Bab 54. Past And Present

Setelah acara yang berlangsung selama empat jam itu berakhir Bagas langsung menarik Asri ke ruang make up pengantin, saking kencangnya tautan tangan Bagas pada pergelangan tangan Asri. Wanita itu sampai merintih kesakitan dan berucap berkali-kali pada pria yang sudah menjadi suaminya itu untuk berjalan pelan-pelan atau melepaskan tangannya, namun Bagas sama sekali tidak mendengarkan permintaan itu. Begitu keduanya sampai di ruang make up itu Bagas langsung menghempaskan tangan Asri dengan kasar hingga wanita itu terhempas nyaris jatuh karena keseimbangannya yang goyah.

“Jelasin sama gue apa maksudnya tadi?” Tanya Bagas tegas, kedua rahangnya mengeras dan tangannya mengepal jika Asri adalah seorang pria mungkin saat ini Bagas sudah memberinya bogem mentah.

“Gas, aku bisa jelasin ke kamu tapi aku mohon jangan kaya gini.”

Tidak lama kemudian pintu ruang make up itu terbuka dan menampakan kedua orang tua Bagas disana dan juga Kanes. Papa dari Asri itu sedari tadi pergi untuk menemui Raka entah apa yang kedua pria itu bicarakan dan saat ini rasanya Asri seperti benar-benar terpojok. Ia menangis dengan titik-titik keringat di keningnya, padahal pendingin ruangan sudah menyala.

“Iya, Sri. Sebenarnya anak tadi itu siapa? Kenapa dia manggil kamu Mama? Dan benar kata laki-laki tadi kalau kamu adalah Ibu dari anak itu?” Tanya Ibunya Bagas itu dengan tidak sabaran.

“Bu, Yah, Gas. Dengarin aku yah, aku bakalan jelasin ini tapi aku mohon sama kalian jangan marah.” Asri menangis dengan kedua tanganya mengatup seperti tengah membuat permohonan. “Yang tadi itu Raka, dia...”

Asri memejamkan matanya, ia melihat binar mata Bagas yang menampakan ketegasan sekaligus kekecewaan yang mendalam dan juga kemarahan. Saat ini Asri paham jika semua orang yang ada di ruangan itu sangat amat menuntut penjelasan darinya tapi disisi lain Asri masih belum siap menerima konsekuensi dari ketidak jujurannya selama ini. Dalam hati ia hanya berharap jika Bagas dan kedua orang tua nya memaafkannya.

“Raka memang mantan suami aku, Aku dan Raka pernah menikah dan punya anak. Dia benar, yang tadi itu anak aku. Tapi aku sama Raka udah selesai Bagas. Aku sama dia udah pisah dan kehadiran dia kesini itu cuma mau menghancurkan pernikahan kita.” Asri mengambil salah satu tangan Bagas dan pria itu menghempaskan tangan Asri begitu saja, seperti tidak sudih wanita yang sudah menjadi istrinya itu menyentuh tangannya.

Kedua orang tua Bagas itu menghela nafasnya putus asa, Ayah bahkan memijat pelipisnya karena berkedut nyeri menerima kenyataan ini. Rasanya ia seperti di tipu oleh sahabat dan anak dari sahabatnya itu tentang masa lalu menantunya itu, yang paling membuat kedua orang tua Bagas kecewa itu adalah ketidakjujuran Asri soal masa lalunya, soal rumah tangganya dulu bersama Raka dan soal anaknya. Lain halnya dengan Bagas yang sudah kepalang benci melihat Asri yang sangat kasar dengan anaknya sendiri, Bagas bahkan tidak bisa membayangkan seperti apa Asri pada Reisaka jika tidak ia tahan tadi.

Dan dari yang Bagas tahu tentang Reisaka atas cerita Raka selama ini padanya adalah Ibu dari bocah itu tidak tanggung jawab dengan anaknya, bahkan Raka pernah bercerita tentang pria itu yang memohon pada mantan istrinya untuk datang menemui anak mereka yang saat itu sedang sakit. Jadi wanita yang di maksud oleh Raka itu adalah Asri, wanita yang selama ini selalu Ibu anggap wanita baik-baik, cerdas, tulus, memiliki reputasi keluarga yang baik dan tentunya mencintainya. Itu semua seperti topeng yang Asri kenakan baginya saat ini dan hari ini topeng itu terbuka.

