Bab 6. Adhipati Baswara
Samarang, 1898
(rumah Adi, hanya gubuk biasa yang terbuat dari bilik. Adi tinggal di dekat kebun dan persawahan.)
Pria berumur 21 tahun itu meringkuk di atas dipan beralaskan kain-kain yang Ibu nya tumpuk agar Adi nyaman saat tidur. Sudah 6 hari ini pria itu sakit, badannya demam jika menjelang malam hari. Awalnya Adi ingin tetap pergi ke ladang milik Tuan Gumilar seperti biasanya, namun Bapak melarangnya. Bapak tidak tega melihat Adi yang sudah pucat itu harus memaksakan diri ke ladang.
Pintu dari kayu rumahnya itu terbuka, menapakan cahaya dari matahari yang masuk dari sela-sela nya dan membuat Adi yang sedang tidur itu mengerjapkan matanya. Itu Ibu ternyata, ia membawakan sisa makanan dari rumah Tuan Gumilar yang tidak habis di makan.
Terkadang Ibu nya Ayu itu suka memperbolehkan Ibu nyq Adi membawa sisa-sisa makanan di rumah mereka yang tidak habis. Seperti nasi, sayur, tahu dan tempe atau bahkan ayam sekalipun. Walau tentunya ini tidak terjadi setiao harinya, Adi dan kedua orang tuanya lebih sering memakan singkong dan ubi.
“Sih loro to kowe, Le?” Ibu memegang kening Adi dengan telapak tanganya. Demam nya sudah sedikit turun ternyata.
“Sampun mendingan, Buk.” pria itu bangun dari tidurnya dan duduk, tidak sopan rasanya berbicara dengan Ibu sambil tiduran walau ia sedang sakit.
“Maem sek yo, tak gawake makanan.” Ibu membuka bungkus dari daun pisang itu yang berisi makanan, ada sedikit nasi dan sayur yang Ibu bawa dari rumah Tuan Gumilar.
Ibu juga membawa singkong dan ubi rebus yang Ibu beli dari pasar. Bapak, Ibu dan Adi jarang sekali memakan nasi, kalaupun makan. Itu adalah nasi sisa tidak habis dari rumah Tuan Gumilar. Mereka lebih sering memakan singkong dan ubi, atau olahan singkong seperti getuk. Itu pun tidak di bumbui apapun, semua rasa yang di dapat alami dari makanan itu sendiri.
“Raden Ayu tasih sakit ta buk?” meski sakit, yang Adi sering pikirkan justru keadaan Ayu. Ia merasa bertanggung jawab atas gadis ringkih itu, ia yang membawa Ayu hujan-hujanan.
“Uwis mendingan, Le. Tapu durung melbu sekolah, jare Bapakmu deknen goleki kowe.“
“Terus Bapak sanjang nopo, Buk?” Adi menghentikan makananya.
“Ya, ngomong nek kowe loro. Akhir-akhir iki Den Ayu sering sedih, ndeweki neng kamare, Le.” air wajah Ibu nya juga berubah menjadi sendu ketika sedang menceritakan kondisi Ayu akhir-akhir ini.
Ayu memang mengurung diri di kamarnya, bahkan wanita itu hanya keluar jika ingin ke kamar mandi saja. Mbok Kahiyang selaku pelayan di rumahnya pun tidak berani bertanya-tanya pada Ayu, hanya saja Mbok menjawab ketika Ayu menanyakan Adi.
“Kenopo, Buk?“
Ibu yang tadinya sedang menaruh ubi dan singkong di atas meja itu sekarang menghampiri Adi, Ibu tahu kalau Adi sangat perhatian dengan Ayu, Ibu pun sama. Ibu sudah menganggap Ayu seperti keponakannya sendiri karna kebaikan keluarga Tuan Gumilar.
Apalagi mengingat Ayu yang dengan baiknya mau mengajari Adi membaca, menulis hingga belajar bahasa Belanda. Ibu bahkan selalu memikirkan cara bagaimana suatu hari Ibu dapat membalas kebaikan wanita itu.
