Bab 56. Selamat Tinggal
Setelah selesai mastikan baju dan berkas-berkas yang akan ia bawa ke Finlandia, Bagas duduk disamping ranjangnya dan menatap strip fotonya bersama Kirana kenangan yang ingin ia bawa bersamanya. Besok pagi Bagas akan pergi untuk pindah ke luar negeri ia sudah berpamitan melalui pesan singkat pada Kanes dan sayangnya Adiknya itu tidak bisa mengantarnya ke bandara besok pagi karena Kanes ada urusan di kampusnya. Bagas menghela nafasnya pelan, senyum yang terukir di bibirnya itu seperti sebuah senyum menyakitkan. Kenangan manis saat berfoto bersama Kirana itu seperti belati yang menusuk-nusuk hatinya.
Sampai saat ini Ibu dan Ayah masih terus mencoba menghubungi Bagas, karena tidak ingin terus diganggu akhirnya Bagas mengubah nomer pribadinya. Asri pun masih terus menghubunginya lewat telefon bahkan ke surel miliknya, wanita yang telah menjadi istrinya itu memohon pada Bagas untuk bertemu karena ia ingin minta maaf. Sayangnya pintu maaf itu sudah tertutup untuk wanita itu, Bagas ingin memulai hidup barunya di kota yang baru dan menyembuhkan rasa sakitnya. Setelah menaruh foto itu di koper nya, Bagas menutup kopernya itu dan menarunya di dekat pintu keluar kamar hotelnya. Ia ingin pergi ke rumah Kirana, ingin bertemu dengan wanita itu untuk sekedar berpamitan sebelum ia pergi jauh.
Mobil milik Bagas itu sudah dibawa pulang oleh Kanes dan sekarang ini Bagas naik taksi untuk sampai ke rumah Kirana, pagar rumahnya tidak digembok jadi Bagas berinsiatif untuk langsung masuk dan mengetuk rumah itu. Namun dari luar saja rumah itu terasa sepi, biasanya jika Kirana ada di dalam rumah wanita itu suka membuka kaca depan agar udara dari luar bisa masuk ke dalam rumahnya. Baru saja tangannya itu melayang ingin mengetuk pintu rumah Kirana namun gerakannya itu terhenti ketika dari pantulan kaca jendela Kirana menampakan seseorang dibelakangnya, Bagas menoleh. Pria yang lumayan Bagas kenali itu adalah tetangga sebelah rumah Kirana.
“Nyari Mbak Kirana, Mas?” Tanyanya pada Bagas, dan pertanyaan itu langsung di jawab dengan anggukan kecil oleh Bagas.
“Kirana nya ada gak yah, Mas?”
“Mbak Kirana nya gak ada kayanya, Mas. Sudah beberapa hari enggak terlihat, terakhir saya lihat itu dia pergi sama pacarnya.”
Mendengar ucapan pria didepannya itu yang menyebut pacar Kirana itu, Bagas menduganya jika pria yang dimaksud adalah Raga. Mengingat Kirana malam itu datang bersama dengan Raga, tampak serasi dengan Kirana yang mengamit lengan pria itu. Ah, mengingatnya lagi membuat hatinya terasa pedih. Luka yang belum kering itu rasanya seperti terkoyak. Bagas menunduk dan mengangguk pelan. Jadi benarkah keduanya sudah menjadi sepasang kekasih? Apa Kirana benar-benar sudah melupakannya? Mengingat saat wanita itu datang ke pernikahannya Kirana nampak baik-baik saja, apa hanya dirinya saja yang terluka? Begitu ada banyak pertanyaan di kepala Bagas akan Kirana namun ia seperti tidak bisa mendapatkan jawaban dari siapapun kecuali dari wanita itu sendiri.
“Yaudah, terima kasih yah, Mas.” Ucap Bagas dan pria tetangga Kirana itu hanya mengangguk kemudian pergi meninggalkannya.