Ditempatnya berdiri kecurigaan akan Asri dari Kanes itu terjawab, soal Kanes yang merasa Asri memiliki rahasia besar di hidupnya ternyata sebuah pernikahan dan anak dari masa lalunya. Dan semua itu terjawab, Kanes juga merasa kecewa padahal tadinya dia sudah sedikit berlapang dada dan berharap Asri bisa menjadi istri yang baik untuk Kakaknya itu.

“Lo!!” Bagas menunjuk wajah Asri. “Lo Ibu yang gak bertanggung jawab, pembohong, kasar, penipu!! Puas lo sekarang?”

“Bagas Bagas dengerin aku dulu aku minta maaf sama kamu, Gas. Aku minta maaf.” Asri menarik tangan Bagas dan mengenggamnya, ia sudah menangis menyesakkan menyesali semua perbuatannya selama ini. “Aku mau perbaiki semuanya aku mohon kasih kesempatan buat aku dulu, Gas.”

“Bisa-bisanya kamu, Sri. Membohongi kami, kenapa kamu enggak jujur dari awal saja?” Sela Ayah dengan nada kekecewaanya itu.

“Ayah, aku gak bisa jujur karena bagi aku ini memalukan..”

“Memalukan?!” Pekik Ibu, wanita itu menggeleng pelan. “Apa yang terjadi barusan itu udah cukup bikin kami semua malu, Sri. Semua tamu tadi membicarakan kamu dan anak itu!”

Asri tidak menjawab lagi apalagi saat Bagas melepaskan tangannya, Asri hanya bisa duduk di lantai dengan tangisan yang menyesakkan. Tidak pernah terbayangkan sebelumnya jika pagi tadi yang sangat amat membahagiakan untuknya akan berubah drastis seperti ini, malam ini benar-benar kelabu dan menyakitkan untuknya. Pesta pernikahannya itu hancur dan yang tersisa hanyalah kekecewaan.

“Bu, Yah. Bagas udah menuhin keinginan kalian untuk menikah sama perempuan ini, sekarang tugas Bagas udah selesai kan? Hanya menikah kan? Kalau gitu Bagas rasa ini semua udah cukup, jadi tolong biarin kali ini Bagas menentukan apa yang Bagas mau,” ucap Bagas tegas, ia melepaskan tuxedo miliknya dan melemparkannya begitu saja di atas sofa. Bagas pergi dari hotel itu meninggalkan kedua orang tuanya dan Asri yang masih menangis dan berteriak memanggil namanya. Kali ini kedua orang tuanya itu tidak membela Asri lagi hanya bergeming seperti tengah menyesali keputusannya.

Kanes yang melihat Bagas keluar dari ruang make up itu buru-buru menyusul kakak laki-lakinya itu, ia melangkah dibelakang Bagas yang sepertinya menangis. Kanes dapat mendengar isakan tangis Bagas yang menyesakkan itu, Bagas ternyata berjalan menuju parkiran mobil dan masuk ke dalam mobil miliknya. Kanes pun sama, ia menyusul Bagas.

“AAAARGHHHHHHHHH.” Teriak Bagas, ia menangis dan memukul-mukul setir mobil miliknya dan ambruk begitu saja. Hidupnya sudah selesai rasanya, Kanes yang duduk di kursi penumpang disebelahnya itu juga menitihkan air matanya, ia merasa tidak tega melihat kakak laki-lakinya yang kembali hancur seperti itu. Kanes menarik tangan Bagas dan memeluk kakak laki-lakinya itu keduanya menangis di dalam mobil.

“Mas Bagas gak sendiri, Mas. Kanes disini nemenin Mas Bagas terus.”

“Hidup Mas udah selesai, Nes.”

Kanes menggeleng pelan, ia semakin mengeratkan pelukannya pada Bagas. “Enggak, Mas. Enggak hidup Mas belum selesai.”

Malam itu Bagas ditemani adiknya pulang ke rumahhya, mengemasi hampir semua baju-bajunya dan dokumen penting yang ia miliki. Bagas mungkin akan tidur di hotel untuk sementara waktu, sebenarnya tiga hari yang lalu ia baru mendapatkan kabar jika ia di terima disalah satu perusahaan arsitektur yang berada di Finlandia. Anggaplah ia kabur dari rumah, kali ini Bagas ingin berlari sejauh mungkin ingin memulai hidup barunya tanpa ada satu orang pun yang mengenali.

