Bab 8. Soerabaja

Soerabaja, 1898.

Tak ada bedannya terik matahari di Samarang dan Soerabaja siang itu, kereta api uap yang di tumpangi oleh Jayden berhenti tepat di stasiun kereta api Soerabaja. Ia akan di jemput oleh seorang anak Bupati Soerabaja siang itu, langkah kakinya yang panjang-panjang itu melangkah keluar dari dalam stasiun.

Berpendar kedua netra legam dengan warna kecoklatan itu, sampai akhirnya ia menemukan seorang bangsawan pribumi yang melambaikan tangan padanya. Pria itu lebih tua satu tahun darinya, tampak lebih mencolok mengendarai sebuah kendaraan serupa dengan mobil tapi juga tidak berbeda jauh dengan dokar.

Orang-orang sering menyebutnya 'Kreta Setan' namun benda itu bukanlah sebuah dokar, itu adalah sebuah mobil bernama Benz Phaeton yang harganya sangatlah fantastis. Bahkan Jayden sendiri tidak berniat untuk membelinya.

Je zag er verward uit toen je in Soerabaja aankwam, Jayden?” pria itu terkekeh. (Kau begitu kebingungan begitu tiba di Soerabaja, Jayden?)

Pria dengan wajah tegas itu tersenyum pada Jayden, tersirat sebuah keangkuhan disana ketika para pribumi lain dan tentara kolonial yang berada di sekitar, memperhatikan kendaraan yang ia tumpangi, kendaraan itu terlalu mencolok jika berjejer dengan dokar-dokar yang berada di sana.

nogal een vermoeiende reis, heb je een nieuwe auto?” Jayden menjabat uluran tangan si pria pribumi itu. (Perjalanan yang cukup melelahkan, kau memiliki mobil baru?)

ja, Benz Phaeton. Romoku membeli nya dengan harga 10.000 gulden. Naiklah, akan aku antar kau ke kediamanku.”

(visualiasai kreta setan/ mobil Benz Phaeton ini bentuknya belum menyerupai mobil di zaman sekarang. Bentuknya masih seperti kereta kuda—terbuka, beratapkan kanopi—dan hanya bisa berjalan maju. Karena memiliki bentuk seperti kereta kuda tetapi bisa bergerak sendiri, Benz Phaeton terkenal dengan sebutan kreta setan, yang berarti kereta hantu.)

Jayden menaiki mobil pertama milik putra sang Bupati itu, dia adalah Dimas Bagus Dhinangkara. Seorang anak Bupati Soerabaja yang tengah menjabat saat ini, Dimas memang di kenal pandai berbahasa Belanda karena ia lebih banyak bergaul dengan para eropa ketimbang pribumi itu sendiri.

“Sudah lama sekali rasanya sejak terakhir kita bertemu bukan? 7 bulan yang lalu kalau tidak salah?” ucap Dimas, ia melirik Jayden yang duduk di sebelahnya. Mata pria yang lebih muda itu berpendar melihat-lihat keramaian Soerabaja siang itu.

“7 bulan itu belumlah lama, Dimas. Ah, ngomong-ngomong bagaimana kabarmu?”

“Baik, hanya saja aku agak sedikit sibuk akhir-akhir ini. Dan..” Dimas memelankan ucapannya sedikit. “Ada sedikit kabar baik dariku.”

“Apa?”

“Aku akan di jodohkan dengan anak dari kenalan Romoku, seorang gadis yang sangat cantik dari daerahmu!” Dimas tersenyum, ia sudah di beritahu soal perjodohan ini oleh Romo nya.

Mereka akan segera bertemu sang gadis ke Samarang untuk saling di kenalkan, waktu pertama kali melihat foto gadis itu. Dimas sangat tertarik dan sangat ingin bertemunya, sebenarnya mereka sudah pernah bertemu. Namun kala itu Dimas sedang berkencan dengan seorang gadis eropa, namun tak lama setelah Romo nya di angkat sebagai Bupati Soerabaja, hubungan mereka harus kandas karna sang wanita telah kembali ke Belanda.

“Samarang?” Jayden menoleh pada Dimas.

Pria itu tersenyum dan mengangguk, wajah angkuhnya itu berkonsentrasi mengendarai kendaraan yang di bawanya. Meski begitu bisa Jayden lihat ada rona kebahagiaan yang terpancar di wajah pria yang lebih tua darinya itu.

ja, Volgende maand zal ik hem ontmoeten. misschien stel ik hem ook wel aan jou voor.” (aku akan menemuinya bulan depan. mungkin aku akan memperkenalkannya padamu juga.)

