Bab 7. Kue Nagasari

(Kue Nagasari adalah kudapan tradisional asal Indonesia yang sangat terkenal dalam masyarakat Jawa. Terbuat dari tepung beras yang di dalamnya berisi pisang.)

Jakarta, 2025.

Tangan Kirana meraba ranjangnya, mencari benda pipih yang sedari tadi terus berbunyi. Ini menandakan jika sudah memasuki waktu subuh, setelah benda itu ketemu langsung ia tekan tombol di ponselnya untuk menghentikan bunyi bisingnya. Matanya masih sedikit pedih karena masih mengantuk, namun adzan subuh sudah berkumandang dari mesjid yang tak jauh dari rumahnya berada.

Kirana bangun dari ranjangnya, jika kemarin-kemarin ia masih kesulitan untuk bangun dari tiduranya, kali ini Kirana sudah dapat melakukan aktifitas sederhana sendiri tanpa bantuan Ibu. Ia juga sudah bisa beribadah walau dalam keadaan duduk, lututnya masih terlalu ngilu untuk melakukan gerakan sujud.

Masih duduk di ranjangnya, Kirana teringat akan mimpinya semalam. Ia masih bermimpi itu lagi. Mimpi yang terus berlanjut seperti ia tengah menamatkan sebuah film, ia jadi teringat akhir dari mimpinya. Pria kolonial itu memberikan kue nagasari pada pria bernama Adi.

“Kue nagasari,” gumam Kirana. Seperti ada sesuatu yang janggal, seperti ia pernah mendengar seseorang mengatakan kue kesukaanya ini.

Begitu terlintas wajah pria kolonial itu, ia jadi teringat akan Raga yang tempo hari bertemu dengannya dan mengatakan ia sangat menyukai kue nagasari.

“Pak Raga dan kue nagasari?”

Lagi-lagi Kirana merasa jika ini semua sebuah kebetulan, terlalu banyak kebetulan-kebetulan yang bersangkutan dengan mimpi-mimpinya. Seperti ada benang merah, namun Kirana sendiri masih merasa bingung dengan semua ini.

Mengabaikan rasa gundah yang selalu merambatinya tiap kali terbangun dari tidur malamnya, Kirana melakukan ibadah pagi itu. Setelahnya ia pun membuka satu persatu jendela kamarnya agar udara segar dapat masuk ke kamarnya, rumah Kirana itu bisa terhitung besar.

Itu adalah rumah peninggalan Bapaknya, hanya satu-satunya rumah itu yang bisa Ibu dan Kirana pertahankan. Apapun caranya Kirana harus tetap mempertahankan rumah yang di penuhi kenangan kedua orang tua nya dan masa kecilnya itu.

Sedang menikmati udara pagi, ponsel yang Kirana pangku itu bergetar. Ternyata itu adalah panggilan dari Bagas, pria itu sudah berada di Surabaya untuk memantau proyek pembangunan rumah sakit disana. Bagas selalu menepati janjinya untuk menelfonnya jika ia memiliki waktu luang, mereka juga selalu mengingatkan satu sama lain untuk hal-hal seperti tidak melupakan ibadah dan tidak melewatkan jam makan.

Hai, sayang. Udah sholat subuh?” tanya Bagas di sebrang telfon sana.

“Udah, kamu gimana?”

baru selesai, kamu lagi ngapain?

“Lagi liatin ke taman depan kamar aja, habis ini mau bantu Ibu bikin sarapan.”

makan yang banyak sayangku, kemarin kamu check up kan? Gimana kata dokter? Maaf yah, aku enggak bisa nganterin karena harus ke Surabaya.

Kirana menunduk, memperhatikan cincin yang berada di jari manisnya. Cincin pemberian dari Bagas untuk hadiah ulang tahunnya yang ke 26 tahun lalu, cincin dengan design sederhana pilihan Bagas. Kirana berharap suatu hari nanti ia dan Bagas bisa memakai cincin yang sama. Cincin yang mengikat mereka satu sama lain.

“Gapapa, kata dokter seminggu lagi aku udah bisa lepas gips di tanganku, terus kemarin aku ketemu Pak Raga di rumah sakit.”

syukurlah.” Bagas bernapas dengan lega. “oh ya, ngapain dia?

“Bilangnya mau periksa mata gitu,” Kirana jadi ingat mimpinya semalam untuk kesekian kalinya, dia enggak bisa bercerita secara gamblang pada Bagas seperti apa mimpinya.

