Bab 51. Yang Patah Dan Tumbuh

Seaworld?” pekik Kirana, ia terkekeh kecil kemudian menatap Raga yang berdiri disebelahnya, pria itu memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana nya itu dan mengangguk kecil. “Kaya lagi nostalgia masa kecil tau gak? Saya pertama kali ke sini itu waktu TK, terus gak pernah ke sini lagi.”

“Oh ya?” Raga tersenyum, ia sempat menggaruk kepala belakangnya itu yang tidak gatal sama sekali. Awalnya malu mengajak Kirana ke Taman Bermain itu, namun Raga hanya kepikiran ke sana. mungkin ia bisa merencanakan makan malam romantis kelak. Tapi siapa sangka jika Kirana terus tersenyum sejak mereka mengantre masuk, wanita itu benar-benar terlihat bahagia. “Anggap aja kalau gitu kita lagi nostalgia masa kecil, pasti udah beda banget kan dari yang terakhir kamu ke sini?”

“Jelas beda dong, Mas.” Kirana tersenyum, kemudian memalingkan wajahnya ke arah lain untuk melihat-lihat sekitarnya.

Tempatnya sudah sangat amat berbeda dari yang terakhir kali Kirana datangi sewaktu TK, waktu itu Kirana ke akuarium besar itu ditemani oleh Ibu saat ada acara jalan-jalan mengenal berbagai macam biota laut dari TK nya. Kirana kecil sangat bahagia dan takjub sepanjang disana, melihat akuarium besar yang menampakan berbagai macam ikan dengan ukuran dan jenis, melihat atraksi ikan pari dan lumba-luma, kemudian berfoto. Sampai saat ini pun bahagianya masih sama, begitu mereka masuk. Kirana langsung berlari kecil melangkah lebih dulu dari Raga, pria yang lebih tua darinya itu menyusul dengan berjalan kecil. Senyum diwajah tampan nya itu terus terukir.

Pertama kali mereka masuk disambut oleh akuarium-akuarium kecil di Coral Reef Area disana hanya ada ikan-ikan kecil seperti ikan badut, ikan ttang yang menurut Raga mirip dengan ikan Dory, terumbu karang warna warni dan juga ikan buntal, Kirana sempat meletakan tangannya di depan akuarium itu dan menatapnya penuh takjub. Cahaya yang terang berpendar ke seluruh penjuru ruangan itu dapat membuat Raga bisa melihat wajah cantik disebelahnya itu dengan jelas.

Kirana sangat cantik saat ini, mengenakan midi dress berwarna merah muda dengan motif bunga sakura dan balutan cardigan berwarna kuning cerah dengan pita kecil dibagian dada sebelah kirinya, rambut wanita itu dibiarkan tergerai indah dengan polesan make up tipis dan warna bibir sedikit kemerahan, semuanya tampak pas dan indah. Kirana bahkan tidak terlihat seperti wanita berumur 28 tahun saat ini.

“Kamu tau gak, Na. Kalau ikan badut itu spesial banget menurut saya. Bukan spesial juga sih lebih ke lucu aja,” ucap Raga tiba-tiba.

Kirana menoleh ke arahnya dengan wajah penasarannya itu, “kenapa, Mas?”

“Karena ikan badut itu bisa ganti kelamin.”

“Hah? Masa sih?” Kirana tersenyum, dia baru tau fakta ini atau mungkin ia lupa, karena pertama kali Kirana ke sea world itu ia masih TK dan tidak memperdulikan fakta-fakta biota laut yang ada disana meski gurunya menjelaskan. Ia hanya terpaku pada keindahan yang tersugu di dalamnya saja, meski sudah disediakan papan tentang biota-biota lait disana Kirana juga tidak memperdulikannya ia benar-benar telah tersihir oleh keindahan didalamnya.

Raga mengangguk, “Yup, ikan badut itu lahir sebagai jantan. Dalam satu kelompok yang besar itu betina dan yang terbesar kedua adalah jantan, nah kalau betinanya mati jantan terbesar berubah jadi betina. Ini tuh dinamain hermaprodit sekuensial.

