Meaning Of Love ☑️

Jeong Jaehyun, Ruruhaokeai, Lee Juyeon

Sore itu setelah kelas terakhirnya, Julian enggak langsung pulang ke kosan. Dia juga enggak antar Ara pulang karena gadis itu pulang bersama Arial, ini kesempatan bagus untuknya bertemu dengan Saddam. Yup, Ara mungkin bisa memaafkan cowok itu tapi tidak dengannya.

Julian mau memberi setidaknya pelajaran pada cowok itu agar tidak berani macam-macam dengan Ara lagi, ia sudah membuat janji temu dengan Saddam di bekas gedung tidak terpakai di belakang kampus, sudah hampir setengah jam Julian menunggu namun Saddam urung datang juga.

Ia sempat berpikir kalau cowok itu enggak punya nyali buat ketemu, ketika Julian ingin pergi dari tempat itu. Tidak lama kemudian sebuah deru motor terdengar, dan benar saja. Itu Saddam, sayangnya cowok itu enggak datang sendirian.

Ia datang bersama dua orang temannya yang sering Julian lihat, sudah banyak rumor juga mengenai Saddam dan dua temannya itu yang kerap kali melakukan pelecehan sama anak-anak kampus, terutama di kalangan mahasiswa baru. Makanya untuk kali ini Julian akan membuat cowok itu bertekuk lutut meminta maaf dengan Ara.

“Gue pikir elo gak bakalan datang,” ucap Julian ketika cowok itu turun dari motornya.

Saddam menyeringai, memandang Julian remeh dan menelisik dirinya dari atas sampai bawah. Seperti sedang menilai kemampuan Julian, Saddam sempat salut karena baru kali ini ada mahasiswa baru yang berani menyuruhnya untuk datang menemuinya seperti ini.

“Ada urusan apa lo sama gue hah? Masih MABA udah sok-sok an merintah-merintah gue buat datang ke sini, mau jadi jagoan lo, hah?” Saddam maju lebih dulu, di matanya saat ini Julian hanyalah bocah ingusan yang sok berani padanya. Ah, mungkin Julian belum tahu seberapa pengaruhnya kedua orang tua Saddam di kampus mereka berkuliah.

“Kenapa emangnya?”

“Nantangin dia, Dam. Hajar aja udah hajar,” imbuh dua teman di belakang Saddam.

“Kita hajar aja nih?” Saddam menunjuk Julian, ia menoleh ke arah dua temannya seperti meminta persetujuan keduanya untuk menghajar Julian lebih dulu.

“Gimana kalau sebelum itu, lo liat dulu video ini?” Julian mengeluarkan ponselnya, ia putar video rekaman CCTV yang ia minta dari club tempat Ara datang.

Dalam video itu, terlihat jelas jika Saddam beberapa kali memesan minuman pada bartender dan terus mengajak Ara bicara, namun di menit berikutnya saat Ara sudah kelihatan menyandarkan kepalnya ke meja bartender. Saddam mengeluarkan sesuatu dari saku kemeja yang ia pakai, dan memasukannya ke minuman milik Ara.

Setelah itu, Ara semakin limbung dan Saddam melancarkan aksinya untuk menyentuh gadis itu. Hanya sampai disitu, karena Julian memotong video pemukulan ketika Yuno tiba-tiba saja datang dan menghajar Saddam.

“Dapat dari mana lo soal video itu?!”

Saddam mulai kalang kabut, ia gak kepikiran jika dengan mudahnya Julian justru mendapatkan video rekaman CCTV dari club. Karena Saddam kira kejadian itu berakhir begitu saja di malam itu dengan ia yang sudah di hajar oleh cowok yang enggak dia kenal.

“Lo kepengen banget tau?” Julian menaikan satu alisnya.

“DAPET DARI MANA BANGSAT JAWAB GUE!!” Saddam menarik kerah kemeja flanel yang Julian pakai, namun itu enggak membuat Julian gentar dan takut. Ia malah semakin tertawa melihat wajah Saddam yang mendadak panik.

“Gimana kalo video ini gue kasih ke nyokap bokap lo? Gue kepengen tau apa reaksi mereka,” Julian menyeringai. “Oh enggak-enggak, gimana kalau video ini gue kasih ke polisi terus gue bikin laporan kalo lo ngelakuin pelecehan? Kayanya gue yakin, korban-korban yang udah lo bikin hancur hidupnya juga bakalan ngelakuin hal yang sama.”

“Denger!!! Mereka gue bayar, gue make mereka itu enggak gratis dan gue punya sesuatu yang bikin mereka diam, paham lo?!” Saddam melepaskan cengkeramannya di kerah Julian.

“Yakin?”

“Dam, udah lah hajar aja kelamaan!” salah satu cowok di belakang Saddam tampak geram, pasalnya mereka juga ada di club itu. Dan mereka yakin Saddam tidak akan mau jatuh sendirian, ia akan mengajak orang lain hancur bersama nya. Makanya mereka menyarankan untuk membungkam Julian secepatnya.

“Gue punya permainan bagus.” Julian menyimpan ponsel nya itu di saku. “Gimana kalo lo lawan gue? Lo, bukan dua kacung di belakang lo.” Julian melirik ke arah dua teman Saddam itu.

“Anjinggg!” gumam di antara keduanya.

“Kalo lo menang, gue enggak akan kasih video itu ke siapa-siapa dan bakalan lupain kejadian itu. Tapi kalau lo kalah, lo harus minta maaf ke Ara dan semua korban yang udah pernah lo tidurin?” Julian menaikan sebelah alisnya. “deal?

Di tempatnya, Saddam menelan saliva nya susah payah. Kedua tangannya terkepal menahan amarah, jika Julian tidak sedang mengancamnya dengan video itu sekarang. Mungkin Saddam sudah menghajar cowok itu habis-habisan.

deal.

“Gak di sini,” lanjut Julian.

“Bangsat, dimana?! Lo jangan menguji sampai dimana gue bisa sabar.”

“Gue mau kita tanding di ring!” Julian memberikan secarik kertas berisi alamat dimana Black Box berada. Kemudian cowok itu pergi lebih dulu ke Black Box, meninggalkan Saddam yang masih mematung dengan tangan terkepal meremas kertas yang Julian berikan.


Dan sampailah kedua cowok itu di atas ring sekarang, Julian sengaja memakai cara ini agar Saddam enggak bisa menuntut nya apa-apa jika kedua orang tua nya melihatnya babak belur, toh ini olahraga dan mereka tanding satu lawan satu di atas ring, ada wasit juga dan Saddam melakukan ini atas dasar kemauannya sendiri.

Pada bunyi lonceng pertama, Julian menatap Saddam sengit. Ia membiarkan Saddam menyerangnya lebih dulu, meski Saddam enggak pernah berakhir memukul wajah Julian. Lalu, pada detik berikutnya giliran Julian yang memberikan serangan balik pada Saddam di uluh hati cowok itu.

Belum apa-apa saja cowok itu sudah mundur beberapa langkah sembari memegangi perutnya, dan kesempatan itu Julian pakai untuk memberikan serangan lagi pada Saddam. Ia sempat limbung ketika Saddam berhasil meninju perutnya.

Namun Julian pandai menetralkan rasa nyeri jika ia mendapatkan hajaran di perut, cowok itu kini bergerak maju. Menghajar wajah Saddam hingga satu goresan terdapat di sudut bibirnya, bibir cowok itu berdarah dan Julian tersenyum puas.

Seperti membaca situasi, Julian menyipitkan matanya dan menghajar Saddam dari samping. Ia hajar di bagian lengan cowok itu, kemudian di wajah sebelah kirinya lagi. Ia pikir Saddam enggak akan kembali melawan setelah cowok itu sempat gemetar dengan kemampuan tinju yang Julian miliki, namun Saddam berhasil mencuri tinjuan pertamanya yang mengenai wajah Julian.

Gusi cowok itu mengeluarkan darah, namun hal itu juga lah yang membuat Julian naik pitam. Wajahnya memar dan itu seperti Saddam berhasil menyalakan alarm kemarahannya, jadi dengan cepat Julian hajar cowok itu di beberapa titik lemahnya hingga Saddam meringkuk.

Dan kesempatan itu Julian pakai untuk menguasai tubuh Saddam dari atas dan terus menghajar lawannya hingga Saddam tidak mampu melawan, cowok itu hanya menyembunyikan wajahnya dengan lengannya agar Julian tidak terus menerus menghajar wajahnya.

Ian selaku wasit di sana sampai masuk ke dalam ring dan menarik Julian, ia tahu Julian kelepasan. Saat di tarik cowok itu terengah-engah dengan keringat yang menetes deras di tubuh nya.

“Jul!! Lo kenapa? Sadar! Lo mau bikin dia mati hah?!” pekik Kang Ian memperingati Julian.

“DIA UDAH BERANI-BERANINYA NYETUH ARA, KANG!!” teriak Julian. Ia tidak pernah semarah itu, tapi rasanya sore itu benar-benar ia ingin meledak.

“Gak gitu caranya, lo disini petarung. Lo di atas ring dan semua yang main disini ada aturannya, lo gak bisa sembarangan mukulin dia kaya lo lagi mukulin maling, paham lu!” sentak Kang Ian.

Julian memejamkan matanya, ia akhirnya mengangguk. Jujur saja, jika Kang Ian tidak menahannya mungkin Saddam akan berakhir lebih babak belur dari ini.

Setelah menyuruh Saddam meminta maaf pada Ara besok pagi, cowok itu pulang di bopong kedua temannya. Julian juga langsung pulang, tapi sebelum itu ia mampir ke apotik dulu untuk membeli obat. Bibirnya berdarah dan wajahnya memar, ia mungkin akan membeli salep dulu agar anak-anak kosan enggak bertanya-tanya kenapa wajahnya memar.

Begitu selesai sedikit mengobati wajahnya, Julian langsung pulang. Tapi belum sampai di depan pagar kosan, Julian justru melihat Ara sedang duduk di gapura masuk ke kompleks kosan mereka. Jadi, Julian berhentikan motornya disana. Ara juga nampak girang waktu lihat Julian.

“Kok lo duduk disini?” tanya Julian.

“Jul, bibir lo kenapa?” Ara ingin menyentuh lebam di wajah Julian namun cowok itu dengan cepat menghindar.

“Gapapa, kepentok aja ini.”

“Bohong, lo tinju lagi yah?”

Julian hanya menggeleng pelan, “lo kok disini, nungguin siapa?”

“Nungguin elo.”

“Kan bisa di kosan, Ra. Disini kaya lagi nungguin angkot aja, kalo di culik gimana?” Julian terkekeh.

“Siapa juga yang mau nyulik gue, eh Jul. Makan nasi uduk yang di dekat kampus Elit yuk.”

“Sekarang?” tanya Julian yang hanya di balas anggukan kecil oleh Ara. “Ayok.”

“WATTAAAAHH,” Ara bertepuk tangan, dengan cepat ia langsung naik ke atas motor Julian dan berpegangan di pinggang cowok itu.

Julian sempat menelan salivanya susah payah ketika Ara seperti tengah memeluknya, degup jantungnya juga semakin menggila rasanya. Di perjalanan, Julian sempat curi-curi pandang sama Ara dari kaca spionnya.

“Jul?”

“Hm?” Julian sedikit menoleh, membagi konsentrasinya menjadi dua untuk menyetir dan juga mendengarkan Ara di belakang.

“Gue tuh malu banget mau pulang sebenarnya.”

“Emangnya lo tukang apa pake malu segala.”

“Ihhh gue serius,” Ara menusuk pinggang Julian dengan jari telunjuknya, itu adalah titik sensitif Julian dan cowok itu bergedik geli.

“Iya-iyaaa, malu kenapa sih emang?”

“Soal kejadian malam itu, sama Kak Yuno.”

lagi-lagi Yuno..

“Kenapa emang?”

“Malam itu beneran rasanya gue udah sinting banget, gue malu banget sampe gue gak berani nongolin muka gue depan Kak Yuno lagi rasanya.”

“Emang lo ngapain sih? Dia udah nolongin elo, loh. Lo gak mau bilang makasih ke dia?” Julian melirik Ara dari kaca spion nya, gadis itu tampak mengulum bibirnya seperti ia tengah merasakan malu dan menimang-nimang sesuatu.

“Iya mau, tapi masalahnya tiap gue ingat kejadian itu rasanya gue pengen ganti muka aja tau gak?”

“Yah kenapa sih emangnya?”

“Lo tau kan kalo Saddam ngasih gue sesuatu di minuman gue?” jujur saja mengingat kejadian itu membuat Ara jadi jijik sama dirinya sendiri, meski ia tahu Yuno mungkin akan memaklumi dirinya malam itu.

Julian mengangguk. “Iya tau.”

“Gue ngelakuin sesuatu sama Kak Yuno. Yang mungkin bikin dia jijik sama gue.”

“Dia juga mungkin maklumin lo, Ra.”

“Iya dia maklumin gue, tapi rasanya tetap aja gue malu.”

“Tapi lo gak boleh ngehindar gini terus yah, kalo udah ngerasa lebih baik lo harus temuin dia dan bilang makasih ke dia. Dia udah bawa lo balik, rela di omelin Gita karena ngetok-ngetok kamar Gita demi nyuruh Gita gantiin baju lo yang basah karena keringetan sama kena muntahan lo.”

“Apa?!” pekik Ara. “Gimana, Jul?”

“Gimana apanya?”

“Gak, tadi lo bilang siapa yang gantiin baju gue?”

“Gita.”

“Bukannya Kak Yuno sendiri?”

“Gila kali, gue liat sendiri dia ngetok-ngetok kamar Gita kok.”

“Jadi? Kak Yuno gak ngeliat gue gak pake baju kan?”

“Ra lo ngomong apaan sih?” Julian jadi kesal sendiri, tapi dia juga bingung sendiri sama ucapan Ara. Apalagi melihat wajah panik gadis itu dari balik spion motornya.

“Gita bilang Kak Yuno sendiri yang gantiijn baju gue, jadi ternyata di ngerjain gue?! ARGHGHHH awas yah lo dasarrrrrr cewek pendekk!” pekik Ara, sampai ia tidak sadar tangannya meremas kemeja flanel yang Julian pakai.

Keesokan pagi nya Ara mengerjapkan matanya beberapa kali setelah merasakan sinar matahari menelisik masuk ke dalam kamarnya, kepalanya pening bukan main. Seperti habis di hajar benda keras hingga ia pingsan, gadis itu mesih terbaring di ranjangnya, mengucak matanya beberapa kali kemudian berusaha bangkit dari tidurnya.

Ia sudah berada di dalam kamarnya, entah bagaimana caranya semalam. Karna seingatnya ia benar-benar mabuk. Dan lagi, Ara menyadari sesuatu ketika ia meraba tubuhnya. Seingatnya semalam ia masih mengenakan dress selutut dengan tali spaghetti, lalu kenapa pagi ini dia sudah mengenakan baju tidurnya.