Obrolan mereka sempat hening sebentar karena di sebrang sana Bagas sedang menyeruput teh miliknya, Bagas itu enggak suka kopi. Perutnya mudah kembung, yah paling-paling kalau nongkrong di cafe ia hanya pesan capucino saja, itu pun tidak habis kadang.

“Bagas?”

Ya, sayang?

“Aku kok masih mimpi hal itu, Kenapa yah? Aku benar-benar enggak nyaman, mimpinya kaya film yang terus berlanjut setiap kali aku tidur.” keluh Kirana, mimpi-mimpi itu benar-benar menganggunya.

sayang, setelah aku pikir-pikir mungkin mimpi ini salah satu tanda kalau kamu mengalamin trauma?” Bagas mikir kaya gini karna sebelumnya Kirana enggak pernah bermimpi macam-macam.

Setiap kali Kirana bercerita tentang mimpinya, Bagas selalu membaca banyak jurnal tentang trauma. dan menurut Bagas mimpi yang Kirana alami mungkin salah satu tanda jika wanitanya itu mengalami trauma psikis yang terjadi karena kecelakaan yang ia alami.

“Maksud kamu?”

gini loh, sayang. Maksudku, mungkin karena kamu habis mengalami kecelakaan, makanya kamu mimpi kaya gitu yang di sebabkan sama trauma kamu. Aku sempat baca-baca soal trauma, aku memang bukan psikolog atau psikiatri, makanya aku mau ajak kamu konsul ke psikiatri, aku cuma khawatir kamu trauma,” jelas Bagas.

Sejak Kirana kecelakaan, Bagas jadi merasa punya tanggung jawab lebih atas Kirana. Bagas masih merasa bersalah karena kecelakaan itu, meski itu semua bukan di sebabkan karena dirinya, Bagas ngerasa andai dia mengantar Kirana pulang mungkin saja kecelakaan itu tidak pernah terjadi.

gimana? Kamu mau coba?

Kirana terdiam, penjelasan Bagas masuk akal. Bisa saja ini respon tubuhnya karena ia memiliki trauma tanpa ia sadari, tidak ada salahnya mencoba ke psikiatri kan? Setidaknya ia bisa berkonsultasi dengan ahlinya, walau mungkin dari lubuk hati Kirana ia merasa mimpi ini seperti memiliki benang merah dengan hidupnya saat ini. Biarlah nanti ia sembari mencari tahunnya sendiri.

“Boleh, nanti aku coba bilang sama Ibu.”

aku antar aja yah, setelah aku pulang dari Surabaya aku antar kamu ke psikiatri.


Kedua mata Raga menatap penuh keseriusan pada layar monitor milik Satya yang menampakan file sketch up. Raga memang meminta Satya untuk membuka file sketch up miliknya, keadaan kantor sedang sepi. Bagas dan Satya masih berada di Surabaya, sedangkan Kirana belum juga masuk bekerja.

Jadi di ruangan itu hanya ada Raga dan Almira saja dengan keadaan yang cukup canggung bagi Almira, bagaimana tidak ia seperti sedang di awasi oleh Raga. Walau Raga tidak mengintimidasi tetapi tetap saja mulut atasannya itu gemar sekali berkomentar tentang apa yang sedang ia kerjakan.

“Jangan liatin saya mulu Almira, naksir kamu nanti.” gumam Raga tanpa melihat ke arah Almira, bola matanya seperti ada 4 saja. Padahal sedari tadi pandangannya tak bergeser satu inci pun dari layar monitor milik Satya itu.

“Engg..gak, Pak. Orang saya lagi ngerekap dokumentasi mingguan.” Almira memejamkan matanya, mati dia. Ternyata Raga mengetahuinya.

Sebenarnya Almira canggung bukan hanya takut pekerjaanya di komentari pedas oleh mulut Raga, ia agaknya gerogi karena wajah tampan dari atasannya itu. Walau kadang Almira mengakui jika sikap Raga sangatlah absurd.

Kaya akhir-akhir ini, pria itu sering sekali memakan kue nagasari. Enggak ada lagi kue cubit rasa pistachio yang selalu ia pesan dari ojek online, apa selera Raga sekarang berpindah pada makanan-makanan tradisional? Pikir Almira kepo.

“Bapak makan itu mulu gak bosen?” Almira memecahkan hening, gak ada salahnya dia ajak Raga mengobrol. Dari pada berduaan dalam satu ruangan yang cukup membuatnya canggung begini.

