Bab. 44. Langkah-Langkah Kecil
Kepulan asap dari panci yang berada diatas kompor itu membuat Asri tersenyum, menatap butir-butir beras yang ia masak itu kini telah berubah menjadi bubur. Ditambahkannya lagi sedikit garam karena di rasa terlalu hambar setelah ia cicipi, setelah itu ia matikan kompornya. meninggalkan sejenak panci berisi bubur itu untuk mengambil mangkuk, ayam yang sudah ia iris kecil-kecil, daun seledri dan juga kacang untuk toping diatas buburnya. Bibir mungilnya itu tidak berhenti tersenyum, membayangkan bagaimana reaksi seseorang yang ia buatkan bubur itu.
Asri terlalu percaya diri jika masakannya memang yang terbaik, terlalu percaya diri jika Bagas akan makan dengan lahap jika ia suapi dengan bubur yang ia buat. beberapa hari yang lalu memang calon Ibu mertuanya itu mengabari Asri jika Bagas sudah kembali ke rumah. Namun pria itu sedang sakit dan Ibu meminta Asri menemani Bagas, ya hitung-hitung mengambil hati pria itu pelan-pelan, Berharap dengan segenap perhatian yang Asri berikan Bagas akan melupakan Kirana dan jatuh cinta padanya.
Ketika semua bahan sudah siap, ia ambil satu centong bubur yang masih mengepulkan asap itu dan menaruhnya di mangkuk. wanginya menyeruak hingga ke ruang tamu. Ia kemudian memberi kuah kuning yang tadi ia buat, setelah itu memberinya sedikit kecap dan menata potongan ayam, daun seledri dan juga kacang di atasnya. Tampilannya cukup cantik apalagi dengan harum kaldu dari kuah kuning diatasnya.
Sebelum menata mangkuk berisi bubur itu diatas nampan, Asri sempat ingin mengambil gelas untuk ia isi dengan teh tawar tanpa gula yang hangat. menurutnya makan bubur ayam akan terasa cocok jika ditemani oleh secangkir teh tawar. Namun langkahnya terhenti ketika mendapati Kanes masuk ke dalam dapur, Wanita itu membawa buku dilengan kanannya dan menatap Asri dengan datar. Adik Bagas itu, yang kerap kali bersikap acuh padanya. Jika Kanes bukan Adiknya Bagas mungkin Asri sudah memilih mengabaikan wanita itu alih-alih terus bersikap manis padanya.
“Pagi, Nes.” Sapa Asri pada Kanes.
“Pagi, Mbak.” Kanes sempat memperhatikan bubur yang Asri buat, namun setelahnya ia abaikan saja dan lanjut mengambil air di dapur. Kanes tau Ibu nya memang sengaja menyuruh Asri untuk datang ke rumahnya agar membujuk Bagas, entah itu untuk makan atau pun ke rumah sakit.
“Ah, Nes. Bagas udah bangun belum ya?”
“Kurang tau deh, Mbak. Biasanya jam segini juga udah bangun sih.”
Asri tersenyum, ia begitu percaya diri dengan bubur buatannya. Ia yakin selangkah demi selangkah yang ia usahakan untuk pria itu akan membuahkan hasil kelak. “Kalo gitu aku ke kamarnya dulu ya.”
Kanes hanya mengangguk, memperhatikan punggung Asri yang kian menjauh meninggalkan dapur. Sampai Asri menaiki tangga menuju kamar Bagas pun Kanes masih memperhatikan wanita itu, memurut Ibu Asri memang baik tapi entah kenapa Kanes merasa tidak nyaman berada dekat dengan wanita itu. Katakanlah ini hanya perasaan buruknya saja, tapi Kanes merasa seperti ada yang Asri tutup-tutupi dari Ibu. Namun Kanes lebih milih memendam pendapatnya itu saja, Ibu terlampau menyukai wanita itu dan sangat berharap Asri bisa menikah dengan Bagas.
