11. Duka

Disini Arial sekarang, terpaku berdiri di depan taman rumah sakit sembari melihat punggung kecil yang tampak rapuh dari belakang itu. Arial menghela nafasnya pelan, seperti de javu Arial jadi ingat situasi seperti ini lagi saat ia bertemu dengan Gita di taman rumah sakit waktu itu.

Jauh sebelum Gita pindah ke Bandung, dan saat ini Arial harus di hadapkan pada situasi yang sama. Ah, tidak. Lebih memilukan kali ini karna Gita sama sekali tidak terlihat hidup. Sudah 2 hari sejak kejadian kecelakaan yang menimpa Papa nya itu, bahkan jasad nya sudah di kebumikan.

Gita masih merasa ini mimpi buruk yang kembali menimpa nya lagi, di kursi taman sana. Ada Kevin yang sedang menemani Gita, makanya Arial gak berani menghampiri gadis itu. Namun begitu Kevin menoleh ke arahnya, cowok itu seperti mengatakan sesuatu pada Gita kemudian menghampiri Arial.

“Masih diam aja?” tanya Arial begitu Kevin semakin dekat ke arahnya.

Kevin mengangguk, kedua laki-laki itu memandang punggung gadis rapuh itu dari kejauhan. “Masih, Bang. Semalam kata Suster yang jaga Gita sempat benturin kepalanya ke tembok dan jambak rambutnya. Karna udah gak ada benda yang bisa lukain diri dia lagi.”

Hati Arial mencelos, dia gak pernah tau kalau Gita akan menjadi serapuh itu. Jika disuruh memilih, lebih baik ia mendengar sumpah serapah dari gadis itu dari pada harus melihat Gita terlihat seperti saat ini.

“Gue balik yah, Bang.” ucap Kevin, sudah 3 jam dia di rumah sakit, Kevin pikir Arial ingin berbicara dengan Gita. Anggap Kevin ingin mencoba peruntungan, siapa tahu dengan kehadiran Arial, Gita mau berbicara. Yah, apapun itu. Asal gadis itu bersuara.

“Gita sendiri, Kev?”

“Mama nya lagi ngurus sesuatu sama Mama nya Bang Yuno, nanti ada Mbak Jesica yang datang buat jagain Gita kalo lo mau balik.”

“Mbak Jesica?” Arial mengerutkan keningnya bingung.

“Asisten nya Tante Masayu.” Kevin menepuk pundak Arial, kemudian berlalu dari sana.

Sebelum menghampiri Gita, Kevin sempat masuk ke kamar rawat gadis itu dulu. Mengambil cardigan yang di gantung di dekat ranjang Gita dan membawanya, di luar agak sedikit dingin karena bekas hujan semalam. Dia gak mau Gita kedinginan walau berkali-kali gadis itu pernah bilang kalau ia tahan dengan udara dingin.

Arial melangkah perlahan mendekati Gita, menaruh cardigan itu di pundak gadis yang tengah melamun di depan kolam ikan itu dan duduk di sebelahnya. Gita masih belum menyadari kehadirannya karena gadis itu melamun, walau tatapannya tertuju pada kolam ikan namun pandangannya sangat kosong.

“Git?” sapa Arial, siapa tahu Gita akan menyahut.

Arial meringis, tidak ada sahutan dari bibir Gita. Namun ia akan tetap berbicara, siapa tahu Gita menyimak ucapannya.

“Kaya de javu yah, Git.” ungkapnya.

Rasanya kaya de javu buat Arial, duduk di taman rumah sakit sembari mengobrol seperti ini. Walau saat ini hanya ia yang seperti bergumam sendirian. “Dunia terlalu jahat sama lo yah, Git.”

“Jahat,” lirih Gita, tatapannya tidak berpindah pada kolam ikan namun gadis itu menyahut. “Jahat banget.”

Dalam hati, Arial lega bukan main saat Gita menimpali ucapannya. Tidak apa hanya dua kata pun, itu sudah sebuah kemajuan bukan? Pikir Arial.

“Kak?” Gita menoleh, membuat Arial sedikit bingung karena gadis itu memanggilnya dengan sebutan 'Kak' alih-alih menyebut namanya saja seperti biasa. “Kenapa baru datang?”

“Hah?” Arial menelan salivanya susah payah, bingung harus menanggapi Gita seperti apa.

“Kak Yuno pasti sibuk,” lanjutnya lagi.

jadi dia anggap gue Yuno..” ucap Arial dalam hati.

“Git?”

“Gue takut disini.”

Arial masih dalam kebingungannya, namun ia tetap menimpali ucapan Gita itu. “Kenapa takut?”

“Jangan kemana-mana lagi, jangan pergi lagi.” Gita tiba-tiba memeluk Arial lebih dulu, walau bingung Arial tetap membalas pelukan itu dan mengusap punggung kecilnya.

“Gue enggak kemana-mana kok, gue disini sama lo.” Arial mengusap pucuk kepala Gita, walau mungkin Gita melihat dirinya sebagai Yuno. Tapi setidaknya gadis itu sudah mau memberikan respon. Itu tidak masalah bagi Arial, terserah Gita mau melihatnya sebagai siapa.

