Bab 53. Titik Nadir

Kirana melambaikan tangannya ketika melihat pintu cafe terbuka dan menampakan Almira disana, ternyata wanita itu tidak sendiri. Ia datang bersama dengan Raka yang mengekorinya dibelakang. Kedua orang itu tersenyum ketika dengan mudahnya menemukan Kirana yang duduk di pojok sedang memakan soft cookies yang diatasnya diberi toping ice cream vanilla itu. Hari itu setelah Kirana pulang bekerja, Almira mengajaknya bertemu. Wanita itu bilang ia kangen sekali dengan Kirana dan ingin ngobrol-ngobrol dengan Kirana setelah pulang bekerja.

Namun Raka yang mengetahui hal itu malah merengek meminta ikut karena ia juga ingin bertemu dengan Kirana, jadilah keduanya berangkat bersama menemui Kirana dicafe itu. Almira langsung memeluk Kirana begitu sampai dikursi yang dipilih oleh Kirana duduk, terakhir keduanya bertemu itu saat menjenguk Reisaka sekitar 2 bulan yang lalu. Walau begitu mereka masih berkomunikasi di grup chat atau bahkan melakukan panggilan video jika sedang ada waktu luang.

“Kangen kangen kangen kangen ihh...” rengek Almira begitu ia mengurai pelukan Kirana, ia duduk disamping Kirana dan Raka duduk di kursi depan kedua wanita itu.

“Ini pelukannya berdua doang nih? Bertiga gak sih?” ledek Raka.

“Bapak-bapak ini malah modus, by the way Mas Raka tumbenan banget ini ngikut? Mas Satya gak ikut sekalian ini?” tanya Kirana.

“Enggak, Mbak. Mas Satya mau ke rumah mertuanya katanya jengukin mertuanya gitu lagi sakit. Ini tuh tadi pas aku lagi pesan taksi online Mas Satya malah ngerengek mau ikut waktu aku bilang mau ketemu sama Mbak. Katanya dia kangen juga.”

Kirana memajukan bibirnya meledek Raka dan pria itu hanya cengengesan, “dasar, eh yaudah kalian pesan dulu gih tadi aku udah pesan duluan soalnya keburu laper.”

Raka mengambil buku menu yang ada disana dan mulai memesan, menu disana hanya ada kopi dan aneka macam cookies dengan berbagai ukuran, toping dan rasa. tidak ada makanan berat. Sore itu cafe yang berada diantara jalan menuju rumah Kirana dan kantornya dulu tak begitu jauh, agak sedikit padat pengunjung namun itu tidak menganggu ketiga nya untuk melepas rindu saling berbicara tentang kabar masing-masing.

Raka memesan cookies dengan rasa matcha yang didalamnya diberi isian choco chips dan diatasnya diberi toping ice cream cookies and cream, sedangkan Almira memesan cookies dengan rasa choco almond dengan toping ice cream rasa dark choco. Keduanya memesan amerikano sebagai pendampingnya, rasa pahit dari kopi itu dinilai pas sekali untuk makanan manis yang mereka pesan. Kebetulan di luar sedang hujan dengan intensitas rendah yang membuat suasana ketiganya semakin menyatu.

Berawal dari Raka yang bercerita tentang Reisaka yang sudah pulih dan keinginan bocah itu untuk segera sekolah, akhirnya bulan kemarin Reisaka mendaftarkan Reisaka ke preschool dan bocah itu begitu excited dengan sekolah barunya, kemudian Almira yang bercerita jika hubunganya dengan pacarnya yang kandas karena pria yang Almira kencani itu dinilai terlalu sering merasa rendah diri dengan karirnya. Almira sempat menangis saat bercerita namun untungnya Raka dan Kirana bisa menghibur kesedihan wanita itu hingga kini Almira kembali tertawa hanya karena lelucon yang Raka lontarkan.

“Terus.. Gimana kabar Pak Raga, Mbak?” celetuk Almira tiba-tiba, wanita itu melirik Raka yang kini cengengesan. keduanya sepeti tengah meledek Kirana.

“Baik kok, cuma ya jadi agak sibuk aja akhir-akhir ini. Kalian kan punya nomernya kenapa harus nanya ke aku coba?”

Raka terkekeh kecil, “Ya kan sekarang kamu sama Raga udah kaya sepaket, Na. Berduaan mulu ya gak, Mir?”

“Mana ada.” Kirana ngeles padahal dia sendiri juga menyadari hal itu.

“Tapi sebenarnya kamu sama Pak Raga udah jadian belum sih, Mbak?”

