Bab 5. Jayden Van Den Dijk

Samarang 1898

(Kediaman asisten Residen Samarang tahun 1898-sekitar tahun 1920)

“Roosevelt, welkom.” Jayden tersenyum ketika Kakak perempuannya itu turun dari dokar.

Dia adalah Roosevelt Van Den Dijk dia Kakak kandung Jayden, wanita dengan paras tak jauh berbeda dengan Jayden itu baru saja tiba di Samarang. Roosevelt tadinya berkediaman di Batavia namun kini wanita itu memutuskan untuk menjenguk Jayden di Samarang.

“Panas sekali Samarang, Jay. Aku hampir saja meleleh jika saja dokar yang di bawa oleh jongos ini tidak melaju cepat.” Roosevelt mengekori Jayden dan duduk di teras depan.

Jayden hanya tersenyum renyah, kedua pipinya itu menampilkan bolongan indah yang semakin membuat parasnya itu tampak semakin tampan. Jayden adalah nirmala, jika tersenyum seperti itu yang melihatpun akan ikut tersenyum, senyumnya menular.

“Kau sudah pandai berbahasa melayu rupanya?” ia terkekeh, apalagi saat Roosevelt memelototinya dengan jengkel.

“7 tahun aku di Hindia Belanda, aku harus bisa berbahasa melayu meski sejujurnya aku enggan, tidak sudi rasanya berbahasa yang sama dengan para monyet-monyet itu.”

Jayden memilih tidak menanggapi ucapan menyakitkan Kakaknya itu, ia bungkam. Tidak ada gunanya menimpali ucapan menyakitkan itu atau membela para pribumi di depan kakaknya. Roosevelt terlalu congkak, ia lupa dimana ia pijakan kakinya saat ini. Menurut Jayden, para Belanda lah yang menumpang. Tidak seharusnya ia dan para kolonial lain memperlakukan pribumi semena-mena. Ini adalah tanah mereka.

“Kau akan menetap di Samarang, Roosevelt? Aku berniat mengajakmu jalan-jalan di sekitar Samarang besok.”

“Mungkin.” Roosevelt mengangguk, ia memperhatikan blankon yang Jayden pakai. Biasanya Adik laki-lakinya itu lebih sering memakai topi fedora. “Kenapa kau memakai itu di kepalamu?”

“Ah?” Jayden membuka blankon yang ada di kepalanya. “Aku mulai menyukai blankon ini, pemberian dari kawanku.”

“Pribumi?” Roosevelt melotot kaget. “Kau berteman dengan pribumi? Untuk apa? Kau mulai gila aku rasa, kedudukan mereka di bawah kita.”

“Aku tidak pernah menganggap pribumi dengan kedudukan di bawah kita, Roosevelt. Mereka sama.”

“Kau benar-benar kehilangan akal,” Roosevelt menggeleng-gelengkan kepalanya.

Jayden paham bagaimana awal mula Roosevelt membenci para pribumi itu, Roosevelt sudah menikah, ia menikah dengan pria Belanda sebelum memutuskan untuk pindah ke Hindia Belanda dan menetap di Batavia.

Suami Roosevelt memiliki kedudukan penting di Batavia, awalnya Roosevelt sama seperti Jayden. Ia menganggap Belanda dan pribumi sama, tidak pernah membeda-bedakan mereka. Namun pandangannya akan pribumi berubah ketika Pietter ketahuan memiliki gundik. Sejak itu Roosevelt sangat membenci para pribumi.

mevr, ini teh anda, silahkan dinikmati.” seorang wanita separuh baya itu menaruh secangkir teh hangat tepat di meja dekat Roosevelt duduk. Ia bersimpuh di depan Roosevelt yang duduk di atas kursi kayu demi menaruh secangkir teh itu di atas meja.

matur suwun, Mbok.” ucap Jayden sopan.