“Ayu, arep dijodohke, Le” jawab Ibu pada akhirnya.
“Dijodohkan Buk? Kalih sinten?“
Ibu menggeleng pelan, Ibu pun tidak sengaja mendengar oborlan Tuan Gumilar dengan tamunya saat Ibu sedang mengantarkan teh untuk keduanya minum. Setelah itu Ibu langsung kembali ke dapur, enggan rasanya menguping, rasanya sangat tidak sopan meski Ibu tidak bisa memungkiri jika beliau juga penasaran dengan laki-laki yang akan menjadi Suami Ayu kelak.
“Ibuk ora ngerti“
“Sakniki dinten nopo, Buk” tanya Adi, ia sedikit panik.
“Dino Jumat, kenopo Le?“
Kedua netranya membulat, Adi baru ingat jika Ayu sudah membuat janji dengan Sir Jayden kekasihnya, bahwa mereka akan segera bertemu kembali di pasar Djohar. Tanpa memperdulikan badannya yang masih agak demam, Adi buru-buru mengambil baju bagian luar nya yang berbahan kain lurik itu.
“Mau kemana, Di?” Ibu terlihat bingung, Putra nya itu tampak panik ketika Ibu mengatakan jika hari ini adalah hari jumat.
“Adi sudah janji sama Raden Ayu, Buk. Adi mau antarkan dia bertemu dengan teman hari ini.”
“Temannya?” arca wajah Ibu mengerut, tidak bertanya lagi pada putranya itu karena setelahnya Adi buru-buru berlari dengan bertelanjang kaki.
Di perjalanan, Adi mengambil jalan pintas yang mengitari persawahan agar nanti ia sampai di ladang yang menuju rumah Tuan Gumilar. Namun sayangnya di perjalanan menuju rumah Ayu, langkah kaki telanjangnya itu berhenti kala melihat kepiluhan seorang wanita yang tengah di hadiahi pukulan di wajahnya oleh seorang Belanda.
Adi berhenti, ia sembunyi di antara pohon pisang. Ingin ia bantu wanita yang tengah menangis itu, namun ia sendiri sebagai seorang pribumi biasa tidak memiliki kekuatan untuk melawan para Belanda itu.
“wat een domme vrouw!” (wanita bodoh dasar!) Pria Belanda itu menampar wajah wanita yang bersimpuh di hadapannya itu sekali lagi, ia berjongkok mengambil jeruk yang tumpah dari bakul yang di bawa wanita itu.
“Maafkan saya, meneer. maafkan saya.”
“Monyet sialan, kau punguti jeruk-jeruku dengan mulut mu sekarang!” teriak pria Belanda itu.
Kedua tangan Adi mengepal, ia ingin sekali menolong wanita itu dan menghajar Belanda sialan yang melecehkannya seperti itu. Wanita muda itu memunguti satu persatu jeruk yang tumpah ke tanah dan menaruhnya kembali ke bakul dengan mulutnya.
Sedangkan si Belanda tadi hanya meliriknya sekilas lalu kembali berjalan, ia sepertinya tengah memantau kebun sekitar. Beberapa perkebunan dekat rumah Adi memang milik para Belanda itu, ketika kaki pria jangkung itu semakin menjauh. Adi menghampiri wanita itu dan membantunya memunguti satu persatu jeruk yang ada di tanah.
“Sudah tidak ada dia, jangan kamu punguti dengan mulutmu, ini kotor sekali.”
“Terima kasih, Mas. Sebaiknya Mas segera pergi, meneer Jhoseph tidak akan mengampuni siapapun yang membantuku.”
Adi berhenti, ia menatap wajah wanita itu yang di ujung bibirnya mengeluarkan darah. Air wajahnya tampak ketakutan, kebaya yang ia kenakan compang camping dengan robekan dimana-mana. Entah apa yang terjadi dengan wanita ini sebelumnya.
“Kebaya mu rusak?” tanya Adi.
Melihat Adi yang melirik ke arah kebaya lusuh yang ia pakai, wanita itu buru-buru menutupi lengannya. Ia dengan sigap berdiri dan menggendong bakul itu kembali di pinggangnya.
