Bab 50. Menunggu

“Senyumin terus tuh HP, Ga. Sampai itu HP senyumin kamu balik kalo bisa,” celetuk Ethan saat ia melihat Raga yang masih senyum-senyum sendiri sembari memandangi ponselnya.

Raga yang sedari tadi sedang membaca pesan dari Kirana itu sampai tidak sadar jika pintu ruanganya terbuka dan munculah Ethan disana. Pria itu membawa dua cup kopi yang masih mengepul dari tangannya, ia berikan satu cup untuk Raga dan duduk didepan meja pria itu. Lama kelamaan melihat wajah Raga yang berseri dan selalu senyum-senyum sendiri itu jadi hiburan yang menggelikan sendiri untuk Ethan. Terkadang ia suka foto Raga diam-diam dan ia berikan ke Adel, kemudian sepasang suami istri itu membicarakan Raga melalui pesan singkat. Seperti apa yang tengah Raga lihat sampai pria itu senyum-senyum sendiri, atau jika sedang berduaan dengan Kirana kira-kira apa yang Raga bicarakan pada wanita itu.

Ethan dan Adel sama-sama sadar terkadang Raga agak sedikit membosankan orangnya, ya kecuali jika sedang bersama Safira. Pria itu pasti akan dengan mudahnya mendapatkan obrolan untuk dibicarakan dengan keponakannya itu. Terkadang, Ethan dan Adel juga sama-sama penasaran sudah sejauh apa hubungan keduanya. Namun Ethan dan Adel memutuskan untuk menunggu kabar baik saja dari Adik mereka itu.

“Mas Ethan nih, kebiasaan banget kalo masuk gak ngentuk dulu.” Raga menyimpan ponselnya, kemudian pura-pura memeriksa MacBook miliknya itu.

“Tadi udah ngetuk kamu aja yang gak denger lagi sibuk chattingan sama Kirana pasti nih?” tebak Ethan.

“Dih, enggak. Orang lagi pesan kue cubit rasa pistachio.”

“Halah, udah ngaku aja kamu. Gak mungkin kamu senyum-senyum sendiri gara-gara lagi baca chat dari abang ojolnya kan?”

Raga menggeleng-geleng saja, kembali memeriksa pekerjaanya tadi yang sedikit sempat tertunda. Hari ini Ethan dan Raga lembur, sebenarnya tidak berdua dengan Ethan saja ada beberapa karyawan lain yang juga sedang lembur atau sedang menggu macet hingga mereda. Hari ini Raga enggak bertemu dengan Kirana, dia gak bisa mencuri-curi sedikit waktu istirahatnya karena begitu hectic dengan proyek yang sedang dipantau nya itu. Tapi Kirana, wanita itu tetap mengirimkannya makan siang.

Raga pernah berpikir jika terus begini, mungkin berat badannya bisa sangat naik. Mengingat makanan yang dibuatkan oleh Kirana selalu enak-enak dan lumayan banyak porsinya, mungkin bisa dua porsi yang dibawakan wanita itu dan Raga tetap menghabiskannya walau ia bagi menjadi untuk dua kali makan.

“Ga?” panggil Ethan tiba-tiba.

“Apa, Mas?”

“Hubungan kamu sama Kirana udah sejauh mana sih?” Ethan melihat gerak gerik Raga, begitu mata adik iparnya itu tertuju padanya. Ethan langsung salah tingkah, ia seperti sedang ditelanjangi rasanya. “Ah, bukan Mas Ethan yang kepo loh. Ini Mas cuma nyampein rasa penasaran Mbakmu, katanya dia gak berani nanya sama kamu.”

Raga mendengus, sama sekali enggak percaya dengan alibi kakak iparnya itu. “Mana ada Mbak Adel gak berani tanya sama Raga, Mas. Penguasa dunia begitu, lebih galak dari pada Mama, Mbak Adel kan cewek yang kaya gak punya rasa takut gitu.”