“Jadian apa sih, Mir. Astaga!” mendengar Almira bertanya seperti itu rasanya kupu-kupu di perut Kirana berterbangan tidak karuan, ia merasa pipinya sedikit memanas hanya karena Raka dan Almira sedari tadi menyebutkan nama Raga terus menerus.

“Ih udah deket gitu masa gak jadi-jadian payah banget yah, Mir?” ledek Raka yang langsung mendapat anggukan setuju dari Almira.

“Ohhh atau mungkin nih, Mas Raka. Mereka mau langsung lamaran kali ya?”

“Astaga enggak, Mir. Udah ih kalian malah jadi ngeledekin aku gini sih? Coba kalo ada Mas Raga berani gak?”

“Tuh itu tuh ini nih!!” Raka menunjuk Kirana, “panggilannya aja udah Mas haduhhhhh..”

“Ih iya bener loh, Mas Raga?” ledek Almira lagi, ia menirukan bagaimana Kirana memanggil Raga.

dalem dek Kirana?” jawab Raka seraya menirukan suara Raga dan tawa keduanya kemudian pecah. Kirana hanya geleng-geleng kepala saja sembari memalingkan wajahnya ke arah lain, tidak sanggup rasanya meladeni Raka dan Almira yang semakin hari kenapa semakin kelihatan kompak.

“Hhmm.. Ngomong-ngomong, kalian dapat undangan juga gak?” tanya Kirana, ia jadi teringat akan pernikahan Bagas bulan depan. Ketika Kirana bertanya seperti itu Almira dan Raka yang sedang tertawa itu langsung diam. Keduanya saling melemparkan pandangannya masing-masing.

“Um dapat, Mbak.” Almira mengangguk, ia memperhatikan wajah Kirana yang seperti berusaha terlihat baik-baik saja itu. Sebenarnya selain merindukan Kirana, Almira juga ingin memastikan Kirana baik-baik saja setelah menerima undangan itu.

“Na, you okay?” kini Raka ikut memastikan, ia mungkin sakit mengetahui Asri akan segera menikah dengan Bagas. Bukan sakit hati karena ia masih mencintai wanita itu melainkan sakit karena Asri mengingkari janjinya dengan Reisaka, tapi jauh dari pada Raka, Kirana mungkin lebih merasakan sakit dari pada dirinya mengingat hubungannya dengan Bagas harus kandas karena perjodohan sialan itu.

“Yup.” Kirana mengangguk, “saya baik-baik aja, Mas.”

“Kamu bakalan datang, Mbak?”

Kirana menarik nafasnya pelan, sejujurnya ia masih gamang akan hal ini. Ia tidak yakin jika dirinya akan setabah itu melihat Bagas bersanding dengan wanita lain, ia takut kalau kenangan indah yang pernah ia dan Bagas ciptakan bersama teringat kembali di kepalanya. Tapi disisi lain, ia ingin ada dihari membahagiakan pria itu alih-alih membuktikan pada Asri jika ia benar-benar sudah melupakan Bagas.

“Belum tau, Mir.” gumam Kirana, ia menunduk.

Almira yang melihat itu buru-buru memeluk Kirana dari samping dan mengusap lengan wanita itu, katakanlah jika Kirana sudah melupakan Bagas perlahan-lahan dan mulai menaruh hatinya pada Raga. Tapi tetap saja, datang ke pernikahan pria yang pernah ia sayangi dan menjadi bagian paling penting dihidupnya akan menyisakan sakit. Apalagi hubungan Kirana dan Bagas sewaktu itu sudah ditahap yang cukup serius.

“Kalau kamu enggak sanggup gak perlu maksain diri kamu buat datang, Na. Kamu enggak punya hutang pembuktian apa-apa,” ucap Raka, ia sendiri sebenarnya tidak di undang oleh Asri. Ia tahu Asri tidak akan sudi mengundangnya namun undangan itu datang dari Bagas, karena bagaimana pun Bagas dan Raka berteman baik di kantor dulu.

“Kamu sendiri gimana, Mas?”

Almira sempat melihat ke arah Raka, wanita itu sudah tahu jika wanita yang akan menjadi istri Bagas itu pernah menjadi bagian dari hidup Raka dan Ibu dari Reisaka. Mungkin Raka juga merasakan sakit tetapi pria itu pandai sekali menutupinya. Soal hubungan Raka dan Asri memang Raka yang bercerita, Raka dan Almira saat ini semakin dekat dan sering berbagi cerita apapun itu. Mereka juga sering menghabiskan waktu bersama saat pulang bekerja, entah itu hanya sekedar mengobrol atau makan malam bersama.