“Beneran yah?”

“Um,” Arial mengangguk.

Setelah itu Arial membawa Gita masuk ke dalam kamarnya, Jakarta di guyur hujan lagi pagi ini. Di dalam kamar, Gita hanya meringkuk sembari melihat ke arah jendela yang menunjukan hujan di luar sana serta kilatan petir yang sesekali muncul.

“Git?” panggil Arial lagi, ia tidak ingin Gita melamun. Gita tidak menyahut lagi, hujan di luar sama tampak seperti lebih menarik dari pada Arial menurutnya. “Apa gue udah masuk terlalu jauh ke hidup lo yah, Git?”

Arial hanya bergumam, namun gumam kecilnya tadi mampu membuat Gita menoleh ke arahnya. Kening gadis itu berkerut, namun sedetik kemudian Gita mengubah posisinya menjadi duduk dan menjauh dari Arial.

Seperti Gita kaget karena baru sadar ia mendapati seseorang masuk ke dalam kamarnya, padahal Arial lah yang dari tadi sudah menemaninya.

“Arial?!” pekik Gita.

“Kenapa, Git?” tanya Arial.

“Pergi!”

“Git, tapi gue—”

“KELUAR!” Gita teriak, dia nyaris kehilangan kendalinya lagi.

“Git, tapi.” Arial bingung, dia sudah biasa melihat kelakuan Gita yang menurutnya super random. Tapi enggak dengan sekarang ini.

“KELUAR!”

“Iya tapi kenapa, Git?”

“KALO GUE BILANG KELUAR YAH KELUAR!”

Dari pada Gita semakin parah, Arial bangkit dari kursinya dan hendak keluar untuk memanggil suster. Namun belum sempat ia menggapai gagang pintu, Gita tiba-tiba saja menangis dan memeluk dirinya sendiri di atas ranjang. Membuat langkah Arial tertahan di depan pintu sana.

ia ingin menghampiri Gita, tapi disisi lain Arial juga takut kalau Gita marah padannya lagi. Ia tidak ingin membuat suasana hati Gita kembali buruk hanya karena ia menghampirinya, jadi langkah itu terhenti di depan pintu sana.

“Gue enggak mau lo liat gue kaya gini, Ril.”

Rasanya seperti ada belati yang mencabik-cabik hati Arial untuk kesekian kalinya, alih-alih memanggil suster. Arial kembali mendekat ke arah Gita dengan hati-hati, merengkuh tubuh ringkih itu dan mendekapnya ke pelukannya meski beberapa kali Gita meronta meminta di lepaskan.

“Kalau gitu gue enggak akan kemana-mana.”

“Lepasin gue, Ril!!”

“Gue enggak mau pergi meski lo usir, Git.”

Gita lagi-lagi mencoba melepaskan Arial dari pelukannya meski itu berakhir nihil karena Arial memeluknya se erat mungkin. Seperti jika ia merenggangkan sedikit saja pelukan itu, akan ada sesuatu yang akan menyakiti Gita.

“Ril, lepasin!”

“Enggak, Git. Gue gak mau.”

Gita akhirnya pasrah, ia menangis dalam pelukan Arial meski tangis itu tidak bersuara. Bukan cuma Gita saja yang menangis, Arial bahkan menitihkan air matanya. Ini pertama kalinya ia menangis karena seorang gadis.

Tanpa keduanya sadari, ada Yuno yang baru saja tiba di rumah sakit. Cowok itu baru saja datang langsung dari bandara, bahkan Yuno masih menenteng ransel dan koper berukuran sedang miliknya. Yuno mengurungkan niatnya untuk masuk karena tampaknya Gita baru saja tenang meski dalam rengkuhan Arial.

Yuno gak menyangka kalau Gita akan berakhir seperti ini lagi, menghela nafasnya dengan berat. Yuno akhirnya berbalik, mencoba untuk menunggu Arial hingga selesai berbicara dengan Gita. Ia ingin ke kantin rumah sakit dulu, namun siapa sangka jika baru beberapa langkah ia pergi dari depan kamar rawat Gita, Yuno justru bertemu dengan Ara yang juga ingin menjenguk Gita.

Gadis itu enggak sendiri, dia berdua dengan seorang laki-laki tinggi yang berjalan tepat di sebelahnya. Sama hal nya dengan Yuno, Ara juga berhenti melangkah. Hatinya mencelos begitu melihat sosok yang sangat ia ingin hindari itu meski ia merindukannya.

Tidak ada sapaan di antara keduanya, keduanya hanya saling berdiam dan memandang. Sampai akhirnya, mata Yuno memandang ke arah laki-laki yang berdiri di sebelah Ara. Kedua mata mereka bertemu, jika Yuno memandang Julian dengan pandangan bertanya-tanya. Lain hal nya dengan Julian yang memandang Yuno dengan tatapan menelisik.

Seperti ada tatapan benci yang Julian lontarkan pada Yuno meski raut wajah cowok itu tampak begitu tenang, menurutnya Julian seperti air sungai yang tenang namun sangat dalam dan mematikan.