Dan yang mengetahui hal ini hanya Kanes dan adiknya itu berjanji akan merahasiakan hal ini pada siapapun terutama orang tua mereka dan Asri, sebelum berpamitan Bagas sempat memeluk Kanes erat mengatakan pada adiknya itu untuk menjaga dirinya dan ia berjanji akan memberi kabar lagi kapan ia akan segera berangkat ke Finlandia dan dimana alamatnya tinggal nanti.

🍃🍃🍃

Setelah menghadiri acara pernikahan Bagas dan Asri malam itu, perasaan Kirana cukup bisa dikatakan campur aduk. Ada perasaan lega karena ia bisa lebih dewasa menyikapi sesuatu, perasaan khawatir dan bercampur kasihan pada Bagas yang sudah di bohongi habis-habisan. Malam itu Kirana tidak banyak bicara didalam mobil, ia hanya melihat ke arah kaca jendela disebelahnya sembari mendengarkan radio yang masih Raga nyalakan. Raga juga membiarkan Kirana tenang, membiarkan wanitanya menghabiskan jatah sedihnya dahulu.

“Mas?” Panggil Kirana, ia tidak menoleh ke arah Raga namun ia bisa melihat pantulan bayangan wajah Raga yang menoleh ke arahnya.

“Ya, Na?”

“Boleh gak kalau malam ini aku gak mau pulang?” Gumamnya mengawang, Kirana takut kalau ia sendirian di rumah ia akan kembali menangisi Bagas dan mengingat semua kenangan yang pernah mereka berdua bangun.

Raga memberhentikan mobilnya dipinggir jalan, dan Kirana sontak menoleh ke arahnya. Wajah pria yang selalu terlihat tenang itu kini menatapnya dengan tatapan bingung. “Mau kemana hm?”

“Kemana aja terserah kamu, Mas. Aku cuma gak mau pulang.”

Raga mengangguk, ia membuka jas nya dan memakaikan jas itu pada Kirana. Semakin malam hawa semakin dingin apalagi diluar juga gerimis kecil, dan dress yang dipakai wanita itu menampakan bahu mulusnya yang bisa saja membuat Kirana kedinginan. “Kalo aku ajak kamu ketemu seseorang yang pengen banget ketemu sama kamu, mau?”

“Hm?” Kirana mengerutkan keningnya. “Siapa, Mas?”

“Rahasia.” Raga tersenyum jahil, ia membuat kursi yang diduduki Kirana sedikit mundur agar wanita itu bisa bersandar atau mungkin bisa di bilang tiduran. “Kamu istirahat aja ya. Waktu kamu bangun nanti aku usahain kita sudah sampai.”

“Mau kemana, Mas?” Kirana masih penasaran, ia bukan tidak percaya sama Raga jika Raga membawanya ke tempat aneh-aneh ia tahu sekali Raga bukan pria seperti itu. Hanya saja kata 'rahasia' yang di ucapkannya justru membuat Kirana penasaran berkali-kali lipat.

“Percaya aja sama aku ya.”

Kirana akhirnya mengangguk, sebelum menjalankan mobilnya Raga sempat mengusap pucuk kepala Kirana. Semakin lama perjalanan rasanya kedua mata Kirana semakin berat dan mengantuk sampai akhirnya ia tertidur, Raga yang masih fokus mengemudi itu sesekali menoleh ke arah Kirana. Memastikan wanita yang ia cintai itu tertidur dengan nyamannya, Raga sempat berhenti di rest area dahulu untuk mengisi bahan bakar dan membeli makanan, kemudian ia melanjutkan perjalanannya lagi.

Dan hampir setengah perjalanan Kirana enggak terusik sama sekali, wanita itu tidur dengan pulasnya. Mungkin karena ia sudah lelah, tubuh wanita itu pasti letih setelah peperangan batin barusan. Saat malam menjauh dan berganti dengan matahari yang menelisik lewat kaca mobil Raga, Kirana bangun dan ternyata mereka belum sampai juga. Kirana sempat mengerutkan keningnya karna nampaknya Raga membawanya jauh dari Jakarta, entah kemana karena mobil yang di kendarai pria itu masih melaju membelah jalanan yang masih sepi. Di sisi kanan dan kiri jalan hanya ada hamparan sawah yang luas dan panorama pegunungan yang sepertinya terlihat sangat dekat namun ternyata jauh.