Jayden mengangguk, ia juga ingin mengenalkan kekasihnya pada orang terdekatnya. Saat ini tidak ada orang yang tahu jika seorang asisten residen Samarang ini mengencani seorang siswa HBS, terlebih wanita itu adalah seorang anak priyai.

Jayden yakin bukan hanya keluarganya saja yang menentangnya, keluarga dari pihak Ayu pun akan menentang hubungannya. Berpikir semalaman dan selama perjalanan menggunakan kereta api uap ke Soerabaja, membuat Jayden berpikir jika ia ingin bertemu dengan saudagar Gumilar, ia ingin mengenalkan dirinya sendiri sebagai kekasih nya.

Bahkan dengan gila nya Jayden berpikir jika ia ingin melamar Ayu, menunggunya hingga lulus dari HBS tidaklah lama. Hanya beberapa bulan lagi, Ayu akan lulus dari HBS. dengan begitu ia bisa menikahi Ayu, mungkin saja dengan ia bertemu dan berbicara dengan saudagar Gumilar, keputusannya untuk menjodohkan Ayu dengan seseorang akan sirna.

Begitu sampai di kediaman keluarga Dhinangkara itu, Jayden di sambut hangat. Ia di tunjukan kamar yang akan ia tempati selama beberapa hari ini di Soerabaja oleh Dimas. Mereka juga sempat meminum teh di depan teras sembari menikmati pemandangan Soerabaja di kala senja.

“Malam nanti, aku akan pergi ke sociëteit¹, kau mau ikut?” Dimas mengepulkan asap yang berasal dari mulutnya itu, kemudian ia hisap lagi cerutu yang bertengger di tangan kirinya itu.

“Kau masih hobi berjudi rupanya?” Jayden sudah mengenal Dimas cukup lama, mereka dulu adalah kawan baik. Terlebih Ayah Jayden juga mengenal keluarga Dhinangkara dengan baik sewaktu masih menjabat sebagai residen di Soerabaja.

Dan kebiasaan berjudi Dimas sudah Jayden ketahui dari dulu, Jayden pikir Dimas sudah berubah, ternyata pria yang lebih tua darinya itu masih sama. Masih menggilai judi dan tentunya mabuk-mabukan.

“Tentu, apa kau tidak pernah melakukannya sekali saja dalam seumur hidupmu, Jayden?”

Jayden mengangguk, sebagai seorang kolonial yang terhitung ia sendiri juga dari kalangan kaya. Ia pernah di ajak sesekali ke sociëteit untuk berjudi oleh teman-teman eropannya, namun menurut Jayden sendiri berjudi bukanlah hidupnya. Ia hanya coba-coba saja, walau bisa terbilang untuk seorang pemula ia benar-benar beruntung. Ia memenangkan banyak permainan malam itu, dan uang dari hasilnya berjudi ia pakai untuk mentraktir teman-temannya.

“Pernah, sudah sangat lama. Tapi aku tidak pernah melakukan itu lagi,” jelas Jayden. Ia menyesap teh melati yang di buatkan oleh seorang pembantu wanita tadi.

“Mengapa?”

“Aku tidak terlalu menyukainya. Aku hanya mencoba peruntunganku saja kala itu.”

Dimas terkekeh, setelah cerutu di tangannya itu mulai mengecil. Dimas keluarkan kembali cerutu yang berada di sakunya, kemudian ia jentikan lagi korek yang selalu ia bawa kemana-mana itu. Bahkan Jayden pernah berpikir jika harum dari tubuh Dimas itu identik dengan tembakau.


Setelah menyelesaikan beberapa pekerjaanya di kantor keresidenan Soerabaja, Jayden di jemput kembali oleh Dimas. Lelaki itu tidak memiliki kegiatan lain selain menemani Jayden selama berada di Soerabaja, Dimas memang tidak berkerja dengan siapa-siapa. Ia hanya mengelola peternakan milik Ayahnya, itu pun ia jarang sekali mengunjunginya.

Dimas lebih senang bermain dengan teman-temannya, hari ini kedua pria itu berkeliling kota, mereka juga sempat mengunjungi Kasteel Brdige atau jembatan Kasteel. Jembatan itu menjadi titik penting distribusi barang, ramainya sama seperti pasar Djohar yang juga menjadi tempat berkumpulnya para pedagang dari berbagai macam etnis, selain itu pasar Djohar juga menjadi pusat dari perdagangan rempah-rempah di Jawa Tengah.

