Bab 45. Melerai Halimun
“Widih gaya nya, tumben ngaca melulu kamu, Ga. Udah kaya cupang.” Ethan terkekeh pelan, dia duduk di kursinya dan memperhatikan Raga yang sedang menata rambutnya itu.
Akhir-akhir ini menurut Ethan, Raga tidak seperti biasanya. Bukan ke hal-hal yang buruk memang, tapi Raga banyak melakukan kebiasaan kecil yang menurut Ethan bukan Raga sekali seperti saat ini pria itu membawa baju ganti yang rapih, berdandan seperti pria berusia dua puluhan dan menata rambutnya itu dengan rapih. ya walau biasanya juga rapih walau hanya di sisir saja. Terlebih, Raga sering sekali ketahuan senyum-senyum sendiri olehnya. Persis seperti seorang remaja yang sedang kasmaran.
Ethan senang melihatnya, karena Adik iparnya yang terkenal kaku dan jarang bicara itu jadi terlihat lebih hidup. Dalam hati Ethan menebak jika Raga memang sedang jatuh cinta, tebakannya mungkin pada Maurin sekertaris temannya yang ia kenalkan pada Raga satu bulan lalu atau bisa saja dengan Jessica Adik dari koleganya itu. Ah, terserah Raga saja yang penting menurut Ethan kedua wanita itu baik dan sangat cocok untuk Adik iparnya itu.
“Masa cupang sih, Mas. Yang bener aja,” Raga menghela nafasnya, kembali memastikan jika dirinya benar-benar rapih. Dia ganteng gini kok disamakan dengan cupang, pikir Raga.
“Bercanda, mau kemana si kamu? Jalan sama Maurin atau ama Jessica nih?” Ethan menaik turunkan alisnya menggoda Raga.
Raga terkekeh, ia merapihkan tab miliknya dan memasukannya ke dalam tas. Bersiap untuk pulang karena ini memang sudah jam pulang kantor, ya walau bisa di bilang Raga pulang sedikit telat karena harus menyelesaikan pekerjaanya dulu. Walau bisa dibilang di kantornya sekarang ini ia sering over working tapi Raga cukup menikmatinya. Karena Ethan banyak membantu Raga, rekan-rekan kerjanya juga baik dan sangat supportif padanya. Ya, meski terkadang ia suka merindukan suasana kantor yang santai seperti di firma tempatnya dulu bekerja.
Terutama pada Satya dan juga Almira, ngomong-ngomong soal Satya. Pria itu menduduki posisi Raga di sana. Raga senang karena menurutnya hal itu pantas didapatkan oleh Satya. Pria itu juga sudah menikah, sedangkan Almira. Meski sempat tidak semangat bekerja karena Kirana yang mengundurkan diri. Tapi akhirnya Wanita itu kembali menemukan semangat bekerjanya berkat anak magang yang baru di sana, kebetulan mereka sama-sama seorang penggemar Kpop. Awal-awal Kirana keluar, Kirana lebih sering terlihat bersama dengan Raka.
Raka memang dekat dengan Almira seperti Satya, pria itu juga yang banyak mengajari Almira jika ada hal-hal yang tidak wanita itu mengerti. Raga lega mengetahuinya, setidaknya teman-temannya di sana masih bertahan meskipun ia sudah tidak bekerja di sana, beberapa kali Raka dan Satya juga sering mengajak Raga untuk bertemu entah untuk ngopi atau bermain futsal.
“Bukan sama keduanya, Mas.” Raga tersenyum, ia memakai tasnya bersiap untuk segera keluar dari ruang bekerjanya.
“Loh? Sama siapa?” Ethan penasaran setengah mati.
Alih-alih menjawab, Raga justru menepuk pelan pundah Ethan. Ia belum ingin bercerita tentang Kirana pada siapapun, ya palingan hanya Adel saja yang tahu kalau ia dan Kirana sempat berbicara berdua sewaktu di toko kue itu. Selebihnya Raga belum bercerita apapun lagi.
“Raga jalan ya, Mas.” Raga keluar dari ruanganya, menyisakan Ethan dengan banyak pertanyaan dikepalanya dan juga rasa penasaran dengan siapa Raga hendak bertemu.
Hari ini Raga memang berniat ingin mampir ke toko tempat Kirana bekerja, ia ingin membeli beberapa kue disana sekaligus mengajak Kirana mencari makan malam. Tentunya Raga sudah tahu hari ini giliran Kirana mendapatkan shift siang, makanya Raga sekalian saja mengambil waktu lemburnya agar saat ia ke toko tempat Kirana bekerja ia tidak menunggunya terlalu lama.