Bagas masih mematung disana, ia tidak tahu harus kemana lagi. Ia tidak ingin menghubungi Kirana dan bertanya wanita itu ada dimana, ia tidak memiliki keberanian itu. Akhirnya Bagas memilih untuk bertemu dengan Raka saja. Kebetulan mereka memang sudah janjian, ada yang banyak sekali ingin Bagas bicarakan pada Raka, mengenai Asri dan masa lalu mereka. Bagas sama sekali tidak membenci Raka, justru karena Raka lah ia jadi tahu bagaimana sifat asli Asri selama ini.
Keduanya bertemu di coffe shop tak jauh dari kantor mereka dulu berada, ternyata Raka sudah datang lebih dulu. Bahkan pria itu sudah memesan minuman dan kudapan disana, Bagas hanya memesan segelas amerikano saja ia sedang tidak ingin makan apapun rasanya. Akhir-akhir ini nafsu makan Bagas memang sedikit berkurang, ia sadar jika dirinya terlalu setress memikirkan banyak hal mulai dari pernikahan, hidupnya sendiri, kebohongan Asri bahkan hubungan Kirana dengan Raga.
“Udah lama, Mas?” tanya Bagas begitu ia duduk di kursi depan meja Raka berada, pria itu tadi sedang fokus dengan MacBook miliknya. Sepertinya Raka memang sedikit sibuk, tapi Bagas bersyukur Raka bisa meluangkan waktu untuknya.
“Lumayan, Gas. Tapi santai aja gue juga sambil ngerjain kerjaan kok.”
Bagas mengangguk, “makasih ya, Mas. Udah nyempetin datang buat ketemu sama gue.”
“Sejujurnya gue sendiri juga pengen ngajak lo ketemu, Gas. Memang ada yang mau gue omongin tapi ternyata lo udah ngajak duluan.” Raka terkekeh. “by the way boleh gue yang ngomong duluan, Gas?”
Bagas mengangguk pelan, memberikan kesempatan itu pada Raka yang tampaknya ingin berbicara serius. Atau bahkan menjelaskan tentang hubungannya dulu dengan Asri kalau Raka sudah menjelaskan kan Bagas jadi tidak perlu repot-repot bertanya lebih jauh walau tetap saja ada yang ingin ia katakan pada pria itu setelahnya. Kedewasaan keduanya untuk tetap melanjutkan pertemanan mereka memang patut diacungi jempol, tidak ada dendam baik Raka maupun Bagas. Dari sisi Raka ia justru merasa kasihan pada Bagas yang sudah dibohongi oleh Asri, biar bagaimana pun pria itu tidak tahu. Dan dari sisis Bagas, ia justru salut pada keteguhan Raka sebagai orang tua tunggal yang membesarkan putranya, Raka bahkan enggak pernah mengajarkan pada Reisaka untuk membenci Ibu kandungnya sendiri, setelah apa yang Asri lakukan pada bocah kecil itu.
Bagas pernah membayangkan jika ia berada diposisi Raka, mungkin ia takan sekuat itu. Bahkan Bagas pernah berpikir jika Raka ingin melakukan balas dendam pun, walau ia sendiri tidak memaklumi setidaknya Bagas mengerti.
“Pertama-tama gue mau minta maaf sama lo Gas karena udah hancurin pernikahan lo sama Asri dan buat malu keluarga lo waktu itu. Sejujurnya gue sama sekali enggak berniat buat lakuin itu semua, gue memang ingin datang karena lo mengundang gue. Gue pengen ngucapin selamat ke lo. Waktu itu, gue memang gak berniat ajak Reisaka. Tapi hari itu dia lagi rewel banget dan kepengen ikut gue, jadi gue ajak dia. Harusnya gue bisa nahan Reisaka dari awal.”
Reisaka yang berlari dan memeluk Asri itu memang bukan skenario Raka, ia memang membawa Reisaka bukan untuk membantunya membuat Asri malu tapi karena bocah itu tidak ingin ditinggal olehnya, makanya Raka mengajaknya.