Siang itu setelah Kanes dari kampusnya, ia sempat ke rumah Kirana. Ia ingin meminta bantuan pada mantan kekasih kakaknya itu untuk setidaknya menjenguk Bagas. Ia ingin kakaknya itu kembali pada kehidupan normalnya, sehat, memiliki semangat hidup atau setidaknya pandangan matanya itu tidak kosong lagi. Dewi Fortuna sepertinya sedang berpihak pada Kanes hari itu, karena kebetulan sekali Kirana libur bekerja. Waktu Kanes datang, Kirana sedang sibuk menyiram tanamannya.
Kirana memang menanam berbagai jenis tanaman, ada pohon tomat ceri, cabai, daun sirih yang merambat hingga ke pagar dan juga bunga melati. bahkan harum dari bunga itu menyeruak hingga ke jalanan, membuat siapapun yang lewat akan merasa nyaman dengan wanginya. walau beberapa orang kerap kali menyangkut pautkan wewangian dari melati itu dengan hal-hal klenik, seperti ada makhluk halus perempuan penunggu pohon asam di sana.
Kirana agak sedikit terkejut melihat Kanes datang ke rumahnya, perasaanya bekecamuk. Takut sekali terjadi sesuatu yang buruk pada Bagas meski ia selalu menepis pikiran buruknya itu, atau justru sebaliknya. Kanes datang ke rumahnya untuk memberi kabar baik tentang Bagas? Entah lah, Kanes tersenyum Ia membukakan pagar rumahnya menyuruh Kanes masuk dan duduk di teras rumahnya.
“Mbak Kirana apa kabar?” Tanya Kanes, keadaan Kirana menurutnya jauh lebih baik dari pada kakaknya di rumah. Pancaran wajah Kirana masih sama, hanya saja tubuh wanita itu sedikit kurus dari yang terakhir Kanes temui. sudah lama sekali kira-kira satu tahun yang lalu, jauh sebelum Kirana dan Bagas mengakhiri hubungan mereka.
“Baik, Nes. Kamu gimana kabarnya?”
“Baik, Mbak.”
Kirana mengangguk, lega mendengar kabar baik dari Adik mantan kekasihnya itu. “Ada apa, Nes?”
“Mbak, Mas Bagas sakit,” ucap Kanes to the point.
Sempat hening beberapa saat diantara mereka berdua, Kirana menunduk. Memperhatikan sandal berwarna kuning yang ia kenakan, seakan-akan sandal yang terlihat biasa saja itu jauh lebih menarik dari pada lawan bicara di depannya itu. Pelan-pelan Kirana menenangkan dirinya sendiri, ia masih perduli dengan Bagas bahkan ia tidak berharap mendengar kabar buruk tentang pria itu.
“Sakit apa, Nes?”
Kanes menghela nafasnya pelan, rasanya sudah hampir putus asa mengajak Bagas ke dokter. Kanes sendiri pernah mencoba untuk memeriksa Bagas namun pria itu menolak, Kanes bisa sedikit menarik kesimpulan jika Bagas mungkin terpukul atau bahkan depresi setelah patah hati. Banyak hal-hal yang dulu Bagas sering lakukan kini pria itu tinggalkan, bahkan Bagas pun terpaksa resign dari tempatnya bekerja, pria itu menarik diri dari orang terdekatnya bahkan Satya dan Almira yang ingin menjenguknya saja Bagas larang. Bagas akan mencari banyak alasan agar kedua temannya itu tidak menemuinya di rumah.
“Kanes juga gak tau, Mbak. Mas Bagas sekarang kurus banget, tatapan matanya kosong. Senang banget ngalamun dan sendirian, bahkan gak banyak ngobrol sama Kanes. Kanes udah bujuk dia ke dokter tapi Mas Bagas gak mau, Mas Bagas rasanya kaya gak punya semangat hidup Mbak, bahkan dia juga narik diri dari teman-temannya.”
Sesak rasanya dada Kirana mendengar kabar Bagas yang di bawa oleh Kanes, ia tidak ingin mendengar kabar ini. Ia ingin pria itu baik-baik saja, pikiran Kirana sempat melambung dan di tarik paksa akan ingatannya tentang kehidupan terdahulunya itu. Tentang Adi yang juga sakit dan pada akhirnya meninggal, ia tidak ingin dikehidupan ini Bagas juga mengalami nasib yang serupa dengan Adi.