Mobilnya berhenti di toko kue tradisional itu, Raga memarkirkannya disana. Dari luar memang toko nya agak sedikit ramai. Terlihat dari parkiran kendaraanya yang lumayan dipadati motor dan juga mobil, ada beberapa layanan pesan antar juga yang sedang mengantre menunggu didepan toko sampai pesanannya dipanggil oleh staff yang berjaga. Beruntungnya, Raga masih kedapatan tempat duduk. Jadi ia langsung mengambil tempat disana dan memesan minuman, Kirana sudah tahu jika Raga datang. Wanita itu sempat tersenyum waktu melihatnya, ia masih berdiri didepan meja kasir dengan senyum manisnya.
Raga sempat memesan kopi aceh gayo, klepon, putu ayu dan juga dadar gulung yang masing-masing satu buah. Raga tidak ingin terlalu kenyang karna masih ingin mengajak Kirana makan gulai setelah wanita itu selesai bekerja.
“Di lanjut aja kerjanya, saya tunggu dikursi sana ya?” ucapnya sewaktu ia membayar semua pesanannya dikasir.
“Mas gak kelamaan nunggu saya?”
Raga menggeleng, “enggak kok, masih ada yang harus saya kerjain. Kamu lanjut aja.”
Perihal ini memang alasan Raga saja, kerjaanya sudah selesai ia kerjakan di kantor. Ia hanya membuka tab miliknya dan melihat-lihat sosial media dan terkadang ia juga melihat kontrak proyek yang baru, dari mejanya sembari memakan kue yang ia pesan terkadang Raga juga curi-curi pandang dengan Kirana, kemudian tersenyum dan menikmati jutaan kupu-kupu gila yang berterbangan diperutnya. Raga sangat menikmati sensasi ini, bahkan hanya dengan memikirkan Kirana saja ia sudah bisa menguntai seulas senyum diwajahnya.
Raga sudah tidak menyangkal perasaanya lagi seperti kemarin-kemarin jika ia memang jatuh cinta dengan Kirana, ia melepaskan perasaanya itu dan menikmati setiap prosesnya. Jika ditanya ia mulai mendekati Kirana mungkin Raga akan menjawab, ya, toh saat ini Kirana sedang tidak menjalin hubungan dengan siapa-siapa kan. Ia ingin memberikan dirinya sendiri kesempatan untuk setidaknya lebih memahami wanita itu.
Sesekali saat dilihat gerak Kirana mengarah padanya, Raga buru-buru mengalihkan fokusnya kembali ke tab miliknya. Ia masih malu jika kepergok Kirana tengah memperhatikannya, saat ia memeriksa kembali arlojinya saat ini sudah pukul sembilan malam dan sepertinya staff di sana tengah bersiap-siap untuk menutup toko, maka Raga dengan tahu diri berkemas dan memilih menunggu Kirana di dalam mobil di parkiran.
Sekitar pukul sepuluh lewat dua puluh menit barulah Kirana keluar dan menghampiri Raga didalam mobilnya, wajah wanita itu agak sedikit kelihatan lelah. Wajar saja bekerja di toko dan melayani banyak pengunjung yang datang pasti membuat energi Kirana terkuras lumayan banyak.
“Hai,” sapa Raga sewaktu Kirana masuk.
Kirana senyum, ada semburat kemerahan yang terlihat dikedua pipinya. Entah itu karena riasan yang wanita itu pakai atau karena ia malu, entah lah tapi Raga sangat menyukai kemerahan diwajah cantik itu.
“Mas, lama banget yah nunggu saya?” Kirana merasa tidak enak pada Raga, padahal sejak tadi siang ia sudah mewanti-wanti Raga untuk datang jam sepuluh saja jika memang ingin mengajaknya makan malam.
“Lumayan, tapi ya gak kerasa juga kok, Na. Tadi saya sambil ngerjain kerjaan beneran kok.”
Kirana mengangguk, “bener, Mas?”
“Iya serius.” Raga jadi agak sedikit salah tingkah, dalam hati ia meruntuki dirinya agar tidak melakukan hal-hal konyol yang membuatnya malu didepan Kirana. “Ah, iya. Kamu suka gulai gak?”
“Suka kok.”
“Mau makan gulai ditempat langganan saya?”
“Boleh.”
Kirana memang bukan orang yang milih-milih makanan, tidak ada makanan kesukaan juga karena ia bisa memakan apa saja yang menurutnya enak. Diperjalanan mereka banyak bertukar cerita tentang hari ini, seperti Raga yang bertanya pada Kirana apakah bekerja menjadi pelayan toko jauh lebih menyenangkan dari pada bekerja di kantor dulu, atau Kirana yang bertanya pada Raga bagaimana suasana kantor tempat kerja Raga yang baru.
