambil paksa oleh Mas Dimas dan dirobek olehnya.” Nada bicara Kirana bahkan tidak terdengar seperti Kirana, itu benar-benar Ayu.

Ada sedikit kekecewaan akan hal itu, surat yang Jayden tulis adalah seuntai kalimat yang sangat mewakili hatinya kala itu. Tentang bagaimana ia jatuh cinta pada pribumi itu, tentang bagaimana ia mencintainya dan tentang hatinya yang sakit setelah ditinggal menikah olehnya. Ada pesan juga yang ditulis Jayden tentang kebun melati itu yang tadinya memang ia persembahkan untuk hadiah pernikahan mereka kelak.

“Gapapa, yang terpenting Adi sudah memberikan surat itu padamu.”

“Memang isinya apa?”

“Kapan-kapan akan aku tulis ulang untuk kau baca ya.” Raga (Jayden) itu tersenyum. Ingatanya kembali jika mereka hidup di tahun 2025 tidak ada perang lagi, tidak ada tentangan dari orang tua Kirana (Ayu) untuk mereka berhubungan hanya karena dirinya seorang kolonial. Tapi di tahun ini Kirana (Ayu) telah menjadi milik seorang pria lain. Dan pria itu adalah Bagas yang paras nya mirip sekali dengan Adi.

“Kirana?”

“Ya, Mas?”

“Soal.. Bagas? Gimana kabar dia?”

Demi menyadarkan dirinya dan menempatkan kembali posisinya sebagai Jagaraga Suhartono. Raga kembali bertanya tentang Bagas, biar bagaimana pun dikehidupan kali ini ada banyak hal yang berubah. Bisa saja semesta hanya mempertemukan mereka kembali atas janji masa lalu, ya, bisa saja hanya sebatas itu tanpa membiarkan mereka bersatu menjadi pasangan. Raga ingin dirinya sadar jika ia adalah Raga dan Kirana tetaplah Kirana. Jayden dan Ayu hanya bagian masa lalu dari kehidupan mereka terdahulu.

Kirana menghela nafasnya pelan, hatinya seperti dicubit ketika Raga menyinggung tentang Bagas. Ia sendiri tidak tahu kabar pria itu, Kirana yang meminta pada Bagas untuk berhenti mengiriminya pesan dan fokus pada kehidupan mereka masing-masing. Tapi bagaimana pun sekarang, Kirana hanya berharap jika Bagas baik-baik saja.

“Hubungan saya sama Bagas sudah selesai, Mas.” jawabnya pada akhirnya. Mata Kirana mengawang melihat langit malam itu yang begitu polos, hitam dengan sedikit kemerahan tanpa bintang. Ah, sudah lama sekali ia tidak melihat bintang.

“Selesai maksudnya? Kalian putus?”

Kirana mengangguk, “iya, Mas. Sebenarnya hubungan kami tidak di restui oleh keluarga Bagas. Dan orang tua nya terang-terangan menyuruh saya menjauhi anak mereka. Awalnya saya masih ingin bertahan karena saya sayang sama Bagas, tapi disisi lain saya enggak ingin di anggap merebut Bagas dari keluarganya. Saya hanya tidak ingin memaksakan keadaan.”

Raga jadi teringat waktu ia di undang ke pesta ulang tahun Ibunya Bagas, masih teringat jelas bagaimana Kirana diacuhkan dan diperlakukan sangat tidak baik. Setelah Kirana pergi pun, Bagas dan Ibunya masih berdebat. Hari itu Raga sudah bisa menduga jika keluarga Bagas memang tidak menyukai Kirana. Tapi sama sekali tidak pernah terlintas di kepalanya jika suatu hari Kirana akan menyerah lebih dulu pada hubungannya dengan Bagas.

“Maaf yah, Na. Saya jadi tanya-tanya seperti ini tentang hubungan kamu.” Raga jadi merasa tidak enak.

“Gak papa, Mas. Saya sudah lebih, berlapang dada buat menceritakan ini.”

🍃🍃🍃

Denting pada jam dinding dan kipas angin di ruangan itu menjadi satu-satunya sumber dari suara yang menemani Kirana di atas ranjangnya. Tubuhnya berbalik ke kanan dari kiri, mencari posisi yang menurutnya nyaman hingga matanya terpejam dan larut dalam keheningan malam. Namun sayangnya ia masih terus terjaga, ia jadi teringat pertemuan 8 bulan yang lalu pada orang tua Bagas itu. Ia mencoba memejamkan matanya, berharap lelap menghampirinya namun yang di lihatnya bukan hanya gelap karena matanya telah terutup. Melainkan ingatannya yang di lempar balik ke 8 bulan lalu.

8 Bulan Yang Lalu...

Kirana datang lebih dulu ke cafe yang sudah menjadi tempatnya dan Ibunya Bagas bertemu. Ia sudah memasan minuman untuknya, secangkir kopi Sidikalang yang wanginya sudah membuat cuping hidungnya kembang kempis. Dihirupnya wangi dari asap yang sedikit mengepul itu, sembari sesekali Kirana menatap ke arah luar jendela yang menampakan kesibukan sore itu. Langit berwarna jingga itu seakan menemaninya menunggu seseorang.

Kirana ingin berterima kasih pada semesta hari itu, melihat langit yang indah dengan burung-burung berterbangan, serta daun-daun yang berguguran diterpa angin dan juga suara musik cafe yang menghalau heningnya. Kirana merasa nyaman bahkan untuk berdiam diri di sana, namun tak lama kemudian bunyi gemerincing yang berasal dari lonceng yang di taruh di depan pintu cafe berbunyi.