Seketika rasa panik menyerangnya, ia mengambil ponsel miliknya yang masih ia taruh di tas yang ia bawa. Mengetikan nomer seseorang disana sembari mengigit kuku jarinya, sudah 5 nada sambung panggilan namun sang pemilik ponsel urung menjawab panggilannya.

“Sharen sialan, ini gue balik sama siapa semalem?” gumam Ara panik.

Ia mencoba mengingat-ingat lagi kejadian semalam, kalau tidak salah terakhir ia berkenalan dengan seorang Kakak tingkat bernama Saddam. Cowok itu memang memberinya alkohol dan mereka mengobrol banyak hal, lalu kejadian berikutnya yang Ara ingat hanya ia yang menyandarkan kepalanya di meja bartender ketika ada ribut-ribut di club. Yah, itu keributan dan Ara enggak tahu apa yang terjadi semalam.

“Oke tenang.. Tenang kita inget-inget, fiuhhh.” Ara menghembuskan nafasnya, ia duduk kembali di ranjang dan menaruh ponselnya. Sharen enggak menjawab panggilannya, mungkin juga gadis itu belum bangun.

“Jadi gue semalem teler, terus ada ribut-ribut. Habis itu ada cowok yang bawa gue keluar dari tempat sialan itu..” kedua mata Ara menyipit, ia tidak ingat betul wajah cowok yang membopongnya keluar.

Sampai tiba-tiba netra nya itu melihat ada kemeja putih yang di taruh di atas ranjangnya, di ambilnya kemeja itu. Ara seperti tidak asing dengan wangi dan kemejanya, setelah sadar itu kemeja milik siapa. Kedua mata Ara membulat, ia lempar kemeja itu hingga ke depan pintu dan ia tutup mulutnya sendiri dengan kedua tangan.

“Kak Yuno!!” pekik Ara tertahan.

Lalu tiba-tiba saja ingatan semalam tentang betapa gila dirinya mendambakan sentuhan itu terputar, Ara ingat waktu bagaimana ia bergelayut manja di pundak Yuno, menarik bajunya kemudian mencium bibir cowok itu dengan semangat, apalagi saat ia merangkak naik duduk di atas pangkuan Yuno dan merengek ketika Yuno menolak nya.

“AAAAAAHHHHHHHH GILAAAA!!” tidak sadar Ara kelepasan, ia memukuli kepalanya sendiri. Berharap ia bisa amnesia dan tidak akan pernah mengingat kejadian menjijikan itu lagi.

“Ra? Lo udah bangun?” panggil Gita dari depan pintu kamarnya.

“Belum!!”

“Kok nyautin?”

Lagi-lagi Ara memejamkan matanya, memukul bibirnya sendiri yang lagi-lagi keceplosan. Pagi itu tidak ada henti-hentinya Ara meruntuki dirinya sendiri, karena sudah kepalang ketahuan kalau ia sudah bangun. Akhirnya ia buka kecil pintu kamarnya, sepertinya ia harus bertanya pada temannya yang lain tentang kejadian semalam. Ah, terutama dengan siapa ia di gantikan baju. Gak mungkin sama Yuno kan? Iya kan..

“Git,” panggil Ara dengan suara kecil.

“Ngapain lo kaya gitu?”

“Di depan ada siapa?”

“Depan mana? Depan komplek?”

“Bukan ih,” Hardiknya. “Di bawah.”

“Rame lah,” jawab Gita acuh, tapi dalam hati dia mau ketawa liat kelakuan konyol Ara semalam dan hingga pagi ini. Ya meskipun ia juga ikut kesal waktu Yuno menjelaskan apa yang terjadi pada Ara malam itu.

“Ih, rame tuh ada siapa aja?”

“Kenapa sih emang?”

Ara mengulum bibirnya sendiri, “gue malu.”

“Telanjang lo makanya malu? Udah buruan turun, Arial mau ngomong sama lo tuh di bawah. Udah ngoceh terus dia kaya burung Beo belum di kasih makan.”

Sejak pagi tadi Arial memang sudah ngomel-ngomel di kosan, cowok itu memang selalu menumpang sarapan di kosan Abah. Bahkan Arial lebih suka tidur sembarangan di kosan Abah di banding di kamar kost nya sendiri, Gita juga bingung kenapa. Apa lagi waktu Yuno bilang mau tinggal sementara di kosan dan mengubah gudang menjadi kamarnya.

Arial ngedumel bukan main, wajahnya sampai di tekuk seharian karena ia merasa kalah cepat dengan Yuno. Arial memang beberapa kali bilang ingin pindah kosan, yah apalagi kalau bukan untuk menjaga Adiknya. Itu sih alasannya, enggak tahu kalau ada maksud terselubung.

“Eh, Git. Sini deh.” Ara masih membuka pintunya kecil, namun saat Gita menghampirinya ia membuka pintu itu dan menarik tangan Gita untuk masuk ke kamarnya, setelah itu ia tutup lagi bahkan ia kunci.

“Dih apaan sih, kenapa lo?” kata Gita ketus.

“Gue semalam kan mabuk ya.”

“Baru sadar?”

“Ihhh dengerin dulu.” Ara mengibaskan tangannya, kesel juga karena dari tadi Gita kaya sensi banget ke dia. “Terus gue pulang sama Kak Yuno?”

Gita mengangguk, ia melipat kedua tangannya di dada. Membiarkan Ara mengingat semua kejadian semalam.

“Habis itu yang gantiin baju gue siapa, Git?”

Setan dan malaikat di kanan dan kiri Gita saling berdebat, sebelah kiri menyuruhnya untuk mengerjai Ara agar gadis itu enggak asal main ke club dan menerima minuman dari orang lain, yah semacam memberinya pelajaran, sementara sebelah kanan nya menyuruhnya untuk jujur saja karena Ara pasti sudah kepalang malu.

“Kenapa emangnya?” Gita menaikan sebelah alisnya menggoda.

“Gak mungkin Kak Yuno kan?” cicitnya malu setengah mati.

“Kayanya emang dia sendiri yang gantiin baju lo deh, Ra. Soalnya semalam anak-anak udah pada tidur. Gue aja baru tau pas Kak Yuno cerita.”

Mata Ara membulat, degupan jantung nya menggila hanya bagaimana ia mendengar ucapan Gita dan membayangkan Yuno mengganti bajunya, Ini gila banget.

“Bohong!!” pekik Ara.

“Yaaa.. Tanya aja sama Kak Yuno sendiri kalo berani, udah ah. Sarapan lo, gue sama Echa masakin sup di bawah. Sekalian abis ini siap-siap lo di sidang sama Komdis galak dan rese itu.”

Gita melenggang keluar dari kamar Ara, ia sempat terkekeh di depan kamar gadis itu apalagi saat mendengar Ara mengerang karena malu setengah mati.

Siangnya Ara belum berani keluar kamar juga, meski perutnya beberapa kali sudah menjerit karena lapar. Ia hanya makan cemilan coklat yang terbuat dari Oat, Quinoa dan Whole Wheat saja. Itu pun hanya mampu menahan laparnya selama 2 jam karena di jam selanjutnya perutnya kembali lapar.

Namun, tiba-tiba saja nama Julian terlintas di pikirannya. Cowok itu pasti mau menolongnya mengambilkan makanan, jadi buru-buru Ara ambil ponselnya dan memanggil Julian. Beruntungnya cowok itu langsung mengangkat telfonnya.

kenapa, Ra?

“Jul!! Lo di kosan kan?”

iyalah, kenapa emang?

“Boleh minta tolong gak?” Ara mengigit bibir bawahnya.

boleh, kenapa?

“Jul, ambilin makanan dong di bawah kayanya gue sakit deh. Kepala gue pusing.”

gue ambilin, tapi makan di rooftop aja yah. Gue temenin.

“Ihhh, Jul. Kok di rooftop sih?” itu artinya sama saja kan? Ia juga harus keluar kamar, kalau ada yang lihat bagaimana? Kalau ia bertemu Yuno bagaimana?

Jangan makan di kamar, gue mau ngomong sama lo.

“Ini kan lagi ngomong.”

gak di telfon, Ra. Langsung. Udah yah, gue ambilin makanan nih, lo naik ke atas nanti gue nyusul.” tanpa menunggu jawaban Ara, Julian mematikan sambungannya dan membuat Ara mendesah putus asa.

Dari pada ia terus merasa kelaparan dan berujung asam lambung nya kambuh, akhirnya mau enggak mau Ara menuruti apa kata Julian. Toh di rooftop rasanya lebih aman, anak-anak kosan gak akan ada yang ke rooftop kalo enggak angkat jemuran. Yah paling Kevin sih, tapi Kevin kalo nongkrong di rooftop juga kalau malam sambil gitaran dan ngerokok. Kalau siang gini sih panas, Kevin juga ogah nangkring disana.

Dengan langkah perlahan-lahan ia membuka pintu kamarnya, terlampau pelan sampai tidak terdengar kalau pintu kamarnya terbuka, sebelum keluar dari kamar. Ara memastikan tidak ada seorang pun di ruang TV lantai 2 ataupun di laundry room, setelah memastikan semuanya aman. Akhirnya ia lari dan buru-buru naik ke rooftop, persis seperti maling yang sedang melancarkan aksinya.

Dan beruntungnya di rooftop benar-benar sepi, tidak ada orang. Dan Ara bisa bernafas lega, tidak lama kemudian pun Julian datang. Membawa nampan berisi makanan untuk Ara dan tidak lupa cemilan yang cowok itu beli di minimarket kemarin.

Begitu melihat Ara mengeluarkan cengiran konyolnya, Julian hanya menggeleng. Kemudian duduk di depan gadis itu dan menaruh nampan berisi makanannya, tidak membutuhkan waktu lama Ara langsung menyantap makanan itu, ia benar-benar lapar.

“Gue udah dengar semuanya dari Bang Yuno,” ucap Julian di sela-sela kunyahan makanan Ara, gadis itu nyaris saja tersedak waktu Julian mengucapkan nama Yuno.

“Pelan-pelan makannya bisa gak sih?” Julian mengambilkan minum dan memberikannya ke Ara.

Setelah meminum, Ara berhenti makan sebentar. Kayanya Julian mau ngomongin hal semalam, dan ia yakin Julian tahu sesuatu.

“Dia cerita apa?”

“Lo mabuk semalam di club sama cowok?”

Ara menunduk, ia mengulum bibirnya dan mengangguk. Julian gak terlihat marah, nada bicaranya juga halus seperti biasanya. Namun dari tatapan matanya itu terlihat banyak makna seperti cowok itu sedih, kecewa dan marah menjadi satu.

“Lo marah sama gue yah, Jul?” cicitnya.

“Bukan sama lo, tapi sama diri gue sendiri?” mendengar ucapan itu, Ara mendongakkan kepalanya dan menatap Julian bingung.

“Kenapa?”

“Karena gue biarin lo pergi sendirian ke sana, harusnya gue ikut sama lo. Atau seharusnya gue gak biarin lo dateng berdua aja sama Sharen.”

“Jul..”

“Ra,” Julian memejamkan matanya. “Gue enggak tau kalau semalam Bang Yuno gak datang nolongin lo, kaya apa kejadiannya sekarang. Gue marah banget waktu dia cerita.”

“Jul, bukan salah lo kok. Ini gue aja yang bego mau-mau aja di kasih minuman sama cowok yang baru gue kenal.”

“Saddam kan?”

Ara mengangguk.“Saddam, FEB—”

“Saddam Badjrie FEB'14. Gue tau orangnya, biar gue kasih pelajaran dia besok.”

“Jul..”

“Ra, dia ngerjain lo.”

“Jul, iya gue tau dia ngerjain gue. Gue juga marah banget, tapi gue juga malu banget. Udah yah, yang penting sekarang gue enggak kenapa-kenapa.”

“Dia udah kurang ajar sama lo, Ra.”

“Jul, Bapaknya dia itu donatur di Narawangsa. Gue gak mau lo kenapa-kenapa. please..” Ara mengatupkan kedua tangannya memohon.

Julian hanya diam, ia memperhatikan wajah Ara dan akhirnya mengangguk. Meski begitu, Julian akan tetap memberikan cowok itu pelajaran tanpa sepengetahuan Ara.

“Janji?” Ara memberikan jari kelingkingnya.

“Gak mau.”

“Ihhh kok gak mau?”

“Lo yang harusnya janji sama gue gak akan ketempat kaya gituan lagi.”

Ara terkekeh, ia akhirnya mengangguk. Membawa tangan Julian dan menautkan jari kelingking mereka. “Janji.”

“Ini gak cocok.”

“Yang ini juga.”

“Ihhh ini apaan.”

Hampir satu lemari bajunya Ara keluarkan namun belum ada dress yang cocok ia kenakan untuknya pergi malam ini, karena ada kerja sama antara HIMA PSI dan HIMA FEB Ara jadi kenal dengan beberapa Kakak tingkatnya di fakultas FEB, malam itu ia dapat undangan ulang tahun ke sebuah club malam yang ada di Bandung.

Ini untuk pertama kalinya ia datang ke club malam, sebenernya Ara ngerasa enggak nyaman harus datang ke tempat seperti itu. Namun Kakak tingkatnya itu agak sedikit memaksanya, yah untung nya dia enggak datang sendirian. Ada Sharen juga yang datang bersama nya malam ini.

“Nah yang ini kayanya cocok deh,” pekik Ara begitu melihat dress di atas lutut dengan warna maroon, dress yang nampak begitu sederhana namun elegan dengan perpotongan A line di dada nya. Dress dengan tali menyerupai spaghetti itu membuat bahu mulusnya terpampang.

Dulu dress itu pemberian dari Kinan saat ia ulang tahun ke 17 tahun, waktu itu masih agak sedikit kebesaran di Ara. Namun sekarang dress itu nampak pas di tubuh rampingnya, Ara memakai anting dengan model menggantung di telinganya, rambut panjangnya ia biarkan begitu saja. Setelah memakai parfum, ia mengambil ponselnya.

Sharen sudah datang menjemputnya, sebelum pergi Ara sempat mengunci pintu kamarnya dulu. Begitu ia turun tidak sengaja ia berpapasan dengan Yuno yang juga ingin naik ke lantai 2.

Cowok itu melihat pakaian yang Ara pakai dari atas sampai bawah, agak sedikit kagum meski kaget karena Ara enggak pernah terlihat sedewasa sekaligus sexy seperti ini. Di mata Yuno, gadis itu hanya gadis sederhana yang selalu cantik di matanya meski hanya mengenakan pakaian rumahan saja.

“Kamu mau kemana?” tanya Yuno.

Ara sempat bingung mau menjawab apa, ia memendarkan pandangannya ke arah lain agar matanya tidak bertemu dengan mata Yuno, bertatapan langsung dengannya seperti ini seperti menjadi salah satu kelemahan terbarunya saat ini.

“Ada acara, Kak.”

“Acara apa?”

Birthday party kating aku.”

Yuno memejamkan matanya sebentar, ego nya mendesaknya untuk melarang Ara pergi dengan pakaian seperti itu. Namun otaknya menyadarkan jika saat ini ia bukan siapa-siapa lagi untuk gadis itu, tidak ada hak untuk melarang.