“Kasteel Brdige ini sudah berdiri saat Ayahmu masih menjabat sebagai Residen bukan, Jayden?” ucap Dimas, kedua pria itu melihat hirup piruk keramaian disana.

“Iya, saat itu aku juga sempat tinggal disini.”

“Kau lebih betah tinggal di mana?” Dimas menoleh pada pria yang lebih muda di sebelahnya itu.

“Samarang,” jawab Jayden singkat.

Ia terlalu menikmati suasana perjalanan mereka. Sembari kepalanya berpikir untuk mencari cincin yang ingin ia berikan pada Ayu, keduanya memang berencana untuk datang ke sebuah toko yang menjual perhiasan.

“Sudah ku duga, itu karna kau mengencani seseorang di sana kan?”

Jayden mengangguk, mengajak Dimas untuk di antarkan ke toko perhiasan milik kawan Ayahnya itu mengundang banyak pertanyaan untuk Jayden. Termasuk tebakan pria itu jika Jayden mengencani seorang wanita.

“Aku ingin melamarnya, Dimas.”

“Segerakan, beri tahu aku siapa orangnya? Seorang wanita eropa?” Dimas melirik ke arah Jayden, pandangannya menelisik dan menuntut jawaban dari si yang lebih muda.

“Aku ingin melamar seorang pribumi.”

Kreta setan yang di kendarai oleh Dimas itu berhenti, kedua mata pria pribumi itu membulat menatap Jayden dengan pandangan menusuk. Tidak habis pikir dengan pria Belanda di sebelahnya itu, Jayden mengatakannya dengan sangat santai. Seolah-olah kalimat yang baru saja keluar dari mulutnya bukanlah suatu hal yang aneh.

Ik denk dat je gek bent, Jayden” Dimas menggeleng-gelengkan kepalanya. (Aku pikir kamu gila, Jayden.)

“Kau akan menjadikannya peliharaanmu? Ma..maksudku, Jayden. Ini bukanlah perkara mudah, kau tau? Ayahmu pasti menentang hal ini. Ia pasti berpikir wanita itu tidak sepadan untuk pria Eropa sepertimu.”

“Aku akan menikahinya secara resmi, Dimas. Aku ingin dia menjadi Istriku, bukan peliharaan, bukan gundik, bukan selir atau sebutan sialan apapun itu,” jelas Jayden.

Berbicara dengan pria yang lebih muda darinya itu membuat kepala Dimas sedikit berdenyut, Jayden sangat kekanakan dan gegabah menurutnya, di usianya yang tidak bisa di anggap muda lagi. Harusnya pria kolonial itu tahu betul seperti apa para eropa memperlakukan pribumi, terlebih keluarga Jayden adalah salah satu pejabat VOC. Jayden akan sulit untuk kembali ke negaranya jika masa tugasnya akan habis.

“Kau berani melamarnya? Sudah kau bicarakan ini pada Ayahmu? Ah, tidak-tidak pada Roosevelt, kau tau Kakakmu sangat membenci wanita pribumi. Aku yakin ia yang akan menjadi orang pertama yang menentangmu.”

Dimas sudah mengetahui bagaimana Roosevelt membenci pribumi khususnya wanita. Tidak habis pikir jika Jayden tetap nekat menikahi wanita yang ia kencani itu, bisa menjadi bulan-bulanan keluarganya kelak.

“Aku sudah memikirkan konsekuensinya, Dimas. Aku lebih baik kehilangan apa yang telah aku miliki saat ini ketimbang kehilangannya.”

“Wahh...” Dimas menggeleng-geleng, ia memegangi kepalanya yang terasa semakin pening itu. “Dia wanita biasa? Seorang babu? atau bahkan anak seorang priyai?”

“Dia anak seorang priyai. Akan ku kenalkan jika kau mengunjungi wanita yang akan di jodohkan denganmu nanti.” ucap Jayden penuh percaya diri.

Tibalah mereka di sebuah toko perhiasan yang cukup terkenal di Soerabaja kala itu, Jayden masih memilih-milih di sana. Sementara Dimas sibuk berbicapa pada si pemilik toko, ia terlalu terpaku pada beberapa cincin permata yang berada di depannya saat ini.