“Gapapa, Mas. Gue bisa ngerti bukan sama Reisaka juga, ini perilaku alami seorang anak yang ketemu Ibu nya. Dia cuma mau ngutarain kekecewaanya aja, gue justru kasian sama Reisaka karena udah punya Ibu kasar kaya gitu.” Bagas benar-benar kasihan dengan bocah itu, Reisaka hanya tau Ibunya baik dari cerita Raka. Padahal jauh dari kata itu Asri sangat menolak dan menyembunyikan Reisaka dalam hidupnya, seolah-olah anak itu bukan bagian dari dirinya yang pernah ia lahirkan.
“Salah gue juga, Gas. Karena terlalu baik nyeritain Asri ke dia, harusnya gue gak kasih tau banyak tentang Asri. Bahkan harusnya gue bilang Ibunya udah mati aja.” Raka menunduk, jika ia bisa memutar ulang waktu. Ingin rasanya ia urungkan niatnya memberitahu Reisaka tentang Ibunya, atau jika ia bisa. Ia ingin sekali menghapus ingatan anak itu tentang Ibunya.
“Mas, kenapa dari awal elo gak kasih tau gue kalo Asri itu adalah mantan istri lo?” ini adalah pertanyaan yang sedari kemarin menganggu pikiran Bagas, jika Raka benar-benar menganggapnya teman. Harusnya Raka memperingatinya dari awal kan?
“Gue diancam sama orang tua nya Asri, Gas. Dia ngacam gue kalo gue kasih tau hal ini ke elo, mereka bakalan ambil Reisaka dari gue. Karena Reisaka masih sangat kecil waktu itu, hak asuh dia jatuh ke tangan Asri. Maaf, Gas. Gue gak bisa kehilangan anak gue.” satu-satunya kelemahan Raka sekarang ini adalah Reisaka. Tanpa anak itu Raka tidak bisa bertahan rasanya.
Bagas mengangguk-angguk, sekarang ia mengerti. Orang tua yang baik adalah orang tua yang selalu berpihak pada anaknya. “Sekarang Reisaka gimana, Mas?”
“Dia gue titipin di tempatnya Almira, Gas. Karena orang tua nya Asri selalu datang ke apart gue buat maksa ambil Reisaka.” beberapa kali Raka memang adu argumen pada orang tua Asri itu, orang tua Asri menganggap Raka tidak menyepakati perjanjiannya untuk tidak pernah hadir di hidup Asri lagi apalagi menampakan diri di hari penting wanita itu. Makanya akhir-akhir ini orang tua Raka itu selalu mendatangi rumahnya untuk mengambil alih Reisaka, tentunya Raka tidak diam saja. Ia akan berperang melawan Asri dan orang tua nya di pengadilan agar hak asuh Reisaka jatuh ketangannya sepenuhnya.
“Gue juga minta maaf, Mas. Gue gak berniat ngerebut Ibunya Reisaka dari lo.”
“Lo juga korban, Gas. it's okay. ah, ngomong-ngomong lo sama dia gimana?” yang Raka ingat adalah Bagas sempat marah sewaktu Asri mendorong Reisaka, ia tidak yakin setelah kejadian itu semuanya akan baik-baik saja.
“Gue tinggalin Asri, Mas. Gue mau pindah, mungkin ini jadi pertemuan terakhir kita. Lagi pula, orang tua gue cuma nyuruh gue menikah sama Asri kan, dan gue udah lakuin itu. Tapi kalau untuk menjadikan dia istri seutuhnya buat gue, gue enggak bisa. Karena perasaan itu bahkan enggak pernah tumbuh dari awal.”
“Lo mau pindah ke mana, Gas?”