Adel memang dikenal tegas bukan hanya di rumahnya saja tapi juga di kantor dulu ia bekerja, jiwa pemimpin dari wanita itu sangat kuat. Di mata Raga, selain menjadi seorang kakak perempuan. Adel itu seperti menjadi panutanya, tempatnya bercerita dikala bingung dengan akademiknya dulu. Ah, Raga jadi teringat akan Roosevelt wanita yang menjadi kakaknya Jayden dikehidupan terdahulunya itu. Roosevelt juga cukup menjadi kakak perempuan yang baik untuk Jayden meski terkadang sikap kasar akan pribuminya tidak bisa Jayden toleransi.

Dan dikehidupan sekarang ini, yang jauh lebih baik dari pada kehidupan terdahulunya. Roosevelt kembali lahir meski tidak mengingat Jayden, tapi itu cukup membuat Raga lega karena kini kakak perempuannya itu memiliki suami yang sangat baik dan mencintainya. Nasib wanita itu telah berubah banyak terutama untuk rumah tangganya, Raga sangat tahu kalau Ethan sangat mencintai Adel. Adel sudah sering cerita sejak SMA Ethan sudah berkali-kali meminta Adel menjadi pacarnya namun Adel tolak. Adel banyak memotivasi Ethan untuk mengejar pendidikannya hingga mampu menyusul Adel untuk berkuliah di luar negeri. Sejak saat itulah hubungan mereka dimulai hingga sampai saat ini. Bagi Ethan dan Adel, mereka sama-sama cinta pertama satu sama lain.

“Heh, Mas serius ini.”

“Ya Mas Ethan yang tanya juga gapapa, Mas. Gak usah jual nama Mbak Adel deh.” Raga terkekeh, kemudian menghela nafasnya pelan.

“Jadi, gimana?”

“Bingung, Mas.” Raga menyandarkan punggungnya ke kursi miliknya, memperhatikan pena yang berada diatas mejanya itu. Seakan-akan ia sedang mencari jawaban atas hubunyannya dengan Kirana di sana. “Raga masih bingung, tapi yang jelas hubungan kami berkembang cukup jauh.”

“Oh ya? Bagus dong, terus yang bikin bingung apa? Kali aja nih yah, Mas bisa bantu kamu. Mas gini-gini berpengalaman loh.”

Raga terkekeh, “berpengalaman apaan orang Mas Ethan cuma ngejar-ngejar Mbak Adel dari dulu.”

Ethan menjentikkan jarinya, “Nah-Nah!! Itu, itu. Pengalaman Mas yang gacor kan. Pengalamannya emang cuma satu tapi cewek yang di taklukin ini yang dingin dan kerasnya bukan main. Kirana sih Mas liat-liat kaya Ibu peri pasti hatinya gampang luluh.”

“Sok tau ah Mas Ethan.” Raga jadi sedikit tertawa, tapi dia setuju sama sebutan Ibu peri itu. Kirana memang sangat baik dan lembut, saat berbicara dengan orang lain suaranya sangat pelan. Kadang khayalan Raga suka melambung tinggi memikirkan seperti apa kelak jika Kirana memiliki seorang anak dan tengah memarahi anaknya jika selama ini saja suara wanita itu selalu terdengar lembut.

“Deh, dibilangin gak percaya. Coba-coba deh kamu cerita bingungnya dimana sama Mas.” Ethan memajukkan kursinya agar lebih dekat dengan meja Raga, kemudian menegakkan duduknya seperti tengah bersiap mendengarkan cerita Adik iparnya itu.

“Bingungnya bukan gimana-gimana sih, Mas. Mungkin lebih ke ragu kali ya?”

“Oke.” Ethan mengangguk-angguk. “Terus?”

“Kirana sama mantannya dulu pacaran cukup lama, Raga gak tau kapan pastinya tapi yang jelas lama. Raga masih mikir aja kalau mungkin Kirana belum bisa melupakan mantan pacarnya itu, ah, maksudnya gini. Belum sembuh dari luka sama hubungan sebelumnya.”

“Ahhh, belum move on? kamu tau dari mana emang? Dia masih suka cerita soal mantannya?”

