Bab 49. Permintaan Maaf
Perlahan-lahan Bagas mulai merapihkan kembali hidupnya yang semula ia anggap berantakan, katakanlah seperti itu dan hari ini ia ingin menatanya ulang. Meski terasa berat ia yakin pilihan ini adalah jalan terbaik untuknya, sebuah impian yang sedari dulu ingin sekali ia lakukan. yaitu bekerja di luar negeri. Hari itu setelah sarapan paginya, Bagas kembali ke kamarnya untuk memeriksa surel miliknya, memeriksa kembali web-web tempatnya melamar pekerjaan di perusahan arsitektur yang berada di Den Haag. Dulu sekali sewaktu Bagas baru lulus kuliah ia ingin sekali bekerja di luar negeri, terutama di Belanda atau di Finlandia.
Setelah mengetahui jika Kirana memutuskan untuk tetap bekerja di Indonesia dan di Jakarta akhirnya Bagas memutuskan untuk bekerja di Indonesia juga, melamar ke perusahaan yang sama. Bagas enggak merasa Kirana menghalangi mimpinya, Bagas waktu itu hanya berpikir ia menundanya dulu sebentar sampai ia benar-benar mempunyai pengalaman untuk melamar kerja di luar negeri. Dan sekarang sepertinya waktu yang tepat untuk mewujudkan impian lamanya itu, sembari menyesap kopi dimeja belajarnya Bagas kembali menggulir layar tab miliknya itu.
Sampai ada satu ketukan pintu dari luar kamarnya yang berhasil menyita perhatiannya. Suara Ibunya terdengar dari luar, membuat Bagas menutup halaman pada tab miliknya itu dan menggantinya dengan aplikasi untuk menonton film. Bagas masih merahasiakan rencananya ini dari orang tua nya, ia takut ditentang lagi atau bahkan tidak didukung sama sekali.
“Masuk, Bu,” ucap Bagas, tak lama kemudian pintu kamarnya terbuka dan menampakan Ibunya. Wanita itu masuk ke kamar Bagas tanpa menutup pintu itu kembali, ia duduk dikursi samping Bagas duduk. “Kenapa, Buk?”
“Lagi apa, Mas?”
Rasanya sudah lama sekali Ibu tidak mengobrol dengan Bagas setelah perang dingin dengan anaknya itu. Ibu ingin sekali mengobrol dengan Bagas, tentang masa depan anak itu, tentang apapun yang saat ini Bagas tengah rasa, ah atau bahkan tentang rencana masa depan untuk Bagas yang Ibu dan Ayah sudah rancang untuk si sulung itu. Ibu yakin ini adalah yang terbaik untuk putranya.
“Lagi nonton aja, Bu. Kenapa?”
“Gapapa, Mas. Ibu cuma mau ngobrol sama kamu aja sebentar, gak kangen memang sama Ibu?”
“Hm.. Bagas kira kenapa, ya kangen, Bu. Kan kita udah lama enggak ngobrol kaya gini.” Bagas mengecilkan volume tab miliknya yang sedang menayangkan film Lalaland itu. Baru setengah Bagas tonton semalam dan belum ia selesaikan lagi.
“Makanya kamu jangan membangkang mulu, coba aja kemarin-kemarin kamu dengarin Ibu sama Ayah. Pasti enggak akan kejadian kamu sakit sampai harus resign kaya gini kan, Mas.”
Bagas meringis, Ibunya itu tidak pernah berhenti untuk mengungkit masalahnya dulu. Kemalangannya karena kehilangan Kirana dan kandasnya hubungan 8 tahun yang mereka jalin, ah, Bagas lupa sampai kapanpun baik Ibu dan Ayahnya mungkin tidak akan pernah memahami ini. Karena yang mereka pikirkan hanyalah anak-anak mereka menurut dan patuh pada setiap perintah mereka, kadang Bagas dan Kanes merasa hanya seperti boneka kedua orang tua mereka. Atau seperti sebuah thropy yang bisa mereka banggakan?
“Buk, udah yah. Gausah dibahas soal itu. Bisa?” Bagas memohon.
Ibu menghela nafasnya pelan, “Yasudah kalau gitu.”