Roosevelt yang ada di sebelah Jayden itu hanya mendengus, sebelum wanita separuh baya itu pergi meninggalkan teras rumah dinas Jayden. Roosevelt menahan wanita itu dengan meletakan kakinya di atas paha pelayan wanita itu, sepatu yang ia kenakan itu ia tekan hingga pelayan wanita itu meringis kesakitan.

“Roosevelt, Wat ben je aan het doen?” (apa yang sedang kamu lakukan?) Jayden menggertakan rahangnya, ia tidak terima pelayannya di perlakukan buruk oleh Kakaknya sendiri.

Ik wil gewoon even met mijn voeten omhoog liggen, ik ben moe Jayden. Je overdrijft.” (aku hanya mengistirahatkan kakiku sebentar, Jayden. Kamu sangat berlebihan.)

Roosevelt sangat santai mengatakan hal itu, seolah-olah itu adalah hal yang biasa ia lakukan. Ia sangat tidak perduli pada wanita di hadapannya itu yang sudah meringis kesakitan, wanita itu juga sangat ketakutan enggan menatap wajah pongah Roosevelt.

zet je voet neer, hij is mijn dienaar.” (turunkan kakimu, dia adalah pelayanku.) Suara Jayden yang biasanya sangat lembut di dengar itu meninggi, rahangnya mengeras ia memang tegas. Tidak perduli jika nantinya Roosevelt mengadu pada Ayah mereka.

Setelah kaki Roosevelt menyingkir dari paha pelayan wanita itu, Jayden buru-buru memberi isyarat agar wanita itu pergi dari sana.

“Kau memang sudah gila, Jayden. Tidak heran jika suatu hari kau mengatakan kau berkencan dengan pribumi, para monyet itu sudah mengotori pikiranmu.”

Mendengar sembarang ucapan dari bibir Roosevelt itu, Jayden sedikit kaget. Jayden tau kakaknya itu hanya sembarang ucap, tapi jika Ayahnya sampai tahu ia mengecani seorang pribumi. Tidaklah mungkin Jayden di marahi habis-habisan. Hal terburuknya adalah, ia bisa di pindah tugaskan atau kembali ke Belanda.


Hari itu setelah menyelesaikan tugas-tugasnya, Jayden di undang ke rumah teman lamanya. Dia adalah Jacob De Houtman, pria satu tahun lebih muda dari Jayden itu adalah seorang Indo. Darah pribumi mengalir dalam darahnya, Ayahnya adalah seorang seniman asal Belanda.

Sedangkan Ibu nya adalah seorang penyair, tak heran jika Jacob memiliki darah seniman yang kuat. Dokar yang di kendarai oleh kusir yang biasa mengantar Jayden kemana pun ia pergi itu berhenti di sebuah rumah yang cukup sederhana, bangunanya di buat khas Belanda dengan kebun kecil berisi tanaman-tanaman hias dan juga bunga.

Meneer Jayden, welkom.” Jacob menyambangi Jayden, berjabat tangan dengan senyuman yang tampak sumringah itu. Maklum saja, kedua pria itu sudah lama tidak bertemu.

“Aku tidak menyangka jika rumahmu akan seharum ini, Jacob.” Jayden tersenyum, kedua netranya itu berpendar melihat taman kecil milik kawannya itu.

“Aku memang sengaja menanam banyak bunga dengan harum semerbak di taman kecil ini. Aku ingin tamu-tamuku merasa nyaman karena harum yang di bersumber dari bunga-bunga ini, kau tertarik melihat-lihat?” Jacob merentangkan sebelah tangannya. Pria ramah itu berniat mengajak Jayden berkeliling ke taman kecil rumahnya.

Sebenarnya tidak bisa di bilang kecil untuk ukuran taman, lumayan luas sampai-sampai Jacob sendiri bisa menanam banyak pohon di sana. Ada bunga melati, mawar, anggrek, kamboja dan juga beberapa pohon kaktus mini di sana. Sangat asri, bahkan rumah rindang itu sangat nyaman untuk sebuah hunian di tengah ramainya kota Samarang.