Kirana mengangguk-angguk takjub, “kok gitu sih, lucu yah.”

“Yup, unik. Terus yah, mereka juga dikenal setia karena enggak pernah pindah rumah. Dan yang buat aku takjub ikan badut jantan itu tuh gentle banget loh.”

“Oh ya?”

“Um,” Raga mengangguk kecil. “Badut jantan itu yang menjaga telur, ngipasin pakai siripnya dan ngejaga telur nya dari serangan predator.”

Kirana memperhatikan Raga saat menjelaskan, pria itu seperti tengah memberi penjelasan kepada seorang anak kecil dan Kirana tampak antusias mendengarnya. Raga juga menjelaskan dengan bahasa yang mudah dipahami oleh siapapun itu seperti ia tengah mendongeng. Dari samping tempatnya berdiri, cahaya yang terang itu semakin memperjelas pahatan sempurna wajah tampan Raga. Kirana baru sadar jika Raga sangat amat tampan dengan hidung mancung, kulit pucat yang bersih itu, alis tebal dan bulu mata lentiknya.

“Mas kalo lagi jelasin sesuatu ke Safira kaya gini ya?”

“Iya, kurang lebih kaya gini. Safira itu senang banget kalau di ajak ke sea world berapa kali pun dia tetap akan senang.”

“Kapan-kapan kita ajak dia ke sini ya, Mas?”

“Boleh.”

Keduanya kembali menjelajahi tempat-tempat disana, kebetulan saat mereka datang sedang ada pertunjukan memberi makan ikan-ikan di sana, Kirana dan Raga sempat berhenti sebentar untuk melihat pertunjukan itu. Mata Kirana berbinar menatap kagum pada ikan-ikan yang berkumpul didepan mereka itu, sesekali ia tertawa ketika mendengar celetukan dari seorang murid taman kanak-kanak yang juga sedang melihat pertunjukan itu.

Mereka berada disana agak sedikit lama karena Kirana masih menikmati pertunjukan memberi makan ikan-ikan tersebut, matanya jarang sekali berkedip sampai terkadang Raga khawatir jika mata Kirana akan cepat kering. Sesekali saat ada ikan lewat di depan mereka, Kirana memotretnya dan menunjukkannya pada Raga.

“Kaya kembali jadi anak-anak ya?” ucap Raga pada Kirana.

“Um, Mas?”

“Ya?” Raga menoleh.

“Masa anak-anak kamu yang paling indah itu apa?”

Raga tersenyum, ini untuk pertama kalinya Kirana bertanya tentang dirinya seperti ini. “Hhmm.. Apa ya, jujur aja. Saya kecil itu enggak kaya anak-anak kebanyakan kalau kata Mbak Adel.”

“Oh ya? Kenapa?”

“Karena saya lebih senang belajar sama baca, kalau pun Mama dan Papa ngajak saya jalan-jalan itu rasanya biasa aja. Saya baru akan benar-benar bahagia kalau bisa baca buku cerita. Rasanya bukan anak-anak banget ya?” Raga terkekeh, kadang ada rasa ia ingin mengulang waktu-waktu berharga itu lagi. Menjadi anak kecil, beranjak remaja, masa remaja yang kata orang sedang indah-indahnya dan dewasa. Makanya ada alasan kenapa Raga mengajak Kirana ke taman bermain selain enggak tau mau ngajak wanita itu kemana, ia juga ingin mengulang masa kecilnya.

“Hhmm.. Agak kurang anak-anak sih,” Kirana terkekeh. “Tapi gapapa, itu pasti artinya orang tua kamu gak kerepotan ngurusin kamu karena kamu kelihatanya anteng banget cuma di kasih buku?” tebak Kirana.

“Kurang lebih begitu, kalau kamu sendiri.” Raga memangku dagunya menggunakan satu tanganya dan menatap Kirana, tidak sabar mendengar cerita masa kecil wanita itu.

