Bab 52. Yang Telah Patah
Setelah turun dari mobil Raga, Kirana sempat menunggu mobil Raga keluar dari gang rumahnya dahulu setelah itu barulah ia membuka pagar rumahnya. Di teras depan, diatas meja yang memang ada didekat pintu masuk rumahnya, ada sebuah surat yang ditaruh entah oleh siapa. Kirana mengambil surat itu dan belum sempat ia baca, ia buru-buru masuk dan melesat ke kamar mandi. Surat itu ia biarkan di atas meja ruang tamunya. Kirana awalnya hanya ingin buang air kecil, namun karena sudah tidak tahan karena seharian berkeringat akhirnya ia mandi dahulu, setelahnya baru ia sempatkan untuk membuka surat itu. Ternyata itu bukan surat, melainkan sebuah undangan dengan inisial A dan B.
Kirana terdiam sejenak, ia duduk dikursi ruang tamu dan membuka undangan itu. Ternyata inisial di cover bagian depannya A dan B itu adalah inisial dari nama Asri dan Bagas, Kirana pikir lukanya sudah sembuh setelah satu tahun putus dari pria itu. Ternyata Kirana masih bisa merasakan pedih dihatinya hanya dengan membaca nama Bagas saja diatas kertas berwarna tosca itu, ia sadar bahwa pria itu akan segera menikah dalam kurun waktu dua minggu lagi.
Apa yang ia impikan, apa yang ia dan Bagas cita-citakan bersama dahulu hanya sebuah angan yang kini perlahan-lahan tertiup angin kencang hingga hilang entah kemana. Bagas akan menjadi milik wanita lain, pria yang sangat ia sayangi dahulu kini akan memulai hidup baru tanpanya. Kirana menaruh undangan itu diatas meja dan menangis menyesakan tanpa suara diatas kursinya, menaikan kedua kakinya dan memeluk dirinya sendiri.
Kilasan masa lalu tentang hari-hari membahagiakannya dengan Bagas terputar kembali dikepalanya, ia dipaksa untuk mengingat hal-hal membahagiakan itu yang kini terasa menyakitkan untuknya. Saking sakitnya, Kirana sampai memukul-mukul dadanya sendiri dan mengigit tangannya demi meredam isaknya yang semakin menyesakan bagi siapapun yang mendengarnya. Entah siapa yang mengirim undangan itu, dan entah apakah ia bisa tabah untuk tetap hadir menyaksikan hari bahagia pria itu atau tidak.
Saking sibuknya ia menangis, Kirana sampai tidak sadar jika pagar rumahnya itu ada yang membuka. Seorang laki-laki yang berlari kecil panik memasuki halaman rumahnya dan mengetuk pintu rumah Kirana dengan tidak sabaran. Sebelum membuka pintu rumahnya, Kirana buru-buru mengusap air matanya yang masih merembas turun itu dengan kedua telapak tangannya. Ia melangkah dengan gontai dan membuka pintu rumahnya itu, didepannya kini ada Raga. Pria yang tadi mengantarnya pulang dan menciumnya.
Raga kembali dengan nafas yang sedikit terengah-ngah dan raut wajah yang penuh kekhawatiran. Raga tidak mengucapkan apa-apa, namun mata sembab dan hidung Kirana yang memerah itu serta undangan yang wanita itu taruh diatas meja ruang tamunya sudah menjadi jawaban yang cukup jelas bagi Raga jika wanita itu menangis, Raga kemudian menarik Kirana dan membawa wanita itu dalam dekapnya. Pertahanan Kirana kembali luruh, ia kembali pada tangisnya yang semakin menyesakan itu dalam dada bidang Raga. Memeluk dan meremas jaket yang dikenakan pria itu. Raga membiarkan jaket bagian depannya itu basah oleh air mata Kirana tanpa bertanya apapun pada wanita itu.
Setelah Kirana sudah cukup tenang, Raga membawa Kirana untuk duduk di ruang tamu. Ia menyingkirkan undangan itu jauh dari jangkauan Kirana, setelahnya ia ambilkan wanita itu air dan kemudian duduk disebelahnya. Kirana sudah tidak menangis, tapi wanita itu masih diam saja.
“Na, aku gak akan biarin kamu sendirian malam ini.” Ucap Raga kemudian.