“matur suwun, Mas.” wanita itu pergi begitu saja setelah mengucapkan terima kasih.
Adi hanya termenung di tempatnya, menatap punggung wanita dengan kebaya lusuh tadi dengan miris. Sebagai seorang pribumi yang hidup miskin, Adi sering sekali melihat teman-teman bahkan tetangga di sekitar rumahnya mendapatkan perlakuan buruk dari para Belanda.
Mulai bekerja di ladang mereka dengan bayaran rendah, mendapatkan kekerasan, bahkan para Belanda tidak segan-segan memperkosa para wanita pribumi yang bekerja untuknya. Jika mengingat bagaimana hidupnya 5 tahun yang lalu, dada Adi rasanya di hujami belati yang begitu menusuk.
Ia teringat akan Mas Sagga yang mengalami penyiksaan oleh majikannya, Mas Sagga dulu bekerja dengan orang Belanda yang kejam. Saat membuat kesalahan, tak segan-segannya mereka menyiksa Mas Sagga.
Yang lebih memiluhkan lagi adalah, saat pria Belanda majikannya itu mabuk, Mas Sagga tidak sengaja menjadi korban penembakan yang di lakukan oleh majikannya sendiri. Mas Sagga di makamkan di pegunungan, lumayan jauh dari rumah Adi berada.
Sejak itu lah, Tuan Gumilar menawarkan Ibu, Bapak dan Adi untuk bekerja di rumah dan ladangnya. Dengan jaminan mereka akan aman dari para tentara kolonial, Tuan Gumilar membuat kesepakatan dengan mereka jika para tentara kolonial tidak di perbolehkan menyentuh pelayannya sedikitpun.
Sesampainya di rumah Ayu, Adi tidak masuk melewati pintu depan rumah majikannya itu. Ia mengendap-endap melewati samping rumah Ayu untuk mengetuk jendela kamar Ayu, Adi berharap semoga saja Ayu sedang berada di kamarnya. Mereka tidak memiliki banyak waktu untuk bertemu dengan Jayden.
“Raden Ayu?” panggil Adi setengah berbisik, ia juga mengetuk-etuk jendela kamar majikannya itu. “Ini saya Adi.”
“Mas Adi?” ucap Ayu dari dalam kamarnya, tidak lama kemudian Ayu membuka jendela kamarnya itu. Benar saja, Adi masih berdiri di sana dengan wajah yang masih sedikit pucat. “Mas Adi masih sakit ya?”
Adi menggeleng pelan, “sudah membaik, Raden Ayu.”
Melihat Adi, Ayu jadi menangis. Ia merasa bersalah karena terakhir kali mereka bertemu, Adi di marahi habis-habisan oleh Romo nya. Belum lagi saat Ayu mengetahui bahwa Adi sakit sampai tidak bekerja, di tambah dengan kenyataan yang sulit Ayu terima bahwa ia akan segera di jodohkan oleh anak Bupati Soerabaja.
Ayu itu anaknya tertutup, ia tidak banyak bicara dengan kedua orang tua nya, Ayu juga tidak memiliki banyak teman di sekolahnya. Teman-teman di kelas Ayu lebih banyak anak-anak dari Eropa dan etnis Tionghoa, tidak banyak pribumi yang sekolah di HBS.
Lagi pula, selama ini hanya Adi teman yang bisa Ayu percaya. Semua yang ia alami, semua kegundahannya ia luapkan pada Adi. Karena tidak memiliki saudara, terkadang Ayu merasa Adi seperti kakak nya sendiri.
“Kenapa menangis, Raden Ayu?”
Adi ingin menghapus air mata Ayu, memeluknya dan mengatakan bahwa ia bisa bercerita apapun padanya. Namun Adi tahu diri, realita dengan cepat menyadarkannya jika ia tidak pantas melakukan itu seberapa dekatnya ia dengan Ayu. Ia hanya pelayannya dan Ayu adalah anak dari majikannya.
