Bab 48. Suara Laki-Laki
Sudah tiga bulan Asri tidak pernah lagi datang ke rumah Raka untuk menjenguk Reisaka, awalnya Raka masih menghubungi wanita itu untuk bertanya alasannya tidak datang dan Asri pun masih memberikan alasan yang masuk akal baginya. Asri mengatakan jika ia sibuk di butik, Raka tahu butik yang didirikan oleh wanita itu memang sedang ingin membuka cabang lain. Masih di daerah Jakarta tentunya dan saat itu Raka masih menghargai kesibukan Asri meski tetap saja menurutnya itu melanggar perjanjian mereka, lalu pada minggu-minggu berikutnya Asri tidak dapat dihubungi. Bahkan nomer ponsel Raka, wanita itu blokir sejak itulah Raka mulai berasumsi jika Asri kembali mangkir dari tanggung jawabnya sebagai seorang Ibu.
Beberapa hari yang lalu, Raka mengikuti Asri dengan sangat nekat. Mengikuti semua kegiatan wanita itu seperti seorang pengutit, namun yang dilakukan oleh Asri hanya berada di rumah Bagas. Ya, tentu saja Raka tahu itu rumah Bagas karena Asri pernah beberapa kali keluar dari rumah itu bersama Bagas. Raka tidak membenci Bagas, justru ia kasihan dengan pria itu karena Raka yakin Bagas tidak tahu jika Asri menipunya dan keluarganya.
Hari ini pria itu berdiri di lorong IGD disebuah rumah sakit setelah menyelesaikan administrasi, wajahnya kusut, hatinya gundah gulana dan rambut yang biasanya ia tata serapih mungkin itu berantakan seperti tidak terurus. Itu semua disebabkan karena Reisaka sakit. Dari kecil, anak itu sudah mengalami lemah jantung. Reisaka tidak bisa terlalu capek itu akan membuatnya mudah sekali sakit seperti sekarang ini. Sejak Asri tidak datang lagi ke rumahnya, bocah itu selalu bertanya pada Raka kemana Ibunya, kenapa tidak pernah datang lagi? Dan tidak ada yang bisa Raka katakan banyak pada Reisaka selain janji jika ia akan membawa Ibunya kembali ke rumah mereka.
Raka mencoba menghubungi Asri kembali, namun nihil. Wanita itu tetap tidak membuka kontak blokir pada ponselnya agar Raka bisa menghubunginya. Ia pernah bertekad pada dirinya sendiri bahwa ia akan membuat Reisaka melupakan Asri, membuat bocah itu lupa jika ia mempunyai Ibu. Tapi sialnya, Reisaka terlalu sayang pada Asri. Ini semua salahnya memang karena memperkenalkan Asri pada Reisaka jika wanita itu adalah sosok Ibu yang baik dan sangat menyayanginya. Waktu itu Raka hanya tidak ingin Reisaka membenci Ibunya.
Pagi itu Raka menghubungi nomer seseorang, ia mungkin tidak akan masuk kerja untuk beberapa hari ke depan karena harus menjaga Reisaka. Kalaupun ia harus tetap bekerja, ia akan meminta mengerjakan pekerjaanya itu dari rumah sakit saja.
“hallo, Ka. Kenapa?” suara bariton dari seorang pria disebrang sana seperti mengintrupsi Raka dari lamunannya akan Reisaka.
“Hallo, Pak Satya. Saya minta maaf, Pak. Kayanya hari ini dan beberapa hari ke depan saya enggak bisa ke kantor, Pak.”
“kenapa, Ka? Lo sakit?“
“Bukan gue, Pak.” Raka sudah tahu jika Satya memanggilnya dengan sebutan 'lo gue' maka Satya hadir sebagai temannya alih-alih atasannya itu. “Tapi anak gue.”
“terus sekarang dimana, Ka? Diopname atau lo rawat sendiri di rumah?“
Raka menghela nafasnya berat, “diopname, Pak.”
“yaudah kalau gitu, semoga cepet sembuh. Nanti sore gue sama anak-anak jenguk ya. Jagain dulu aja, tapi gue minta HP lo tetap stan by ya.“
“Siap, makasih, Pak.”