“Saya kecil itu suka banget kalau Ibu sama Bapak ngajak ke puncak, ke kebun teh, kebun strawberry terus liat hewan-hewan gitu pokoknya saya suka banget. Sampe dulu cita-cita saya pernah mau jadi dokter hewan loh, Mas.”

“Oh ya?” Raga mengulas senyumnya, senang rasanya melihat Kirana bisa lebih banyak bicara. wanita itu juga lebih sering tersenyum akhir-akhir ini. “Terus kenapa kamu gak ngambil kedokteran hewan waktu itu?”

“Karena saya punya pengalaman jelek sama hewan, terutama sama anjing, Mas. Jadi dulu tuh tetangga saya punya anjing, saya kecil itu gak kenal takut sama hewan pokoknya kalau liat hewan bawaanya mau ngelus aja. Terus saya deketin deh anjing itu, eh gak taunya anjingnya galak dan dia ngejar saya dong. Sejak itu deh saya mikir kayanya saya enggak cocok buat jadi dokter hewan.”

Raga agak sedikit terkekeh, mungkin itu pengalaman yang tidak mengenakan untuk Kirana namun dimata Raga agak sedikit lucu. Kirana yang melihat Raga tertawa itu memukul kecil bahu Raga dengan wajah tidak terimanya itu. “Ihh kok ketawa sih, itu tuh traumatis banget tau.”

“Iya maaf-maaf, gapapa sih. Agak lucu aja dikit, terus kamu gimana akhirnya? Enggak digigit kan?”

Kirana membalikan badannya dan melihat ikan-ikan didepan mereka lagi yang berseliweran. “Enggak kok, anjing nya tuh ternyata gak gigit cuma ngejar aja karna ya saya bawa makanan buat dia gitu. Pas saya jatuh, dia cuma berdiri didepan saya terus ngendus-ngendus bungkus makanan yang saya bawa. Kata pemiliknya dia terlalu excited.

“Tapi ada baiknya juga kamu gak jadi dokter hewan loh, Na.”

Kirana menoleh ke arah Raga dengan kening berkerut, “baiknya?”

“Ya kalau kamu jadi dokter hewan mungkin kita gak ketemu.” Setelah mengatakan itu telinga Raga berubah menjadi merah, dia sendiri gak nyangka akan dengan lugasnya berbicara seperti itu pada Kirana. Ucapan yang mungkin terdengar menggoda di telinga siapapun itu, namun ucapan barusan datang dari lubuk hatinya. Ia sangat bersyukur dan menghargai pertemuannya dengan Kirana dikehidupan sekarang ini.

Bukan hanya Raga saja yang salah tingkah, tapi Kirana juga. Wanita itu tersenyum malu-malu kemudian berjalan lebih dulu ke arah lorong Antasena. Raga yang menyadari Kirana malu itu langsung memejamkan matanya dan menepuk keningnya sendiri sampai akhirnya ia menyusul wanita itu, mereka sempat berfoto berdua disana, menyapa ikan-ikan yang lewat sembari bercerita tentang masa kecil mereka lagi, sedikit berlari kecil dan ikut bernyanyi bersama anak-anak TK yang juga sedang berkunjung. Sebelum mampir ke wahana bermain nya, keduanya sempat makan siang lebih dulu. Keduanya makan dengan lahapnya sembari melihat foto-foto di ruang Antasena barusan.

Raga gak menyangka jika ia bisa berfoto sebanyak itu bersama Kirana tanpa merasa mati gaya, semuanya benar-benar mengalir begitu saja. Sesekali Kirana tertawa ketika menemukan ekspresi wajah Raga yang konyol, Kirana juga sempat memotret Raga beberapa kali tanpa pria itu sadari. Setelah mengisi perut, keduanya langsung pindah ke taman bermain. Menaiki satu persatu wahana dengan senyum yang terus merekah, terkadang jika keduanya menaiki wahana yang menguji adrenaline Raga berteriak kencang karena kaget dan Kirana tertawa begitu lepas karena Raga yang ketakutan.