Raga menggeleng, “enggak sih, tapi kemarin sempat tanya gitu. Ya ini sih kayanya cuma firasat Raga aja, Mas.”

“Kamu udah pernah ajak dia jalan, Ga? Ah, maksud Mas ngedate gitu?”

“Belum sih, Mas. Ya kalo jalan karena enggak sengaja atau Raga main ke rumahnya sih ya lumayan sering.”

“Ajak ngedate kalau gitu. Kemana kek, nonton kek, dinner kek ajak ke Dufan kek ya bisa-bisa kamu lah. Terus kamu lihat disitu dia gimana, sekalian tanya deh tentang perasaan dia sekarang.”

“Gak kecepetan tuh, Mas?”

“Apanya? Kamu udah dekat sama dia 4 bulan loh, Ga. Harus di kembangin ini. Harus ada kemajuan! Inget Mama sama Papa udah kepengen banget liat kamu menikah loh.” Ethan memperingati dan di balas dengan Raga yang memutar bola matanya malas, sudah bosan dia mendengar ucapan seperti itu.

“Ya maksud Raga kalau nembak sekarang gitu. Susah sih, Mas. Kirana baik ke semua orang jadi gak tau dia suka sama Raga atau gak, Raga kan gak mau kege'eran. Ntar ditolak dia gimana?”

Ethan sedikit menggebrak meja Raga dan membuat pria itu terkesiap karena kaget, “yaelah, Ga! Masa ditolak aja takut? Mas ini di tolak sama Mbak mu 10 kali aja gak takut tetap maju terus. Coba dulu lah, kalo ternyata selama ini Kirana nunggu kamu nyatain perasaan ke dia gimana? Hayo!”

“Itu mah Mas Ethan aja kalo yang mutusin urat malu demi Mbak Adel?” Raga menahan tawanya.

“Kalo sayang mah jangankan urat malu, Ga. Dia suruh Mas bangun bangun rumah yang luasnya kaya Taman Mini juga Mas jabanin.”

“Beneran?!” pekik Raga.

“Ya enggak lah, ya kali.” Ethan mendengus, “udah jadi gimana kamu sama Kirana?”

Raga menimang-nimang ucapan Ethan itu, ada benarnya juga bagaimana jika selama ini Kirana menunggunya? Tapi entah kenapa sebagian dari diri Raga masih belum yakin jika Kirana sudah benar-benar sembuh dengan luka hubungannya dengan Bagas. Raga bukan pengecut karena takut ditolak Kirana, ia hanya menunggu waktu yang tepat saja untuk mengajak wanita itu berkencan memberikan waktu bagi Kirana untuk benar-benar sembuh dan siap menjalin hubungan yang baru.

Ethan berdiri dari kursinya, melangkah mendekati Raga dan menepuk bahu pria itu. “Mas sama Mbak Adel dukung kamu sama Kirana banget loh, Ga. Pokoknya Mas tunggu kabar baiknya ya!”

Setelah mengatakan itu, Ethan keluar dari ruangan Raga. Menyisakan Raga dengan banyak pertimbangan dan pertanyaan dikepalanya akan Kirana. Mungkin ia masih perlu waktu untuk melihat bagaimana menurutnya Kirana dengan hubungan dulu, mungkin saat ini ucapan Ethan benar ia harus mengajak Kirana kencan dahulu. Mungkin dari sana ia bisa mempertimbangkan kembali niatnya untuk mengajak Kirana ke hubungan yang lebih serius.

🍃🍃🍃

Entah tenggakan yang ke berapa Bagas meminum wine yang ia pesan dan begitu sadar gelasnya telah kosong pria itu meminta untuk segera diisikan, kepalanya sudah berat bukan main dan pandangannya sudah mengabur. Tidak perduli dengan lantai dansa yang terus ramai dengan riuhan orang-orang yang ada disana, tak perduli seberapa besar musik terus berputar dan berdengung ditelinganya Bagas tetap merasa sepi dan sakit. Yang terdengar jelas hanyalah suara hatinya yang patah dan gumaman dari bibirnya, terkadang jika kepalanya berkedut ia tumpuh kepalanya itu pada meja yang berada disampingnya.