“sama-sama, Ka.“
Setelahnya sambungan telfon itu ditutup oleh keduanya dan Raka kembali ke dalam IGD untuk menemani anaknya, Reisaka, bocah itu masih tertidur pulas setelah selang infus tertanam dinadinya. Wajahnya pucat dan bocah itu sempat mengeluh jika dadanya sakit, sejak kemarin Reisaka terus mengigau memanggil Asri. Awalnya Raka masih menghargai Asri karena wanita itu adalah Ibu dari anaknya, mengesampingkan dendam jika Asri mengabaikan Reisaka dan meninggalkannya. Tapi dendam itu kini muncul kembali menguasainya ketika Asri mengingkari janjinya, ia akan membuat hidup wanita itu tidak bahagia, ia berjanji pada dirinya sendiri dan juga Reisaka.
Ketika Reisaka sudah mendapatkan kamar rawat inap dan sudah di pindahkan ke sana, Raka baru bisa sedikit beristirahat, ia sempat bersandar disofa sebelum akhirnya kembali beranjak ketika pintu ruang rawat anaknya itu terbuka. Raka pikir tadinya itu suster atau staff yang mengantar snack malam untuk Reisaka, namun ternyata itu teman-temannya. Ada Almira, Satya, Kirana dan juga Raga.
“Astaga, kalian beneran dateng rombongan kaya gini.” Raka tersenyum, sedikit terhibur teman-temannya itu menjenguk anaknya.
“Iya, Mas. Tadi Mas Satya ngabarin kita, terus langsung janjian buat ke rumah sakit bareng,” jawab Kirana.
“Gimana keadaan Reisaka, Ka?” Satya bertanya lebih dulu, pria itu sempat melirik ke ranjang Reisaka dan mendapati bocah itu masih terlelap di ranjang rawatnya. Memeluk boneka bebek dalam selimut yang sedikit tebal itu, terlihat nyaman.
“Udah mendingan, Pak. Tadi dia ngeluh nyeri didadanya makanya langsung saya bawa ke sini.”
“Reisaka sakit apa, Mas?” kali ini Kirana yang bertanya setelah ia memperhatikan wajah Reisaka yang pucat. Dilihat langsung seperti ini Reisaka benar-benar mirip Raka, tapi ada kilas dari bocah tersebut yang mengingatkannya pada seseorang entah itu siapa.
“Dari kecil dia sudah lemah jantung, Na.”
“Berarti Reisaka lagi drop, Ka? Kecapekan kah?” Raga gak tau banyak tentang lemah jantung, tapi membayangkan anak sekecil itu sudah memiliki penyakit yang berat seperti itu saja membuat hatinya sedih.
“Sebenarnya sih enggak, Ga. Dia belum gue daftarin sekolah juga, kegiatannya masih di rumah aja. Reisaka mungkin drop karena dia kangen Ibu nya.”
Ibunya? Pikir Raga, apa yang dimaksud Ibu dari Reisaka itu adalah Asri? Wanita yang sempat ada di rumah Bagas sewaktu ulang tahun Ibunya itu dan beberapa kali pernah bertemu dengannya, bahkan bertemu dengannya sewaktu di cafe bersama dengan Raka dan anaknya. Bocah itu juga sangat terlihat akrab dengan Asri.
Almira hanya diam saja, dia sudah kenal sama Reisaka karena bocah itu pernah diajak Raka beberapa kali ke kantornya. Almira juga pernah sekali mengajak Reisaka makan ice cream saat Raka menitipkannya. “Mas Raka?”
Raka menoleh ke arah Almira, wanita yang sedari tadi hanya diam saja itu membawa boneka yang ia peluk dilengannya. Itu sebuah boneka Donal Duck, karakter kartun kesukaan Reisaka. “Ya, Mir?”