“Aku antar ya?” jika Yuno tidak bisa melarangnya, setidaknya dia harus tahu dimana Ara pergi. Dia enggak ingin Ara dalam bahaya, karena rasanya perasaanya tidak enak.

“Aku di jemput teman,” Ara tersenyum kikuk. “Duluan yah, Kak.”

Gadis itu berjalan melewati Yuno dan turun dari tangga, Yuno sempat menimang-nimang untuk pergi mengikuti kemana Ara pergi atau tidak. Sampai akhirnya ia memilih untuk membuntuti gadis itu diam-diam, buru-buru ia sambar kunci mobilnya yang tadi ia taruh di meja TV lantai 1 dan melesat begitu saja keluar dari sana.

Arial, Kevin, Gita dan Chaka yang memanggil Yuno demi bertanya mau kemana cowok itu pergi saja sampai tidak Yuno gubris sama sekali. Dan benar saja dugaanya, mobil yang di kendarai teman kampus Ara itu berhenti di sebuah parkiran club malam.

Sial nya Yuno enggak pakai-pakaian yang lebih rapih untuk masuk ke dalam club, ia hanya mengenakan kaus rumahan di tambah luaran kemeja tipis, yah beruntung nya malam itu kebetulan Yuno sedang memakai celana jeans, yah siapa yang menyangka kalau Ara benar-benar akan pergi ke club malam itu. Dan beruntung nya, Yuno tetap di perbolehkan masuk oleh penjaganya.

Ara yang masuk lebih dulu itu nampak asing dan sedikit tidak nyaman disana, ia baru tau kalau club akan seberisik dan sebau rokok ini. Apalagi saat ia melihat ke lantai dansa, beberapa orang menari di sana seperti orang yang tidak punya beban pikiran apapun.

Happy birthday Teh Celine,” Sharen menyalami Celine, memeluk gadis itu dan memberikan hadiah yang sudah ia siapkan sebelumnya.

“Sharen, thanks banget udah datang.”

Setelah memeluk Sharen, kini giliran Ara. Ia menaruh hadiah-hadiah itu di meja yang sudah di sediakan dan memeluk Celine.

happy birthday yah, Teh,” ucap Ara.

thank you loh, Ra. Udah datang.” Celine tersenyum, memperhatikan penampilan Ara yang tampak berbeda malam itu. Jujur saja, Celine enggak nyangka Ara akan datang dengan dress yang tampak sexy malam ini. Mengingat gadis itu selalu memakai baju tertutup saat di kampus.

“Sumpah yah, aku enggak nyangka kamu secantik dan wowww. you looks so sexy.

Ara nampak kikuk, apalagi bukan hanya Celine yang melihat dengan kagum ke arahnya. Ada 2 cowok di belakang Celine dari fakultas FEB juga yang melihat ke arah Ara dengan pandangan kagum.

“Makasih, Teh.”

“Yaudah, ke sana gih. Nikmatin party nya. Aku tau ini pertama kalinya kamu masuk ke club kan?” tebak Celine yang di jawab anggukan oleh Ara. “Yaudah, kalo gitu nanti aku minta bartender nya bikinin minuman yang spesial buat kamu.”

Ara hanya mengangguk saja, dia juga enggak akan minum itu kok. Sharen sudah janji akan meminum minuman yang di berikan untuk Ara jika itu alkohol. Akhirnya, keduanya berjalan menyusuri beberapa orang yang tampak berlalu lalang di sana. Ara bahkan menyibak tangannya sendiri karena tidak tahan dengan bau rokok, dalam hati dia berdoa semoga asma nya enggak kambuh karna menghirup asap rokok malam ini.

Mereka memilih duduk di depan bartender dengan kursi yang agak sedikit tinggi, Ara gak nyangka dress yang ia pakai malam itu akan sangat naik hingga menampakan kaki jenjang nya dan itu sangat membuatnya tidak nyaman. Belum lagi ia tidak membawa kain atau jaket untuk menutupi kakinya, alhasil dress yang agak sedikit naik itu Ara agak tarik agar setidaknya menutupi paha nya.

“Ra, ke sana yuk? Kayanya asik deh. Dari pada duduk doang disini, nanti di godain gadun lagi,” Sharen menunjuk lantai dansa yang malam itu nampak sumuk, maklum saja ini malam minggu.

“Enggak ah, gue disini aja. Lo aja sana.”

“Beneran gak mau?”

Ara hanya menggeleng.

“Yaudah gue ke sana yah.”

Selepas Sharen pergi, Ara sempat memesan segelas cola untuknya. Ia tidak minum minuman yang di berikan oleh Celine, bau alkoholnya saja sudah sangat menyengat. Dia gak yakin rasanya akan sangat masuk ke selera minuman kesukaannya.

Sekali sesapan pada cola yang ia pesan, Ara menumpukan kepalanya di meja sembari memikirkan banyak hal. Terutama pada hubungannya dengan Yuno dan juga Julian, sampai ia tidak sadar jika cowok yang ada di belakang Celine tadi kini menghampirinya dan duduk di sebelahnya.

“Hai,” sapa cowok itu, tubuhnya tegap dengan kumis dan rambut yang agak sedikit gondrong itu. Perawakannya mirip orang Timur Tengah.

“Hai.”

“Datang sama siapa tadi?” tanya cowok itu basa basi.

“Sama temen, tapi malah asik sendiri anaknya.” Ara menunjuk Sharen yang sedang mengobrol dengan cowok di lantai dansa, yup. Sharen memang mudah akrab dengan orang lain, gak heran kalau gadis itu memiliki banyak teman bahkan dari lintas jurusan.

“Kenalin, gue Sadam FEB'14” cowok itu menjulurkan tangannya ke Ara, dan Ara menyambutnya. Enggak enak, bagaimanapun cowok bernama Saddam itu senior nya meski bukan Kakak tingkat di jurusannya.

“Ara PSI'16, A.”

“Ey, jangan panggil Aa. Gue bukan orang Bandung kok tuan putri, cukup panggil Saddam aja, bisa?”

Jujur saja, Ara bergedik geli mendengar cowok itu memanggilnya dengan sebutan tuan putri, benar-benar klise dan nada bicaranya tampak seperti cowok mesum yang sedang merayu.

“Iya,” jawab Ara sekena nya.

let me guess, kamu duduk di club dan pesan cola, kamu pasti cewek nerd yang enggak pernah ke club yah?” tebaknya.

Ara hanya menyeringai, bisa-bisa nya baru pertama kali kenalan dan cowok itu sudah melebelinya dengan cewek nerd? sangat tidak sopan, pikir Ara.

“Gak ada waktu dan gak berminat juga buat ke tempat kaya gini.”

“Oh ya?”

Ara mengangguk, “aku enggak suka keramaian.”

wow you're a nerd another level, sekali-kali kamu harus sering main ke sini. Asik lagi, jangan selalu di zona nyaman kamu terus. Kamu juga harus tau dunia luar kaya apa.”

Cowok itu memberi insyarat pada bartender yang tadi sedang sibuk meracik minuman, cowok bernama Saddam itu memesan 2 minuman untuknya dan untuk Ara.

“Sekali kayanya cukup, tempat kaya gini gak bikin aku nyaman.” ucap Ara.

Cowok bernama Saddam itu terkekeh, kemudian memberikan shot glass untuk Ara yang sudah di isi dengan minuman dan es di dalamnya.

“Cobain deh, ini lebih enak dari pada cola punya kamu.”

Ara diam, dia menelisik minuman itu. Sebenarnya dia penasaran kaya apa sih minuman alkohol itu, sampai-sampai Kevin dan Janu suka banget minum. Ah gak cuma itu, Gita juga pernah minum walau gadis itu gak pernah menawarinya. Karena Gita tahu Ara enggak akan mau.

Imannya sedikit goyah, jadi Ara ambil gelas itu dan ia cicipi isinya sedikit. Rasanya asing, dingin sekaligus panas begitu minuman itu masuk ke mulutnya dan sedikit pahit waktu ia menelannya, tapi tidak lama kemudian ada sensasi manis yang keluar.

“Enak?” tanya Saddam. Dan Ara mengangguk, ternyata rasanya enggak seburuk itu juga.

Saddam tersenyum, ia sempat memesan minum itu lagi untuk Ara sembari mengajak gadis itu terus bicara. Namun lama kelamaan kepala Ara berat juga, pandangannya juga mengabur beberapa kali dan tubuhnya terasa sedikit panas di tempat yang malam itu lumayan dingin. Mengingat pakaian yang Ara pakai cukup terbuka.

Karena untuk pertama kalinya minum, Ara jadi mudah sekali mabuk. Belum lagi Saddam memberikan beberaoa gelas minuman untuknya.

“Kenapa, kepala kamu sakit yah?” tanya Saddam, ia mendekatkan dirinya ke Ara memegang pinggang gadis itu dan berusaha menaru kepala Ara ke bahunya.

“Kepala.. Aku pusing..” Ara memegangi kepalanya, pandangannya semakin mengabur.

Ara benar-benar sudah mabuk, dan kondisinya yang seperti itu Saddam manfaatkan untuk membawa gadis itu ke private room, namun belum sempat Saddam menyentuh Ara tiba-tiba saja ada seseorang yang mendorongnya dan menghajarnya hingga Saddam jatuh.

Dan aksi itu membuat semua orang yang ada di club jadi panik, apalagi saat Saddam bangun dan ingin membalas hajaran cowok itu. Namun sayangnya, bogem mentah itu melesat. Itu Yuno, ia berhasil menghindari tinjuan itu dan malah balik menghajar Saddam hingga darah segar mengalir dari sudut bibir cowok berketurunan Timur Tengah itu.

“BAJINGAN, LO MAU APAIN CEWEK GUE?!” teriak Yuno.

“Cewek lo?” Saddam menunjuk Ara yang nampak meremas rambutnya di meja bartender.

“Iya kenapa? Mau lo apain dia?!” bentak Yuno naik pitam, tadi Yuno sempat susah mencari Ara karna club ini terdiri dari 2 lantai dan cukup luas. Sampai akhirnya Yuno menemukan Ara yang sudah mabuk dan nyaris di gerayangi oleh cowok.

Saddam yang di teriaki seperti itu hanya diam, apalagi kini semua mata tertuju ke arahnya. Bahkan ada senior dan beberapa adik tingkatnya di FEB yang juga melihat ke arahnya.

“Sekali lagi lo sentuh cewek gue, gue matiin lo!” sentak Yuno sebelum ia menghampiri Ara dan membawa gadis itu keluar dari sana.

Beruntung nya Ara enggak meronta sama sekali, ia malah berpegangan pada bahu Yuno dan sesekali memeluknya.

“Mmh? Ini siapa sih? Kok ganteng banget?” Ara tersenyum waktu Yuno membopongnya keluar club, mereka sedang berjalan ke parkiran mobil.

“Ini aku, Ra. Yuno.”

“Pangeran yah?” Ara terkekeh, wajahnya memerah dan ia bergelayut manja di leher Yuno. “Kita mau kemana sih?”

“Kita pulang yah?”

Yuno membuka mobilnya, membawa Ara masuk ke dalam mobilnya meski agak sedikit sulit karena kini gadis itu menggerayangi dada hingga ke perutnya.

“Ra?? Hey? Kamu mau ngapain?” tanya Yuno, ia menahan tangan Ara untuk menaikan kaus yang ia pakai. “dia mau nelanjangin gue apa gimaaan?” pikir Yuno.

“Kak Yuno yah ini?”

“Iya ini aku.”

“Mmhh.. Kak Yuno.. Aku mau kamu.” Ara memukul dada Yuno manja, kemudian menarik tengkuk leher cowok itu dan mencium bibir Yuno.

Sungguh, Yuno sangat merindukan kecupan gadis itu. Namun melihat kondisi Ara yang rawan seperti ini membuat Yuno kalang kabut juga karena kini tangan gadis itu sudah menjalar masuk ke baju yang ia kenakan.

“Ra.. Ra.. Hey, gak gini yah.” Yuno melepaskan ciuman itu, menarik seatbelt dan memasangkannya di tubuh Ara.

“Kak Yuno.. Kenapa gak mau aku cium? Aku mau kamu, Kak.”

Tangan Ara kini berusaha menurunkan dress miliknya, Yuno yang melihat itu panik bukan main, ia tahan tangan Ara untuk membuka dress yang di pakai nya dengan buru-buru.

“Ra..hey mau ngapain?”

“Kak, gerah.. Aku mau kamu Kak.. please. aku mau di cium, mau di sayang-sayang.” Ara merengek seperti seorang anak kecil yang meminta di belikan sesuatu.

Kepala Yuno jadi ikutan pening juga, apalagi saat Ara kembali mencoba menciumnya lagi. Yuno rindu bibir ranum gadis itu, tapi Yuno juga tidak ingin mencium Ara dengan kondisi Ara yang seperti ini. Ia tidak ingin lepas kendali dan berujung penyesalan keesokan paginya.

“Ra.. Jangan gini, kita pulang aja ya..” buru-buru Yuno lepaskan tangan Ara di bahu nya dan ia tutup pintu mobilnya, Yuno agak sedikit berlari dan masuk ke kursi kemudi.

Namun siapa sangka jika Ara justru membuka seatbelt nya dan merangkak duduk di pangkuan Yuno. Gadis itu dengan terburu-buru mengecup bibir Yuno, menggigitnya sekali dan mengecapi rasa bibir Yuno yang sangat ia dambakan.

Tubuh Yuno meremang, biar bagaimana pun juga ia laki-laki normal yang memiliki hormon di tubuhnya, apalagi saat Ara mengelus tengkuk lehernya dan kemudian turun mengusap dada bidangnya itu. Rasanya sebentar lagi pertahanan Yuno akan runtuh.

“mmhh..” erang Ara, saat dirasa Yuno membalas ciuman nya. Apalagi saat tangan cowok itu berada di pinggangnya, dan sedikit mengusapnya.

Kesadaran Yuno akhirnya kembali penuh saat ponsel yang ia taruh di dasboard mobilnya berbunyi, buru-buru ia lepaskan ciuman Ara dan membenarkan posisi duduk Ara kembali seperti semula.

“Kak... Kenapa di lepas..” rengeknya.

“Ra.. Jangan gini, ini salah banget. Aku gak mau kaya gini.”

“Aku maunya kamu!! Cuma kamu yah kamu!! Kamu tuh emang udah enggak sayang sama aku ya?” demi alkohol yang mendominasinya saat ini, Ara bisa merasakan adanya penolakan yang Yuno berikan untuknya. Ada cubitan halus yang membuat dada nya sedikit ngilu.

“Aku sayang sama kamu, Ra. Enggak ada yang berubah. Aku nolak kamu kaya gini karena aku sayang.” kedua mata mereka bertemu, mata Yuno juga berlinang menahan sedih.

Ia sangat merindukan Ara, sungguh, dan ia menyesali keterlambatannya menemukan Ara di dalam sana sampai Ara harus mabuk dalam kondisi seperti ini. Yuno bahkan enggak bisa bayangin apa yang akan terjadi selanjutnya jika ia tidak datang.