“Aku baik-baik, Na. Aku udah gak mikirin Asri lagi bahkan, jadi ya mungkin aku akan tetap datang hanya untuk Bagas.”

🍃🍃🍃

Raga memarkirkan mobilnya didepan pagar rumah Kirana, didalam mobilnya ia sudah melihat Kirana keluar dari dalam rumahnya dan sedang mengunci pintunya disana. Raga tersenyum, ia senang Kirana mau memakai gaun yang dibelikannya untuk menghadiri pesta pernikahan Bagas malam itu. Gaun yang Raga belikan untuk Kirana atas bantuan Adel itu nampak pas ditubuh ramping wanita itu, malam itu Raga hadir mengenakan setelan jas berwarna charcoal yang pas di tubuhnya, akhir-akhir ini Raga sedang rajin berolahraga dan pergi ke pusat kebugaran, alhasil tubuhnya jauh lebih berisi dari sebelumnya.

Ia tidak memakai dasi, hanya kemeja putih yang dua kancing teratasnya ia biarkan terbuka. Menampakan kulit putih Raga disana, sebelumnya Raga sudah mencukur rambutnya pendek jadi ia tidak perlu pusing-pusing menatanya lagi. Raga tersenyum begitu Kirana berjalan ke arahnya, wanita itu mengenakan dress dengan perpotongan A line dengan warna dusty rose gaun dengan bahan silky itu tampak jatuh mengikuti lekuk tubuh Kirana yang semakin indah, rambut panjang wanita itu dibiarkan tergerai begitu saja dengan anting kecil menghiasi telinganya, Kirana juga mengenakan riasan tipis seperti biasanya namun dimata Raga kecantikan wanita itu jauh lebih menganggumkan dari pada hari-hari biasa mereka bertemu.

Saking terpanahnya pada wajah dahayu didepannya itu Raga sampai lupa caranya berkedip sampai tidak sadar Kirana kini sudah berada didepannya dengan senyum dan kerutan bingung didahinya, tak lama kemudian wanita itu melambaikan tangannya didepan wajah Raga agar lamunan pria itu buyar.

“Mas, sakit kamu?” Tanya Kirana memastikan Raga baik-baik saja.

“Ahh..” Raga menggeleng-geleng cepat, “enggak, Na. Baik-baik aja aku, ini tadi itu.. Hhmm.. Apa tuh namanya?” Raga tampak kebingungan mencari alibi, ia memejamkan matanya dan menggaruk kepala belakangnya itu.

“Apa hayo?”

“Itu apasih tadi, aku lupa mau ngomong apa..” Raga meringis dan Kirana hanya terkekeh pelan saja. Sedetik kemudian wanita itu menghela nafasnya berat. Seperti ada sesuatu tak kasat mata mencengkram dadanya kuat hingga ia kehilangan sedikit pasokan oksigen dalam tubuhnya. “Hai? Kenapa?”

“Gapapa, Mas.”

“Yakin?”

“Yup.” Kirana mengangguk mantap, “yuk kita jalan, nanti keburu macet ini kan malam minggu.”

“Na?” Panggil Raga, ia yakin Kirana tidak seratus persen baik-baik saja. Terlihat dari wajah wanita itu yang menampakan sedikit kekhawatiran dan sorot matanya yang sedikit redup membuat Raga yakin jika Kirana tidak baik-baik saja. “Kita enggak usah ke acaranya Bagas ya?”

“Mas, aku baik-baik aja kok. Aku mau datang ke hari bahagia dia.”

“Beneran?”

Kirana tersenyum kecil dan mengangguk pelan, “yup, kan datangnya juga sama kamu dan yang lainnya.”

“Tapi janji satu hal sama aku dulu.”

“Apa?”

“Kalau kamu enggak nyaman disana, bilang ke aku ya. Aku akan bawa kamu pergi dari sana.”

Kirana tersenyum, ia mengangguk. Ia lega Raga berada disampingnya saat ini. Pria itu, pria yang selalu memikirkan dirinya dan selalu mengutamakan perasaan Kirana. Pria yang mungkin sudah jatuh hati sangat dalam padanya namun masih menahan keinginan untuk memiliki Kirana seutuhnya demi memastikan wanita itu sudah benar-benar sembuh dari luka hubungan sebelumnya.

“Iya, Mas. Aku janji.”

Keduanya langsung berangkat menuju hotel dimana Bagas dan Asri melangsungkan resepsi pernikahan mereka, diperjalanan mereka tidak cukup banyak bicara. Hanya mendengarkan radio yang Raga putar yang malam itu sedang membahas tentang bencana alam di Sumatera Utara dan Aceh, dalam perjalanan berkali-kali Kirana meyakinkan dirinya dalam hati jika ia pasti mampu melewati badai yang satu ini, sedangkan Raga. Pria itu tampak tenang dengan sesekali mengusap punggung tangan Kirana agar wanita itu tetap tenang dalam heningnya.