“Ada animal hat mau beli gak, Mas? Lucu tau!!” Kirana menarik tangan Raga untuk melihat-lihat topi berbentuk kepala binatang itu, sementara Raga hanya menurut saja.

“Kamu mau yang mana, Na?” Siapa sangka jika Raga juga antusias, hal-hal yang dulu ia anggap kekanakan kini terlihat sangat mengasikan ternyata. Bahkan Raga jauh lebih antusias dari Kirana yang mengajaknya di awal. “Lucu gak, Na?”

Raga mengambil topi dengan bentuk karakter kartun bernama Judy dari animasi Zootopia yang tampak begitu imut jika Raga yang memakainya, Kirana yang melihat itu sempat tertawa namun akhirnya ia mengangguk. Raga tampak sangat imut mengenakkan topi itu dan sangat cocok dimatanya.

“Lucu, kalo saya cocokan yang mana, Mas?” Kirana mengambil dua buah topi berbentuk karakter Nick di animasi Zootopia dan karakter kepiting.

“Hhmm..” Raga bergumam, ia melihat dua topi yang Kirana pegang itu sembari mencocokan dengan wajah Kirana. Sampai akhirnya pilihannya jatuh kepada topi karakter Nick itu. “Ini lucu cocok banget kalau kamu yang pakai.”

Kirana akhirnya menaruh topi dengan bentuk kepala kepiting itu dan memakai topi rubah yang Raga pilih barusan, keduanya sempat berkaca dan saling menertawakan diri sendiri. Raga juga sempat mengambil beberapa gambar dirinya dan Kirana dengan topi itu sebelum akhirnya membayar topinya, dengan konyolnya keduanya berjalan mengitari taman bermain dan menaiki hampir separuh wahana itu dengan topi Judy dan Nick dari animasi Zootopia itu.

“AAAAHHHHHHH” teriak Kirana saat mereka menaiki wahana yang mengayun agak tinggi itu.

Ia bisa merasa sangat lepas berteriak disana. Sembari sesekali tertawa karena Raga yang sepertinya sangat sudah tidak tahan, sedari tadi wahana itu mengayun, Raga memegang erat lengan Kirana dan sesekali menyandarkan kepalanya dipundak Kirana dan memejamkan matanya. Ia takut bukan main, rasanya seperti jantungnya pindah ke perut ketika wahana itu hendak membawa mereka mengayun tinggi.

Sebenarnya Kirana enggak tega melihat Raga dengan peluh yang membasahi keningnya dan topi kelincinya yang sudah hampir lepas itu, namun raut wajah pria itu begitu lucu menurutnya. Begitu wahana itu berhenti, Raga buru-buru berlari ke wastafel yang ada disana dan memuntahkan isi perutnya. Kirana juga ikut berlari mengejar, melihat Raga muntah ia sedikit khawatir.

“Mas gapapa?” tanya Kirana khawatir.

“Gapapa, Na. Ini kayanya tadi kita habis makan, terus makan es krim, makan rambut nenek. Terus naik wahana tadi bikin aku mual.” pria itu menggandeng tangan Kirana untuk duduk di kursi yang ada disana, ia sandarkan sebentar punggungnya disana sembari mengatur nafasnya yang tidak beraturan karena perutnya bergejolak.

“Masih mual gak, Mas?” Kirana membukakan sebotol air mineral yang tadi ia taruh didalam tasnya dan memberikan air itu ke Raga.

Raga menggeleng, “enggak kok.”

“Beneran?”

Raga mengangguk lagi, ia agak malu karena muntah barusan membuatnya berpikir tidak keren di mata Kirana. Padahal Kirana sama sekali tidak memikirkan hal itu ia hanya khawatir Raga masuk angin atau trauma karena menaiki wahana-wahana barusan, karena melihat keringat yang mengucur didahi hingga lehernya, Kirana mengambil tissue disaku cardigan nya dan mengusap kening Raga dengan tissue itu. Sontak itu membuat degub jantung Raga makin tidak karuan, susah sekali ia menelan saliva nya itu. Pandangan matanya tak ayal berpindah dan terus menatap wajah Kirana seperti ia sedang di hipnotis oleh wanita itu.