“Enggak, merhatiin aja saya makan ini terus. Ngomong-ngomong kue ini namanya kue nagasari, Al.” jelas Raga sembari membuka kue nagasari yang di bungkus dengan daun pisang itu.

Akhir-akhir ini memang Raga sering kali membeli kue nagasari ini dari pedagang di depan restoran padang waktu itu, pria itu belum bosan-bosannya memakan kudapan manis itu. Sampai-sampai pedagangnya sudah hapal berapa kue nagasari yang akan di beli Raga setiap harinya.

“Ih tau saya kok, Papi saya kan suka beli kue itu. Emang nya Bapak enggak bosan? Udah gak langganan kue cubit rasa pistachio lagi?”

“Sudah bosan, Al. Yah, hitung-hitung memajukan UMKM makanya saya borong terus, kamu kalau mau masih ada di kulkas tuh.”

Almira menggeleng pelan, Almira enggak terlalu suka pisang. Biasanya kalau makan kue nagasari itu Almira hanya memakan bagian luarnya saja.

“Terima kasih, Pak. Di lanjut, Pak. Saya mau bikin kopi dulu.”

Almira menyingkir dari kursinya, dia ngerasa sedikit mengantuk. Berbicara dengan atasannya itu agak sedikit boring, biasanya kalau siang-siang begini jika ada Kirana, Almira suka membicarakan idol-idol kpop favorite nya. Kirana memang tidak paham karena ia hanya menikmati lagu-lagunya saja tanpa mengikuti lika liku perjalanan penyanyinya.

Karena merasa sedikit rindu akan kehadiran Kirana di kantor, akhirnya Almira menghubungi Kirana. Ia melakukan panggilan video dengan wanita itu. Dan beruntungnya Kirana mengangkat panggilannya itu dengan cepat.

“Mbak...” rengek Almira pada Kirana, wajahnya masam sembari sesekali menyeruput kopi yang ada di tangannya.

kenapa itu muka di tekuk?

“Aku bosen ihhhh kangen ghibahin artis Kpop sama, Mbak.”

Di sebrang sana Kirana terkekeh, lucu sekali melihat Almira merengek seperti itu. Terkadang Kirana merasa Almira seperti adiknya sendiri, karena enggak punya saudara kandung. Kirana sering kali memanjakan Almira dan memperlakukannya seperti seorang adik alih-alih rekan kerja.

Sabar yah, bulan depan aku udah masuk kok. Aku juga gak betah lama-lama gak kerja, eh by the way, kok di pantry? Sendirian apa gimana?

“Iya sendirian, kan Mas Bagas sama Bang Satya masih di Surabaya. Terus aku berduaan doang sama Pak Raga, mana dia duduk di mejanya Bang Satya. Lagi ngecek sketch up punyanya Bang Satya, berasa di awasin tau gak sih aku tuh.” Almira malah jadi curcol.

Kirana semakin terkekeh, sungguh rasanya Kirana bisa merasakan setertekan apa Almira hanya saja dari raut wajahnya. “waduh, selamat menikmati deh yah kalau begitu. Ajak ngobrol dong Pak Raga nya, masa atasan di anggurin gitu.

“Ih udah, tapi canggung banget. Mana dia anteng banget lagi disitu sambil makan kue nagasari.”

Ucapan Almira barusan membuat senyum di wajah Kirana pudar, nama kue itu dan Raga benar-benar mengingatkannya pada mimpinya semalam. “*Pak Raga lagi sering makan kue itu yah, Ra?”

“Kok kamu tau, Mbak?*”

cuma nebak aja, kemarin sempat ketemu beliau di rumah sakit terus ngomongin soal kue nagasari.

Almira di sebrang sana terkekeh, masih menjadi pemandangan asing baginya melihat atasannya itu memakan makanan tradisional. “Sumpah, Mbak. Aneh banget liat dia makan jajanan pasar, dia sampe stop jajan kue cubit hijaunya itu lagi loh.”

Kamu gak nanya kenapa dia sering makan itu, Ra?

“Ihh ngapain, Mbak? Males banget ah, palingan juga dia lagi FOMO aja.”

Kirana mengangguk pelan, pada obrolan selanjutnya ia hanya mendengarkan Almira merengek saja. Tentang pekerjaanya, tentang harinya yang membosankan di kantor tanpa Kirana, dan tentang kelakuan-kelakuan ajaib Satya dan Raga di kantor. Kirana hanya menyimak sembari sesekali menimpali sekenanya saja. Raga dan kue nagasari terlalu menyita pikirannya.