“Tentu, bawa aku berkeliling kalau begitu.”

Kedua pria itu berkeliling di taman kecil milik Jacob, ia menanamnya tumbuhan itu sendiri setelah membeli bibit di pasar, Jacob juga sering kali memanen hasil bunga-bunga di tamannya untuk kemudian ia ekstrak sendiri untuk di jadikan pengharum ruangan.

“Kau beli bibit bunga melati ini dimana, Jack?” Jayden memetik satu bunga melati itu dan mengirup harumnya, wewangianya semerbak hingga menelisik rongga hidung Jayden. Membuat kidung jiwa nya merasa tenang dan teringat akan wanita yang ia cintai, Ayu sangat menyukai melati putih.

“Aku ada jika kau mau menanam melati ini di rumah, meneer.

“Kau punya bibitnya?”

Jacob mengangguk, “kalau kau mau bercocok tanam sendiri, aku bisa mengajarimu.”

“Aku ingin membuat taman berisi tanaman melati ini, Jacob.”

Selayang milik si lebih muda itu bisa melihat jika wajah pria di depannya itu tampak Cerah, bahkan daun telinga pria itu memerah. Pria yang lebih muda itu tersenyum penuh arti, ia pernah memiliki mata berbinar seperti itu saat jatuh cinta dengan Istrinya dahulu.

“Kau ingin buatkan taman berisi melati ini untuk kekasihmu, meneer?” tebak Jacob.

“Kau bisa membaca pikiranku?” sungguh tersuruk rasanya Jayden di lucuti dengan pertanyaan seperti itu oleh kawannya. Apakah saat ini ia terlihat seperti sedang kasmaran?

“Aku seniman, bukan seorang cenayang. Hanya saja aku menerka, matamu mengatakan semuanya jika kau sedang jatuh cinta.”

“jadi kau mau membantuku menanam tumbuhan ini di rumahku untuknya, Jacob?”

“Tentu, wanita itu pasti begitu beruntung memilikimu.”

Jayden menggeleng, senyum di wajah ramahnya itu mengembang. Baginya ialah yang beruntung memiliki Ayu. “kali ini ucapanmu salah, Jack. Karena aku lah yang beruntung memilikinya.”


Jakarta 2025

“Atas nama Jagaraga Suhartono, di tunggu sebentar ya, Pak. dokter Annelies masih ada pasien.”

“Baik.”

Raga duduk di deretan kursi ruang tunggu rumah sakit pagi itu, sembari menunggu nama nya di panggil. Ia buka ponselnya dulu dan mengetikkan sesuatu di sana, ini soal pekerjaan. Raga bukan izin tidak masuk demi ke rumah sakit, ia hanya izin untuk datang terlambat saja.

Setelah mengetikkan pesan pada bawahannya itu, ia bersandar di kursi. Matanya berpendar ke hampir seluruh ruang tunggu pendaftaran itu. Sampai akhirnya kedua netra nya itu menangkap seseorang yang ia kenal, Raga berdiri dari kursinya dan menghampiri wanita itu.

“Kirana, sedang kontrol?” sapa Raga, ia juga mengangguk ramah pada Ibu nya Kirana.

“Pak Raga, ah. Iya, Pak. Hari ini jadwal saya kontrol. Bapak sendiri?”

Kirana sudah pulang dari rumah sakit sejak seminggu yang lalu, namun ia masih tetap harus bolak balik ke rumah sakit demi melihat perkembangan tangannya yang patah itu.

“Saya, sedang menjenguk kawan.”

“Siapa, Na?” tanya Ibu berbisik pada Kirana.

“Ah, Iya. Buk, kenalin ini Pak Raga, beliau team leader di kantor Kirana.” Kirana mengenalkan atasannya itu pada Ibunya, keduanya saling bersalaman.