“Kita pulang yah, duduk yang benar yah. Nanti kita ke mini market beli minuman pereda pengar buat kamu.” ucapan Yuno kembali melembut. Dan Ara mengangguk, rasanya kesadarannya sedikit terkumpul.

“Kak Yuno?” panggil Ara.

“Ya?”

“Kamu masih sayang aku ya?”

Yuno melihat ke arah gadis itu dan mengangguk. “Selalu.”

“Jangan tinggalin aku lagi, aku mau ikut kamu. Kemana aja, kamu kalo ee juga aku bakalan mau ikut.” Ara memberikan dua tanganya di depan Yuno, tersenyum manis hingga kedua pipinya itu merona.

“Ini apa?” tanya Yuno bingung.

“Borgol aja di tangan kamu biar kita sama-sama terus.”

Yuno hanya terkekeh, namun tidak bisa ia bohongi jika buncahan di perutnya itu masih ada. Kupingnya memerah karena Yuno malu setengah mati mendengar ucapan dari gadisnya yang sedang mabuk itu.

Hari ini Ara udah kembali ke kampus kaya biasanya, dia juga udah balik sama kegiatannya dan program kerjanya di HIMA. Dia enggak sama Julian hari ini, Julian ada rapat kerja sendiri terpisah sama divisi nya. Ara hari ini cuma berdua sama Sharen.

Selesai dengan rapat kerja nya, kedua gadis itu enggak langsung pulang. Sharen minta di anterin ke mall dulu buat nyari lip product sama beberapa potong baju untuknya kuliah, Ara sih cuma ngikut aja. Karena kosan juga masih sepi.

Gita belum kembali ke Bandung, Kevin juga biasanya pulang agak sedikit malam. Janu, Chaka dan Ersa kadang lebih malam lagi. Makanya dari pada dia cuma gabut di kosan, akhirnya dia ngikut kemana Sharen pergi. Yah walau sebenarnya, mood nya cuma kepengen rebahan aja di kamar.

“Mending shade 02 apa 03 ini, Ra?” Sharen ngasih dua pilihan warna foundation yang menurutnya cocok di skin tone nya, Ara dari tadi melamun sembari melihat beberapa brush yang di gantung di sana. “Ihhh, Ra. Kok ngalamun sih?”

Sharen yang nyolek bahu Ara itu berhasil membuyarkan lamunan Ara, gadis itu sedikit mengerjap. “Kenapa, Ren? sorry gue enggak nyimak tadi.”

“Ih, gue tuh nanya bagusan 02 atau 03? Pilihin,” rajuk Sharen.

Ara ngambil botol foundation di tangan Sharen dan ngamatin kedua warna foundation yang ada di tangannya, menurutnya warna nya enggak jauh beda cuma setingkat lebih cerah saja. Ngomong-ngomong Ara juga enggak begitu pandai sama make up kaya gini.

Dia juga belum pernah pakai foundation karna menurutnya formula nya terlalu berat, Ara lebih suka pakai BB cream atau cushion aja. Itu pun tipis-tipis, dia enggak mau di nyinyirin senior nya di kampus karna make nya terlalu bold.

“Yang 02 aja, Ren.”

“Oke!”

Setelah membayar make up dan 2 jam mengelilingi mall untuk membeli baju, Ara akhirnya mengajak Sharen untuk makan dulu. Perutnya agak lapar, jadilah mereka memilih restaurant ramen yang malam itu enggak begitu ramai.

Sharen memilih tempat di pojok, karena tadi Ara bilang mau cerita sama Sharen jadi mereka milih tempat yang gak banyak di lalui orang. Begitu makanannya datang keduanya langsung melahap ramen itu hingga separuhnya tandas, Sharen juga sempat menjajal lip product yang dia beli barusan.

“Eh, lo mau cerita apaan? Malah asik makan lagi,” tanya Sharen mengingatkan.

“Oh iya, sampe lupa gue.” Ara menyingkirkan mangkuk miliknya dulu ke meja sebelah yang kosong, supaya meja mereka sedikit lega. “Gue mau cerita soal mantan gue, Ren.”

“Mantan lo?” pekik nya. “Yang calon dokter itu bukan sih?”

Ara mengangguk pelan, “dia pulang, Ren.”

“Hah??!” pekik Sharen, suara gadis itu agak sedikit kencang hingga beberapa orang menoleh ke arah mereka.

“Ren..” Ara memperingati, malu di lihati orang seperti tadi.

sorry-sorry gue kan kaget, Ra.” Sharen menunduk ke beberapa orang di sana dan tersenyum kikuk tidak enak. “Terus-terus.”

“Gue kaget aja sih, dia emang janjinya mau pulang.”

“Terus lo langsung gamon?”

“Gamon?” Ara terkekeh, dari awal saja dia tidak pernah berniat untuk melupakan Yuno. “Gue bahkan gak pernah berusaha buat lupain dia, Ren.”

Sharen menunduk, dia jadi teringat rencana Julian yang mau jujur soal perasaanya ke Ara. Beberapa hari yang lalu Julian, Jonas dan Sharen sempat bertemu. Julian sempat jujur soal perasaanya ke Ara pada Sharen dan Jonas, dan keduanya memberi saran untuk Julian agar cepat memberi tahu soal perasaanya pada Ara.

Bahkan Julian sudah menyiapkan rencana dimana dia akan menyatakan perasaanya pada Ara lalu sekarang, Ara bilang kalau mantan pacarnya kembali. Bahkan Ara sendiri bilang dia enggak pernah berniat buat melupakan cowok itu. Lalu bagaimana dengan Julian nanti? Atau justru Julian sudah tahu soal ini, mengingat Ara dan Julian tinggal di rumah yang sama dan mereka sangat dekat.

“Lo cinta banget sama dia yah, Ra. Padahal lo tau kalau dia selingkuh?” tanya Sharen hati-hati.

“Gue gak tau dia selingkuh beneran atau gue nya aja salah paham, Ren. Ijul pernah bilang ke gue, kalo itu bisa jadi asumsi gue aja. Toh selama ini dia enggak pernah ngejelasin apa-apa.”

Julian tolol..” hardik Sharen dalam hati, Sharen cuma gak habis pikir bisa-bisa nya Julian ngajak Ara buat tetap berpikir positif, harusnya dia menjadikan ini kesempatan buat terus mendekati Ara kan?

“Yah tapi tetep aja, Ra. Dia aja udah sering ngilang-ngilang dan tiba-tiba jalan sama cewek yang katanya,” Sharen memberi isyarat tanda kutip pada kedua jari telunjuk dan tengah nya. “Temennya itu, lagi pula yah. Menurut gue cewek sama cowok tuh enggak bisa cuma temenan aja, pure temenan tuh enggak ada, pasti suatu saat salah satunya ada yang baper deh.”

“Ih sok tau lo ah, buktinya gue sama Julian baik-baik aja. Terus gue sama temen-teman kosan gue yang cowok juga biasa aja tuh.” Ara menepis tangannya, dia enggak percaya sama teori cowok dan cewek enggak akan pernah bisa berteman tanpa melibatkan perasaan.

“Siapa bilang? Lo yakin Ijul cuma anggap lo temen?”

“Yakin, gue udah pernah bilang ke dia kalo dia sampe naksir gue. Gue mau musuhin dia selamannya.”

“Serius lo ngomong kaya gitu ke dia?” pekik Sharen lagi, kali ini lebih heboh. Untung saja orang di sekitar meja mereka berangsur-angsur keluar dari restoran karena sudah selesai makan.

“Iya serius, kenapa sih emang?” Ara menaikan sebelah alisnya.

“Ra, lo gak bisa liat apa kalo Ijul itu gerak geriknya suka sama lo. Kan gue udah pernah bilang kaya gini.”

“Apa sih, Ren. Orang biasa aja ah, Ijul itu baik ke semua orang. Sama temen kosan gue yang cewek juga dia baik kok.”

“Ra, lo kayanya beneran gak peka deh. Kalo lo perhatiin lagi yah, semua yang Ijul lakuin itu bukan semata-mata dia anggap lo cuma teman dekatnya aja, dia itu lagi nunjukin perasaan suka sama lo, Ra. Lo gak bisa lihat matanya apa kalo dia lagi natap lo?”

Ucapan Sharen itu membuat Ara menunduk, Sharen sudah sering mengatakan ini dan Ara tetap denial jika semua perlakuan Julian padannya memang di landasi perasaan suka. Ara cuma tidak ingin kehilangan Julian sebagai temannya jika ada perasaan di antara mereka, dan lagi. Perasaanya dengan Yuno belum selesai.

Ia masih menganggap dirinya dan Yuno belum selesai, masih ada hal mengganjal yang ingin sekali Ara selesaikan dengan cowok itu.


Malamnya karena tidak kunjung bisa tidur, Julian akhirnya keluar dari kamarnya. Berjalan naik ke rooftop kosan dan siapa sangka kalau di sana ada Januar, Chaka dan Kevin yang sedang ngerokok dan minum di sana. Kevin juga membawa Gitar miliknya sembari sesekali ia hisap rokok yang di selipkan di sela jarinya.

“Wehhhh sini lo, Jul. Gabung. Tadi di ajakin gak mau,” panggil Januar, cowok itu udah agak teler.

“Lo pada maksiat disini, gue pikir di De Javu.” Julian duduk di antara Kevin dan Chaka, mengambil segelas wine milik Chaka di sana dan menenggaknya.

Kening Julian mengerenyit merasakan sensasi panas, pahit dan juga sedikit manis yang mendominasi lidahnya. Rasanya asing, namun lama kelamaan membuat Julian terbiasa dengan sensasi nya.

“Nyebat gak lo?” Chaka membuka sebungkus rokok milik Janu pada Julian.

“Kagak, ini aja udah.”

“Kenapa lo, Jul? Kusut amat tuh muka?” Kevin melirik Julian sebentar, setelahnya dia kembali memetik gitarnya lagi dan menyanyikan sebuah lagu yang Julian sendiri gak tau itu lagu milik siapa, ah. Mungkin Kevin hanya asal memainkan gitarnya saja.

“Lumayan, ada proker di HIMA. Ribet lah pokoknya.” sebenarnya bukan itu, Julian cuma kepikiran soal Ara dan kembalinya Yuno. Ya meski Julian tahu Yuno hanya kembali sebentar saja.

“Ah masa? Bukan karena Ara?” Ucap Janu asal-asalan, wajahnya sudah memerah namun cowok itu tertawa lepas saat memergoki Julian yang membulatkan matanya kaget.

“Apaan sih?” sangkal Julian.

“Santai aja kali, Jul. Anak-anak udah pada tau kalo lo naksir Ara,” Chaka membuang asap rokoknya ke udara, kemudian menyesap wine miliknya lagi.

Soal Julian ini memang satu kosan sudah tahu meski Julian sendiri enggak pernah cerita, yah siapa sih yang enggak tahu kalau gerak gerik Julian kelihatan banget, kayanya cuma Ara aja yang enggak sadar kalau Julian suka sama dia.

“Kelihatan banget yah?” Julian meringis.

“Yang gak sadar keknya cuma Ara doang, Jul.” imbuh Kevin, ia taruh gitar itu dan ia sesap wine miliknya lagi.

“Tapi kayanya gue udah kalah duluan sama masa lalunya,” Julian menunduk, sekarang ia bingung pada pilihannya untuk tetap maju mendekati Ara atau memilih melupakan perasaanya pada gadis itu.

“Perjuangin aja dulu, Bang Yuno juga belum gerak lagi kan?” menurut Chaka, selagi Ara sama Yuno belum balikan. Julian masih punya kesempatan untuk mendekati Ara, kalau menurutnya yang penting usaha saja dulu bagaimana pun hasilnya.

“Tapi yah, Jul. Kalo kata gue, kalo lo tetap mau maju kudu tau konsekuensi nya deh kalo nanti mereka ternyata balikan. Lo harus siap, apalagi kalo Ara nolak. Asal jangan jadi asing aja,” Kata Kevin.

“Lo sama Gita kalo putus kira-kira asing gak?” tanya Januar pada Kevin.

“Bangsat kok lu jadi ngomongin gue? Kan kita lagi bahas Ijul sama Ara.”

“Jawab aje dulu.”

“Nanti kalau udah putus baru gue jawab.” Kevin berhenti sebentar untuk menyesap rokok nya, kemudian ia hembuskan asapnya tepat di depan wajah Janu. “Itu pun kalo putus,” lanjutnya dengan seringain jahilnya.

Janu tidak menimpali lagi ucapan itu, ia justru menuang kembali wine ke gelas miliknya dan menenggaknya dalam sekali tenggakkan.

“Mungkin gue mau tetap coba maju, kalo pun Ara nolak gue. Gue gak masalah, asal dia bahagia sama pilihan dia.”

Chaka yang mendengar itu tertawa, namun ia tahan. “Klise banget lu Jul.. Jul.”

Paginya Julian bangun dengan kepala yang terasa berat dan rasa pengar akibat wine yang ia minum semalam, ia mengerjapkan matanya beberapa kali sebelum akhirnya beranjak dari ranjangnya dan berjalan keluar dari kamarnya.

Di meja makan ada Janu dan Echa yang sedang sarapan, ada Kevin juga yang sedang main HP di sana sementara matanya kini tertuju ke arah Chaka yang ada di pinggir kolam. Cowok itu berjongkok sembari menunjuk-nunjuk sisi kolam pada seseorang yang berada di sana, entah itu siapa mata Julian tidak melihatnya terlalu jelas.

“Chaka ngapain?” tanya Julian pada Kevin, cowok itu menuang air putih ke gelas miliknya dan menenggaknya.

“Bantuin Ara nyari kalungnya yang hilang di kolam.”

“Kalung?”

Kevin mengangguk, setelah mendengar itu Julian langsung berjalan ke arah kolam renang dan benar saja Ara sedang menyelam di sana. Tidak lama kemudian, gadis itu langsung muncul ke permukaan dengan wajah panik dan hidung yang memerah akibat kemasukan air.

“Ra, lo nyari kalung?” tanya Julian.

“Jul, lo liat? Kalung gue ilang, yang liontin nya angsa itu.”

Julian menggeleng, “gue gak liat, lo naik aja. Biar gue yang cari.”

“Tapi Jul—”

“Naik, Ra. Hidung lo udah merah banget.”

Ara akhirnya mengangguk, ia di bantu Chaka naik ke atas dan membiarkan Julian masuk ke dalam air. Mencari kalung miliknya ke setiap sudut kolam renang, namun tidak Julian dapati kalung itu. Di pinggir kolam, Ara nampak panik sekaligus menggigil meski Chaka sudah menyelimutinya dengan handuk. Ia takut kalung itu hilang, ternyata berenang di malam hari bukanlah ide yang bagus. Ara menyesal.

“Jul, ada gak?” tanyanya begitu Julian muncul ke permukaan.

“Gak ada, nanti gue beliin yang baru aja yah. Kaya gimana sih?”

Ara menggeleng, matanya yang sudah memerah akibat kelamaan menyelam itu akhirnya mengeluarkan bulir air mata. Ini bukan soal kalung itu, ini soal siapa yang memberi kalung itu sebenarnya. Ara bisa membelinya lagi jika ia mau, tapi itu artinya. Makna nya tidak akan sama lagi kan.