Disebelahnya ada Satya, pria itu mengiyakan ajakkan Bagas untuk menemaninya melepas penat. Satya tidak tahu bahkan jika Bagas mengajaknya ke sebuah club malam jika ia tahu mungkin ia lebih memilih mengajak Bagas ke cafe atau ke tukang jamu saja, memesan kopi hingga asam lambungnya itu naik atau memesan jamu dengan rasa pahit yang hampir menyerupai alkohol, dari pada harus masuk club malam, bertabrakan dengan beberapa orang mabuk yang sedang menikmati musik dilantai dansa. Pada tenggakan ke delapan dari gelas yang sudah diisi oleh wine lagi, Satya menahan tangan Bagas agar pria itu tidak meminumnya.

“Gas, udah. Lo udah mabuk banget ini astaga.” Satya berusaha melepaskan gelas itu dari tangan Bagas namun tenaga Bagas yang jauh lebih besar darinya itu mengalahkan Satya. Dari pada gelasnya pecah dan Satya terpaksa mengganti, lebih baik ia lepaskan saja tangannya dari gelas itu.

“Hhhnnggg gue masih haus, Mas Satya. Udah elu diem aja disitu diem. Pesen minum gih, tapi jangan cola lagi yah.” Bagas meracau tidak jelas lagi, pria itu tertawa lepas namun matanya berkaca-kaca.

Satya menggaruk kepala belakangnya, kepalanya sudah pening karena melihat Bagas seperti ini alih-alih dia mabuk. Kupingnya berdenging rasanya ketika orang-orang berseru semakin kencang seiring musik terus diputar, suasana ramai seperti ini yang sangat tidak Satya sukai, ia bukan baru pertama kali datang ke sebuah club malam kok. Ia pernah beberapa kali datang sewaktu ia masih kuliah, ia tidak menyukai tempat itu makanya ia memutuskan untuk tidak pernah datang kembali ke sana. Kalau bukan karena Bagas adalah temannya, Satya mungkin sudah pulang sedari tadi.

“AAAAHHHHHHHHH” Bagas teriak, membuat Satya tersentak dan memegangi dadanya. Jantungnya hampir saja berhenti.

“Anjir lu yah, Gas. Bikin gue kaget aja sumpah ya Tuhan, udah-udah cukup minumnya elu udah mabuk banget ini!” Pekik Satya, lagi-lagi ia mencoba untuk merebut gelas yang berada ditangan Bagas itu. Kali ini berhasil dan ia singkirkan gelas itu dari sana.

“Mas... Gue kangen Kirana..” Gumam Bagas, ia meneteskan air matanya. Tubuhnya yang jangkung itu terhuyung kesana kemari karena dirinya yang setengah sadar. Demi alkohol yang bersarang didalam darahnya, ia masih merindukan wanita itu. Sakitnya masih ada dan lagi-lagi Bagas merasa dirinya hancur. Bahkan dengan ia memukul-mukul dadanya saja sakitnya masih belum terkalahkan.

“Gas, elu kalo kangen dia itu samperin ke rumahnya bukan malah ke sini.” Satya sedikit berteriak agar Bagas bisa mendengarnya.

Bagas menggeleng, ia kembali menyandarkan kepalanya dimeja yang ada disana dan menangis seperti seorang anak kecil yang kehilangan mainan kesayangannya. Ia tidak perduli beberapa orang memperhatikannya dengan pandangan aneh atau bahkan merasa iba, yang ia perdulikan satu-satunya ditempat sialan itu hanyalah hatinya yang sakit.

“Gue gak punya muka buat ketemu dia, Mas. Kirana pasti udah benci sama gue. Dia pasti udah lupain gue, dia baik-baik aja tanpa gue, Mas. Dia pasti udah punya cowok baru yang bisa sayang sama dia makanya dia baik-baik aja.”