Jayden tidak pernah mengukur jari manis Ayu, bahkan bergandengan tangan pun tidak pernah. Jayden hanya pernah sekali membantu Ayu mengikat rambut panjangnya dan menaruh melati yang jatuh dari surai legam nya itu.

“Saya ingin cincin dengan permata putih ini, boleh saya melihatnya dulu?” tanya Jayden sopan pada pria Indo-Eropa itu.

“Saya akan ambilkan, Meneer.

Pria itu mengambilkan cincin yang di tunjuk oleh Jayden dan memberikannya pada pria di depannya itu. Jayden tersenyum, menimang cincin permata putih nan cantik itu, sembari membayangkan ia akan memakaikan cincin ini pada jari manis Ayu.

“Kawanku ini ingin melamar kekasihnya, Tuan.” Dimas memberi tahu pria di depannya itu, ia pikir siapa tahu si pemilik toko perhiasan itu dapat membantu Jayden memilih perhiasan untuk wanitannya.

“Benarkah itu, Meneer? seperti apa dia? Saya bisa bantu pilihkan jika anda berkenan.” pria itu menawarkan diri membantu Jayden, namun Jayden menggeleng. Ia ingin memilih perhiasan itu dengan menyesuaikannya dengan diri Ayu.

“Tidak perlu, Tuan. Aku ingin memilihkannya sendiri untuknya.”

Pria si pemilik toko itu terkekeh, ia bisa menangkap sepasang netra kecoklatan milik Jayden itu berkilau. Sepasang netra itu seperti telah mengatakan betapa Jayden itu mencintai wanitannya, tak lekang kedua binar matanya itu dari pandangan cincin dengan permata putih di tangannya.

“Saya sudah sering melihat kedua mata dengan binar seperti itu pada pelanggan tokoku.” pria itu masih menatap Jayden sampai akhirnya kedua mata mereka bertemu.

“Saat melihat perhiasan?” tebak Dimas.

Pria itu menggeleng pelan, “bukan, tapi saat membayangkan kekasihnya kelak akan memakai perhiasan yang di berinya.”

“Ahh, kau ini bisa saja. Kau memanglah Kimpoidra²” Dimas ikut terkekeh, dalam hati ia hanya berdecap jika sang pemilik toko sangatlah berlebihan.

“Saya menginginkan cincin ini.” Jayden memberikan cincin itu untuk ia beli.

“Akan saya siapkan, Meneer.

Selagi pria pemiliki toko itu menyiapkan cincin pesanan Jayden, Dimas dan Jayden menunggu di kursi yang di sediakan disana. Dimas menjadi semakin penasaran, wanita pribumi mana yang berhasil meluluhlantahkan hati seorang Jayden yang di kenal kaku dan tak mudah jatuh hati pada wanita.

“Aku jadi penasaran, wanita seperti apa yang kau kencani, apakah dia elok?”

Jayden mengangguk, ia tidak naif untuk tidak mengatakan jika ia mencintai Ayu hanya karena kebaikan hatinya. Wajah Ayu memanglah elok, parasnya lah yang membuat Jayden jatuh hati sebelum akhirnya ia semakin jatuh karena hatinya yang putih.

“Dia sangat cantik, wanita yang baik dan begitu lugu.”

“Lugu?” Dimas terkekeh. “Kau mengencani bocah?”

“Dia masih siswa, dia bersekolah di HBS.”

Mendengar ucapan Jayden selanjutnya membuat Dimas yang sedang menyeruput kopi ireng itu mendadak terbatuk-batuk. Ucapan Jayden hari ini benar-benar membuatnya pening.

Ik denk dat je echt heel erg gek bent, Jayden.” (aku pikir kamu benar-benar gila, Jayden.)


Hari-hari setelah ia dapat kembali bersekolah enggak semenyenangkan dulu lagi bagi Ayu, Romo nya jadi sangat mengawasinya dengan ketat, ia harus sampai di rumah begitu selesai sekolah. Hari-hari membosankan di rumah, Ayu menepisnya dengan menunggui Adi bekerja di ladang, kemudian memetik bunga melati yang berada tak jauh dari rumah Adi.

Tak lupa kadang Ayu juga belajar memasak dan menjahit, namun tetap saja kegiatan-kegiatan sederhana itu tak berhasil menghalau rasa bosannya. Terkadang kala malam mulai datang, kala senyap di bilik kamarnya mendera. Ia kembali merindukan Jayden, pria itu masih di Soerabaja.