Kirana menatap Raga, ucapan pria itu kembali membuat air matanya luruh dan membasahi wajahnya dengan mudahnya. Kepalanya sudah pening tapi rasanya pasokan air matanya terlampau banyak, Raga kembali membawa Kirana dalam pelukannya. Mereka sempat berpindah ke kamar Kirana karena hari sudah semakin malam, awalnya, Raga hanya duduk diranjang Kirana namun Kirana menyuruhnya untuk tiduran disebelahnya. Kirana tahu Raga juga pasti sangat lelah karena seharian ini mereka bermain di Taman Bermain.
Keduanya tiduran saling berhadap-hadapan, dengan Kirana yang masih sangat nyaman dalam dekapan Raga dan Raga yang sibuk mengusapi punggung kecil itu. Kirana sudah tidak menangis, namun wanita itu hanya diam saja. Hening, tak ada yang ingin memulai pembicaraan lebih dulu. Kedatangannya hanya ingin menemani Kirana, ia tahu wanita itu pasti sangat terpukul sekali karena begitu sampai rumahnya pun Raga mendapatkan undangan itu di teras rumahnya.
“Mas?” Panggil Kirana pada akhirnya.
“Hhhm?”
“Maaf udah buat baju kamu basah.”
Raga sedikit menarik tubuhnya demi bisa melihat wajah cantik dalam dekapannya itu, ia tersenyun kecil. “Gapapa, Na, aku harap ini untuk terakhir kalinya kamu ngerasain sakit karena dia.”
“Ak..aku.. Aku bingung.”
Sempat hening sejenak, sampai akhirnya Raga menghela nafasnya pelan. “Aku gak minta kamu jelasin soal perasaan kamu setelah tahu hal ini, Na. Aku cuma mau nemenin kamu.”
Setelah apa yang terjadi di mobil barusan, rasanya tidak mungkin Kirana tidak tentang perasaan Raga padanya. Dan Raga benar-benar merasa Kirana tidak perlu menjelaskan apapun tentang apa yang ia rasakan saat ini. Kirana menatap kedua manik mata Raga, manik kecoklatan itu. Manik yang seperti batu topaz, indah, legam, terlihat tajam terkadang dan sekaligus hangat. Raga menaruh tangannya di pucuk kepala Kirana dan mengusapnya, kemudian ia daratkan sebuah kecupan di kening wanita itu.
“Aku sayang kamu, Na. aku akan pastiin satu hal kalau kamu gak akan pernah sendiri. Aku bakal jagain kamu bahkan dari diri aku sendiri.”
Kirana tidak menjawab apapun dari perkataan Raga, pikirannya berkecamuk memikirkan ucapan yang terdengar tulus di telinganya itu dan kedua matanya sibuk menatap manik mata kecoklatan seperti batu topaz itu. Entah sejak kapan Raga memiliki perasaan dengannya Kirana sendiri tidak tahu, namun ada satu hal yang teramat sangat pasti baginya saat ini. Ada getaran halus direlung hatinya, perasaan nyaman seperti ia tengah kembali ke rumahnya setelah sekian lama berkelana.
Setelah itu, tak ada lagi obrolan diantara mereka berdua. Kirana hanya sibuk dalam lamunan nyamannya ditengah sepi dekapan Raga, sementara Raga, ia sibuk mengusap kepala belakang Kirana dan sesekali menciumi dahi wanita itu. Pada posisi ini keduanya menemui titik nyaman seperti tubuh mereka diciptakan untuk saling mendekap.
“Mas?”
“Ya?”
Kirana pikir Raga sudah mengantuk atau terlelap, begitu ia kendurkan sedikit pautan tubuh keduanya. Kedua mata Raga masih bulat menatap wajahnya, garis bibir yang semua datar itu tertarik membentuk seulas senyuman diwajah tampannya. “Aku boleh tanya sesuatu?”
Ah, Kirana hampir lupa jika sebutan 'saya kamu' untuk mewakilkan dirinya dan Bagas itu sudah sirna digantikan oleh 'aku kamu' terdengar lebih manis dan nyaman untuk Kirana saat ini. Pria di depannya itu mengangguk, ia memberi jawaban atas pertanyaan Kirana barusan.
“Tanya apa hm?”
“Seandainya kita gak pernah mimpi tentang kehidupan masa lalu kita, seandainya aku gak pernah terlahir kembali dalam rupa wajahku dulu, atau seandainya aku enggak mengingat tentang kehidupan kita dulu. Apa Mas bakalan tetap ingat aku?” Jawaban yang ia buat sendiri akan alasan kenapa Raga jatuh hati padanya itu masih dalam bentuk kepingan puzzle dikepalanya, ia masih menerka jika itu semua karena janji Jayden dan Ayu di kehidupan terdahulu mereka. Dengan kata lain, perasaan Raga padanya muncul di dasari oleh kehidupan terdahulu mereka.