“Mas Adi, aku tidak bisa keluar rumah, aku tidak boleh pergi kemana-mana oleh Romo. Hanya sekolah, tetapi sakitku belum begitu membaik.” Ayu masih terisak, ia menyembunyikan wajahnya dengan telapak tangannya.
“Saya ingat hari ini adalah hari Raden Ayu dan Sir Jayden bertemu. Maka dari itu saya datang menemui Raden Ayu,” Adi menjelaskan maksud kedatangannya.
“Aku boleh meminta bantuan Mas Adi?”
“Apa Raden Ayu? Saya senang kalau bisa membantu Raden Ayu.”
Adi tersenyum, apalagi saat Ayu menyeka wajahnya dan melangkah ke lemari berbahan kayu jati di dekat ranjangnya. Ayu mengeluarkan kantung plastik yang ia bungkus rapih. Entah apa isinya, kemudian ia berikan kantung itu kepada Adi.
“Ini apa Raden Ayu?”
“Itu adalah surjan buatanku untuk Sir Jayden, aku tidak bisa menemuinya. Sampaikan saja padanya jika ini adalah hadiah yang aku janjikan untuknya.”
Netra legam nan teduh itu menatap kantung yang ada di tangannya, surjan yang Ayu buat sendiri. Adi pernah beberapa kali melihatnya, Adi jugalah yang mengantar Ayu membeli bahan untuk membuat surjan ini.
“Mas Adi?” panggil Ayu, membuat kepala Adi yang tadinya menunduk memperhatikan kantung itu kini menatap wajah teduh Ayu yang terlihat begitu mendung.
“Naiklah dokar milik Romoku, jika Romo bertanya mau kemana. Katakanlah jika Mas Adi mau ke pasar untuk membeli kain atas perintahku.”
Adi mengangguk pelan, ia tidak langsung pergi dari sana. Ia yakin Ayu masih ingin mengatakan sesuatu padanya, mungkin sebuah pesan untuk ia sampaikan pada Jayden.
“Tidak ada lagi yang harus saya sampaikan pada Sir Jayden, Raden Ayu?”
Ayu menunduk, air wajahnya tersirat sebuah keraguan. Seperti ada yang ingin ia katakan namun Ayu sendiri tidak yakin akan mengatakannya. Lebih tepatnya, Ayu bingung harus mengatakannya yang mana dulu.
“Jika Sir Jayden bertanya kenapa aku tidak bisa memberikan surjan itu sendiri, katakan padanya jika aku sedang tidak ingin bertemu siapa-siapa.”
Dokar yang di kendarai oleh Adi itu melaju dengan kencang membelah ratusan orang yang berada di pasar Djohar hari itu, toko kopi seminggu yang lalu menjadi tempat Ayu dan Jayden bertemu menjadi tujuan utama bagi Adi.
Tak jauh dari toko kopi itu, Adi melihat dokar yang di kendarai oleh seorang pribumi berhenti. Itu dokar milik Jayden, Adi lantas memberhentikan dokarnya tepat di belakang dokar milik Jayden. Ia kemudian berjalan ke toko kopi itu, Jayden sudah ada di sana dengan setelan serba abu-abu yang pria itu kenakan.
Wajah cerah yang biasanya selalu terpancar dari paras eloknya itu berubah menjadi sebuah kerutan kebingungan, tidak ada Ayu yang turun dari dokar yang di kendarai oleh Adi. Hanya pria muda itu, datang menghampiri Jayden dengan kantung plastik yang ia bawa di tangannya.
“Adi, kemana Raden Ayu?” tanya Jayden tanpa basa basi.
“Maaf, Sir Jayden, saya tidak bisa membawa Raden Ayu bertemu dengan anda.”
“Kenapa?” wajah Jayden nampak bingung, suasana hatinya telah berubah. Ia tak lagi merasakan kupu-kupu yang menggila menerbangi seluru penjuru perutnya.
“Raden Ayu sedang tidak ingin bertemu dengan siapa-siapa, tetapi Raden Ayu menitipkan ini kepada saya untuk di berikan kepada Sir Jayden.” Adi memberikan kantung berisi surjan yang Ayu buat sendiri.
