Pilihan

Bunyi suara alat rumah sakit yang Ziva benci kini terpaksa ia dengar kembali. Suara alat yang dulu berupaya memopong hidup mamanya itu kini beralih terpasang rapih di tubuh sang papa. Oksigen yang terpasang di hidung lelaki tua itu seperti berusaha menyalurkan hembusan kehidupan. Sumpah rasanya ia ingin sekali beranjak dari ruang ICU itu.

“Gimana lo bisa tau papa gue di rumah sakit?”

Akhirnya erlontar suatu kalimat dari mulut Ziva semenjak ia dan Davin berdiri di ruang ICU itu selama 15 menit. Davin sebenarnya ingin mengajak Ziva berbicara, namun ketika ia melihat wanita yang ada disampingnya itu menangis ia seperti kehilangan keberaniannya untuk mengeluarkan sepatah kata.

“Saya tahu dari orang kantor papa kamu, katanya sudah di rumah sakit sejak 3 hari yang lalu. Mbok Siti yang menjaga sejak awal, mbok bingung ingin menghubungi kamu tapi tidak tahu bagaimana caranya,”

“Hmmm...”

“Non, saya ingin menyampaikan pesan bapak sebelum bapak sakit, Non.”

“Apa mbok?”

“Bapak ingin melihat Non Ziva menikah dengan lelaki yang tepat. Cuma itu keinginan bapak ,Non.”

Ziva tertunduk lemas, bagaimana ini? Bagaimana ia harus mengambil keputusan untuk hal ini? Harvi adalah cinta matinya tapi Papa adalah cinta pertamanya. Bagaimana Ziva sanggung membiarkan satu dari dua orang yang ia sayang terluka, bagaimana mungkin ia tega menjatuhkan pilihan pada salah satunya.

Davin, lelaki yang kini bersamanya tak berkutik sedikit pun. Davin hanya diam dan menatap Ziva dengan lekat. Ia tahu pasti sulit bagi Ziva untuk menjatuhkan pilihannya. Ia lebih memilih diam tanpa kata.

Satu jam mereka diam di ruangan kecil itu, hanya menyisakan suara dari alat yang terpasang pada tubuh papa Ziva. Hingga suatu waktu jari sang papa bergerak setelah hampir satu jam tangan itu digenggam oleh sang putri.

“Pa??”

“Ziva, akhirnya pulang,”

Suara lemah yang keluar dari bibir sang papa bak suara yang telah tertahan begitu lama. Ada nada “lega” dibalik satu beberapa kata itu. Rasa lega telah mengetahui sang putri sudah kembali di genggamannya. Ada rasa bahagia bahwa disamping putri yang ia cintai berdiri seseorang yang ia restui bersama putrinya.

“Ziva, papa ini sudah tua. Kamu cuma punya papa. Papa ingin kamu ditangan orang yang tepat. Biar nanti kalau papa pergi, papa bisa pergi dengan tenang,”

Tangisan Ziva pecah tepat setelah papanya menyebut kata “pergi”. Kata yang ia benci semenjak mamanya harus pergi dari dunia ini. Dulu Ziva merasa dunia ini sangat kejam karena mamanya harus direnggut paksa dari pelukannya. Jelas saja ia tidak bisa membayangkan bagaimana nanti jika papanya yang pergi.

“Udah ya pa, Ziva udah pulang. Papa jangan banyak bicara dulu. Kita fokus kesembuhan papa dulu ya?”

“Papa sembuh kalau lihat kamu ada di tangan orang yang tepat, Ziva.”

“Pa?”

“Davin, kamu mau berjanji sama om? Mau jaga Ziva sampai kalian tua nanti? Biar om suatu saat nanti pergi dengan tenang, Vin.”

Hening, berkali-kali Davin mengalihkan pandangannya pada Ziva. Wanita itu menundukkan kepalanya, menciumi punggung tangan sang papa. Berharap papanya berhenti mengucapkan kata “pergi”.

Ada rasa ingin melindungi wanita ini dari kejamnya dunia. Ada rasa ingin memiliki wanita ini. Davin sungguh merasakan itu. Apalagi sejak tadi ia rasanya ingin sekali menyeka air mata Ziva. Tapi keberaniannya selalu kalah dengan rasa segannya.

“Vin? Gimana?”

Pecah keheningan yang telah Davin bangun sejak tadi. Kini ia harus memberikan jawaban pada lelaki paruh baya itu. Anggukan kecil darinya kini telah menjadi jawaban dari pertanyaan papanya Ziva.

“Baik, kapan kalian bisa menikah?”

“Om, sebaiknya kita fokus dulu ke kesembuhan Om Adijaya,”

“Tidak, tidak. Om mau kalian segera menikah. Minggu depan adalah ulang tahun putri om, bagaimana kalau hari itu Vin? Ziva mau kan?”

Pertanyaan yang diajukan papanya seperti bukan sebuah pertanyaan yang jawabannya dapat ia pilih. Seperti hanya kata “ya” yang bisa ia berikan. Tak ada pilihan lain lagi baginya. Begitu juga dengan Davin. Tepat, telah ditentukan bahwa minggu depan mereka akan menikah.

Kini yang ada dibenak Ziva adalah bagaimana cara memberitahu Harvi?