“Kalung kamu, Ra.”

Suara bariton itu tiba-tiba saja menginterupsi Ara, Chaka dan juga Julian di sana. Ketiganya menoleh ke arah sang pemilik suara, itu ternyata Yuno. Dengan hoodie merah yang Ara juga miliki, berdiri sembari memegang kalung yang sedari tadi Ara cari.

“Kak..” Ara buru-buru menghampiri cowok itu dan meraih kalung miliknya. “Kamu nemu ini dimana?”

“Di pinggir kolam subuh tadi.”

Ara mengusap air matanya, dia enggak tahu kalau Yuno ada di kosan. Sebenarnya subuh tadi Yuno dan Gita tiba di kosan, dan yang melihatnya datang hanya Januar dan Kevin.

Yuno juga memutuskan untuk menginap di kamar Kevin dulu sampai gudang yang menjadi kamarnya kelak selama di Bandung siap di pakai, siang nanti ada tukang yang akan mengubah gudang itu menjadi kamar siap pakai.

“Ma..kasih yah, Kak.”

Melihat itu, Julian yang masih berada di kolam mengepalkan tanganya kuat. Rasa dingin dari air kolam dan pengar di kepalanya sudah hilang di gantikan rasa sakit yang kini mendominasi dada nya.

Setelah 15 hari Gita di rawat di rumah sakit, akhirnya Gita di perbolehkan untuk pulang ke rumah. Dokter yang menangani Gita bilang kalau Gita enggak perlu pengawasan lagi karena kondisinya sudah jauh lebih stabil, sayangnya ada kenyataan pahit lagi yang harus Gita terima.

Dia dan Mama nya enggak bisa pulang ke rumah yang dulu mereka tempati, keluarga Artedja menyita seluruh aset atas nama Papa nya. Dan itu membuat Gita dan Mama nya terpaksa harus tinggal sementara di rumah Yuno, jadi pagi ini Yuno dan Mama nya membantu Gita untuk memindahkan beberapa barang milik Gita ke kamar Gita yang ada di rumah Yuno.

Gita juga belum pulang ke Bandung, kemungkinan lusa dia akan kembali ke sana. Tentunya bersama Yuno, Yuno sudah libur kuliah lebih dulu. Dan dia memutuskan untuk berlibur di Bandung sekalian menjaga Gita juga disana. Yuno mau tahu bagaimana kehidupan Adiknya itu selama di Bandung.

“Si Kevin belum ke sini juga?” Yuno ikut bergabung duduk di ruang tamu bersama Januar dan Chaka yang baru saja tiba di rumahnya.

Gita hanya menggeleng, “libur gini dia ada acara keluarga.”

“Dia gak ngontak elo sama sekali, Nyil?” tanya Chaka sembari mengunyah kastangel yang dari tadi ada di pangkuannya.

“Masih kok, lewat Mama. HP gue kan masih di pegang Mama.” sejak masuk rumah sakit sampai sekarang, Gita masih belum di berikan HP nya. Makanya Kevin hanya bisa mengontaknya melalui Mama nya. “Tapi gue ngerasa ada yang ngeganjel, kenapa yah?”

Yuno menaikan sebelah alisnya, emang aneh menurutnya. Selama Gita berada di rumah sakit, Kevin hanya menjenguknya sekali. Dan setelahnya cowok itu enggak pernah kelihatan jenguk Gita lagi, malahan lebih banyak Arial, Janu dan Chaka yang bolak balik ke rumah sakit.

Ah, soal Arial. Jika biasanya Yuno dan Arial tampak akrab saat bertemu dan banyak membicarakan hal-hal apa saja, lain hal nya saat ini. Arial hanya mengajaknya bicara seperlu nya saja, itu pun dengan nada bicara yang dingin dan tatapan mata sinis.

Yuno merasa Arial berubah, mungkin sebagai Kakak sepupu dari Ara. Ada sisi Arial yang tidak terima jika nyatanya Yuno memang sudah menyakiti Adik sepupunya itu. Jadi, Yuno bisa maklumi perubahan sikap Arial padanya.

“Ganjel kenapa?” tanya Yuno.

“Ya gitu, gak tau deh.” Gita menggedikan bahu nya, bingung harus menjelaskannya bagaimana atau ini hanya perasaanya saja.

“Tapi kalo kata gue lo sama Kevin tuh gak cocok pacaran tau, Nyil,” samber Janu tiba-tiba.

“Kata gue juga,” balas Chaka. Yuno yang melihat itu hanya terkekeh dan menggeleng saja, dua teman Adiknya itu seperti pakar pasangan saja gayanya.

“Kalian ini emang tipe sohib spek monyet banget tau gak? Bukanya supportif kek sama temen sendiri,” hardik Gita pada Chaka dan Janu.

“Dih, emang iya. Yang selalu ada buat lo tuh malahan Bang Ril. Waktu lo di pukulin sama anak ILPOL siapa yang nolongin? Bang Ril kan, yang nungguin di rumah sakit juga Bang Ril.”

Mendengar itu Yuno mengerutkan keningnya, benarkah? Arial yang lebih banyak ada untuk Gita di banding Kevin? Karna setahu Yuno selama di Jakarta dulu, Kevin lebih banyak menemani Gita. Termasuk di masa-masa sulit Adiknya itu, lalu kenapa saat ini Kevin bahkan enggak ada di saat Gita sangat membutuhkan cowok itu?

“Serius?” Yuno menegapkan tubuhnya, tadinya dia bersandar di sofa.

“Janu bajingan...” Gita berbisik, ia memejamkan matanya kesal. Kalau udah enggak ada Yuno ia yakin Janu pasti sudah di hajarnya.

“Serius, Bang.” Janu mengangguk. “Makanya gue lebih setuju lo sama Bang Ril.”

“Gue juga!” imbuh Chaka ikut-ikutan.

“Eh jangan gitu nanti kalo dia baper beneran gimana?” Yuno terkekeh dan menendang kecil kaki Adik sepupunya itu, tenang aja enggak kencang kok Yuno masih sayang Gita.

“Dih, apaan sih! Mending lo tuh Kak cari pacar lagi sana udah move on belum?” Gita mengalihkan pembicaraan, agak sedikit salah tingkah dan bingung harus bersikap bagaimana saat kedua temannya sudah mulai menyinggung Arial.

“Lah? Bang Yuno sama Ara putus?” pekik Chaka kaget. “Seriusan?”

“Yeeeee kemana aja lo?” Janu menoyor kepala Chaka gemas. “Udah ada sebulan yang lalu kali mereka putusnya.”

“Dihhh, kok bisa?” Chaka menelan kastangel yang tadi dia kunyah dengan susah payah. “Maksudnya, kok bisa gue gak tau?”

“Yah lo sibuk gak karuan sih, lo balik dari kampus aja selalu malem. Terus sekalinya di kosan juga sibuk sama endorse lo itu.” karena jumlah followers Chaka yang melesat dan beberapa kali cowok itu bikin konten OOTD, ada beberapa brand fashion yang mulai menghubungi Chaka dan mengirimkan barang untuk Chaka promosikan di akun miliknya, gak cuma dari brand fashion bahkan Chaka juga di endorse parfum dan beberapa merk skincare.

“Lo jadi selebgram, Ka?” Yuno terkekeh, enggak nyangka kalau Chaka dapet endorse.

“Yoi, Bang. Lumayan buat nambah jajan, sisa nya mau gue tabung biar jadi crazy rich Chaka.”

“Lu mah kebagian crazy nya doang,” kata Janu sembari terkekeh pelan.

“Eh tapi seriusan Bang lo beneran putus sama Ara? Jangan-jangan yang waktu itu gue liat Ara lagi nangis di balkon lagi.” Chaka masih ingat banget Ara nangis di balkon kamar Julian dan Julian yang memeluknya. Dia mulai mikir apa mungkin hari itu Ara dan Yuno sepakat mengakhiri hubungannya? Pikir Chaka.

Yuno mengangguk, “dia pernah nangis?”

“Iya pernah waktu itu di balkon kamar—mmmpphhh.” belum sempat Chaka melanjutkan ucapannya Janu malah membekap mulut cowok itu dengan kedua tangannya meski Chaka terus meronta.

“Di balkon lantai 2, Bang.” ralat Janu, ia akhirnya melepaskan tangannya itu dari mulut Chaka karena cowok itu malah menjilat tangannya.

“Bajingan lu, asin banget tangan lu monyet!!” Pekik Chaka.

“Lu juga ngapain jilat tangan gue!”

“Berisik lu berdua, mendingan bantuin gue nih bikin portofolio buat Milkcocoa,” imbuh Gita menghentikan perdebatan Janu dan Chaka.

Sementara Yuno terdiam di kursinya, dia jadi mikirin gimana Ara nangis waktu itu meski Yuno sendiri gak tau hari yang Chaka maksud itu apa benar harinya dan Ara putus atau bukan. Pasalnya, Yuno ingat sekali keduanya sepakat mengakhiri hubungan saat Ara berada di Bogor. Lalu kenapa Chaka bilang dia pernah melihatnya menangis di balkon?


“Jadi lo bakalan nemenin Gita ke Bandung? Yakin kuat lo, No?” tanya Jo.

Siang itu Yuno sempat bertemu dengan Jo di cafe cowok itu, rencanannya sebelum ke Bandung dia mau ketemu sama teman-temannya dulu. Tio yang mengajak mereka bertemu untuk tanding futsal, rasanya sudah lama sekali Yuno enggak bermain futsal dengan mereka.

“Mau gimana lagi, gue juga ngerasa belum selesai, Bang.” Yuno melamun, melihat genangan air yang berada di bawah gelas berisi ice americano yang ia pesan barusan.

“Belum selesai?”

Yuno mengangguk, “masih banyak yang ngeganjel. Kaya gue belum nanya lebih jauh kenapa dia bisa nuduh gue selingkuh sama Ann, sama soal jepit rambut yang dia maksud.”

“Tapi lo gak selingkuh kan, No?” Jo memajukan kursinya, menelisik wajah kawan lamannya itu. Meski Jo yakin Yuno bukanlah tipe laki-laki seperti itu, tapi tidak ada salahnya dia bertanya lagi kan. Siapa tahu Jerman banyak mengubah Aryuno yang Jo kenal.

“Lo kenal gue, Bang. Buat deket sama cewek aja gue susah, Ara tuh cewek pertama gue.”

Jo mengangguk, agak lega mendengarnya. Yuno enggak berubah ternyata, masih menjadi Aryuno yang ia kenal. “Lo masih sayang tapi sama dia? Kenapa waktu itu lo mau-mau aja putus pas dia minta?”

Yuno menghela nafasnya pelan, katakan saat itu ia juga gegabah dalam mengambil keputusan. Namun, ada kalanya Yuno berpikir jika itu adalah keputusan yang tepat. Karena Ara merasa selalu tersakiti menjadi pihak yang selalu menunggu, dan Yuno enggak mau terus menerus menyakiti gadis itu tanpa ia sadari.

Jujur saja, jarak dan rentang waktu 5 sampai 6 jam membuat Yuno kalang kabut membagi waktu antara kuliah, menjadi asisten dosen, mengerjakan tugas dan waktunya untuk Ara. Belum lagi beberapa kali ia jatuh sakit.

“Gue pikir dengan udahan, gue gak akan bikin dia sakit lagi Bang. Gue gegabah jujur, waktu itu kondisi gue juga enggak stabil karena kepergian Ann.”

Jo menghela nafasnya pelan, dari cerita Yuno tentang Ara dan Ann sedikit banyaknya Jo bisa mengambil garis besarnya. “Lo ngerasa bersalah udah nolak Ann dan gak tau kalo hari itu jadi hari terakhir lo lihat dia?” tebak Jo.

Yuno mengangguk.

“Gini yah, No. Menurut gue gak ada salahnya lo nolak Ann, lo udah ada cewek dan itu bukan kesalahan lo juga. Lo gak perlu ngerasa bersalah, toh gak ada yang tahu kalo hari itu Ann juga bakalan kecelakaan.”

Yuno hanya diam, ucapan Jo benar. Tindakannya tidak ada yang salah, toh tidak ada yang tahu jika hari itu Ann akan kecelakaan. Ia juga yakin, Ann tidak ingin melihatnya terus merasa bersalah atas kesalahan yang tidak pernah Yuno lakukan.

“Kalo lo masih sayang sama Ara, kejar dia lagi, No.”

“Masalahnya ada cowok yang lagi deket sama dia, Bang. Gue juga takut kalo gue balik gue bakalan nyakitin dia lagi karena terus-terusan bikin dia nunggu.”

“Yaudah, terus lo maunya gimana?”

Yuno hanya menggeleng pelan, masih bingung maunya apa. Yuno hanya berencana untuk meluruskan kesalahpahaman Ara padannya, ada banyak hal yang ingin Yuno bicarakan pada Ara.

Tidak lama kemudian perhatian Yuno terintrupsi, ketika seorang gadis di ujung sana memanggil Jo. Wajahnya enggak asing, seperti Yuno pernah melihat gadis itu tapi ia lupa dimana.

“Siapa Bang?” tanya Yuno.

“Jenara,” Jo terkekeh, tadi Jenara memanggilnya untuk memberikan cake. untuk Yuno.

“Jenara Kim? Seriusan?” pekik Yuno kaget, ia melihat kembali wajah gadis yang berada di belakang showcase itu. Jenara sedang menyusun beberapa cake disana.

“Iya, liatinnya biasa aja kali, No.”

“Lo pacaran sama dia?”

Jo mengangguk malu-malu, dan itu membuat kedua mata Yuno membelalak kaget. “Kok selera nya Jenara jadi jatoh gini sih?”

“Sialan lu,” Jo terkekeh, kemudian menyenggol bahu Yuno. Menginsyarakatkan pada cowok itu untuk mencicipi cake nya. “Cobain nih, varian baru rasa pistacio kesukaan lo kan?”

Dan di sinilah sepasang anak manusia itu sekarang, duduk di kafetaria rumah sakit dengan keadaan canggung setengah mati itu. Sudah terhitung 5 menit keduanya di sana, namun tidak ada satu pun dari keduanya yang berani memulai obrolan lebih dahulu.

Yuno yang sibuk menelisik gadis yang tengah duduk di sebelahnya itu, bingung harus memulai pembicaraan dari mana. Apalagi saat ini Ara enggan memalingkan wajahnya untuk menghadap Yuno, Seperti ia adalah sesuatu yang membuat gadis itu alergi.

Ara justru lebih tertarik melihat air mancur yang berada di tengah taman, kebetulan kafetaria nya tidak jauh dari taman rumah sakit atau sesekali melihat pasien-pasien yang sedang duduk di lorong-lorong dari pada harus melihat ke arah Yuno apalagi memulai pembicaraan dengannya.