Begitu tiba di venue pernikahan itu, Raga langsung menggandeng tangan Kirana erat. Seolah-olah ia melepaskan sedikit saja wanita itu bisa berpisah jauh darinya, tamu undangan yang datang malam itu cukup ramai dan Raga menilai acaranya memang cukup mewah. Keduanya masuk ke dalam ballroom hotel itu yang cukup luas dan tinggi dengan panel kaca dan lampu kristal diatasnya. Ruangan itu di penuhi warna-warna ivory dan dusty rose senada dengan gaun yang Kirana pakai karna warna itu memang mengusung tema pernikahan kedua mempelai. Warna yang sangat mempresetasikan keduanya, rencana untuk menggelar pernikahan dengan usul intimate wedding itu gagal karena orang tua Asri ingin pernikahan mereka dilangsungkan meriah, karena pada dasarnya Asri anak satu-satunya di keluarga mereka dan orang tua Asri ingin pernikahan itu membekas sekali untuk anak perempuannya.

Kirana menarik nafasnya pelan, menuju pintu masuk ballroom Raga menarik tangan Kirana dan menaruh tangan wanita itu di lengannya dan Kirana hanya menurut saja, tamu-tamu yang datang meliputi teman-teman kuliah Bagas, teman-teman kerja pria itu dan juga teman-teman Asri ada beberapa kolega dari kedua orang tua mempelai yang di undang. Saat Kirana datang ia sempat mengangguk kecil pada teman-teman kuliahnya dulu, yang kini memandang Kirana dengan tatapan kasihan. Biar bagaimana pun teman-teman Kirana dulu adalah teman-teman Bagas juga yang mengetahui bagaimana hubunyan keduanya dulu.

“Kamu mau minum dulu atau mau kasih selamat ke mereka dulu?” Tanya Raga ketika keduanya berhenti didepan meja yang berisi wine dan beberapa gelas cola disana.

“Ke mereka dulu aja kali ya, Mas?”

“Beneran?”

Kirana mengulum bibirnya, ia mengeratkan pegangannya pada lengan Raga. Dari tempatnya saat ini ia dapat melihat Bagas berdiri di pelaminan dengan tampannya, pria itu tidak tersenyum sepanjang tamu menyaminya dan mengucapkan selamat kepadanya. Yang tersenyum disana hanya Asri dan kedua orang tua mereka, Bagas masih belum melihat Kirana yang datang bersama dengan Raga. Akhirnya Kirana mengangguk yakin, semakin cepat ia menemui kedua mempelai dan mengucapkan selamat semakin cepat juga ia bisa segera pergi dari tempat ini.

“Iya, Mas.”

Raga mengangguk, ia mengeratkan pegangan tangan Kirana di lengan kirinya. Keduanya melangkah dengan pasti menuju dimana singasanah Bagas dan Asri berada. Dari tempatnya, Bagas bisa melihat Kirana yang jalan bersama dengan pria yang sangat ia kenali, Kirana tidak melihatnya ia hanya melangkah dengan pasti dengan tangan yang mengapit lengan Raga. Keduanya tampak begitu serasi, demi apapun. Bagas yang melihat hal itu bisa merasakan sakit didadanya, hatinya seperti dihujami belati berkali-kali hingga mungkin tidak ada yang tersisa dari hatinya.

Bagas terus memandang Kirana dari kejauhan saat wanita itu dan Raga menyalami orang tua nya dan kemudian Asri dan tibalah kini Bagas berhadap-hadapan dengan Kirana, waktu disekitar keduanya seperti berhenti berputar. Kirana menyodorkan tangannya untuk menyalami Bagas dan memberikan ucapan selamat, wanita itu tersenyum sangat cantik namun menyakitkan bagi Bagas. Kirana nampak baik-baik saja tanpanya dan begitu tenang saat datang ke acara pernikahannya, Bagas tidak tahu siapa yang mengundang Kirana atau wanita itu justru datang karena ajakan Raga sebagai pasangannya, entahlah kepala Bagas sangat pening hanya memikirkan perihal itu.

“Selamat ya, Bagas. Aku ikut senang.” Ucap Kirana.