Surjan itu sudah berpindah tangan, namun Jayden belum ingin membukannya, ia ingin membuka hadiah dari kekasihnya itu di rumahnya. Hanya ia orang pertama yang boleh melihat pemberian dari Ayu.
“Tetapi dia baik-baik saja, Adi?”
Adi tidaklah langsung menjawab, ia menunduk. Menimang-nimang keputusannya untuk menceritakan kondisi Ayu yang sebenarnya, ia ingin membantu wanita itu.
“Apa saya boleh berbicara pada Sir Jayden lebih banyak dari ini?” tanya Adi, terkadang setiap kali berbicara dengan Jayden yang notabennya adalah orang yang teramat penting di Samarang. Adi selalu rendah diri, ia merasa tidak pantas.
“Tentu saja.”
Jayden menunjuk sebuah kursi panjang yang terletak di depan toko kopi itu, memberi isyarat pada Adi agar mereka berbicara sambil duduk disana. Ia tidak ingin orang-orang di sana menyoroti mereka, atau bahkan ada orang yang mengecapnya sedang mengintimidasi Adi.
Kedua pria yang berjarak umur kurang lebih 10 tahun itu duduk di kursi panjang depan toko kopi. Keputusan Adi adalah, menceritakan apa yang sebenarnya terjadi pada Ayu. Urusannya nanti jika Ayu marah atau bahkan mengecapnya lancang.
“Sebenarnya ada yang ingin saya katakan pada Sir Jayden mengenai Raden Ayu dan kenapa ia tidak bisa menemui anda.”
Jayden mengangguk, “ada apa sebenarnya?”
“Raden Ayu, dia tidak boleh keluar dari rumah oleh Tuan Gumilar, hanya sekolah saja. Tapi beberapa hari ini Raden Ayu pun tidak sekolah. Dia sedang sakit, batuk darahnya kambuh.”
Hati Jayden sakit mendengarnya, Jayden tahu jika Ayu sakit. Wanitanya itu mengidap penyakit pneumonia, Ayu sering kali kambuh jika kelelahan. Makanya tubuhnya sangatlah kurus, belum ada obat yang dapat menyembuhkan wanita itu dari sakitnya.
“Apa Ayu sudah membaik sekarang, Adi?”
Adi mengangguk, “sudah jauh lebih baik, Sir Jayden. Namun bukan hanya hal itu saja yang ingin saya beri tahu pada anda.”
“Ada apa lagi?”
“Tuan Gumilar, beliau berencana untuk menjodohkan Raden Ayu.”
Mendengar hal itu, Jayden terdiam. Ia tidak menimpali apapun dari bibirnya untuk menanggapi ucapan Adi, rasanya gamang, dunianya berhenti berputar. Hatinya yang biasanya di penuhi kebahagiaan akan bertemu dengan Ayu kini sirna di gantikan gemang, daksanya lunglai. Ia kehilangan kekuatan dalam dirinya sendiri.
Setelah mengatakan itu, Adi hendak berpamitan pada Jayden. Pria itu tidak bisa lama-lama berada di pasar, Tuan Gumilar bisa mencurigainya jika ia keluar lama-lama, terlebih sebenarnya hari ini Adi belum masuk bekerja.
“Ini untuk Ayu, Di. Ini kue kesukaannya, saya belikan untuknya. Sampaikan salamku juga untuknya, beberapa hari ini saya akan ke Soerabaja. Kami tidak akan bertemu, tetapi tolong sampaikan pada Ayu. Saya akan menunggunya di taman terakhir kami bertemu lima hari lagi. Saya harus bicara padanya.”
Adi mengangguk, setelah berpamitan ia kembali ke dokarnya. Ia membiarkan Jayden pergi lebih dulu dengan dokarnya, sementara itu Adi melirik ke arah plastik yang Jayden titipkan untuk Ayu padannya. Itu adalah kue nagasari, Ayu sangat menyukai kue itu.
Bersambung...