“Mbak,” Kanes mengubah posisi duduknya menjadi menyamping dan menarik tangan Kirana. Seperti tengah membuat sebuah permohonan pada wanita itu. Raut wajahnya penuh dengan kekhawatiran. Ia hanya ingin kakaknya itu sehat kembali, atau setidaknya memiliki semangat hidup. “Aku mohon sama Mbak Kirana buat ketemu sama Mas Bagas, Mbak. Setidaknya bantu dia buat sembuh. Aku gak tau harus minta tolong ke siapa lagi, Mbak.”
Hati Kirana sungguh terenyuh mendengarkan sebuah permohonan itu, tapi pendiriannya tetap teguh untuk tidak bertemu dengan Bagas lagi. Apalagi di situasi seperti ini, ia tidak ingin Bagas melambungkan harapannya lagi pada hubungan mereka. Bertemu dengan Bagas akan menyulitkan dirinya dan tentunya pria itu lagi. Benteng yang ia buat sedemikian kokoh itu bisa rubuh kembali jika ia menemui Bagas.
“Kanes, aku bukan gak mau ketemu Bagas. Aku juga kesulitan setelah berpisah sama dia, Nes. Kalau aku menemui dia lagi, aku takut dia akan berharap sama hubungan kami yang nantinya justru itu bikin dia tambah sakit.” Kirana menolak, meski pahit ia harus bertindak tegas demi melindungi hatinya sendiri.
“Tapi, Mbak.” Kanes meneteskan air matanya. “Mbak, Mas Bagas tuh sayang banget sama kamu, Mbak.”
“Nes, aku merelakan hubunganku dengan dia karena aku sangat menyayangi Bagas dan diriku sendiri. aku gak ingin hubungan dia dengan keluarganya hancur karena aku, aku enggak ingin Bagas membenci orang tuanya.
Mendengar kata-kata itu, Kanes paham. Ia pun juga mungkin akan berlaku sama seperti Kirana jika dihadapkan pada situasi seperti itu. Ibunya memang sudah keterlaluan, Ibu terlalu sibuk membenci latar belakang keluarga Kirana sehingga tidak memberi kesempatan pada hubungan yang sudah di bangun penuh kasih sayang itu.
“Aku harus gimana, Mbak. Tolongin Kanes sekali ini aja, Mbak.” Kanes memohon.
Kirana bingung, ia khawatir dengan Bagas apalagi setelah mendengar kondisi pria itu dari Kanes sama sekali tidak terbayang dalam benaknya jika Bagas akan seperti ini. ia juga sebenarnya tidak tega dengan Kanes, melihat wanita yang jauh lebih muda darinya itu memohon membuat hati Kirana luluh. ia memikirkan cara untuk membantu Bagas setidaknya bisa bangkit lagi dari keterpurukannya.
kalau boleh Kirana jujur perasaan itu masih ada untuk Bagas, ia memang masih dalam proses melupakan pria itu perlahan-lahan. “Nes, aku mau bantu kamu tapi aku tetap enggak bisa bertemu dengan Bagas.”
kening Kanes mengkerut bingung, “lalu bagaimana, Mbak?”
“kamu bawa HP?”
Kanes mengangguk, “Mbak mau menelfon Mas Bagas?”
“Bukan, Nes. aku mau merekam suaraku untuk nanti Bagas dengarkan siapa tau dengan cara ini setidaknya Bagas lebih baik.” setidaknya itu yang bisa Kirana berikan pada Kanes untuk membantunya.
Kanes tampak menimang-nimang ucapan Kirana itu, namun pada akhirnya ia mengangguk setuju dan menyerahkan ponselnya pada Kirana. Kirana membuka sebuah aplikasi pesan instan dan mencari kontak Bagas di sana, kemudian menekan tombol pesan suara yang nantinya bisa langsung Bagas dengarkan.
Kirana sempat menahan nafasnya beberapa detik, seperti tengah membuka sebuah pintu yang sudah ia kunci rapat sejak delapan bulan yang lalu kini terpaksa ia buka kembali. membiarkan sedikit rasa sakit di hatinya itu menyelinap lagi, ia sedikit menghiraukan hatinya yang terasa dicubit dari dalam itu. persetan dengan itu semua yang terpenting saat ini adalah Bagas.