“Kalau capek ya jelas lebih capek di toko yah, Pak. Tapi seru aja gitu saya bisa nyobain kue dan jadi dapat ilmu bagaimana cara buatnya.”
“Oh ya? Jadi kamu udah bisa bikin kue apa aja nih selama kerja disana?” Raga agak sedikit menoleh, tertarik sekali dengan pembahasan tentang kue tradisional ini. Raga memang baru menyukai kue tradisional sejak tahun kemarin, sebelumnya ia hanya menyukai kue cubit, roti, croissant atau kue-kue luar lainnya. Itu karena dulu saat Mbak Adel masih berkuliah diluar negeri, Raga senang sekali mengunjunginya dan berakhir Raga jatuh cinta pada makanan-makanan western.
“Banyak sih, Mas. Dadar gulung, sosis solo, lemper, onde-onde sampe kue cucur saya bisa. Oh iya, saya juga udah bisa ngedekor birthday cake.”
“Oh ya?!” Raga tersenyum, ia sempat menoleh ke arah Kirana. Wanita itu kelihatan sangat bersemangat saat menceritakannya. “Kapan-kapan mau gak ajarin saya?”
“Bikin apa, Mas?”
“Apa aja yang kamu bisa.”
Kirana tersenyum, “boleh.”
“Di dapur rumah kamu kan ada alat-alat untuk baking punya Mbak Adel, dipakai aja, Na. Gapapa.”
Rumah yang Kirana tempati memang sudah ada barang-barang milik Adel, barang yang Kirana bawa dari rumahnya hanya sedikit seperti lemari, foto keluarga dan baju saja. Kebanyakan memang barang milik Adel dan selama itu pula barang-barang didapur hanya Kirana pakai seperlunya saja. Meski ia menyewa, ia merasa tidak boleh lancang memakai barang-barang Adel yang lain seperti oven, mixer dan alat-alat membuat kue lainnya. Meskipun ia sangat ingin sekali memakainya.
“Mas serius? Tapi kan itu punya Mbak Adel, saya enggak enak makainya.”
“Gapapa, Na. Mbak Adel bilang ke saya malah kalo gak dipakai sayang, jadi jangan sungkan buat pakai ya.”
Kirana tersenyum dan mengangguk, ia senang sekali mendengar hal ini dan rasanya ingin secepatnya untuk segera menunggunakan alat-alat membuat kue itu. Mungkin jika ia sudah dapat giliran libur, ia akan memakai hari liburnya untuk membuat kue dan membaginya ke Mbak Adel dan Mas Ethan sebagai ucapan terima kasih. Atau mungkin kalau orang tua Raga dekat, ia akan sering-sering membuatkan kue untuk orang tua Raga itu.
Keduanya turun dari mobil setelah Raga menemukan tempat parkir, agak sedikit jauh dari warung gulai kambing. Mereka berjalan sedikit, masih sembari mengobrol dan sama sekali tidak ada kecanggungan, semua mengalir seperti sesuai rencana Raga. Ia lega dirinya tidak melakukan hal-hal bodoh.
“Kabar Mama dan Papa Mas Raga gimana? Saya sudah lama gak ketemu sama mereka.” Kirana duduk setelah keduanya mendapatkan kursi, ia juga sempat menyingkir piring bekas makan pengunjung lain yang belum sempat dibersihkan.
“Baik, Na. Mereka tanyain kamu terus loh. Bulan depan mereka mau ke Jakarta, nanti ketemu ya?”
Diam-diam Kirana mengulas senyumnya, dada nya terasa hangat mendengar ucapan Raga barusan. Ia benar-benar disambut baik oleh keluarga Raga, berada ditengah-tengah keluarga Raga membuat Kirana seperti menemukan arti sebuah keluarga kembali.
“Kok merah matanya kenapa, Na?” Raga memperhatikan Kirana yang sempat terdiam dengan mata merah yang sedikit berkaca-kaca. Raga sempat berpikir apakah ia salah bicara dan jika iya, ia sangat menyesali ucapannya.
“Ah..” Kirana terkekeh, ia mengusap matanya dengan telunjuk tangannya. “Maaf yah, Mas. Saya cuma terharu aja sedikit.”
“Terharu?”
Kirana mengangguk, “saya senang aja, Mas. Bisa diperlakukan baik sama keluarga Mas Raga. Sama Om dan Tante, Mbak Adel dan Mas Ethan. Selama ini saya ngerasa kehilangan arti sebuah keluarga dihidup saya.”