Dan Adi sudah menyampaikan pesan Jayden padanya untuk bertemu di taman terakhir mereka bertemu. Dan hari itu akan datang besok, Ayu masih menimang alasan apa yang akan ia pakai untuk mendapatkan izin pada Romo nya agar ia bisa keluar sebentar menemui Jayden.

Ayu menghela nafasnya, ia sudah selesai mengepang rambutnya dan kesulitan untuk menghias rambutnya itu dengan melati yang sudah Adi petikkan untuknya tadi.

“Mas Adi!!” teriak Ayu, membuat pria yang tengah sibuk memunguti ranting dan daun kering dari ladang milik Tuan Gumilar itu menoleh.

dalem, Raden Ayu?”

“Tolong pakaikan melati ini di rambutku!” pekik Ayu, ia mengambil satu bunga putih dengan harum semerbak itu dan menunjukkanya pada Adi.

Debaran jantung Adi semakin tak karuan, selalu seperti itu kerap kali Ayu meminta tolong di hiaskan rambut olehnya. Karena Ayu, Adi jadi banyak belajar caranya mengikat rambut dan mengepangnya. Itu semua demi Ayu, dengan sigap Adi mengesampingkan debaran menggila itu dan membersihkan tangannya yang kotor karena tanah.

Kemudian kaki telanjang dan panjangnya itu melangkah mendekat ke Ayu yang tengah duduk di amben, kaki mungilnya itu mengayun-ayun seperti seorang anak kecil. Begitu dekat, Adi tidak duduk di samping Ayu. Ia berdiri dan langsung memasangkan bunga-bunga melati itu pada rambut panjang milik Ayu.

“Aku harus mengelabuhi Romo bagaimana yah? Aku ingin sekali menemui Sir Jayden,” gumam Ayu.

Adi sendiri tidak tahu bagaimana caranya, ia ingin sekali menolong Ayu. Namun mengkhianati kepercayaan Tuan Gumilar hanya akan mendatangkan petaka baginya, ia bisa di pecat dan keluarganya bisa di perlakukan seenaknya lagi oleh para Belanda itu.

“Saya juga tidak tahu, Raden Ayu.”

“Bagaimana jika aku tidak datang ke sekolah besok?”

Ayu menoleh pada Adi dengan binar mata yang begitu menyala, ide itu seperti secercah cahaya, harapan untuknya bertemu dengan Jayden. Walau terbilang gila, Ayu tidak pernah senekat itu hanya untuk menemui seseorang. Terlebih, meski sering sekali tidak hadir di sekolah karena masalah kesehatannya, Ayu adalah murid berprestasi di HBS.

“Kalau ketahuan dengan Tuan Gumilar bagaimana?”

“Romo tidak akan tahu, lagi pula hanya untuk kali ini saja Mas Adi.” Ayu memejamkan matanya, rautnya seperti membuat permohonan pada Adi.

“Saya tidak berani, Raden Ayu.” sungguh Adi ingin membantu Ayu, namun rasa takutnya itu lebih besar.

“Hanya kali ini saja, Mas Adi. Aku tidak tahu harus meminta bantuan pada siapa selain Mas Adi.” Ayu menarik tangan Adi, tangan kecil itu menggenggam telapak tangan pria yang lebih besar darinya.

“Romo tidak akan tahu jika Mas Adi tidak mengatakan jika Ayu tidak pergi ke sekolah. Beliau begitu percaya dengan Mas Adi.”

Di buat bimbang Adi rasanya, apalagi saat Ayu mengenggam tangannya. Debaran menggila yang selalu Adi rasakan itu kembali meletup-letup, kali ini di barengi dengan jutaan kupu-kupu yang sama menggilanya berterbangan di perutnya.

Tidak pernah Adi katakan dari mulutnya, ia pendam dan kubur pada dasar hatinya, namun ia tidak bisa membohongi dirinya sendiri jika ia mencintai Ayu. Genggaman tangan kecil itu seakan menghipnotisnya, walau dengan rengekan seperti seorang Adik kecil di mata Adi. Namun tetap saja rasa cintanya tidak sama dengan cara ia memandang Ayu saat ini.

Kepala Adi pun mengangguk, “baik, Raden Ayu.”

“Benarkah?! matur suwun Mas Adi.”

Bersambung...

sociëteit : gedung yang digunakan sebagai tempat hiburan dan berkumpul, terutama bagi orang kaya dan orang asing, dan juga menjadi tempat perjudian.

Kimpoidra : rajanya pujangga.

(Dimas Bagus Dhinangkara)