Yuno menarik nafasnya berat, ia tahu ini bukan saat yang tepat untuk membahas hubungannya dengan Ara. Keluarganya kini masih dalam suasana berkabung, apalagi melihat kondisi Gita yang sekarang ini. Yuno mengajak Ara untuk duduk di taman selain ia menunggu hingga Arial keluar dari kamar rawat Gita, Yuno juga hanya ingin mengetahui kabar dari Ara, Itu saja sebenarnya.

“Ra?” panggil Yuno pada akhirnya.

Ara? nama nya sendiri yang sudah lama tidak Ara dengar dari bibir Yuno. semenjak mereka berpacaran, Yuno jarang sekali memanggil Ara dengan namanya, Yuno lebih sering memanggilnya dengan sebutan 'sayang' makanya mendengar Yuno menyebut namanya sekarang, benar-benar terasa asing di telinga Ara.

Gadis yang di panggil itu menoleh, melihat ke arah Yuno dengan pandangan tidak nyaman. Yuno tahu itu, meski hanya sekilas mata mereka bertemu karena pada detik berikutnya Ara memalingkan pandangannya ke arah lain.

“Apa kabar?” lanjut Yuno.

Ara mengangguk, “baik, Kak Yuno?”

“Um, baik.”

Pada detik berikutnya tidak ada obrolan lagi di antara mereka, Ara sibuk menunduk sementara Yuno memaksa otaknya untuk mencari topik obrolan lagi. Kabar sudah ia dapati meski Yuno tidak begitu yakin dengan jawaban Ara, lalu apa lagi yang ingin Yuno ketahui dari gadis itu?

“Ra?” panggil Julian dari depan pintu masuk kafetaria, panggilan itu sontak membuat atensi Ara dan Yuno teralihkan. Keduanya kini menoleh ke arah Julian.

“Mau jenguk Gita gak? Mas Ril udah selesai nih.”

Ara hanya mengangguk kecil sebagai jawaban, kemudian ia menoleh ke arah Yuno lagi. Dan disitulah mata mereka kembali bertemu. “Kak, aku jenguk Gita duluan yah,” pamitnya.

“Um,” Yuno mengangguk.

“Duluan, Kak Yuno.”

Ara berdiri, kemudian melangkahkan kakinya meninggalkan Yuno yang masih setia di kursi kafetaria siang itu. Ia menghela nafasnya pelan, meremas tangannya ketika melihat Ara dan Julian keluar bersamaan dari kafetaria ke ruang rawat Gita.

Jujur saja, Yuno merindukan Ara. Tapi buat bicara banyak sama gadis itu juga Yuno enggak bisa, Yuno sadar Ara masih enggak nyaman dengan kehadirannya. Sementara itu, Ara sudah masuk ke ruangan Gita, tadinya dia masuk sama Julian. Tapi seorang suster menegur karena Gita baru boleh di jenguk oleh satu saja, jadi lah Julian menunggu di luar.

Di dalam sana, Gita enggak banyak bicara. Gadis itu baru bisa di ajak komunikasi tipis-tipis saja, jadi yang Ara lakukan hanya mengupasi Gita buah sembari menceritakan tentang boneka rajut yang Ara bawa untuknya. Dari dua hari yang lalu, Ara ngebut bikin boneka rajut untuk Gita. Ini juga jadi salah satu bentuk permintaan maafnya, sebenarnya Ara bikin 3, untuknya, Gita dan juga Echa.

Namun yang baru berhasil ia rampungkan hanya milik Gita saja, sisa nya masih berbentuk kepala yang belum Ara sambung ke badannya. Mungkin nanti jika ada waktu senggang lagi Ara akan melanjutkannya.

“Ini buat nemenin lo tidur, gue bikinnya agak kecil karna tadinya mau gue jadi gantungan kunci.” Ara menaruh boneka itu di samping Gita.

“Gue baru belajar bikinnya boneka bentuk panda, nanti gue belajar bentuk lain yah. Lo mau gue bikinin bentuk apa, Git?” tanya Ara.

Gita yang di tanya seperti itu hanya diam, dia masih memperhatikan boneka rajut yang Ara bawa. Menyentuhnya dan meraba wajah boneka itu dengan telunjuknya.

“Git?” panggil Ara.

Biarpun Ara pernah kesal dengan Gita, tapi melihat gadis itu tampak rapuh seperti ini membuat hatinya sakit juga. Gita yang selalu dia lihat di kosan dengan tawa dan ucapannya yang kadang ceplas ceplos itu menjadi Gita yang diam dengan pandangan kosong menyedihkan.

Ara gak pernah tahu hidup Gita semengerikan apa sampai-sampai ia harus mengalami hal seperti ini, tapi dari yang Ara tahu. Kepergian Papa nya cukup tragis, bahkan enggak ada yang menyangka kalau ada desas desus jika Papa nya Gita bukan mengalami kecelakaan tunggal namun sengaja bunuh diri, karena ketahuan menggelapkan dana perusahaan. Sampai detik ini pun Mama nya Gita masih mencari tahu kebenarannya.

Gita masih terdiam, memperhatikan boneka yang Ara berikan untuknya. Sampai akhirnya kedua mata gadis itu melihat ke arah Ara yang tengah menangis sesegukkan di depannya.

“Lo kenapa?” tanya Gita dengan suara parau nya. Gita bingung kenapa Ara tiba-tiba menangis, apa karena ia tidak menyahuti ucapannya barusan? Pikir nya.

Ara yang di tanya seperti itu hanya menggeleng pelan dan menghapus air matanya. “Gue kangen aja sama lo, maafin gue yah Git. Kemarin-kemarin gue udah jahat sama lo.”

Gita lagi-lagi hanya diam, namun gadis itu memperhatikan Ara yang sibuk mengusap air matanya sendiri dengan tangan dan lengan bajunya.

“Lo jangan ngerasa sendirian yah, Git. Hidup ini emang mengerikan banget, mungkin saat ini lebih mengerikan lagi buat lo. Tapi lo enggak sendirian Git, lo masih punya gue, Janu, Kevin, Mas Iyal, Julian, Echa sama Chaka. Kita temen lo, Git.”

Gita bingung menanggapinya seperti apa, jadi dia hanya diam sembari terus memperhatikan Ara. Gita bisa merasakan ketulusan dari permintaan maaf Ara, dia juga sudah melupakan kejadian itu.

Saat Ara pamit pulang pada Gita, gadis itu hanya mengangguk kecil tanpa mengucapkan apa-apa lagi, namun saat tangan Ara menyentuh gagang pintu dan hendak keluar dari ruang rawatnya, Ara menoleh ke arah Gita saat suara parau itu memanggil namanya.

“Ra?”

“Hm?”

“Makasih,” ucap Gita. Setelah mengucapkan itu, dia kembali meringkuk di ranjangnya memeluk boneka pemberian Ara tanpa melihat ke arahnya lagi.


Setelah menjenguk Gita, Ara gak langsung pulang ke Bandung. Kebetulan besok juga hari libur, jadi dia akan menginap di rumahnya dulu. Selama perjalanan pulang ke rumahnya di antar Julian. Ara banyak banget diam, ngomong-ngomong mereka naik angkutan umum karena motor Julian di tinggal di Bandung.

Biarpun begitu, Julian tetap ngotot buat ngantar Ara sampai rumahnya meski itu membuatnya lebih jauh pulang ke rumah. Rumah mereka enggak searah, dan Ara sudah mengatakan pada Julian jika ia tidak masalah pulang sendirian. Tapi tetap saja Julian ingin memastikan Ara pulang dengan selamat. Apalagi saat mereka pulang tadi sempat gerimis.

“Lo kenapa diam aja sih? Sakit gigi?” tanya Julian memecah hening di antara mereka, keduanya sedang berjalan kaki menunju rumah Ara, Bus yang mereka naiki tadi berhenti halte jadi mereka harus masuk lagi ke dalam kompleks perumahan.

“Gak kesambet kan abis ketemu mantan pacar?” ucap Julian asbun.

“Apaan sih,” Ara melirik Julian sinis, kemudian memukul perut cowok itu pelan. “Enggak lah. Cuma agak bingung aja, gue enggak nyangka dia beneran pulang terus ketemu di rumah sakit Itu aja.”

Julian mengangguk, ia sedang mempertimbangkan untuk menanyakan sesuatu pada Ara. Tapi ia takut gadis itu jadi sedih lagi kalau dia tanya-tanya soal perasaanya pada Yuno, jadi pada akhirnya Julian urungkan niat itu.

“Udah sampe, masuk gih.” Julian menunjuk pagar rumah Ara dengan dagu nya.

“Masuk yuk, gue kenalin sama Reno dan Mas Yuda.”

“Udah malam, Ra.”

Ara melihat ke jam tangan yang ia pakai di tangan kirinya, “apaan sih, baru jam 7 juga. Yuk?”

Julian tampak menimang-nimang ajakan itu, namun pada akhirnya ia mengangguk kecil dan mengikuti Ara masuk ke dalam rumahnya. Dari luar rumah itu nampak asri, ada buru-burung juga yang di gantung di dalam sangkar. Burung itu berkicau agak berisik ketika pagar rumahnya di buka.

Di teras rumah nya, Bunda banyak memelihara tanaman hias seperti bunga anggrek, bonsai dan juga kaktus. Benar-benar sangat nyaman meski ukuran rumah itu tidak begitu besar.

assalamualaikum, Bun? Ada Ijul nih, Bun.” panggil Ara.

Wa'alaikumsallam, udah pulang Kak?” Bunda keluar dari rumah, wanita itu tersenyum apalagi saat mendapati Julian mengantar putrinya itu. “Eh, nak Julian. Masuk sini. Sudah makan malam belum?”

Julian menyalami Bunda nya Ara, sudah bertemu dua kali dengan Bunda nya Ara tapi tetap saja Julian masih suka malu-malu.

“Udah, Tan—”

“Belum, Bun. Apaan udah sih lo, makan dulu sini.” sela Ara.

Julian hanya menyengir dan menggaruk tengkuknya malu-malu, ia memang belum makan malam. Tapi kalau makan malam di rumah Ara rasanya sungkan sekali, apalagi saat matanya bertemu dengan laki-laki gondrong yang sedang makan di meja makan itu.

Tatapannya tajam saat melihat Julian, dalam hati Julian menebak-nebak apa itu adalah Mas Yuda, Kakak pertama nya Ara?

“Makan sama-sama yuk, Tante masak semur daging. Enak deh, ada Reno adiknya Ara sama Mas Yuda juga. Kenalan dulu sini.”

Mau enggak mau akhirnya Julian mengangguk, enggak sopan rasanya menolak. Dan Ara yang melihat Julian tersenyum dengan kikuk itu malah tertawa, apalagi saat cowok itu merasa terintimidasi dengan tatapan tajam mata Mas Yuda. Julian enggak tahu aja Mas Yuda kalo udah ngomong ngeselin nya minta ampun, enggak ada lagi deh tuh aura galak kaya yang biasa orang-orang bilang saat pertama kali bertemu Mas Yuda.

Disini Arial sekarang, terpaku berdiri di depan taman rumah sakit sembari melihat punggung kecil yang tampak rapuh dari belakang itu. Arial menghela nafasnya pelan, seperti de javu Arial jadi ingat situasi seperti ini lagi saat ia bertemu dengan Gita di taman rumah sakit waktu itu.

Jauh sebelum Gita pindah ke Bandung, dan saat ini Arial harus di hadapkan pada situasi yang sama. Ah, tidak. Lebih memilukan kali ini karna Gita sama sekali tidak terlihat hidup. Sudah 2 hari sejak kejadian kecelakaan yang menimpa Papa nya itu, bahkan jasad nya sudah di kebumikan.

Gita masih merasa ini mimpi buruk yang kembali menimpa nya lagi, di kursi taman sana. Ada Kevin yang sedang menemani Gita, makanya Arial gak berani menghampiri gadis itu. Namun begitu Kevin menoleh ke arahnya, cowok itu seperti mengatakan sesuatu pada Gita kemudian menghampiri Arial.

“Masih diam aja?” tanya Arial begitu Kevin semakin dekat ke arahnya.

Kevin mengangguk, kedua laki-laki itu memandang punggung gadis rapuh itu dari kejauhan. “Masih, Bang. Semalam kata Suster yang jaga Gita sempat benturin kepalanya ke tembok dan jambak rambutnya. Karna udah gak ada benda yang bisa lukain diri dia lagi.”

Hati Arial mencelos, dia gak pernah tau kalau Gita akan menjadi serapuh itu. Jika disuruh memilih, lebih baik ia mendengar sumpah serapah dari gadis itu dari pada harus melihat Gita terlihat seperti saat ini.

“Gue balik yah, Bang.” ucap Kevin, sudah 3 jam dia di rumah sakit, Kevin pikir Arial ingin berbicara dengan Gita. Anggap Kevin ingin mencoba peruntungan, siapa tahu dengan kehadiran Arial, Gita mau berbicara. Yah, apapun itu. Asal gadis itu bersuara.

“Gita sendiri, Kev?”

“Mama nya lagi ngurus sesuatu sama Mama nya Bang Yuno, nanti ada Mbak Jesica yang datang buat jagain Gita kalo lo mau balik.”

“Mbak Jesica?” Arial mengerutkan keningnya bingung.

“Asisten nya Tante Masayu.” Kevin menepuk pundak Arial, kemudian berlalu dari sana.

Sebelum menghampiri Gita, Kevin sempat masuk ke kamar rawat gadis itu dulu. Mengambil cardigan yang di gantung di dekat ranjang Gita dan membawanya, di luar agak sedikit dingin karena bekas hujan semalam. Dia gak mau Gita kedinginan walau berkali-kali gadis itu pernah bilang kalau ia tahan dengan udara dingin.

Arial melangkah perlahan mendekati Gita, menaruh cardigan itu di pundak gadis yang tengah melamun di depan kolam ikan itu dan duduk di sebelahnya. Gita masih belum menyadari kehadirannya karena gadis itu melamun, walau tatapannya tertuju pada kolam ikan namun pandangannya sangat kosong.

“Git?” sapa Arial, siapa tahu Gita akan menyahut.

Arial meringis, tidak ada sahutan dari bibir Gita. Namun ia akan tetap berbicara, siapa tahu Gita menyimak ucapannya.

“Kaya de javu yah, Git.” ungkapnya.

Rasanya kaya de javu buat Arial, duduk di taman rumah sakit sembari mengobrol seperti ini. Walau saat ini hanya ia yang seperti bergumam sendirian. “Dunia terlalu jahat sama lo yah, Git.”

“Jahat,” lirih Gita, tatapannya tidak berpindah pada kolam ikan namun gadis itu menyahut. “Jahat banget.”

Dalam hati, Arial lega bukan main saat Gita menimpali ucapannya. Tidak apa hanya dua kata pun, itu sudah sebuah kemajuan bukan? Pikir Arial.

“Kak?” Gita menoleh, membuat Arial sedikit bingung karena gadis itu memanggilnya dengan sebutan 'Kak' alih-alih menyebut namanya saja seperti biasa. “Kenapa baru datang?”

“Hah?” Arial menelan salivanya susah payah, bingung harus menanggapi Gita seperti apa.

“Kak Yuno pasti sibuk,” lanjutnya lagi.

jadi dia anggap gue Yuno..” ucap Arial dalam hati.