“Hhmm...” Raga menghela nafasnya pelan, ia menarik sebelah ujung bibirnya itu hingga membuat lubang kecil di sebelah pipinya. Ciri khas seorang Raga sekali. “Jauh sebelum mimpi itu aku alami, jauh sebelum ingatan kehidupan terdahulu itu aku ingat kembali. Pertama kali aku ngeliat kamu itu rasanya kaya selalu dejavu, Na. Kaya aku selalu ngerasa dekat sama kamu, terutama mata kamu. Aku lebih sering lihat mata sedih kamu dan itu semua ingatin aku sama seseorang yang bahkan aku sendiri gak bisa ingat. Setelah mimpi itu, aku baru sadar kalau itu mata Ayu. Mata sedih kamu dulu.”
Saat berkuliah dulu, Raga enggak pernah mengenal Kirana. Mereka hanya pernah sesekali berpapasan dan sejak itu Raga sudah merasakan dejavu setiap kali ia melihat Kirana, dan puncaknya terjadi saat beberapa tahun kemudian Kirana diterima di kantor tempatnya bekerja dulu, Kirana dengan sorot mata sedihnya yang selalu mengingatkan Raga pada seseorang, seperti ia pernah melihat orang lain dengan mata sedih seperti itu. Dan setelah mimpi itu Raga semakin yakin jika itu sorot mata Ayu, Ayu terlalu sering menunjukan sorot mata sedih seperti itu bahkan dipertemuan terakhir mereka.
Janji yang Jayden buat pada dirinya sendiri dan Ayu saat itu terlampau kuat, pada setiap sedimen semesta manapun ia akan tetap mencari wanitanya, akan tetap mengenali wanitanya lewat sorot mata sedih itu. jikalau Ayu nya tak pernah terlahir dalam rupa masa lalunya, ia akan tetap mencintai wanitanya hingga bintang terakhir menghilang. atau bahkan bagian terburuknya adalah jika semesta melupakan wanita itu pernah ada, ia akan tetap mengingat dan mencintai wanitanya.
“Na, aku akan tetap mengenali sorot mata kamu di kehidupan manapun.” Dan dalam batinnya Raga mengatakan “karena ini bukan yang pertama kalinya untukku.“
🍃🍃🍃
Tinggal beberapa hari lagi sampai Bagas dan Asri resmi menikah, Bagas dan Asri sama sekali tidak disibukan oleh persiapan pernikahan mereka apapun kecuali fitting baju pengantin mereka. Selain itu semua urusan tentang acara pernikahan mereka serahkan pada kedua orang tua mereka. Hari ini Bagas pamit untuk keluar rumah pagi itu pada kedua orang tua nya. Dia bilang hanya ingin minum kopi di cafe dan mampir ke toko buku sebentar, namun jauh dari ucapannya itu Raga justru melajukan mobilnya menuju rumah Kirana berada. Hari itu Kirana sedang menjemur pakaiannya kemudian menyiram tanaman.
Dari dalam mobilnya, Bagas juga melihat Kirana sempat berbicara dengan tetangga yang lewat depan rumahnya, tersenyum pada anak-anak yang menyapanya. Wanita itu tampak baik-baik saja, dan itu membuat senyum di wajah Bagas mengembang. Bahkan dengan melihat Kirana hanya dari jauh saja membuat dirinya lebih baik. Selanjutnya Kirana masuk ke dalam rumahnya, beberapa jam wanita itu tidak terlihat dan Bagas masih setia menunggu di dalam mobilnya. Dan tak lama kemudian Kirana keluar dengan kemeja dan celana jeans, rapih sekali dengan polesan make up tipis serta rambutnya yang di ikat.
Kirana mengunci pagar rumahnya dan melangkah ke halte bus, Bagas sudah tahu dari Kanes jika Kirana bekerja di toko kue tempat Ibunya dulu bekerja. Bagas hanya menebak-nebak saja jika mungkin Kirana akan bekerja karena wanita itu pun menaiki bus yang menuju ke toko tempat Ibunya dulu bekerja, setelah itu Bagas memutuskan untuk berkeliling saja. Kerinduannya akan wanita yang teramat ia sayangi itu sudah sedikit terbayar, tapi jauh dari jangkauan Bagas mobil lain sedari tadi pun berada di belakang mobilnya.