“Hai, Gas. ini aku Kirana, Kanes bilang kamu lagi sakit ya? Bagas aku di sini baik-baik aja. aku berdoa kamu cepat sembuh dari apapun yang kamu rasa sekarang, Bagas, masih banyak banget orang disekeliling kamu yang perduli dan sayang sama kamu, mereka gak ingin lihat kamu kaya gini, Gas. termasuk aku, kamu harus lebih sayang sama diri kamu sendiri. setelah dengerin suaraku. aku berharap kamu mau setidaknya makan dan ke dokter ya. maaf aku masih belum bisa bertemu sama kamu. tapi aku selalu berharap seandainya kita bertemu suatu hari nanti kamu jauh lebih baik dari yang sekarang.”
Kirana mengirim pesan suaranya itu, kemudian ia memberikan ponsel itu kepada Kanes. setelah Kanes berpamitan, ia kembali menghantam sepi di temani dinding-dinding kamarnya. hanya ada deting dari jarum jam yang terdengar dan suara rintik hujan di luar sana. Kanes kembali menangisi hubungannya dengan Bagas, menangisi kemalangannya dulu hingga sekarang yang selalu sama, tentang ditinggalkan orang-orang yang ia cintai. di kepalanya saat ini menyisakan takut dan bayangan tentang kondisi Bagas yang mungkin saat ini terbaring lemah seperti Adi dalam mimpinya. ia tidak ingin Bagas bernasib sama seperti Adi.
🍃🍃🍃
Pagi itu Bagas dengar seseorang mengetuk pintu kamarnya dari luar, suara itu milik perempuan yang terdengar sangat familiar di telinganya namun suara itu bukan milik Kanes Adiknya apalagi Ibu. Bagas tidak menyahut, ia diam saja bahkan tidak mengubah posisi tidurnya yang membelakangi pintu kamarnya. karena tidak mendapati jawaban sang pemilik kamar, wanitu masuk. ia tersenyum dan dengan percaya dirinya menaruh nampan berisi bubur yang ia buat tadi di meja samping tempat tidur Bagas.
Asri bergeming, menatap punggung lebar yang nampak kokoh namun rapuh itu beberapa saat sampai akhirnya ia memilih untuk duduk di pinggir ranjang Bagas dan memegang pundak pria itu. ia pikir Bagas masih tidur, namun setelah telapak tanganya itu mendarat tepat di pundaknya. pria itu membalikan badannya menatap Asri sedikit sengit, dengan kening berkerut di wajahnya yang pucat. tampak heran ia bahwa Asri berani masuk ke dalam kamarnya bahkan disaat ia tidak menyahuti panggilannya.
“Lo ngapain di sini?” Bagas mengubah posisinya yang tadinya tiduran menjadi bersandar pada tumpukan bantal dibelakang punggungnya.
Asri pun nampak terkejut mengetahu jika Bagas sudah bangun ternyata, “Ak...aku bawain kamu sarapan, Gas. sarapan yuk?”
Bagas melirik ke meja yang berada di samping ranjangnya, ada semangkuk bubur ayam dan teh hangat untuknya. namun sayangnya perut Bagas sama sekali tidak lapar meski terakhir kali ia makan kemarin sore, itu pun hanya roti saja yang dibuatkan oleh Kanes. dengan sedikit ambekan dari adik perempuannya itu akhirnya Bagas makan.
“Gue enggak laper, Sri.”
“Ya tapi kamu harus tetap makan dong, Gas. jangan nunggu laper dulu baru makan. aku suapin sedikit ya?”
Bagas menggeleng pelan, kepalanya agak berdenyut nyeri. “Gue enggak suka lo main masuk-masuk aja ke kamar gue.”
“Tapi tadi aku udah ketuk pintunya, Gas. aku pikir kamu masih tidur makanya aku mau bangunin juga sekalian nyuruh kamu sarapan.” Ibu sempat bilang sama Asri begitu, jika Bagas tidak menyahut kemungkinan pria itu memang masih tidur dan memberi izin pada Asri untuk masuk saja. ia sama sekali tidak menyangka jika Bagas akan sedikit marah padanya seperti ini.