“Pagi, Buk. Saya Raga, atasannya Kirana di kantor. Saya sempat menjenguk Kirana sewaktu dia di rawat, tapi Kirana bilang Ibu sedang ke kafetaria waktu itu,” jelas Raga, karena sewaktu itu ia tidak sempat bertemu Ibunya Kirana.

“Ahhh, iya, terima kasih, Pak. Sudah menjenguk Kirana, Bapak yang bawa bakpau itu yah?” Ibu ingat, Kirana dapat banyak bakpau dengan berbai isian. sampai-sampai Ibu membagikannya juga pada penunggu pasien di bangsal Kirana hari itu saking banyaknya.

Raga mengangguk, “betul, Buk. Waktu itu Kirana bilang dia suka bakpau, jadi saya bawakan bakpau.”

Kirana yang mendengar Ibunya bicara seperti itu pada Raga hanya bisa tersenyum kikuk, canggung sekali rasanya. Kirana sampai harus menarik-narik lengan dari baju yang Ibu kenakan agar Ibu nya berhenti bicara melantur seperti itu. Kalau saja kakinya tidak sakit, ia mungkin sudah lari saking malunya. Ya, walau Raga terlihat biasa saja dengan ucapan Ibunya Kirana itu.

“Kalo Bapak sendiri suka nya makanan apa?” tanya Ibu basa basi tanpa memperdulikan tarikan baju yang berasal dari tangan Kirana itu.

“Ah, kalau saya akhir-akhir ini lagi suka kue nagasari. Ibu tahu?”

“Ya, tahu dong. Itu kue kesukaan Kirana juga, kapan-kapan Ibu bikinkan ya buat Pak Raga.”

Mendengar jawaban akan kue yang di gemari Raga akhir-akhir ini, membuat Kirana terdiam sejenak, ia memperhatikan wajah atasannya itu. Seperti ia pernah melihat paras yang sama dari Raga namun seseorang itu bukan Raga.

Sampai akhirnya ia mengingat tentang mimpinya semalam, kue nagasari. Itu adalah kue yang pernah di berikan pria kolonial bernama Jayden pada dirinya yang di kenal sebagai Ayu. Kedua mata Kirana membulat, ia baru menyadari jika pria Belanda di mimpinya itu mirip sekali dengan Raga.

Hanya saja, Raga memiliki rambut yang hitam pekat. Sedangkan Jayden, pria kolonial itu berambut pirang. Namun perawakan keduanya sama persis, dan apa dia bilang tadi? Dia menyukai kue nagasari? Apa arti semua ini? Pikir Kirana.

“Atas nama Jagaraga Suhartono?”

Suara yang berasal dari seorang perawat itu membuyarkan lamunan Kirana dan juga menghentikan obrolan simpang siur antara Ibu dan juga Raga, di tempatnya Raga salah tingkah. Ia melihat ke arah Ibu dan Kirana secara bergantian, seperti orang yang tertangkap basah sedang berbohong.

“Ah, ke..betulan saya juga mau ke poli mata, akhir-akhir ini agak sedikit gatal. Takut iritasi,” Alibi Raga pada Kirana dan Ibunya.

“Ahh, begitu. Cepat sembuh kalau begitu Pak Raga,” jawab Ibu.

“Terima kasih, Buk. Kirana, kamu juga cepat pulih yah, kalau gitu, Buk, Kirana saya duluan.” Raga membungkuk pada Ibu dan berlalu dari sana, mengekori seorang perawat yang mengarahkannya ke ruang rawat jalan.

Sepeninggalan Raga, Kirana termenung di kursi roda miliknya. Di mimpi itu pria kolonial yang mirip sekali dengan Raga adalah kekasihnya, bagaimana bisa ini semua kebetulan? Terlalu banyak kebetulan yang terjadi di mimpi dan dunia nyatanya.

bersambung..

(Roosevelt Van Den Dijk)

(Jacob Suhoorf)