“Git?”

“Gue takut disini.”

Arial masih dalam kebingungannya, namun ia tetap menimpali ucapan Gita itu. “Kenapa takut?”

“Jangan kemana-mana lagi, jangan pergi lagi.” Gita tiba-tiba memeluk Arial lebih dulu, walau bingung Arial tetap membalas pelukan itu dan mengusap punggung kecilnya.

“Gue enggak kemana-mana kok, gue disini sama lo.” Arial mengusap pucuk kepala Gita, walau mungkin Gita melihat dirinya sebagai Yuno. Tapi setidaknya gadis itu sudah mau memberikan respon. Itu tidak masalah bagi Arial, terserah Gita mau melihatnya sebagai siapa.

“Beneran yah?”

“Um,” Arial mengangguk.

Setelah itu Arial membawa Gita masuk ke dalam kamarnya, Jakarta di guyur hujan lagi pagi ini. Di dalam kamar, Gita hanya meringkuk sembari melihat ke arah jendela yang menunjukan hujan di luar sana serta kilatan petir yang sesekali muncul.

“Git?” panggil Arial lagi, ia tidak ingin Gita melamun. Gita tidak menyahut lagi, hujan di luar sama tampak seperti lebih menarik dari pada Arial menurutnya. “Apa gue udah masuk terlalu jauh ke hidup lo yah, Git?”

Arial hanya bergumam, namun gumam kecilnya tadi mampu membuat Gita menoleh ke arahnya. Kening gadis itu berkerut, namun sedetik kemudian Gita mengubah posisinya menjadi duduk dan menjauh dari Arial.

Seperti Gita kaget karena baru sadar ia mendapati seseorang masuk ke dalam kamarnya, padahal Arial lah yang dari tadi sudah menemaninya.

“Arial?!” pekik Gita.

“Kenapa, Git?” tanya Arial.

“Pergi!”

“Git, tapi gue—”

“KELUAR!” Gita teriak, dia nyaris kehilangan kendalinya lagi.

“Git, tapi.” Arial bingung, dia sudah biasa melihat kelakuan Gita yang menurutnya super random. Tapi enggak dengan sekarang ini.

“KELUAR!”

“Iya tapi kenapa, Git?”

“KALO GUE BILANG KELUAR YAH KELUAR!”

Dari pada Gita semakin parah, Arial bangkit dari kursinya dan hendak keluar untuk memanggil suster. Namun belum sempat ia menggapai gagang pintu, Gita tiba-tiba saja menangis dan memeluk dirinya sendiri di atas ranjang. Membuat langkah Arial tertahan di depan pintu sana.

ia ingin menghampiri Gita, tapi disisi lain Arial juga takut kalau Gita marah padannya lagi. Ia tidak ingin membuat suasana hati Gita kembali buruk hanya karena ia menghampirinya, jadi langkah itu terhenti di depan pintu sana.

“Gue enggak mau lo liat gue kaya gini, Ril.”

Rasanya seperti ada belati yang mencabik-cabik hati Arial untuk kesekian kalinya, alih-alih memanggil suster. Arial kembali mendekat ke arah Gita dengan hati-hati, merengkuh tubuh ringkih itu dan mendekapnya ke pelukannya meski beberapa kali Gita meronta meminta di lepaskan.

“Kalau gitu gue enggak akan kemana-mana.”

“Lepasin gue, Ril!!”

“Gue enggak mau pergi meski lo usir, Git.”

Gita lagi-lagi mencoba melepaskan Arial dari pelukannya meski itu berakhir nihil karena Arial memeluknya se erat mungkin. Seperti jika ia merenggangkan sedikit saja pelukan itu, akan ada sesuatu yang akan menyakiti Gita.

“Ril, lepasin!”

“Enggak, Git. Gue gak mau.”

Gita akhirnya pasrah, ia menangis dalam pelukan Arial meski tangis itu tidak bersuara. Bukan cuma Gita saja yang menangis, Arial bahkan menitihkan air matanya. Ini pertama kalinya ia menangis karena seorang gadis.

Tanpa keduanya sadari, ada Yuno yang baru saja tiba di rumah sakit. Cowok itu baru saja datang langsung dari bandara, bahkan Yuno masih menenteng ransel dan koper berukuran sedang miliknya. Yuno mengurungkan niatnya untuk masuk karena tampaknya Gita baru saja tenang meski dalam rengkuhan Arial.

Yuno gak menyangka kalau Gita akan berakhir seperti ini lagi, menghela nafasnya dengan berat. Yuno akhirnya berbalik, mencoba untuk menunggu Arial hingga selesai berbicara dengan Gita. Ia ingin ke kantin rumah sakit dulu, namun siapa sangka jika baru beberapa langkah ia pergi dari depan kamar rawat Gita, Yuno justru bertemu dengan Ara yang juga ingin menjenguk Gita.

Gadis itu enggak sendiri, dia berdua dengan seorang laki-laki tinggi yang berjalan tepat di sebelahnya. Sama hal nya dengan Yuno, Ara juga berhenti melangkah. Hatinya mencelos begitu melihat sosok yang sangat ia ingin hindari itu meski ia merindukannya.

Tidak ada sapaan di antara keduanya, keduanya hanya saling berdiam dan memandang. Sampai akhirnya, mata Yuno memandang ke arah laki-laki yang berdiri di sebelah Ara. Kedua mata mereka bertemu, jika Yuno memandang Julian dengan pandangan bertanya-tanya. Lain hal nya dengan Julian yang memandang Yuno dengan tatapan menelisik.

Seperti ada tatapan benci yang Julian lontarkan pada Yuno meski raut wajah cowok itu tampak begitu tenang, menurutnya Julian seperti air sungai yang tenang namun sangat dalam dan mematikan.

Pagi ini Ara bangun lebih pagi dari biasanya, bahkan dia bangun sebelum subuh dan langsung buru-buru ke dapur yang ada di lantai 1. Semalam setelah menyelesaikan tugasnya, Ara sibuk nyari resep pancake pisang yang enak di internet. Berbekal keberanian, akhirnya gadis itu langsung membuatnya pagi ini untuk sarapan.

Sembari bersenandung gadis itu mencampur berbagai bahan untuk membuat pancake nya ke wadan, kemudian menghaluskan pisang sembari sesekali ia memeriksa pan yang tadinya sudah ia olesi dengan butter.

Ara tersenyum, ia memang membuat pancake ini awalnya untuk Gita saja. Hingga hari ini Ara masih berusaha untuk merayu Gita agar memaafkannya, ya walau dia sendiri belum secara gamblang minta maaf langsung ke Gita sih. Tapi setidaknya dia mau mencairkan suasana dulu.

Sedang asik dengan adonan pancake nya yang hampir tandas, tiba-tiba aja ada suara derap kaki melangkah dari lantai dua. Ara sempat mengecilkan kompornya dulu untuk melihat siapa yang turun dari lantai dua, namun ternyata tidak ia dapati seseorang di sana.

“Gue gak salah denger kan? Tadi tuh beneran ada yang turun deh,” gumam nya.

Ara mengusap bahu hingga tengkuk nya, bulu kuduknya itu agak sedikit merinding. Namun ia halau pikiran buruk itu dan kembali melanjutkan masakannya pagi ini, hingga adzan subuh berkumandang. Ara masih sibuk berkutat di dapur, ia bukan hanya membuat pancake saja. Tapi Ara juga membuat roti bakar untuk bekal yang akan ia bawa.

“Bikin apaan lo, Ra? Kok pagi banget bangunnya?”

Ara tersentak kaget, pasalnya tidak ada derap kaki sama sekali namun tiba-tiba Echa sudah berdiri di belakangnya. Gadis itu sampai harus mengusap-usap dada nya karena degup jantungnya menggila.

“Cha, sumpah yah. Lo bikin kaget gue tau gak!” hardik Ara.

“Ih padahal gue jalan juga gak mengendap-endap loh.”

“Ck!” Ara berdecak, ia kembali memanggang rotinya lagi yang sebentar lagi selesai itu. “Gue lagi bikin sarapan buat anak-anak, lo dari mana? Kok gue gak denger lo turun dari atas?”

Echa duduk di kursi yang ada di dapur, kemudian mencomot strawberry yang Ara hias di atas pancake itu. Tenang aja, Echa ngambil strawberry di piring miliknya kok. Ara memang sudah membagi pancake itu untuk penghuni kosan dan menaruhnya di piring mereka masing-masing.

“Gue gak dari atas,” jawab Echa enteng di sela-sela kunyahannya.

“Hah? Tidur dimana lo semalem?”

“Di kamar Jan—” kedua mata Echa membulat nyaris saja ia keceplosan kalau semalam ia tidur di kamar Janu, namun buru-buru ia ralat ucapan itu sebelum Ara menyadarinya. “Gue.. Ketiduran di ruang tamu bawah, abis ngerjain tugas terus ketiduran.”

“Hah? Masa sih? Kok gue gak liat?”

“Gue.. Tadi sempet mandi dulu di kamar mandi bawah, nih lo gak liat gue habis keramas?” Echa menunjukan rambut panjangnya itu yang masih terbalut oleh handuk.

Ara yang melihat handuk di kepala Echa itu justru mengerutkan keningnya bingung, handuknya sangat familiar seperti Ara pernah melihat cowok kosan memakai handuk itu tapi siapa?

“Tunggu deh, kaya nya gue kenal sama handuknya.” Ara berusaha mengingat-ingat, kalau tidak salah itu handuk milik Janu kan? Handuk biru itu pernah tidak sengaja terbawa ke keranjang jemuran Julian dan Janu mengambilnya di kamar Julian sambil misuh-misuh minggu lalu.

“Ini handuknya Janu gak sih?” tebak Ara.

Echa mengibaskan tangannya salah tingkah, “ngaco loh, mana ada handuknya Janu. Eh udah ah, kok jadi ngalor ngidul gini sih ngomongnya.”

Ara menghela nafasnya pelan, ia menyelesaikan masakannya kemudian menatanya di meja makan. Echa pun turut mengekori gadis itu sembari ia sarapan pagi lebih dulu.

“Itu buat siapa, Ra?” Echa menunjuk kotak bekal yang Ara taruh di dekat piring miliknya.

“Ohh, ini?” Ara menunjuk kotak bekal yang ada di sebelahnya. “Ini buat Julian, hari ini dia ada raker sama Divisi keuangan di HIMA makanya gue bawain bekal.”

Echa ngerasa gak nyaman dengar ucapan Ara itu, namun sebisa mungkin ia menjaga air wajahnya dan hanya mengangguk sekena nya. “Lo deket banget sama Julian semenjak putus sama Kak Yuno deh.”

Ara berhenti sebentar untuk menuangkan susu ke gelas-gelas teman-temannya itu waktu Echa dengan sengaja menyebutkan nama Yuno. Usahanya untuk setidaknya mengalihkan pikirannya dari Yuno itu seperti sia-sia ketika seseorang kembali mengingatkan nya dengan cowok itu.

“Em..ang iya yah? Perasaan gue deket sama Julian dari dulu deh.”

“Emang Kak Yuno gak cemburu apa? Bahkan lo lebih kelihatan kaya pacaran sama Julian dari pada sama Kak Yuno,” ucap Echa santai.

Ara menarik nafasnya berat, benarkah? Apa selama ini ia terlihat seperti itu? Lalu apa dia harus menjauhi Julian? Tapi kenapa? Julian baik padannya, dan ia hanya menganggap Julian sebagai sahabatnya tanpa ada perasaan lebih.

Echa yang tadinya duduk itu agak sedikit bangun dan membungkuk, melihat wajah Ara yang mendadak mendung karena ia menyebutkan nama Yuno barusan.

“Hati-hati nanti naksir sama Julian,” bisik Echa. “Eh tapi jangan cepet-cepet juga naksirnya, lo juga kan baru putus sama Kak Yuno masa secepat itu sih udah suka sama cowok lain.”

Ara hanya diam, matanya sedikit memanas. Hatinya sakit waktu Echa bicara seperti itu padanya, padahal jauh dari yang Echa ucapkan. Ara justru masih sering merindukan Yuno bahkan di setiap malam sebelum ia tidur. Echa gak tahu bagaimana ia berjuang mengalihkan pikirannya dari Yuno.

Dan dengan entengnya cewek itu bilang seolah Ara adalah gadis yang mudah jatuh cinta bahkan kurang dari sebulan setelah ia putus.

“Apaan sih lo, Cha.” Jawab Ara.

Echa tertawa, ia kembali duduk di kursinya lagi. “Gue bercanda lagi, Ra. Gitu aja baper. Lagian mana mungkin lo naksir Julian gak sih? Tipe lo aja yang kaya Kak Yuno gitu.”

Karena ngerasa enggak nyaman, Ara buru-buru menyelesaikan pekerjaannya dan langsung melesat ke lantai dua masuk ke dalam kamarnya. Kebetulan hari ini dia juga ada kelas pagi, namun bukannya buru-buru bersiap ke kampus. Ara justru menangis dulu di ranjangnya, memeluk boneka pemberian Yuno itu lagi.


Motor yang Julian kendarai itu berhenti di parkiran mahasiswa, ia membiarkan Ara turun lebih dulu dan membukakan helm milik gadis itu. Kaitannya agak sedikit keras, makanya Ara enggak bisa buka sendiri.

Bukan Julian enggak sadar kalau sedari tadi sejak sarapan Ara agak sedikit diam, wajahnya juga tampak murung dengan mata yang agak sedikit memerah. Julian sudah tanya kenapa mata gadis itu memerah, namun Ara hanya menjawab kalau ini akibat kering karena semalam Ara pakai softlens untuk belajar.

“Kenapa sih? Cemberut gitu muka lo,” tanya Julian waktu dia sudah berhasil melepaskan helm di kepala Ara.

“Gapapa, Jul.”

“Lo tuh gak biasanya kaya gitu tau.”

“Emang biasanya gue gimana?” Ara menaikan sebelah alisnya. Dia sadar kok kalau pagi ini dia memang lebih diam, apalagi wajahnya yang cemberut itu enggak bisa Ara sembunyikan. Biasanya kalau pergi ke kampus sama Julian, keduanya suka membicarakan hal-hal random sampai tidak sadar sudah sampai di parkiran kampus.

“Biasanya lo tuh bawel, di jalan ada aja yang lo ceritain.”

Keduanya berjalan menuju ruang kelas mereka di gedung A fakultas Psikologi. Ruang kelasnya ada di lantai 5, kebetulan juga mereka datang 30 menit sebelum kelas akan di mulai.

“Gapapa, lagi capek aja kayanya,” jawab Ara sekena nya.

“Kalau capek, lo gak mungkin bikin sarapan buat anak-anak sekalian.”

Ara mengulum bibirnya sendiri, sejujurnya enggak enak diamin Julian kaya gini. Julian enggak salah, cowok itu selama ini udah baik banget ke Ara. Justru bukannya aneh kalau Ara harus jaga jarak dengan Julian hanya karena ucapan Echa barusan? Pikirnya.

“Lo udah minta maaf ke Gita?” tanya Julian.