“Mau gue masih tidur kek, mau gue udah bangun selama gue enggak bukain pintu atau bahkan gak nyahut waktu lo panggil, lo gak boleh masuk kamar gue seenaknya.” Tidak ada keramahan lagi pada air wajah Bagas, ia benar-benar tidak suka ada orang lain sembarangan nyelonong masuk ke dalam kamarnya, bahkan Kanes yang Adiknya saja tidak berani.
Asri hanya diam saja menunduk, ia tahu kali ini ia sedikit lancang. ia pikir izin dari Ibunya Bagas saja sudah cukup, “Oke, maaf ya kalo aku sedikit lancang, Gas. aku benar-benar cuma dengerin apa kata Ibu kamu aja buat bangunin kamu.”
Bagas mengangguk, sudah ia duga jika hal ini atas persetujuan Ibu nya. “Yaudah.”
Senyum di wajah Asri sedikit mengembang, walau ia tahu jika Bagas masih sedikit kesal padanya, “Aku bikinin kamu bubur, enak deh. tadi Ayah kamu juga sarapan pakai bubur buatan aku, cobain yuk?”
“Nanti aja ya, gue benar-benar belum lapar.” Entah sejak kapan Bagas merasa dirinya lapar, yang jelas sejak putus dengan Kirana, Bagas sering kebingungan pada dirinya sendiri tidak benar-benar tahu apa yang ia inginkan sebenarnya.
“Kalau udah gak ada yang mau lo omongin lagi bisa gak lo keluar, Sri? gue masih kepengen tidur.”
Asri memejamkan matanya sejenak, ia tidak akan menyerah pada setiap penolakan yang Bagas lontarkan padanya. menurutnya tidak ada salahnya jika ia menuruti keinginan Bagas untuk keluar dari kamarnya lebih dulu dan memberikan waktu pada pria itu untuk beristirahat kembali. toh, rencananya hari ini hanyalah menemani Ibunya Bagas di rumah sembari membantunya membujuk Bagas untuk setidaknya mau makan atau ke dokter.
Asri mengangguk, ia berdiri dari sana dan melangkah keluar dengan harapan mangkuk yang berisi bubur buatanya akan tandas jika asisten rumah tangga yang bekerja di rumah Bagas itu, mengambil piring bekasnya sarapan dan juga pakaian kotor milik pria itu.
Asri melangkah turun ke lantai dua, ada Ibu yang sedang menikmati secangkir teh sembari membaca di sana. begitu melihat Asri turun dari lantai dua wajah Ibu kian cerah, seperti tengah mendapatkan secercah harapan jika si sulung mungkin luluh dengan rayuan Asri.
“Bagaiamana, Sri? Bagas mau makan kan?” cecar Ibu begitu Asri duduk di sampingnya.
“Asri harap begitu, Buk. tadi Asri pikir dia belum bangun ternyata pas Asri mau coba bangunin dia udah bangun. habis itu dia minta Asri keluar, katanya Bagas masih mau istirahat, Buk. satu jam lagi Asri periksa ya Bagas udah makan atau belum.”
Ibu menghela nafasnya pelan, sedikit pening kepalanya melihat Bagas seperti kehilangan arah dihidupnya. “Makasih ya, kamu udah mau repot-repot buatin bubur buat Bagas, padahal kamu sendiri juga sibuk.”
Asri tersenyum, untuk urusan butiknya ia tidak terlalu memusingkan hal itu. ada banyak pegawainya di sana sebenarnya. biasanya kalau ke butik pun, Asri hanya memeriksa barang yang datang dan memeriksa kondisi butiknya itu saja. Bahkan sebulan mungkin ia hanya mampir ke sana sebanyak dua kali saja. sisa nya Asri lebih banyak di rumah atau menemani Reysaka di rumah Raka.
“Gapapa, Buk. Asri sama sekali gak kerepotan kok. Asri juga kepengen Buk. Bagas kembali kaya dulu lagi. Asri janji gak akan pernah lelah buat nemenin Bagas.”
Bagi Ibu, Asri seperti sebuah harapan untuknya. saking terharunya Ibu bahkan sampai berkaca-kaca dan memeluk Asri. “Tolong jangan pernah lelah sama Bagas ya, Sri. ibu benar-benar berharap suatu hari nanti Bagas akan luluh dengan kamu.”
Bersambung...