Almira memberikan boneka itu pada Reisaka dan langsung saja diterima oleh pria itu. “Ini buat Reisaka, Mas. Waktu dia aku ajak ke kosanku, Reisaka sempat minta boneka ini. Tapi enggak aku kasih karena ini dari mantanku”
Raga, Satya, Kirana dan tentunya Raka saling melempar pandangan satu sama lain. Ingin tertawa namun mereka tahan, bukan karena ekspresi wajah Almira yang terlihat begitu sedih melainkan karena kata-katanya. Satya bahkan hampir melepas tawanya, pria itu tahu persis mantan Almira yang mana yang wanita itu maksud.
“Buat Reisaka aja, semoga dia cepat sembuh ya, Mas. Nanti kalau dia bangun tolong bilangin kalo aku ke sini kalau dia udah sembuh nanti aku janji traktir dia es krim lagi. Um.. Sebenarnya aku sempat nyari Donal Duck nya yang mirip kaya gitu tapi enggak ketemu.”
“Kamu ngasih ke orang kok bekas sih, Mir?” bisik Raga.
“Ih, Pak. Orang Reisaka nya sendiri yang mau kok waktu itu, lagian itu limited edition tau.” pekik Almira tertahan, agak sedikit enggak terima.
“Mas, udah biarin aja sih jahil banget.” samber Kirana, tidak ingin ada keributan kecil terjadi karena komentar Raga yang agak sedikit menyebalkan itu. Almira yang berdiri disamping Kirana itu langsung menjulurkan lidahnya meledek Raga, ia merasa dibela oleh Kirana.
Hal itu menjadikan sedikit hiburan untuk Raka, pria itu sempat terkekeh pelan. “Makasih yah, Mir. Nanti kalau dia udah bangun aku pasti kasih tau kamu ke sini. Makasih juga kalian udah datang buat jenguk Reisaka, doain anak gue cepet sembuh yah. Hati gue hancur banget liat dia sakit.”
Jawaban itu seketika membuat yang lainnya paham, dalam hati Kirana benar-benar kagum dengan Raka yang sudah menjadi orang tua tunggal untuk anaknya. Raka hanya pernah bercerita padanya jika Ibu dari Reisaka pergi meninggalkan anaknya, mereka menjenguk Reisaka tidak begitu lama karena jam besuk juga sudah habis. Hanya sekitar 45 menit saja, begitu Raga dan yang lainnya ingin pamit Raka sempat menahan Kirana dahulu karena ada yang harus dia bicarakan pada Kirana. Kirana menyuruh yang lainnya untuk lebih dulu turun ke loby rumah sakit dan nantinya ia akan menyusul setelah berbicara dengan Raka, mereka enggak keluar dari ruangan tempat Reisaka dirawat mereka hanya berbicara sedikit lebih jauh dari ranjang Reisaka.
“Ada apa sebenarnya sih, Mas?” tanya Kirana begitu teman-temannya yang lain sudah pergi.
“Maaf, Na. Kalau pertanyaan aku mungkin sedikit nyinggung kamu.”
“Mau tanya apa sih, Mas?”
Raka menghela nafasnya pelan, ia tetap merasa harus bertanya hal ini pada Kirana meski mungkin saat ini tidak ada sangkut pautnya dengan Kirana lagi. “Gimana kabar Bagas, Na? Kamu tau dia resign dari kantor?”
Pertanyaan itu membuat hati Kirana sedikit terenyuh, ia tidak tersinggung sama sekali. “Saya enggak tau banyak, Mas. Saya cuma tau Bagas sakit karena waktu itu Adiknya sempat nemuin saya sekitar tiga bulan yang lalu, Bahkan saya gak tau kalau dia sampai resign. Kanes pun enggak cerita. Kenapa, Mas?”
Raka menggeleng pelan, “Gapapa, Na. Saya pikir kamu masih berkabar sama dia. Saya cuma sedikit prihatin aja sama dia.”
Wajah Raka kelihatan bingung seperti ada yang ingin dikatakan pria itu namun tertahan dibibirnya, Raka benar-benar bingung harus dari mana ia memulai pembicaraan tentang Bagas dan Asri. Awalnya ia ingin bertemu dengan Bagas untuk memperingati pria itu sendiri untuk berhati-hati pada Asri, namun ia mengurungkan niat itu karena setiap kali ia menghubungi Bagas ponsel pria itu tidak pernah aktif dan terkadang tidak diangkat panggilannya tanpa ada panggilan balik dari Bagas.