Pandangan Kirana mengawang, dalam hati ia membandingkan keluarganya dan keluarga Raga juga keluarga Bagas yang sangat membencinya. Menurutnya keluarga Bagas dan keluarga dari mendiang Bapaknya Kirana tidak berbeda jauh, mereka sama-sama membenci Kirana bahkan disaat ia sudah menunjukan sisi terbaik dirinya. Ia tidak diterima, dicaci, bahkan diabaikan saat kumpul keluarga. Ditempatkan ditempat paling belakang rumah mereka, dapur. Tempat yang terlalu sering Kirana ambangi ketika sedang kumpul keluarga.
Ia bahkan lebih sering berinteraksi dengan asisten rumah tangga disana ketimbang oleh Budhe, Pakdhe, Om dan Tantenya. Ah, bahkan sepupunya sendiri. Selama ini Kirana tahan karena memandang Ibu dan Bapak tapi setelah Bapak meninggal semuanya Kirana tinggalkan, ia tidak perduli lagi jika mereka tidak menganggap Kirana sebagai keponakan sekalipun.
“Keluarga saya itu suka sekali sama kamu, Del. Terutama Ibu. Jadi jangan sungkan untuk bertemu mereka ya, mereka bakalan senang sekali kalau dikunjungi kamu.” Raga jadi tidak tega sendiri, ia ingin tahu banyak tentang Kirana. Namun ia akan tetap menunggu hingga wanita itu siap bercerita.
Raga sempat berdiri dan meninggalkan Kirana sebentar untuk memesan gulai kemudian duduk kembali menunggu hingga pesanan mereka diantar. “Kabar Budhe kamu gimana?”
“Budhe baik, Mas. Dia juga masih suka tanya kabar saya disini dan nyuruh saya beberapa kali pulang ke Semarang.”
“Oh ya?”
Kirana mengangguk, “Budhe satu-satunya keluarga yang saya punya sekarang. Sisa nya gak ada yang mengakui saya keluarga mereka.”
“Kenapa, Na?” Raga sudah tidak tahan, ia ingin lebih memahami lagi diri Kirana.
“Dulu, waktu Bapak saya masih ada dan perusahaanya masih berjalan, Mas, Keluarga dari mendiang Bapak itu sangat baik ke keluarga saya. Ke Ibu dan Bapak, Bapak banyak bantu adik dan kakak nya untuk bekerja di perusahaan Bapak. Sampai akhirnya, perusahaan yang Bapak bangun itu hancur karena Adik korupsi. Banyak sekali investor yang kecewa dan mencabut investasi di kantor Bapak, sampai puncak waktu perusahaan Bapak bangkrut. Sikap keluarga Bapak saya berubah semua sulit di hubungi saat Bapak butuh, mereka bilang tidak ingin terseret-seret dalam hutang Bapak”
Cerita Kirana sempat terhenti sejenak karena pemilik warung di pinggir jalan itu membawa pesanan mereka, dua mangkuk gulai kambing, nasi yang ditaburi bawang goreng dan juga dua gelas es teh manis. Setelah mengucapkan terima kasih pemilik warung itu menyingkir. Raga sempat mengambil sendok dan garpu dan membersihkannya dengan tisu, kemudian memberikan alat makan itu untuk Kirana sembari menunggu kelanjutan cerita wanita itu.
“Sambil makan aja ya, gapapa kan?” tanya Raga memastikan. Ia yakin Kirana masih ingin bercerita. Ia juga masih ingin tahu kelanjutannya.
Kirana mengangguk kecil, “Bapak depresi karena hutang dan sikap keluarganya. Sampai akhirnya memutuskan untuk mengakhiri hidupnya, waktu Bapak meninggal keluarganya bahkan gak ada yang melayat semua saya hadapi berdua dengan Ibu sampai soal hutang-hutang Bapak. Saat Bapak jatuh saya ngerasa kehilangan arti keluarga itu sendiri, Mas. Keluarga yang selama ini Bapak saya bela dan bantu ternyata gak sebaik yang saya pikir. Makanya saya terharu sekali bisa di perlakukan dengan baik sama keluarga Mas.”
Raga benar-benar baru tahu hal ini, hatinya ikut sakit membayangkan betapa jahatnya keluarga dari pihak Bapaknya Kirana. Nafsu makan Raga rasanya menipis, ia masih memperhatikan bagaimana bibir kecil itu melengkuk mengulas sebuah senyum diakhir ceritanya. Bahkan saat Kirana menyuap nasi dan gulai itu pun, Raga masih diam. Mendengar hal ini membuat keinginan Raga untuk melindungi dan menemani Kirana kian memuncak, ia juga ingin terus mamastikan jika wanita itu bahagia.
Bersambung...