“Makasih yah, Buk.”
“Terus plan kamu selanjutnya bagaimana, Gas? Mau bekerja lagi kamu? Mau kembali ke kantor dulu atau mau Ayah atau Ibu bantu supaya kamu bisa bekerja lagi, kalau tidak salah teman Ayah itu mau membangun firma arsitekturnya sendiri deh. Ayah bisa merekomendasikan kamu menjadi manager disana.”
“Buk, Bagas sejujurnya sudah punya rencana ingin apa dan bagaimana. Tapi Bagas perlu waktu buat memulainya, sabar yah, Buk. Bagas lagi berusaha sembuh.”
Ibu mengangguk pelan, lega mendengar si sulung ternyata sudah menata hidupnya lagi pelan-pelan. Ibu sempat berpikir jika Bagas sedang nyaman berjalan ditempat seperti sekarang ini. “Yasudah, Ibu lega dengarnya. Gas?”
“Ya, Buk?”
“Ibu, Ayah dan orang tua nya Asri habis bertemu kemarin malam. Kami sempat berbicara soal pertunganmu dan Asri yang kemarin sempat gagal, dan Ayah ingin bulan depan kamu dan Asri menikah.”
“Buk—” kedua bahu Bagas merosot, ternyata Ibu tidak pernah menyerah untuk hal yang satu ini. Belum sempat ia melontarkan ucapannya sepenuhnya Ibunya itu sudah menyelanya.
“Mas, Asri yang membuat kamu bangkit dan sembuh, dia yang nemenin kamu loh kalau kamu lupa. Dia sabar, dia buat kamu bisa keluar dari bayang-bayang wanita itu. Dia baik buatmu, Mas. Pilihan Ibu dan Ayah itu enggak pernah salah. Asri menerima kamu apa adanya, mendukung kamu bahkan dititik terendahmu setelah ditinggalin wanita itu. Kurang apa dia?” Jelas Ibu.
“Masalahnya bukan itu, Buk. Bukan tentang sebaik apa Asri sama Bagas. Ini tentang perasaan Bagas, Buk.”
“Perasaan apa? Mas, Ibu dan Ayah ini adalah contoh perjodohan orang tua kami yang sukses. Cinta, perasaan dan sayang itu bisa tumbuh karena terbiasa, seiring berjalannya waktu. Coba deh, Mas. Kamu nurut sama Ibu lagi kaya dulu, hidupmu akan baik-baik aja.”
Bagas terdiam, kepalanya terlalu sakit untuk menimpali ucapan Ibu. Bagas memang tengah membangun kembali harapan kecilnya lewat mimpinya dulu. Dan kini Ibu seperti kembali menghempasnya, mencoba menghilangkan kembali nyawa Bagas yang baru ia kumpulkan separuhnya setelah tadinya menghilang seluruhnya. Tidak ada jawaban yang keluar dari mulut Bagas dan Ibu menganggap itu adalah sebuah persetujuan dari putranya.
“Percayalah, Nak. Ayah dan Ibu sayang sekali sama kamu dan Kanes. Kami memang terlihat egois, Ibu tau kamu berpikir seperti itu, tapi keegoisan Ibu dan Ayah itu demi kebahagiaan dan masa depan anak-anak Ibu dan Ayah,” ucap Ibu sembari memeluk Bagas.
Selama ini kedekatan Asri dan Bagas, Ibu nilai sudah cukup. Sikap Bagas yang semula ketus pada Asri kini menjadi lebih ramah dan Ibu menilai jika Bagas perlahan sudah membuka hati untuk Asri, dan tidak ingin membuang kesempatan itu begitu saja, maka malam kemarin kedua orang tua itu memutuskan untuk menikahkan anak mereka secepatnya. Bahkan Ibu sudah mencari Wedding Organizer untuk membantu mengurus pernikahan Asri dan Bagas.
Asri sudah tahu, tentu orang tuanya dan Ibunya Bagas yang memberitahu semua ini. Wanita itu bahagia bukan main, bahkan setelah Ibu bercerita bahwa Ibu sudah berbicara pada Bagas dan pria itu tidak menolak permintaan Ibu. Pernikahan mereka akan di laksanakan bulan depan, Asri meminta resepsi pernikahan itu digelar secara sederhana saja hanya kerabat dan keluarga saja yang akan mereka undang.