Raka menduga jika Bagas memang sedang butuh waktu sendiri, beberapa waktu lalu setelah ia dan yang lainnya tahu jika Bagas dan Kirana sudah putus. Bagas sering sekali terlihat frustasi, linglung bahkan Bagas pernah meminta Raka untuk menemaninya minum di sebuah bar. Raka pernah beberapa kali menemani Bagas minum dan mengantar pria itu pulang ke kontrakannya karena terlalu mabuk.
“Prihatin kenapa, Mas? Karena keadaan dia setelah putus dari saya?”
“Um, bukan, Na. Bukan itu. Ya itu termasuk juga tapi yang saya maksud disini bukan itu.”
“Terus?” Kirana mengerutkan keningnya bingung.
“Kamu tau kalau Bagas lagi dekat sama perempuan lain? Ah, gini. Dia pernah cerita tipis-tipis ke aku kalau dia dijodohin kamu kenal perempuan itu?”
Kirana sempat diam sebentar, ada sedikit rasa penasaran dari ucapan Raka. Seperti pria itu tahu sesuatu, “kenal, Mas. Namanya Asri. Kenapa?”
“Na, saya kenal sama perempuan itu.”
“Maksud Mas Raka?”
“Asri itu Ibu dari anakku, Na. Dia Ibunya Reisaka.”
Mendengar ucapan itu Kirana terdiam ia kaget bukan main, pantas saja selama ini dia melihat Reisaka itu seperti perpaduan orang yang ia kenal dan ternyata orang itu adalah Asri dan Raka sendiri. Yang Kirana pikirkan saat itu kemungkinan orang tua Bagas sudah mengetahui hal ini, banyak sekali spekulasi dikepala Kirana tentang seperti apa hubungan kedua orang tua Bagas dan orang tua Asri sampai akhirnya keduanya sepakat menjodohkan anak mereka.
Atau jangan-jangan hubungan Asri dan Raka kandas karena Asri diminta berpisah dari Raka karena ingin dijodohkan oleh Bagas? Kalau begitu Raka juga korban sepertinya bukan? Lalu, Raka ingin apa dari Kirana sampai-sampai harus mengatakan hal ini padanya? Bekerja sama untuk merebut Bagas dan Asri kembali? Pikir Kirana tidak karuan.
“Mas Raka pernah menikah sama Asri?” tanya Kirana gugup.
Raka mengangguk, “Iya, Na. Dulu. Saya nikahin Asri karena dia hamil Reisaka. Setelah Reisaka lahir, dia minta pisah sama saya dan ikut orang tua nya ke Jakarta. Dia bahkan gak pernah ngurus Reisaka dari bayi, Na. Dan saya waktu tau dia ke Jakarta itu buat di jodohin sama laki-laki lain dan benar-benar gak menganggap kalau Reisaka ada dihidupnya sebagai anak dia itu saya marah banget, saya mau balas dendam sama Asri dan keluarga laki-laki itu.”
“Mas Raka mau balas dendam sama Bagas?” pekik Kirana kaget.
“Iya, Na. Tadinya tapi sekarang enggak karena Asri bikin kesepakatan sama saya kalau dia bakalan janji nemuin Reisaka dan hadir sebagai Ibu nya. Dia janji bakalan jagain Reisaka seminggu dua kali, tapi janji itu dia ingkarin setelah kamu dan Bagas putus dan Bagas sakit. Saya tau ini saat-saat dia benar-benar dekatin Bagas.”
Saking bingungnya harus bersikap dan memberikan reaksi seperti apa, Kirana hanya menghela nafasnya pelan. Ia bukan satu-satunya korban disini karena keegoisan orang lain tapi ada Reisaka yang bahkan sejak dulu sudah menjadi korban keegoisan Asri, anak itu jauh lebih menyedihkan dibanding Kirana. Anak itu butuh Ibunya dan Asri justru seperti menghapus Reisaka dari hidupnya. Kirana bahkan enggak menyangka ada orang tua yang seperti itu didunia ini. Reisaka bahkan enggak tahu kenapa Asri harus memilih berpisah dengan Ayahnya.