Ternyata adrenaline yang sesungguhnya bagi Raga bukanlah menaiki wahana-wahana sialan yang membuat isi perutnya keluar barusan, tetapi melihat Kirana dari dekat seperti ini yang justru membuat jantungnya hampir melompat keluar. Kuping pria itu semakin memerah dan tangannya yang memegang botol minum itu bergetar, Raga menarik nafasnya dan menghembuskannya dari mulut perlahan-lahan. Hilang semua sudah wibawanya saat ini, kata keren jauh dalam diri Raga yang terlihat culun seperti saat ini.

“Mas, kenapa?” tanya Kirana, ia khawatir apalagi saat melihat ekspresi wajah Raga.

“Ngg..gapapa, Na.”

“Beneran?”

“Ki..kita masuk ke istana boneka yuk? Mumpung sepi.” Raga berdiri, ia menarik tangan Kirana dan mengajaknya untuk memasuki wahana istanah boneka, kebetulan antreannya tidak panjang.

Raga pikir, memasuki istanah boneka akan sangat membosankan. Tapi wahana itu jauh lebih seru dari bayangannya, menaiki perahu yang berjalan melalui lorong demi lorong yang dipenuhi oleh berbagai macam boneka yang bisa bergerak, di iringi oleh lagu membuat Raga benar-benar terlempar ke masa lalu. Ia seperti diajak kembali ke masa anak-anaknya dulu.

Terkadang, Kirana yang duduk disampingnya itu merekam Raga yang tampak bersemangat saat melihat boneka-boneka itu bergerak seperti hendak menyapa pengunjung. Mereka juga sempat berfoto berdua disana, kemudian seorang anak kecil yang duduk di belakang Kirana dan Raga terkadang ikut dalam foto keduanya. Raga tertawa kemudian mengajak bocah itu untuk berfoto bersama. Setelah keluar dari wahana istanah boneka, Raga mengajak Kirana untuk menaiki satu wahana lagi yang menurutnya benar-benar membosankan, mereka menaiki komedi putar yang berada dipaling depan dekat pintu masuk Taman Bermain tadi.

Tidak begitu ramai disana karena hari semakin gelap dan sebentar lagi Taman Bermain itu akan segera tutup, Kirana dan Raga menaiki kuda di sana menikmati setiap putaran yang tidak begitu kencang, terkadang Raga memotret Kirana diam-diam. Ikut bernyanyi lagu Taman Bermain itu yang sedang diputar, terkadang Kirana tertawa saat Raga melebarkan tangannya atau berpose memeluk kuda yang ia tunggangi, persis seperti anak kecil. Enggak pernah terpikirkan didalam kepala Kirana jika Raga yang terlihat kaku dan dewasa bisa kekanakan seperti ini juga.

“Kayanya kita harus sering-sering kesini deh, Na. Ada banyak permainan yang belum kita naikin karena keburu malam,” ucap Raga ketika keduanya sudah dalam perjalanan pulang.

“Boleh, kalau enggak salah bulan depan ada wahana rumah hantu. Mau coba masuk, Mas?”

“Duh, enggak deh. Gak berani saya kayanya, nonton film horor aja saya enggak berani.”

“Ih, masa? Tapi seru tau Mas kayanya.”

“Na?”

“Ya, Mas?” Kirana menoleh.

“Bulan depan, saya diundang sama teman saya buat nonton acara Orkesranya mau ikut?”

“Boleh!!” Kirana mengangguk-angguk, dahulu sewaktu SMA Kirana pernah di ajak Bapaknya sekali menonton pertunjukan orkesra.

“Saya jemput nanti ya.”

“Oke.”