🍃🍃🍃
Kirana tersenyum menatap kotak bekal yang sudah ia persiapkan sedari tadi, ia ingin memenuhi janjinya pada Raga untuk membawakan pria itu makan siang ke kantornya. Sebenarnya, Raga sudah bilang pada Kirana bahwa dia sama sekali tidak keberatan jika harus mengambilnya ke rumah Kirana, namun Kirana bilang ingin mengantarnya sendiri sekaligus ingin melihat kantor Raga yang baru. Bekal yang Kirana buatkan untuk Raga tampak sederhana memang, namun ia hias dan tata serapih mungkin hingga mengundang selera makan bangkit jika hanya dengan melihat dan mencium aromanya.
Kirana membuat ayam goreng ketumbar, pecel dengan sayuran segar yang sudah ia rebus dengan saus kacang yang ia pisah agar Raga bisa mencampurnya sendiri nanti dan tak lupa dengan tempe dan tahu bacem. Selain itu, Kirana juga membawakan Raga puding strawberry, tidak hanya untuk Raga pudingnya, tapi ia bawakan juga puding itu untuk Ethan. Membayangkan pria itu memakan masakannya dengan lahap saja sudah bisa membuat senyum diwajah Kirana itu mengembang dengan sempurna.
Setelah selesai menyiapkan kotak bekalnya, wanita itu bersiap-siap untuk ke kantor Raga kemudian langsung melesat ke tempatnya bekerja. Untungnya bus yang akan membawa Kirana ke kantor Raga itu tidaklah lama, diperjalanan ia melihat gedung-gedung tinggi menjulang dari dalam bus. Ia sedikit merindukan waktu-waktu menjadi karyawan kantoran disebuah firma arsitektur. Pekerjaan yang pernah ia anggap monoton, harus bangun pagi agar tidak terjebak macet, begitu sampai mejanya harus langsung memeriksa surel, menunggu jam makan siang, meeting, harus meninjau lokasi proyek dan itu terus ia lakukan selama beberapa tahun bekerja di firma arsitektur.
Sebenarnya Kirana selalu memiliki kesempatan untuk kembali ke kantornya dulu berkat Satya, namun ia belum siap atau mungkin bisa dibilang terlalu nyaman untuk bekerja sebagai karyawan toko. Gajinya memang tidak seberapa, tapi dengan gaji itu Kirana mampu menghidupi dirinya sendiri, sedikit mencicil hutang Bapak dan mendapatkan ketenangan hati. Terlebih yang lebih penting baginya adalah ia bisa merasa terus dekat dengan Ibu. Aroma dari toko kue tradisional itu memberikan kenangan tersendiri akan Ibunya, seragam yang Ibu pakai dan rasa-rasa makanan disana, toko itu terlalu melekat akan sosok Ibu.
Untuk sementara ini mungkin Kirana lebih nyaman seperti ini, begitu sampai digedung tempat Raga bekerja. Ia mengikuti arahan dari resepsionist untuk menunggu Raga dikursi, dan tak lama kemudian pria jangkung itu muncul ketika pintu lift terbuka, pria dengan lesung pipi, alis tebal dan hidung yang menjulang tinggi itu menghampiri Kirana. Disusul Ethan dan beberapa karyawan pria lainnya, membuat Kirana agak sedikit malu.
“Duh, dibawain makan siang dia, baru mau Mas traktir kamu, Ga.” Ledek Ethan yang berada dibelakang Raga. Kirana yang berada disana hanya tersenyum malu-malu sembari menunduk.
“Besok aja, Mas. Mas duluan aja sana, Raga mau makan siang bareng Kirana.” Kalau bukan kakak ipar dan mengingat jabatan Ethan di kantor rasanya Raga ingin sekali mendorong Ethan agar segera meninggalkannya berdua dengan Kirana.