“Hubungan lo sama Kirana itu lebih dari 5 tahun, Gas. Gak mungkin dalam setahun Kirana udah move on. ayolah, Gas. Lo bisa cerita apapun itu ke gue asal gak gini caranya.”

Bagas menggeleng, ia kembali menangis dan memukul-mukul meja di sana. Berharap tangannya akan sakit dan seluruh sakit dihatinya akan berpindah ke tangannya itu. “Gabisa, Mas.. Udah gak bisa..”

Satya mengusap wajahnya frustasi, ia mencoba untuk memapah tubuh Bagas dan membawanya keluar dari sana. Ia tidak tahu Bagas kenapa, sewaktu mereka bertemu pria itu tidak banyak bicara dan langsung mengajaknya ke club. Di club pun pria itu langsung memesan wine dan menenggaknya hingga mabuk.

“Gue anterin lo balik ya?” Satya menarik tangan Bagas, menaruh satu tangan pria itu dipundaknya dan memapah tubuh jangkung itu keluar dari kerumunan orang diclub malam itu. Tubuh Bagas yang biasanya berisi itu kini agak sedikit kurus, sebenarnya cukup mudah memapahnya namun yang menyulitkan Satya adalah Bagas yang selalu berpegangan pada apapun didekatnya agar Satya tidak membawanya keluar dari club itu

“MAS SATYA GUE GAK KEPENGEN PULANGGGG!!” Rengek Bagas dengan suara yang agak kencang, membuat Satya menutup mulut pria itu dengan satu tangannya.

“Jangan teriak, Gas. Astaga kuping gue!!”

“Gue gak mau pulang. Ayo balik lagi, Mas. Kita cari Kirana didalam!”

“Gak, lo harus pulang lo udah mabuk banget begini! Kirana kagak ada didalam lo jangan ngaco deh.”

Tidak lama kemudian Bagas terdiam, tubuhnya keringatan dan matanya terpejam. Tanganya berpegangan erat pada bahu Satya tapi setelahnya pria itu menangis kembali, Satya tidak menggubrisnya ia terus membawa Bagas ke parkiran dan mencari mobilnya disana untuk segera mengantar Bagas pulang. Begitu sampai didepan mobilnya, sialnya Satya kesulitan untuk mengambil kunci miliknya disaku celana nya, alhasil ia sandarkan dulu Bagas dimobilnya namun sialnya karena Bagas tidak bisa menjaga keseimbangan tubuhnya, pria itu terjatuh dan kepalanya menghantam aspal.

Satya membulatkan matanya dan buru-buru membantu Bagas untuk bangun kembali, pria itu merintih dan menangis lagi. Namun Bagas menyingkirkan tangan Satya, ia tiduran diaspal sambil melihat ke langit-langit malam itu yang sepi tanpa bintang. Bahkan bulan pun tertutup oleh awan kemerahan malam itu sedikit mendung, Bagas menghiraukan keningnya yang berdarah karena terkena aspal itu, pedihnya tidak seberapa jika dibandingkan dengan sakit dihatinya.

“Gue gak mau nikah sama cewek yang gak gue sayang, Mas.” Gumam Bagas, air matanya mengalir.

“Lo bilang ke orang tua lo, Gas. Bukan pasrah gini aja.”

“Kalo gue mati, Kirana bakalan nemuin gue gak ya, Mas?”

“Mulut lo!!” Satya menabok mulut Bagas untuk yang kedua kalinya. “Lo kalo masih sayang sama Kirana, perjuangin dia lagi, Gas. Yang mau jalanin hubungan ini lo sama dia, ini hidup lo. Lo yang paling berhak mau ngarahin hidup lo kemana dan bagaimana bukan orang tua lo, Gas.”

“Gue mau ngajak Kirana kawin lari, Mas.” Bagas terkekeh, “mau gak yah dia? Nanti lo yang jadi saksinya yah?”

Satya lagi-lagi mendengus, ia mengacak-acak rambutnya. Karena tidak ingin membuat Bagas terus ngomong ngalor ngidul akhirnya ia kembali membangunkan Bagas dan membawanya masuk ke dalam mobilnya susah payah. Ketika Bagas sudah masuk ke dalam mobilnya dan seatbelt telah terpasang dipinggangnya, Bagas menghirup udara sebanyak-banyaknya ketika nafasnya tersenggal karena membawa Bagas masuk ke dalam mobilnya dengan susah payah.