Mobil yang dikendarai oleh Asri, wanita itu tahu jika beberapa hari ini Bagas sering melihat Kirana dari jauh dan itu mengundang kecemburuannya yang luar biasa. Karena akan segera menikah dengan Bagas, Asri merasa ia telah memiliki pria itu seutuhnya. Maka hari itu setelah memastikan mobil yang Bagas tumpangi tidak mengikuti Kirana kembali, Asri melajukan mobilnya ke toko tempat Kirana bekerja. Kemarahannya menggebu-gebu ingin segera ia luapkan pada Kirana dan membuat wanita itu malu didepan banyak orang.
Mobil yang Asri kendarai ia parkirkan didepan toko kue itu, kebetulan sekali Kirana sedang menyusun satu persatu kue di depan showcase. Mengabaikan sapaan dari staff ketika ia membuka pintu masuknya, Asri berjalan dengan langkah besar-besar menuju Kirana. Ia menarik lengan wanita itu dengan kasar hingga Kirana menghadap ke arahnya, tangannya begitu saja melayang menampar sisi wajah Kirana hingga kepala wanita itu terhuyung ke kanan. Bukan hanya Kirana saja yang kaget, tapi seluruh staff dan pengunjung disana pun sama kagetnya dengan Kirana.
Namun Kirana tidak tinggal diam, kemarahannya juga menggebu ketika Asri datang dengan tiba-tiba dan menampar wajahnya. Maka ia balas dengan satu tamparan di sisi wajah kanan Asri bahkan sampai menimbulkan jiplakan tangan Kirana disana. Kirana pernah berjanji pada dirinya sendiri jika yang tersisa dari dirinya hanya harga diri, dan ia tidak akan membiarkan siapapun menginjak-injak harga dirinya lagi.
“Cewek murahan!! Gue sama Bagas udah mau menikah dan lo masih sering ketemu sama dia?!” Bentak Asri, ia abaikan saja pedih di wajahnya itu. Ia pikir Bagas dan Kirana masih bertemu diam-diam, padahal selama ini Bagas hanya sering melihat Asri dari kejauhan.
“Ketemu sama dia? Siapa yang ketemu? Gue gak pernah nemuin Bagas sejak hubungan kami selesai.”
Asri menyeringai, “halah, gak usah bohong yah lo! Lo masih gak terima kan kalo hubungan lo sama Bagas selesai? Iya kan? Lo pasti mau ngerebut calon suami gue kan?!”
Kirana menarik nafasnya kemudian menghembuskannya perlahan-lahan, saat ini ia tengah mengontrol emosinya agar tidak meledak. Bagaimana pun ia sedang bekerja dan reputasi tempatnya bekerja di pertaruhkan saat ini atas sikap yang akan ia ambil. Maka dari itu, ia tarik tangan Asri dan mengajaknya ke belakang melewati pintu karyawan. Begitu sampai di dekat gudang ia hempaskan tangan itu dengan kasar.
“Dengar ya, gue harap gue enggak akan mengulangi ucapan gue lagi. Gue gak pernah ketemu Bagas sedikit pun, hubungan gue sama dia udah selesai. Kalau pun Bagas yang masih belum bisa lupain gue itu jadi urusan dia dan oh iya satu lagi.” Kirana memandang Asri dengan tegas, maju selangkah untuk memojokkan wanita itu ke dinding hingga Asri mundur dan merasa gentar dengan sikap Kirana yang tidak seperti biasanya.
“Gue bukan perempuan murahan yang bisanya ngerebut cowok orang. Gue bukan elo, ngerti?!” Ucapnya penuh dengan penekanan.
“Oh ya?” Asri melipat kedua tangannya di dada. “Kalau benar lo udah lupain Bagas, harusnya datang ke pernikahan dia bukan suatu hal yang sulit buat lo kan?”
Kirana sempat terdiam, degup jantungnya beedetak tak seperti biasanya. Saliva yang semula dengan mudah ia telan itu terasa sulit dan tertahan di tenggorokannya yang nyeri. Kirana kembali ke dalam toko dan meninggalkan Asri yang masih terdiam disana. Kirana sempat disuruh oleh kepala tokonya untuk bekerja di belakang dulu saja, karena tampaknya keadaan di depan belum kondusif. Masih banyak pelanggan yang begitu terganggu dengan adegan barusan, kepala toko belum sempat bertanya kenapa ia bisa di perlakukan seperti itu. Namun Kirana sudah menyiapkan penjelasan seumpama kepala tokonya bertanya.
Bersambung...