“Yaudah-yaudah, Mas gak mau ganggu juga. Duluan ya, Ga, Na.” Ethan pergi dari sana bersama teman-temannya yang sudah jalan beberapa langkah lebih dulu darinya, pria itu tampak menggeleng-gelengkan kepalanya. Heran mungkin dengan Raga yang baru merasakan rasanya jatuh cinta, Ethan pernah berpikir jika Raga seperti remaja puber.
“Saya tadi bawain Mas Ethan puding juga sebenarnya, Mas. Malah Mas suruh pergi Mas Ethan nya.” Kirana memperlihatkan paper bag berisi puding-puding buatannya untuk Ethan. Sengaja ia pisah dengan milik Raga agar pria itu bisa langsung mengambilnya tanpa perlu repot-repot memisahkan lagi antara miliknya dan Raga.
“Nanti saya kasihin aja ya, kamu udah makan siang, Na?”
Kirana mengangguk, “udah, Mas. Tadi sebelum berangkat saya makan dulu kok.”
“Bagus kalau gitu, by the way temanin saya makan yuk? Masih cukup gak waktunya? Nanti ke toko kamu saya antar aja gimana, Na?” Raga sempat melihat arlojinya dulu yang melingkar ditangan kirinya, ia tidak akan lama untuk makan. Seharusnya masih ada sisa waktu satu setengah jam lagi untuk Kirana sebelum shift nya dimulai.
“Eh, ga..gak usah, Mas. Nanti kalau Mas terlambat masuknya gimana?”
“Enggak kok, gak akan terlambat, lagi pula habis makan siang saya harus mantau proyek di daerah Kuningan. Ya?”
Kirana sempat menimang-nimang tawaran itu sebentar, namun akhirnya ia mengangguk. Lagi pula ia ingin melihat reaksi langsung Raga saat memakan masakan buatannya, ya walau terhitung sudah sering Kirana membuatkan Raga makan siang. Raga menggandeng tangan Kirana menuju taman yang ada dibelakang kantor, taman yang hanya bisa dimasuki oleh karyawan kantor tempat Raga bekerja saja. Tidak terlalu ramai disana, hanya ada beberapa karyawan saja yang sedang menikmati makan siang mereka bahkan ada yang sedang membaca buku atau sekedar mencari ketengan dengan sendirian sembari mendengarkan lagu.
“Waduh, wangi banget.” Raga memejamkan matanya, menikmati harum dari masakan buatan Kirana begitu kotak bekal itu ia buka. “Ayam goreng, pecel, tempe dan tahu bacem. Aduh kesukaan saya semua ini sih, Na. Saya makan ya?”
Kirana mengangguk kecil sebagai jawaban, ia kemudian memperhatikan Raga mencampur bumbu pecel buatannya, mengaduknya hingga rata dan memotong ayam dengan ukuran lebih kecil, tapi sebelum itu ia sempat memakan satu suapan tempe bacem buatan Kirana itu. Dengan senyum mengembang dan kedua pipi yang menggelembung karena terisi penuh makanan, Raga mengangguk-anggukan kepalanya. Tidak bisa bohong kedua mata pria itu jika makanan yang Kirana buat berhasil membuatnya senang.
“Enhak banghet, Na.”
“Di telan dulu, Mas. Makannya pelan-pelan aja.” Kirana terkekeh, gemas sekali melihat tingkah laku Raga yang terkadang seperti kekanakan ini. Mungkin orang lain akan kaget jika tahu Raga yang mereka kenal pendiam ini ternyata memiliki sifat kekanakan juga.
“Enak banget!!” pekiknya saat makanan itu sudah ia telan. “Kamu beneran gak mau lagi nih?”
Kirana menggeleng, “enggak, Mas. Saya udah kenyang banget. Dihabisin kalau gitu ya.”
“Pasti lah, masa makanan enak gini gak dihabisin.” Raga terkekeh sembari menyuap kembali makanan itu ke dalam mulutnya.