Setelah mengobrol dengan Kirana, Almira kembali lagi ke ruang kerjanya. Ternyata Raga tidak ada di meja Satya, namun monitor dari komputer milik Satya itu masih menyala dan menunjukan sebuah artikel yang sepertinya memang Raga sedang baca.

Karena Almira terlanjur penasaran, akhirnya ia membaca artikel itu. Artikel berisi tentang biografi singkat seorang Asisten Residen pada masa kolonial Belanda di tahun 1898, bernama Jayden Van Den Dijk. Almira enggak mengerti kenapa atasannya itu membaca sebuah artikel biografi seseorang, entah apa yang sedang dicarinya.

“Hayo, ngapain kamu disitu.”

“HAH?!” pekik Almira, ia kaget setengah mati ketika Raga tiba-tiba berada tepat di belakangnya. Mau copot jantungnya saking kagetnya, Almira hanya bisa menyumpah serapahi atasannya itu dalam hati sembari mengusap-usap dadanya.

“Bapak, saya kaget tau. Kalo saya kena serangan jantung gimana?”

“Tapi enggak kena kan? Cuma kaget aja kan?” tanya Raga dengan wajah datar menyebalkannya itu.

“Ya enggak sih,” cicit Almira pelan.

“Ngapain kamu baca-baca? Minggir, kepo banget.” Raga menaruh kantung berisi kopi dan ayam geprek yang ia pesan dari aplikasi ojek online, tadi dia sedang mengambil pesanananya itu ke loby.

“Gak sengaja, Pak.” jawab Almira, ia melirik makanan dan kopi yang di bawa atasannya itu sembari berjalan ke mejanya.

“Heh, siapa yang suruh kamu duduk?” Raga yang masih berdiri di meja Satya itu melambaikan tanganya pada Almira.

“Saya mau bikin laporan lagi, Pak.”

“Saya beliin makanan, ambil nih. Saya beli ayam geprek.”

“Tumben,” gumam Almira, anak ini memang agak sedikit ceplas ceplos. Tapi terlepas dari sikap ceplas ceplosnya, Raga ini memang tipe atasan yang santai pada bawahan-bawahannya.

“Kita cuma berdua doang di ruangan ini, gak enak dong kalo saya makan sendiri, lagian lumayan tuh uang makan siang kamu bisa di simpan buat nonton konser.”

“Tau aja si Bapak.” Almira menghampiri meja Satya dan mengambil kantung makanan berisi ayam geprek dari brand ayam terkenal. “Besok-besok lagi yah, Pak.”

“Jangan tiap hari dong, tekor saya.” Raga menjawab tanpa memalingkan wajahnya dari monitor komputer milik Satya itu.

“Terima kasih, Pak.” setelah membungkukan sedikit badannya, Almira kembali ke mejanya. Waktu jam makan siang tinggal 10 menit lagi, jadi ia masih ingin melanjutkan pekerjaanya dulu.

“Almira,” panggil Raga.

“Kenapa, Pak?”

“Kamu percaya sama konsep reinkarnasi?” tanya Raga yang di luar dugaan Almira.

Wanita itu mengerutkan keningnya bingung, Almira sempat berpikir atasannya itu sedang mencari topik obrolan dengannya, tapi kenapa harus membicarakan konsep reinkarnasi?

“Percaya aja sih, Pak. Di agama saya juga percaya sama konsep reinkarnasi, manusia bisa terlahir kembali jadi manusia lagi, hewan, tumbuhan atau bahkan makhluk lain. Itu semua tergantung perbuatan manusia itu sendiri di kehidupan sebelumnya,” jelas Almira. Ia menelisik wajah atasannya itu yang masih serius melihat layar monitor di depannya.

“Kenapa nanya-nanya soal reinkarnasi, Pak?”

“Gapapa, tanya saja.”

Almira mengangguk-angguk, “kalo Bapak percaya?”

“Di agama saya gak ada yang namanya reinkarnasi, saya gak percaya. Tapi banyak kasus yang nunjukin kalo reinkarnasi itu ada.”

“Jadi?” Almira jadi penasaran sendiri.

“Jadi saya mau makan dulu, sudah jam makan siang. Kamu makan sana, kalo ngoceh terus nanti saya ambil lagi ayam gepreknya.”

Di kursinya Almira memejamkan matanya, dia sebisa mungkin menahan dirinya buat enggak ngata-ngatain Raga atau melempar atasannya itu dengan pulpen yang ada di depannya. Sungguh menyebalkan bukan kelakuannya? Apalagi muka tanpa ekspresi nya itu.

Bersambung...