Menandakan ada pelanggan yang masuk ke cafe itu, Kirana menoleh ke arah pintu itu dan ia dapati seorang wanita yang sudah ia tunggu sekitar tiga puluh menit yang lalu akhirnya datang. Ia sontak berdiri dan mengangguk kecil, hendak menyalami wanita itu ketika tanganya sudah terangkat ke udara. Namun sayangnya hanya angin yang menyapanya karena wanita itu langsung duduk di kursi depan Kirana.

“Langsung saja ada apa kamu ingin bertemu dengan saya?” Tanyanya dengan angkuh, dagunya ia naikan beberapa senti menambah kesan anggun dan keangkuhan yang tergambar jelas pada raut wajah dahayu sisa masa lalu itu.

“Buk, apa kabar?”

Ia menyeringai, menatap Kirana dengan sengit. “Kabar saya tidak akan pernah baik Kirana kalau anak saya belum kembali ke rumah.”

Kirana mengangguk pelan, ia berusaha melemparkan senyumnya. Senyum penuh keteguhan dan kelapangan dada pada suatu pelepasan yang sangat amat ia sayangi. “Buk, sebentar lagi mungkin Bagas akan segera pulang. Ia akan kembali ke rumah orang tuanya.”

“Maksud kamu?” Wanita itu mengeryitkan dahinya. Air wajahnya seakan meminta penjelasan dari maksud ucapan Kirana.

“Beberapa hari yang lalu saya sudah bertemu dengan Bagas setelah menghindar darinya selama satu minggu, kami banyak mengobrol. Dan pada pertemuan itu saya bilang ke Bagas bahwa saya tidak bisa melanjutkan hubungan kami.” Kirana menahan ucapannya sebentar. Ia menunduk, ia yakin ia sudah berlapang dada. Namun rasanya masih ada sedikit sakit di hatinya mengingat hari itu, mengingat bagaimana Bagas menatapnya dengan nanar dan menangis pada pelukan terakhir mereka.

“Kamu sudah putus dengan dia Kirana?”

Kirana mengangguk, “kurang lebih seperti itu, Buk.”

“Baguslah kalau begitu, lebih baik memang begitu.”

“Buk, Bagas kelihatan enggak baik-baik aja akhir-akhir ini. Bahkan di hari terakhir saya bertemu sama dia, kalau boleh saya berpesan pada Ibu. Tolong hubungi dia yah, Buk. Tanya kabarnya, suruh dia makan dengan benar dan istirahat. Saya sudah tidak bisa melakukan hal itu lagi padanya.”

Entah kata-kata mana yang membuat hati wanita itu seketika tertegun, ia seperti kehilangan kata pada mulutnya. Meratapi kata-kata wanita muda di depannya itu, matanya menatap wajah yang tenang di sebrang sana yang kini tengah menunduk. Tidak ada keraguan dalam nada biacaranya seperti seseorang yang sudah menerima keadaan, namun tetap tersirat sebuah ketulusan di sana.

“Buk, saya sudah melepaskan Bagas. Saya mau bilang ke Ibu, terima kasih karena sudah merawat dan mendidik Bagas dengan baik. Dia laki-laki baik yang pernah saya miliki, Buk. Dia pendengar, obat dan sandaran yang pernah saya miliki. Terima kasih telah meminjamkan Bagas untuk menjadi orang yang saya sayangi, saya akan terus berdoa untuk kebahagiaan Bagas.”

Meski berpisah dengan Bagas, Kirana selalu mengharapkan ada banyak hal baik yang menghampiri hidup pria itu. Untuk menyembuhkan segala rasa sakit yang ia timbulkan karena menyerah pada hubungan mereka. Ada sirat pada kehidupan masa lalu yang tertanam di kepalanya, Bagas di kehidupan lalunya yang bernama Adi. Pria itu hidup dalam serba keprihatinan, jarang sekali tersenyum, selalu menunduk dan jalan membungkuk. Bahkan sampai akhir hidupnya Kirana merasa Adi belum di beri kesempatan berbahagia.

Kirana berharap di kehidupan ini Bagas tidak bernasib sama pada kehidupan masa lalunya. Ia ingin pria itu bahagia pada kehidupan ini, apapun bentuk bahagia nya asalkan Bagas bisa tersenyum dan lupa akan sakit hatinya. Wanita di depannya itu terdiam beberapa saat, sempat menahan nafasnya mendengar kata-kata Kirana yang terdengar sungguh merendah dan tulus mencintai putranya itu.

“Kenapa kamu berterima kasih sama saya Kirana, saya sudah menyuruh kamu meninggalkan Bagas.”

“Karena tanpa Ibu, Bagas tidak akan menjadi Bagas yang seperti saya kenal, Buk. Dia baik. Saya harap siapapun pasangannya nanti, ia juga sama baiknya seperti Bagas.”

“Dan kamu masih mendoakan kebahagiaan dia?”

Kirana mengangguk, “karena Bagas sudah memberikan banyak kebahagiaan pada saya.”

Ibu menelan salivanya susah payah, tenggorokannya terasa tercekat. Entahlah perasaan ini pantas disebut apa tetapi Ibu merasa sangat tersentuh pada ucapan Kirana. Benci ia mengakui jika wanita muda yang dicintai putranya itu terlihat begitu tulus menyayangi Bagas. Demi pendiriannya yang teguh, ia angkat kembali dagunya demi menepis perasaanya yang sudah disentuh itu.

“Saya juga ingin mengucapkan terima kasih karena telah melepaskan Bagas.”

Bersambung...