Dia benar-benar menikmati makanan yang Kirana buat, selama Adel menikah dan pisah rumah dengannya jarang sekali Raga makan-makanan rumahan. Dia tidak terlalu pandai untuk memasak sendiri, makanya di rumahnya pun tidak ada stok makanan mentah seperti ayam dan sayur-sayuran. Raga lebih sering membeli makanan lewat aplikasi pesan antar saja, seadanya saja yang terpenting perutnya kenyang. Lain hal nya kalau Mama dan Papa nya berkunjung ke Jakarta, Raga pasti akan puas sekali makan-makanan Mama nya itu.
“Mas?” Panggil Kirana.
“Ya?” Raga menoleh ke arah Kirana, memperhatikan rambut panjang wanita itu yang sedikit tertiup angin. Ingin sekali rasanya ia taruh dibelakang telinga helaian rambut itu agar tidak menghalangi wajah dahayunya.
“Kemarin, waktu kita sama yang lain jenguk Reisaka. Mas Raka ngomong sesuatu sama saya yang buat saya sedikit kaget dengarnya sih.”
“Oh ya? Ngomong apa?”
“Saya boleh cerita sama Mas?”
Raga membereskan kotak bekas makannya itu, kembali memasukkannya ke dalam paper bag dan kini fokusnya sepenuhnya ke wanita disebelahnya itu. Raga tersenyum dan mengangguk, dia akan merasa sangat bahagia jika Kirana ingin bercerita padanya. Ia merasa di percayai wanita itu sepenuhnya untuk dibiarkan mendengar ceritanya.
“Boleh, apa? Kamu mau cerita apa soal Raka.”
Kirana menghela nafasnya pelan, “Mas Raka kemarin tanya ke saya soal Bagas.”
“Bagas?” Raga mengerutkan keningnya bingung. “Ada apa sama dia?”
“Iya Mas Raka tanya kabar Bagas ke saya, dan saya jawab terakhir kali saya tau dia sedang sakit tiga bulan lalu dari Kanes. Setelah itu saya gak pernah cari tahu kabar Bagas lagi. Terus, Mas Raka tanya ke saya kalau saya tau gak kalau Bagas dijodohin sama perempuan lain dan apa saya kenal perempuan itu.”
“Okay terus?”
“Ya, saya jawab kalo iya saya kenal perempuan itu. Namanya Asri, dan Mas tau apa yang buat saya kaget?” Raga menjawabnya dengan gelengan pelan dikepalanya. “Mas Raka bilang kalau dia kenal Asri, karena Asri adalah Ibu dari Reisaka.”
Ucapan Kirana selanjutnya membuat Raga tercengang, pria itu sempat terdiam karena memikirkan pertemuan yang tidak disengaja dicafe beberapa bulan lalu dengan Asri, Raka dan Reisaka. Ternyata benar dugaanya kalau mereka terlihat seperti kedua orang tua bocah itu. Hanya saja waktu itu Raga enggak sempat bertanya-tanya.
“Raka pernah menikah dengan Asri kalau begitu?”
Kirana mengangguk, “iya, Mas. Mas Raka bilang, Asri mungkin enggak cerita soal pernikahannya termasuk Reisaka sama orang tua Bagas. Karena sejak Reisaka lahirpun Asri langsung ninggalin Mas Raka dan Reisaka dan memulai hidup baru di Jakarta.”
Raga menghela nafasnya pelan, ia melihat ke arah lain. Tidak habis pikir ia akan mengetahui hal ini dari Kirana. Tidak habis pikir juga jika ada Ibu yang tega meninggalkan anaknya seperti itu, memulai hidup baru dan mengejar-ngejar laki-laki lain. Pantesan selama ini Raga selalu melihat ada gelagat aneh pada wanita itu. Apalagi sejak bertemu dengannya waktu itu Asri sangat menampakan gelagat tidak nyamannya begitu melihat Raga. Seperti takut jika Raga akan mengetahui rahasianya yang entah itu apa. Ternyata rahasia besar Asri adalah Raka dan anaknya.
“Saya waktu itu pernah bertemu Asri dan Raka beberapa bulan lalu di Cafe, Na. Mereka entah habis dari mana dan ya, disana mereka ngajak Reisaka. Reisaka pun dekat sekali sama Asri, tapi begitu Asri melihat saya dia buru-buru ngajak Reisaka keluar dari cafe itu. Ya waktu itu saya juga mikirnya mereka memang sudah mau pulang aja, saya gak mikirin macam-macam.”