Bagas hanya tersenyum, meskipun Raka temannya. Ia tetap akan merahasiakan hal ini. Tetap hanya Kanes saja yang akan tahu ia akan pergi kemana dan diizinkan olehnya untuk menyusulnya kapanpun adiknya itu mau. Setelah selesai berbicara dengan Raka, Bagas kembali ke hotelnya ia melihat foto-foto di ponselnya sewaktu ia masih bekerja, senyum di bibirnya itu muncul, besok pagi ia akan langsung berangkat ke Finlandia. Tanpa ada yang mengucapkan selamat tinggal, mengantarnya, memeluknya atau bahkan membawakan makanan khas Indonesia untuk mengobati rindunya selama di negara lain.
Paginya, Bagas langsung bergegas pergi. Sebelum masuk ke gate ia sempat menoleh ke belakang siapa tahu ada seseorang datang untuk mengucapkan selamat tinggal atau bahkan pelukan terakhir untuknya, namun ternyata tidak ada siapa-siapa, Bagas tersenyum getir dan ia melangkah masuk tanpa menoleh kembali. Di dalam pesawat hatinya benar-benar masih berkecamuk, ada rasa ingin tinggal namun semua yang ia miliki disini seperti sudah lenyap. Setiap sudut kota, tempat, makanan bahkan udaranya sendiri pun mengingatkannya pada kenangan manis yang menyakitkan, membuat Rasa sesak nafas itu kembali.
🍃🍃🍃
1 Tahun Kemudian...
“Kamu benar gak ngukurnya, Mir?” Tanya Raka pada Almira.
Almira, Raka, Satya dan Raga sedang berada di toko perhiasan. Mengantar Raga membeli cincin untuk melamar Kirana. Keduanya sudah satu tahun berhubungan dan Raga tidak ingin menunda lagi untuk melamar Kirana menjadi istrinya, tidak ada yang perlu ditunggu lagi menurutnya. Ia sudah merencanakan segala hal nya dengan matang seperti bagaimana ia akan melamar Kirana, dimana ia akan melamar Kirana, kata-kata seperti apa yang akan ia ucapkan saat melamar wanita itu. Tapi tidak dengan cincin, iya, Raga ingin kejutan untuk Kirana jadi tidak mungkin ia yang mengukur sendiri jari manis wanita itu sendiri. Ia tidak ingin Kirana curiga jika ia akan melamarnya dalam waktu dekat.
Maka dari itu Raga meminta bantuan Almira untuk mengukur jari manis Kirana dan wanita berhasil, tadinya Raga hanya minta di temani oleh Satya saja untuk menemaninya membeli cincin namun Satya bilang kalau dia sendiri bingung saat memilih perhiasan, pria itu meragukan seleranya sendiri. Maka dari itu Satya bilang untuk mengajak Raka, Satya menilai selera Raka dalam hal memilih apapun itu baik sekali dan selalu menjelaskan alasan kenapa ia memilih itu dan Raka yang sedang bersama Almira itu akhirnya mengajaknya.
“Ihhh bener, Mas. Ngeraguin banget sih, ini tuh yah jari manis aku sama Mbak Kirana sama jadi gak mungkin salah! orang dia sempat nyobain cincin aku kok,” sanggah Almira, bibirnya cemberut.
“Tapi dia enggak curiga kan, Mir?” tanya Raga memastikan yang langsung saja membuat bola mata Almira memutar, wanita itu mendengus. Tidak menyangka jika pria-pria ini ternyata bawel juga.
“Enggak Mas Raga astaga, kenapa sih gak percayaan banget heran.”
Satya yang duduk disebelah Raka itu hanya menahan tawanya saja, kalau sudah begini ia yakin pasti Almira sudah ngambek. Tapi berhubung ini semua untuk Kirana ia tetap terlihat bersemangat. “Udah buruan milih deh, habis ini kita masih harus bersihin rumahnya Kirana kan?”
“Iyaaa juga yah.” Raga mengangguk-angguk. “Jadi yang mana yang bagus, Ka? Lama juga nih mikirnya.” Raga jadi tidak sabaran.