“Sumpah yah, Gas. Bagas yang gue kenal itu bukan yang kaya gini!”

“Mas?”

“Apaan?” Satya menoleh ke arah Bagas.

“Gue mau mun—HOEKKKK” belum sempat Bagas menyelesaikan ucapannya, pria itu sudah memuntahkan isi perutnya dan mengotori mobil Satya. Alih-alih merasa bersalah, Bagas justru tersenyum sembari mengusap ujung bibirnya dengan telapak tangannya.

“Ya Tuhan, BAGASSSSS!!” pekik Satya. Dengan perasaan sedikit kesal namun tidak tega melihat Bagas yang sangat frustasi itu, akhirnya Satya melajukkan mobilnya menuju rumah Bagas.

Untungnya ada Kanes yang tengah duduk diteras, langsung saja ia panggil adik perempuan Bagas itu untuk membantunya memapah Bagas dan membawanya masuk ke dalam rumah. Bagas masih terus meracau, menyebutkan nama Kirana berkali-kali dan masih menangis. Kedua orang tua Bagas sudah tidur mengingat malam itu Satya mengatarkan Bagas pulang sudah jam dua malam.

“Kok bisa kaya gini sih, Mas Satya?” tanya Kanes bingung, keduanya menidurkan Bagas disofa karena Satya dan Kanes tidak kuat membawa Bagas ke lantai dua tempat kamarnya berada.

“Gue sendiri bingung, Nes. Dia nelfon gue ngajak gue keluar, pas gue samperin dia malah ngajak gue ke club dan minum banyak banget, ada apa sih, Nes?”

Kanes melihat Bagas yang sudah tertidur namun ia masih meracau nama Kirana disana, air matanya mengalir namun matanya terpejam. Ia tidak tega melihat Bagas seperti itu, beberapa hari yang lalu Bagas memang sempat bercerita pada Kanes jika ia tidak ingin menikah dengan Asri. Bagas sudah bicara sekali lagi pada kedua orang tua nya namun Ayah justru memaki Bagas dan membuat kakaknya itu kembali merasa hancur akan hidupnya. Seperti tidak memiliki harapan lagi, bahkan Kanes juga sudah berbicara dengan Asri untuk memikirkan sekali lagi tentang pernikahannya dengan Bagas. Namun Asri bilang semua sudah terlanjur, undangan sudah hampir selesai dan bahkan sudah banyak orang yang tahu akan rencana ini. Jika sampai batal, bukan hanya Asri dan mungkin Bagas yang malu tapi keluarga mereka juga akan malu.

“Kanes bingung, Mas. Yang jelas, bulan depan Mas Bagas mau menikah dengan Mbak Asri,” jawab Kanes lirih.

“Dia bilang dia gak mau menikah sama Asri, Nes. Kalian tetap mau maksain? Bagas sudah sehancur ini loh?”

“Mas Bagas sendiri udah ngomong ke Ibu sama Ayah, Mas. Tapi merekah kekeuh mau menikahkan Mas Bagas. Persiapannya juga sudah hampir selesai.”

Satya menghela nafasnya pelan, ia tidak bisa banyak ikut campur tentang hal inu karena ia bukan keluarga Bagas. Ia hanya tidak tega melihat Bagas banyak sekali berubah sejak putus dari Kirana. Keluarga Bagas bahkan tidak memikirkan perasaan Bagas, yang mereka perdulikan hanya ego untuk segera menikahkan putra mereka pada anak sahabat mereka. “Yaudah kalau gitu gue balik dulu ya, kalau ada apa-apa kabarin gue aja ya, Nes. Tolong jangan biarin Bagas sendirian dulu. Tolong lebih sering temanin dia ya.”

Kanes mengangguk, “iya, Mas. Makasih banyak ya, Mas.”

Bersambung...