Kirana mengangguk, ia menunduk. Meski sudah berpisah dengan Bagas ada sedikit bagian dari dirinya yang merasa harus memberitahu hal ini pada Bagas, jika memang mereka sudah lebih dekat sekarang ini dan yang dikatakan Raka adalah sebuah kebenaran. Bagas bisa kecewa dan sakit kembali.
“Menurut, Mas. Saya harus kasih tau soal ini ke Bagas gak?” Kirana menoleh ke arah Raga. Meminta saran dari pria itu.
“Menurut saya, Na. kamu gak perlu lagi ikut campur ke dalam urusan Bagas lagi. Ya saya tahu kalian tetap bisa berteman baik setelah hubungan kalian selesai, tapi saya rasa kalau kamu kasih tau dia hal ini dan ternyata dia sudah tahu semua tentang Asri. Dia bisa mengira kamu menjelekan Asri, itu yang pertama dan yang kedua adalah. Dia bisa saja berpikir kalau kamu memberinya harapan atau berpikir jika kamu belum benar-benar melupakannya.”
“Saya pikir juga gitu, Mas.”
“Kamu fokus sama diri kamu sendiri aja ya.”
Kirana mengangguk kecil, setelah selesai menemani Raga makan siang pun Kirana langsung diantar Raga ke tokonya untuk bekerja. Raga tidak mampir, ia langsung melesat pergi karena harus meninjau ke lokasi proyek dan Kirana langsung bekerja. Siang itu toko cukup ramai apalagi di jam 3 sore, Kirana sempat kuwalahan karena satu rekan kerjanya tidak masuk. Menuju magrib saat dirinya hendak meninggalkan meja kasir untuk beristirahat, pintu toko terbuka dan menampakan seorang pria yang sangat Kirana kenali. Itu adalah Raka, pria itu tersenyum dan memberi isyrat pada Kirana untuk menghampirinya duduk disalah satu kursi disana.
“Ganggu gak, Na?” Tanya Raka begitu Kirana duduk.
“Enggak kok, Mas. Kebetulan jam istirahat saya kok, ada apa Mas Raka sampe nyamperin saya ke toko segala? by the way mau minum atau pesan apa mungkin? Es dawet sama dadar gulung disini enak banget loh, mau saya pesanin?”
Raka menggeleng pelan, selain mau bicara sama Kirana dia juga sebenarnya mau membeli makanan disana kok untuk dibawa ke rumah sakit tentunya. “Boleh, Na. Tapi nanti aja ya. Ada yang mau saya omongin ke kamu sebenarnya, Na.”
“Mau ngomong apa, Mas?”
Raka mengalihkan pandanganya dari Kirana menjadi memperhatikan jari-jarinya, kemarin saat Kirana pulang dari rumah sakit. Raka benar-benar menyesali tindakannya yang ia nilai gegabah dalam menanyakan soal Bagas, apalagi niat ingin menyeret wanita itu untuk bekerja sama menghancurkan hubungan yang tengah dibangun oleh Asri pada Bagas itu.
“Saya mau minta maaf, Na. Soal kemarin, gak seharusnya saya selicik itu buat nyeret kamu ke urusan saya.” Raka benar-benar merasa bersalah karena hal ini, bahkan untuk sampai ke toko tempat Kirana bekerja. Ia perlu meyakinkan dirinya berkali-kali bahwa ia harus berani minta maaf.
Kirana tersenyum, enggak pernah kepikiran jika Raka akan datang ke toko tempatnya bekerja hanya untuk meminta maaf yang padahal Raka sendiri bisa melakukannya melalui ponsel. “Iya gapapa, Mas. Saya ngerti kok. Saya gak tau mau ngomong apa buat hubungan Mas Raka sama Asri, Mas. Tapi untuk saat ini fokus pada kesehatan Reisaka dulu aja ya, Mas. Yang dia punya cuma Papa nya aja sekarang.”
Raka mengangguk, “iya, Na. Saya pikir juga gitu, gak seharusnya saya menangin ego saya terus buat balas kelakuan Asri.”
Bersambung...