Kedua mata Raka masih menelisik satu persatu cincin dengan berbagai macam model didalam etalase itu, kemudian menunjuk satu persatu yang menurutnya menarik dan mencobanya ditangan Almira. Almira hanya bisa pasrah saja jari manis nya itu dipasangi cincin berkali-kali dengan berbagai model, sebenarnya ada salah satu cincin yang Almira taksir tapi harganya agaknya tidak ramah untuk kantongnya. Jadi ia mengurungkan niatnya itu untuk membelinya, mungkin Almira butuh menabung dulu selama dua bulan untuk memilikinya.
“Ga, ada 3 yang gue pilih gue jelasin maknanya ya menurut gue sendiri dan nanti lo harus yang milih.” Raka menaruh tiga cincin dengan model yang berbeda-beda itu di depan Raga, dan pria itu hanya mengangguk.
“Cincin satu mata berlian ini punya simbol kalo elo itu berkomitmen sama satu orang aja yaitu Kirana, satu pilihan dan satu masa depan. Ini tuh nunjukin kalo lo emang setia sama satu orang aja.” Jelas Raka yang membuat Raga mengangguk-angguk. Menurut Raga itu dirinya sekali, jika ia tidak setia mana mungkin ia mau terlahir berkali-kali demi menemui Kirana di kehidupan ini.
“Kalau yang ini?” Raga menunjuk cincin dengan tiga mata berlian di tengahnya, cincin itu memiliki ring yang bergelombang yang menurut Raka tidak biasa dan akan sangat indah di pakai di jari manis Kirana yang kecil. Persis seperti jari manis Almira.
“Nah ini namanya three stone ring, dia tuh punya makna masa lalu, masa kini dan masa depan. Ini juga cocok menurut gue karena lo sama Kirana punya sejarah yang panjang,” saat mengatakan itu, kedua mata Raka dan Raga bertemu.
Raga dapat melihat sirat kehidupan masa lalu pada wajah rupawan di depannya itu, ia jadi teringat dirinya yang pernah meminta bantuan Dimas untuk menemaninya ke toko perhiasan, membeli cincin untuk melamar Ayu dan hal itu terjadi di kehidupan yang sekarang ini. Ia tak lagi takut jika Raka akan merebut Kirana sebagaimana Dimas merebut Ayu darinya karena Dimas dan Raka berbeda. Raka adalah temannya sedangkan Dimas adalah musuh dalam selimut.
“Maksud gue, gini, Ga. Lo tahu gimana masa lalu Kirana dan lo menghargai itu ya disini kita sama-sama tahu dulu Kirana gimana sama masa lalunya, terus masa kini. Kaya lo juga gak bakal nyangka gak sih bakalan berakhir sama Kirana? dulu aja mungkin lo gak ngebayangin pacaran sama dia kan?” Ucap Raka yang di beri anggukan oleh Raga, sementara Satya dan Almira hanya menyimak ucapan Raka saja. Almira dalam hati berdecap kagum dengan penjelasan dari Raka mengenai cincin-cincin itu ia setuju dengan Satya yang mengatakan Raka selalu punya selera yang bagus dan dibalik pilihannya itu ia selalu menyelipkan makna di dalamnya.
“Nah masa depan, lo berani komitmen sama dia, milih dia jadi teman hidup lo selama-lamanya.” Lanjutnya.
Raga mengangguk-angguk, kagum dengan makna-makna yang terselip di balik model-model cincin itu. “Terus kalau yang ini?”
“Nah ini dia.” Raka mengambil satu cincin disana yang memiliki permata cukup banyak, terlihat sangat mewah dan memang harganya pun cukup mahal tapi di balik itu semua cincin itu juga menyimpan makna di balik modelnya yang cukup mewah. “Berlian yang ada di tengah paling menojol dan dikelilingi berlian kecil di sisi kanan kirinya itu punya makna kalau elo mau lindungin Kirana. Simpel aja.”
Raga tersenyum, dan ia sudah memantapkan pilihannya pada salah satu cincin yang di pilihkan Raka padanya dan menurutnya makna nya sesuai sekali untuk menggambarkan hubungannya dengan Kirana yang memang rumit itu.
Bersambung...