“Na, orang tua Bagas itu enggak tahu kalau Asri pernah menikah dan punya anak. Asri nyembunyiin ini semua dari Bagas.”
“Terus Mas Raka mau saya kaya gimana, Mas? Kasih tau Bagas kalau perempuan yang lagi dekat sama dia sekarang itu punya anak?” Raka sempat terdiam, Kirana benar bagaimanapun hubungan keduanya sudah selesai dengan cara yang paling menyakitkan. Salah Raka juga harus menyeret Kirana dalam hal ini. Tentu saja wanita itu tidak akan mau, apalagi Kirana bukan tipe wanita yang suka menjelek-jelekan orang lain.
“Mas Raka, saya gak bisa bilang ini ke Bagas meski mau. Saya juga gak mau dia kecewa dan merasa ditipu. Tapi kalau saya bilang ini ke Bagas itu akan numbuhin harapan baru buat dia kembali sama saya, Mas. Dan itu cuma bikin orang tua Bagas makin benci sama saya. Hidupku udah jauh lebih tenang, Mas. Biarin Bagas tahu hal ini sendiri.” Kirana mengambil tas miliknya dan berdiri dari sofa tempat ia dan Raka duduk tadi.
“Maaf ya, Mas. Semoga Reisaka cepat sembuh, Kirana pamit.”
Diperjalanan pulang Kirana lebih banyak diam, ia duduk disebelah Raga dimobil pria itu yang sedang fokus mengemudi. Dikursi belakang ada Satya dan juga Almira. Mereka memang Raga jemput satu persatu dan sepakat menggunakan satu mobil saja, Raga pun masih harus mengantar Almira ke kosannya setelah mengatar Satya ke rumahnya. Sedari tadi Almira dan Raga terus mengobrol tentang suasana kantor Almira yang sekarang ini banyak di isi staff baru. Sedangkan Raga menimpalinya dan terkadang meledek Almira dengan menyinggung-nyinggung pacar Almira itu.
Dilampu merah pertigaan jalan hampir sampai kosan Almira, Raga melirik Kirana dan memperhatikan wajah wanita itu yang nampak masam. Kirana enggak banyak bicara, bahkan hanya diam saja sejak ia dan Raka sempat berbicara berdua. Entah apa yang keduanya bicarakan tapi yang jelas sangat terlihat sebuah perbedaan pada wajah Kirana saat pergi ke rumah sakit dan pulang.
“Tapi beneran aneh loh aku liat Pak Raga sama Mbak Kirana manggil Mas begini, merindingdong beneran aneh banget,” oceh Almira, tubuhnya ia condongkan ke depan menjadi seperti berada ditengah-tengah Kirana dan juga Raga, sesekali ia menelisik wajah keduanya itu.
“Ya apa yang aneh coba? Saya kan memang lebih tua dari Kirana, Mir. Dia juga adik tingkat saya di kampus dulu,” jelas Raga.
“Oh jadi Bapak nyadar ya kalau tua?” Almira menahan tawanya. “Aduh, becanda, Pak. Serius deh.”
“Kamu juga gak usah manggil saya pakai sebutan Bapak lagi, saya bukan Bapak kamu saya juga udah bukan atasan kamu kan?”
“Ya itu benar sih, terus Pak Raga maunya dipanggil apa dong? Mas juga kaya Mas Satya? Eh jangan deh, gimana kalau saya panggil Pakdhe aja?” Almira tertawa lepas, ia pernah mengatakan pada Kirana dulu kalau Raga punya kemiripan dengan Pakdhe dari Papi nya. Sama-sama perfectsionis dan sama-sama punya lirikan mata yang tajam dan menyebalkan.
“NGACO KAMU, MIR!” pekik Raga tidak terima.
“Eh, Mbak. Tapi Mbak ingat gak sih aku pernah bilang kalau Pak Raga mirip sama Pakdhe ku, Mbak?” Almira bertanya pada Kirana namun wanita itu tidak menyadarinya, Kirana masih larut dalam lamunan akan pikirannya sendiri. Lamunan akan obrolannya dengan Raka barusan.