Mobil yang dikendarai Raga berhenti didepan rumah Kirana, Kirana tidur ternyata pantasan saja sedari tadi Raga bicara wanita itu hanya menjawab dengan dehaman kecil saja. Tidak tega rasanya ia membangunkan wanita disampingnya itu, wajahnya seperti terlelap dalam damai. Kedua matanya yang bulat dan bening itu terpejam, menampakan bulu mata lentik itu semakin indah jika terpejam seperti itu ternyata. Alih-alih membangunkan Kirana, Raga justru memperhatikan wajah wanita itu, terkadang ia tersenyum kecil waktu Kirana menggeliat. Sewaktu kedua mata Kirana yang terpejam itu terbuka perlahan-lahan, Raga kikuk dan langsung melihat ke arah lain.

Kirana sudah bangun, menoleh ke kanan dan kiri kemudian merenggangkan tubuhnya yang sedikit kaku setelah seharian bermain. “Loh, Mas. Udah sampe?”

“Um.. Baru banget.” alibi Raga, padahal mereka sudah sampai sekitar 20 menit yang lalu.

Kirana ingin membuka seatbelt yang terpasang ditubuhnya, namun ia mengalami sedikit kesulitan karena tidak kunjung terbuka juga padahal Kirana sudah menekannya rektraktor seat agak sedikit kencang. Raga yang melihat itu akhirnya berinisiatif untuk membantu Kirana membuka seatbelt nya, pria itu mencondongkan tubuhnya mendekat pada Kirana dan tangannya menekan rektraktor seat beltnya. kedua netra mereka sempat bertemu membuat Raga tetap pada posisinya, memperhatikan wajah Kirana yang terlampau dekat dengannya.

Degub jantungnya semakin menggila, dalam hati Raga berdoa agar deguban itu tidak terdengar oleh Kirana. Kupu-kupu di perutnya itu juga kembali berterbangan. netra yang semula menatap kedua mata Kirana itu kini berpindah, semakin menurun sampai ia menelisik bentuk bibir kemerahan wanita didepannya itu, kali ini bukan hanya jantung Raga saja yang menggila jantung Kirana pun sama menggilanya. Entah keberanian dari mana yang datang menyelinapi Raga sampai kini ia mendekatkan dirinya semakin dekat dengan Kirana, bahkan Kirana sampai memejamkan matanya karena hembusan nafas pria di depannya itu.

Raga memiringkan kepalanya dan menjemput bibir Kirana dalam sebuah panggutan lembut, terlalu lembut bahkan takut sekali ia melukai benda kenyal itu. Raga tidak pernah berciuman sebelumnya, geraknya lamban dan terbatah-batah namun ia menikmati kecupan bibirnya pada bibir merah muda itu. Dan senyum di wajahnya semakin mengembang ketika Kirana membalas kecupan pada bibirnya, tangan Raga yang semula bertumpu pada pintu mobil itu kini berpindah menarik pinggang Kirana agar semakin dekat dengannya. Keduanya baru melepaskan pautan itu ketika pasokan oksigen sudah mulai menipis, Raga dahululah yang menjauhkan wajahnya dari Kirana. Ia masih menatap Kirana, menelan salivanya susah payah dan ibu jarinya mengusap bibir wanita itu. memastikan ia tidak menyakiti setitikpun dari benda milik itu.

“Maaf..” ucap Raga kemudian, ia merasa harus meminta maaf karena sudah kurang ajar mencium Kirana seenaknya sendiri, tanpa izin dari wanita itu meski Kirana juga ikut membalas ciumannya.

“Gapapa, Mas. Kalau gitu saya masuk dulu ya?”

“Um.” Raga mengangguk, menjauhkan tubuhnya dari Kirana ia memperhatikan wanita itu dari kursinya yang hendak membuka pintu mobilnya itu. Tapi tak lama kemudian, Kirana berbalik menghadapnya kembali dengan senyum yang mengembang sempurna. Bahkan Raga telat menyadari jika wajah Kirana merona, ada semburat kemerahan disana. “Kenapa, Na?”

“Makasih banyak ya, Mas,” ucapnya sebelum ia turun dari mobil Raga.

Bersambung...