Langit terlihat biru berhiaskan burung-burung yang keluar dari sarangnya terbang kesana kemari, Kirana tersenyum ketika mobil yang Raga kendarai itu melewati ternak-ternak milik warga yang sedang memakan rumput. Rasanya sejuk, tentram dan sangat nyaman setelah mobil itu melewati sebuah rumah makan yang didepannya ada alamatnya Kirana baru tahu Raga membawanya kemana, Raga membawanya ke Purwakarta. Dan Kirana sudah bisa menebak jika ini kampung halaman Raga.

“Buka aja kacanya kalo kamu mau nikmatin udara pagi, Na.” Ucap Raga.

“Mas, kamu bawa aku ke kampung halaman kamu?” Kirana menoleh ke arah Raga, wajah pria itu sedikit lelah. Mungkin karena tidak tidur dan semalaman suntuk menyetir.

Raga mengangguk, “um, ketemu sama orang tuaku mau ya? Mama kangen banget sama kamu katanya.”

Senyum diwajah Kirana semakin mengembang dan ia mengangguk dengan semangat, setelah itu ia turunkan kaca jendela mobil Raga. Angin serta udara sejuk masuk begitu saja menghempas wajah Kirana hingga menerbangkan rambut panjangnya, wanita itu memejamkan matanya menikmati udara yang masih sangat bersih dan sejuk itu. Sekitar dua puluh menit kemudian akhirnya mobil Raga memasuki pekarangan rumahnya.

Rumah Raga di Purwakarta itu cukup luas, tak ada pagar yang membatasinya. Ada pepohonan yang semakin membuat suasananya semakin rindang dan sahdu, rumah itu terlihat cukup sederhana dari depan. Interiornya banyak memakai bahan dasar kayu dan batu alam yang berada didekat kolam ikan, Raga akhirnya turun lebih dulu dan membukakan pintu untuk Kirana. Wanita itu keluar dia sedikit malu karena belum berganti pakaian, saat ini pakaiannya bisa di nilai terlalu berlebihan apalagi beberapa tetangga orang tua Raga itu memperhatikannya.

“Mama sama Papaku lagi didalam, lagi ngasih makan ayam kalau jam segini. Yuk.” Raga menggandeng tangan Kirana dan masuk lewat pintu belakang rumah mereka. Dan benar saja, orang tua Raga itu sedang asik memberi makan peliharaan mereka.

“Mah, Pah.” Panggil Raga.

Kedua orang tua nya itu menoleh dan tersenyum sumringah ketika anak bungsu mereka pulang ke rumah membawa seorang wanita. Mama yang pada dasarnya memang sangat menyukai Kirana dan bilang beberapa kali pada Raga jika ia merindukan Kirana itu langsung meninggalkan gunting dan bunga-bunga yang tadinya sedang ia rangkai di dalam vas bunga. Mama langsung menghampiri Kirana, melebarkan kedua tangannya dan memeluk Kirana.

Kirana pun langsung jatuh dipelukan Mama nya Raga, ia benar-benar terharu ada orang lain yang menyambutnya sehangat ini. Saking terharunya Kirana sampai menitihkan air mata dan menenggelamkan wajahnya dibahu wanita yang telah melahirkan Raga itu. Sementara itu Raga menghampiri Papa nya, memeluk pria itu dan mengatakan bahwa ia juga merindukan Papa nya.

“Akhirnya, Na. Akhirnya Raga bawa kamu ke rumah Mama juga,” ucap Mama begitu ia melepaskan pelukannya. Melihat Kirana menangis, Mama juga jadi ikut meneteskan air matanya. Wanita yang sudah tak muda lagi namun masih menunjukan sirat kecantikan masa lalunya itu mengusap air mata Kirana dengan ibu jarinya.

“Maaf yah, Kirana baru bisa ke sini.”

“Gapapa, Nak. Gapapa. Kamu sudah makan?”

Kirana melihat ke arah Raga, pria itu hanya tersenyum memberi isyarat bahwa ia menyerahkan sepenuhnya padanya. “Belum, Mah.”

“Kita makan dulu yah, yuk ikut Mama masuk.” Mama langsung merangkul pinggang ramping Kirana dan membawa Kirana masuk ke dalam rumah. Meninggalkan Raga dan Papa yang saling pandang itu.

“Masuk dulu, kita sarapan dulu yah. Hhhm.. Kangen sekali Papa sama kamu, Ga.” Papa merangkul pundak Raga dan mengajak putra bungsunya itu untuk masuk.

Bersambung...