“Mbak?” Almira memanggil Kirana sekali lagi dan kali ini berhasil membuyarkan lamunan Kirana.
“Ah, kenapa, Mir?”
“Mbak ngalamun?”
Raga sempat melirik Kirana sebentar, ia sudah memperhatikan Kirana sedari tadi yang memang kelihatan melamun. Namun ia pikir akan bertanya nanti saja setelah Almira sampai di kosannya, namun justru wanita itu yang bertanya duluan pada Kirana.
“Engga..k tadi itu aku sedikit ngantuk, maaf ya. Kenapa tadi?” Kirana jadi merasa tidak enak, ia benar-benar tidak menyimak obrolan Raga, Almira dan Satya tadi bahkan sampai Satya turun pun Kirana enggak menyadarinya.
“Beneran, Mbak?”
“Iya, Mir. Ngantuk ini, aku kan juga habis pulang kerja, habis shift pagi tadi tuh jadi berangkatnya pagi banget.” Alibi Kirana.
Almira mengangguk, ia sebenarnya ingin sekali mengajak Kirana kembali ke kantor. Bahkan Satya pun sudah sering menawari Kirana untuk kembali bahkan setelah Bagas resign namun Kirana masih belum mau menerima tawaran itu, Almira sempat berpikir mungkin di tempat Kirana sekarang bekerja wanita itu jauh lebih nyaman dan bahagia atau mungkin bisa mendapatkan passion barunya. Apapun itu selama Kirana bahagia Almira akan selalu mendukungnya.
“Pantesan, Pak habis ini anterin Mbak Kirana pulang kan? Kasian tuh dia udah ngantuk.”
“Iya iyalah, Mir. Kamu pikir saya setega itu sama Kirana yang lain saya antar pulang dia doang enggak. Ini kamu udah sampai di depan kosanmu tuh, cepet turun.” Agak pening kepala Raga mendengar ocehan Almira sedari tadi. Mana suaranya cempreng.
“Ihhh biasa aja lagi, Pak. Ini saya juga mau turun, Mbak, aku pulang ya, Mbak sampai rumah langsung istirahat ya,” ucap Almira sebelum wanita itu turun dari mobil Raga, Kirana hanya membalasnya dengan anggukan kecil saja.
Sebelum Raga kembali melajukan mobilnya menuju rumah Kirana, pria itu sempat mengambil ponselnya karena menyala dan menunjukan seseorang mengiriminya pesan. Itu dari Almira ternyata, wanita itu hanya mengatakan.
“*saya tau Bapak lagi dekat sama Mbak Kirana, Pak, Mbak Kirana itu baik banget, dia tulus banget sama orang lain. Saya harap kalau Bapak mau dekat sama dia Bapak bisa menyayangi dia ya, jangan sakiti Mbak Kirana ya, Pak. Dunia udah terlalu jahat sama dia, saya dukung Pak Raga sama Mbak Kirana.**”
Membaca pesan itu, Raga melirik ke balkon atas dan Almira masih ada disana memperhatikan mobil Raga dari atas. Sebelum masuk ke kamarnya, wanita itu mengacungkan ibu jarinya pada Raga yang melihatnya dari dalam mobil. Raga tersenyum, ia senang Almira mendukungnya. Tidak ada niat untuk menyakiti Kirana karena Raga hanya ingin memastikan wanita disebelahnya itu bahagia dan tersenyum. Sebelum melajukan mobilnya Raga sempat melihat Kirana kembali, wanita itu masih melamun.
“Na?” Panggil Raga, ia menyentuh punggung tangan wanita itu dan membuat Kirana menoleh ke arahnya. “Kenapa? Lagi ada yang di pikirin?”
“Mas?”
“Hm?”
“Ada yang mau saya ceritain, tapi nanti aja yah. Saya capek banget mau pulang dan istirahat.” Sejak dekat dengan Raga, apapun yang Kirana pendam rasanya selalu ingin ia bagi dengan pria itu. Termasuk soal Asri yang tadi ia bicarakan pada Raka katakanlah Raga saat ini menjadi teman bicaranya tentang harinya.
“Iya, saya antar kamu pulang ya.”
Bersambung...