Bagas menyalami Kirana, tangan pria itu dingin sedingin bongkahan es begitu menyentuh kulit tangan Kirana. Matanya menampakan kesedihan yang teramat dalam tak ada raut wajah kebahagiaan di hari yang seharunya menjadi hari membahagiakan ini. Kirana berusaha menarik tangannya karena antrean tamu dibelakangnya semakin panjang namun Bagas seperti menahannya, pria itu menggenggam tangannya begitu erat seakan tidak terima Kirana ingin meninggakannya. Mata teduhnya itu berkaca-kaca ingin sekali rasanya Bagas mengatakan padanya bahwa ia masih sangat mencintainya

“Sayang, udah ya. Ini tamu kita banyak loh.” Asri menarik tangan Bagas dan kesempatan itu dipakai Kirana untuk segera pergi meninggalkan singgasana itu.

Begitu turun Kirana baru bisa bernafas lega, ia kembali mengapit tangannya pada lengan Raga dan mengikuti pria itu untuk mencicipi hidangan yang sudah disediakan. Sementara itu, dari tempatnya Bagas masih terus menatap Kirana dengan tatapan nanarnya. Melihat Kirana meminum cola dan berbicara dengan teman kuliah mereka dulu dan juga Almira, rasanya Bagas ingin segera berlari menghampiri Kirana dan memeluk wanita itu begitu erat dan mengatakan jika ia merindukannya dan tak ada satu hari pun ia tidak memikirkan Kirana.

Tamu yang datang semakin banyak membuat Asri dan Bagas hanya duduk sesekali saja kemudian berdiri kembali, jika sedari tadi Asri terus menampakkan senyum manisnya. Kini wajah wanita itu berubah menampilkan kepanikan, dari tempatnya berada ia melihat Raka berjalan bersama dengan Reisaka menuju pelaminan. Pria itu membawa bocah yang selama ini sudah tidak pernah Asri kunjungi lagi. Belum selesai Asri menyalami tamu yang datang, pandangan matanya bertemu dengan mata Reisaka yang kini juga menatapnya, kedua mata bocah itu berbinar. Ia melepaskan gandengan tangannya dari Raka dan berlari ke arah Asri.

“MAMA.....” Reisaka berlari dan berteriak ia langsung memeluk Asri erat dan menangis, Asri yang dipeluk seperti itu berusaha untuk melepaskan pelukan Reisaka dikakinya. “Mama Reisaka kangen sama Mama, kenapa Mama gak ke rumah lagi? Kenapa Mama gak pernah ajak main Reisaka lagi?”

Sontak hal itu membuat semua orang yang berada disana menatap Asri dengan bingung, wanita itu masih berusaha melepaskan Reisaka darinya dan dengan santainya Raka berjalan ke arah Asri dan menarik tubuh anaknya itu pelan untuk ia bawa menjauh dari Asri. “Sayang, kita ambil kue aja yuk?”

“Gak, Pah. Aku mau sama Mama aku kangen Mama!!” Pekik Reisaka.

“Asri ini sebenarnya ada apa? Siapa anak ini?” Tanya Ibu mertuanya itu pada Asri.

“Ga..gak tau, Mah. Ak..aku gak kenal,” ucap Asri terbata-bata.

“Reisaka anaknya Asri, Tante. Anak saya dan Asri.” Ucap Raka dengan nada bicara yang cukup tenang namun berhasil membuat kedua mata Asri dan Papa nya itu membulat.

“Jangan ngaco ya kamu! Saya bahkan enggak kenal sama kamu!!” Bentak Asri. “Apasih ini lepasin gak?!” dengan sekali hentakan Asri berhasil melepaskan tangan Reisaka yang memeluknya dan bocah itu menangis dalam gendongan Raka.

“Asri apa-apaan sih? Dia masih kecil!” Sentak Bagas tidak terima, ia benci melihat anak kecil diperlakukan dengan kasar.

“Anak? Benar itu Asri apa yang di katakan laki-laki ini?”

“Tante sepertinya menantu kesayangan Tante ini berhutang penjelasan sama Tante.” Raka menyeringai, ia melirik Asri yang matanya sudah memerah itu. Entah wanita itu ingin menangis atau benar-benar marah saat ini. Tamu-tamu disana juga sontak melihat ke arah mereka, saat ini Asri menjadi satu-satunya pusat perhatian. “Yaudah kalau gitu, saya mau nyobain makanannya dulu ya. Ah, iya. Bagas selamat ya.”

Setelah memberi ucapan selamat pada Bagas tanpa memberi ucapan selamat pada Asri, Raka turun dari sana sembari menepuk-nepuk punggung Reisaka yang masih menangis dipelukannya itu. Raka berjalan dengan santai menuju Almira, Raga dan juga Kirana yang menunggunya di meja yang tak jauh dari pintu keluar tadi.

Bersambung...