Ara memang sempat cerita kalau ia menyesali perbuatannya kemarin yang udah kasar ke Gita. Dan Julian dukung Ara buat minta maaf ke Gita karena Julian juga merasa kalau Ara yang salah, karena sudah memakai kekerasan lebih dulu, menurutnya Ara hanya salah paham. Biarpun suka dan sayang banget ke Ara, Julian enggak pernah menilainya secara objektif hanya karena di landasi perasaan sukanya saja.

Kalau menurutnya salah yah tetap saja salah, dan Julian enggak menyangkal hal itu apalagi harus membela nya.

“Belum, mungkin nanti. Pagi ini gue lagi gak mood.” tanpa Ara sadari ia jadi mengungkapkan perasaanya yang sedang tidak karuan itu, memang susah untuk menyembunyikan banyak hal dari Julian. Sejak di Bandung, Julian lebih sering jadi tempat Ara bercerita ketimbang Echa.

“Tuh, kan. Kenapa sih?” tanya Julian.

Keduanya menunggu lift terbuka, bersamaan dengan banyaknya mahasiswa lain yang juga ingin menuju ke lantai atas. Bahkan Julian juga sedikit menggeser tubuh Ara yang kurus itu menjadi lebih dekat dengannya agar tidak tertabrak mahasiswa lain.

“Nanti aja yah ceritanya, Jul. Pas mau balik aja.”

Julian mengangguk, keduanya pun masuk ke dalam lift yang pagi itu agak sedikit padat. Seperti biasanya, Julian selalu menempatkan Ara di belakangnya dan menggandeng cewek itu. Namun, Julian sedikit kaget ketika pautan tangannya di tangan gadis itu dengan sengaja Ara lepas.

Julian bahkan sampai menoleh ke belakang, namun saat ia menoleh. Ara hanya tertunduk dan mengulum bibirnya sendiri, sampai lift terbuka di lantai tempat kelas mereka berada. Ara tetap bungkam walau gadis itu mengekori Julian.

“Jul, sebentar.” Ara merogoh saku kemeja miliknya, Arial menelponnya. Tumben sekali, ada apa? Pikir Ara. “Hallo, Mas Iyal kenapa?”

dek, Papa nya Gita kecelakaan. Beliau meninggal dunia, sekarang anak-anak kosan mau bareng-bareng ke Jakarta buat nganterin Gita. Kamu gimana?

“APA?!” pekik Ara yang membuat Julian ikut kaget dan penasaran. “Yaudah, kalau gitu aku sama Julian pulang sekarang, Mas.”

Ara memutus panggilan itu dengan wajah paniknya. “Jul kita pulang sekarang yah.”

“Kenapa, Ra? Kelasnya bentar lagi mulai—”

“Papa nya Gita meninggal karena kecelakaan. Anak-anak yang lain mau anter Gita ke Jakarta, ayo Jul kita pulang kasian Gita...”

Pada denting terakhir lonceng di bunyikan, Julian memberikan satu pukulan kencang ke arah lawan hingga laki-laki yang jauh lebih besar darinya itu tumbang. Nafasnya sedikit terengah dan keringat bercucuran dari tubuhnya, sang wasit menghitung dari satu sampai lima.

Begitu tidak ada pergerakan pada lawan, Kang Ian naik begitu saja ke atas ring dan mengangkat tangan kanan Julian. Memamerkan cowok itu dengan bangga pada penonton dan pemain lainnya, seketika area berpenerangan minim dengan sorot lampu paling terang di atas ring itu menyorak dengan kencang.

Pujian dan tepukan tangan Julian dapatkan, sampai akhirnya ia memilih untuk turun dan berjalan ke arah loker. Ada Jonas ternyata yang sudah menunggunya di sana, cowok itu sedang merokok. Namun ketika Julian datang, ia mematikan rokok itu dengan menginjaknya ke tanah.

“Gila gila gila hebat banget Gatot Kaca gue yang satu ini!!” sorak Jonas bangga, cowok itu menepuk-nepuk lengan Julian yang tampak lebih berisi itu.

“Sakit, TAI!!” keluh Julian.

Ia mengambil handuk kecil di lokernya dan menyeka keringatnya itu, setelahnya Julian minum dari botol yang selalu ia bawa hingga setengahnya nyaris tandas.

“Walau sejujurnya permainan lo hari ini pake emosi, tapi boleh lah. Lo gak gegabah, menang deh tuh lo 80% dari Kang Ian karna cuma modal 15 menit si Frenky udah K.O.”

“Emang kelihatan banget gue main pake emosi?” Julian menoleh ke arah Jonas.

“Ya elah, Kang Ian aja sampe nyolek gue mulu nanya lo kenapa. Karna main lo gak kaya biasa, strategi lo dapet tapi lo main pake emosi. Kaya lagi lampiasin kesel, kenapa sih kalau boleh tau wahai kakanda?” Jonas merangkul Julian dan mengedipkan satu matanya dengan genit hingga Julian bergedik geli.

“Tai, geseran ah. Gerah banget, nempel-nempel aja lo kaya cicak.” Julian kembali berdiri, mengambil kaus miliknya dan memakainya kembali. Ia juga menyemprotkan parfum disana.

“Serius anjir kenapa sih?”

“Gapapa, lagi kacau aja.”

“Soal Ara?” tebak Jonas yang berhasil membuat Julian menoleh. “Gas aja gak sih? Udah putus gini sama cowoknya.”

“Gak semudah itu, emang dia gak galau apa? Dia aja tiap hari nanyain cowoknya mulu ke gue.”

“Yaudah tunggu aja dah, siapa tau balikan tuh mereka.”

“Tai, ini sih jadinya gue yang galau.” Julian yang kesal melempar Jonas dengan handuk yang tadi ia kenakan, kalau begitu caranya sih Julian yang sakit lagi.

“Jorok banget mulut elu.”

“Tapi kalo kata lo nih, kira-kira gue tetep gas aja gak sih? Tapi sampe kapan? Maksud gue, biasanya cewek udah gak galau lagi pas putus berapa lama?” Julian pikir Jonas lebih berpengalaman soal ini, cowok itu pernah beberapa kali menjalin hubungan meski semuanya berakhir tandas di tengah jalan. Yah, apalagi kalau bukan karena Jonas yang hobi main-main dan mudah bosan.

“Coba aja sebulan ini, yah kasih waktu lah dia habisin masa sedihnya. Tapi lo juga harus kencengin usaha lo, kasih lihat dia kalo lo punya perasaan lebih dari temen.”

Julian mengangguk-angguk, ucapan Jonas ada benarnya juga. Setidaknya dia harus memberi waktu pada Ara untuk menyembuhkan lukanya dulu sebelum memulai hubungan baru dengannya, lagi pula masih banyak waktu.

Setelah selesai dengan komisinya hari ini dari hasil bermain tinju, Julian berjalan keluar dari gedung tua itu. Melewati jalanan yang selalu becek dan sempit untuk menuju ke mini market tempat ia memarkirkan motornya, Julian sempat mampir dulu ke tukang sate ayam dan martabak. Membelikan Ara sate ayam untuk gadis itu makan malam gadis itu nitip 2 porsi entah untuk siapa yang satunya, dan martabak kacang coklat untuk penghuni kosan.

Begitu sampai di kosan, Julian langsung masuk dari arah ruang tamu dan mendapati Ara sedang menonton TV dengan Echa, gadis itu menoleh ke arah Julian dan tersenyum girang. Julian sedikit lega, karena wajah mendung gadis itu udah jarang nampak lagi.

“IJULLL!!” pekik Ara, gadis itu berdiri dan menghampiri Julian. Persis seperti anak perempuan yang melihat Ayahnya pulang bekerja.

“Pesanan lo sate ayam kan?” Julian memberikan kantung plastik berisi sate ayam itu pada Ara.

“Baik banget sih, lo udah makan?” tanya Ara yang di balas gelengan oleh Julian. “Makan bareng yuk, tadi gue masak nasi daun jeruk. Enak deh.”

“Duluan, gue mau mandi dulu.”

“Yaudah gue tunggu di ruang TV atas yah!” Ara berlari ke arah dapur, mengambil piring untuknya dan Julian kemudian berlari ke lantai 2.

Julian yang tadinya mau langsung masuk ke kamarnya jadi menoleh ke arah Echa dulu, dia ngerasa sedari tadi Echa menatapnya. “Gue beli martabak buat anak-anak, Cha. Gue taro di meja makan yah.”

“Jul,” panggil Echa, gadis itu menghampiri Julian dan menatapnya dengan tatapan yang sulit Julian artikan. “Lo masih naksir sama Ara?”

“Hah?” Julian melongok, dia bingung tiba-tiba Echa menodongnya dengan pertanyaan seperti itu.

“Lo masih suka sama Ara? Masih mau deketin dia?”

“Yah, emang kenapa sih Cha? Ara udah putus gini kan sama cowoknya?”

“Iya gue tau dia udah putus sama Kak Yuno, tapi lo yakin? Maksud gue. Ara aja kelihatanya gak lebih anggap lo sebagai teman.”

“Yakin gimana sih, Cha? Emang segitu gak pantes nya gue sama Ara?” jujur saja kata-kata Echa kalau sudah membahas soal perasaanya dengan Ara sedikit menyakiti Julian, memangnya dia kenapa? Apa yang pantas bersama Ara hanya mahasiswa kedokteran itu saja?

“Gue gak ngomong gitu yah, gue tuh cuma—”

“WEHHH GELAAAA IJUL LO BAWA APAAN?” teriak Janu dan Chaka yang tiba-tiba saja datang dari area kolam renang, kedua cowok itu tadi lagi gitaran sama Kevin di sana.

“Martabak, buka deh tuh. Gue beli 3 kotak. Sisain buat gue ye, jangan di abisin semua,” Julian memberikan plastik berisi 3 kotak martabak itu pada Janu.

“Tumben! Banyak duit lo, Jul?” tanya Chaka.

“Makan aja udah, gue mau mandi dulu.” Julian langsung pergi begitu saja, mengabaikan Echa yang masih berdiam diri di depan ruang TV. Julian enggak mau melanjutkan obrolannya dengan Echa lagi, dia juga ngerasa gak butuh nasihat dari gadis itu. Julian akan tetap pada pendiriannya untuk terus mendekati Ara.


Di lantai 2, sembari menunggu Julian selesai mandi. Ara siapin piring untuknya makan bersama Julian dan satu piring lagi dengan satu bungkus sate ayam lengkap dengan lontong disana, ia melirik ke kamar Gita yang masih tertutup.

Kemudian tersenyum sendiri dengan gemas, jika kemarin hanya ada rasa kesal dengan Gita. Lain hal nya hari ini, dia mau minta maaf ke Gita karena sudah salah sangka sama cewek itu. Ara senang banget waktu Arial bilang dia mulai menyukai gadis lagi, yah meskipun Ara tahu kalau Gita masih bersama Kevin.

Tapi setidaknya dia tahu kalau Arial mau membuka hati lagi kan? Lagi pula, Ara baru menyadari kalau selama bersama Gita. Arial jadi tampak lebih hidup di banding dulu, hidupnya enggak melulu tentang belajar lagi.

Tidak lama kemudian pintu kamar Gita terbuka, menampakan gadis itu yang sedang asik bermain HP sembari berjalan menuju lantai 1. Namun sebelum Gita turun dari tangga, Ara menjegal jalan cewek itu dengan merentangkan tangannya agar Gita enggak bisa lewat.

Gita yang liat itu hanya mendengus dan memutar bola matanya malas, “minggir gue mau lewat,” ucapnya acuh.

“Gue beliin sate ayam buat lo tuh,” Ara melirik ke arah bungkusan sate ayam di atas piring. Gita sempat meliriknya sebentar.

“Lo kasih racun yah?”

“Fitnah!! Mana ada.”

“Terus ngapain?”

“Yah mau beliin aja emang gak boleh?”

Gita hanya menggeleng malas, dan berusaha menyingkirkan Ara dari depannya. Namun cewek itu malah semakin menghalangi jalan Gita.

“Itu gue beliin juga!” pekik Ara kesal karena Gita seperti mengacuhkannya.

“Gak, gue mau masak sendiri aja.” Gita heran sebenarnya apa yang membuat Ara malam itu jadi baik padannya, padahal kemarin mereka baru aja berantem hebat. Bahkan beberapa luka di tubuh Gita belum kering dan hari ini gadis itu bersikap seolah-olah tidak terjadi apapun pada mereka, aneh sekali kan?

“Ihhhh gue udah beliin sate ayam! Harus di makan.” bujuk Ara, ia mengambil piring itu buru-buru dan menyerahkannya ke Gita.

“Gue gak mau. Udah buat lo aja, lagian aneh banget. Lo kemarin mukulin gue tiba-tiba jadi baik, kepala lo abis kepentok apaan?” Gita melipat kedua tangannya di dada dan menatap Ara sengit, masih agak kesal walau gadis itu seperti merayunya saat ini.

“Gak kepentok, lo tuh yah. Gue niat baik malah di gituin.” Ara menaruh piring itu kembali ke meja ruang TV dengan kesal.

Tuh kan, ngambek lagi. Gadis itu mudah sekali berubah-ubah mood nya, sampai Gita yang menyaksikan sendiri juga heran dan menggeleng kepalanya. Namun akhirnya ia menghampiri Ara dan mengambil piring berisi sate ayam itu, agak sedikit enggak tega lihatnya. Gita cuma mikir apa mungkin sikap Ara yang tiba-tiba kaya anak kecil gini, Adalah efek dari tandasnya hubungan gadis itu bersama Yuno?

“Gue ambil nih, tapi gue masih marah sama lo yah!” ucap Gita sebelum gadis itu turun dari lantai 2.

Melihat Gita yang mengambil makanan darinya, Ara langsung tersenyum dan menepukkan tangannya dengan girang. Namun begitu Julian datang, gadis itu langsung bersikap seolah-olah tidak terjadi apa-apa.

“Kenapa lo tepuk-tepuk tangan?” tanya Julian bingung.

“Gapapa, seneng aja. Yuk makan!”

Pagi menjelang siang ini Yuno berencana untuk membersihkan apartemennya yang sudah lumayan berantakan itu. Dia udah buat schedule apa saja yang akan ia lakukan ketika akhir pekan. Sore nanti Yuno mau sedikit berjalan-jalan ke toko vinyl sembari memotret jalan-jalan yang ia lalui.

Sejujurnya badanya letih, ia ingin sekali beristirahat. Namun jika hanya berdiam diri di apartemennya, ia akan teringat oleh Ara dan Ann lagi. Yuno takut nantinya ia akan mencoba menghubungi Ara lagi dan berakhir menyakitinya.

Kalau di tanya masih sayang dengan Ara atau tidak, tentu saja Yuno sayang. Ia menjauhi dirinya dari Ara adalah bentuk rasa sayangnya pada gadis itu, Yuno ngerasa enggak pantas untuk bersama Ara jika akhirnya ia akan terus menyakiti gadis itu tanpa ia sengaja.

Setelah mematikan mesin vacum dan menaruh kembali benda itu di tempatnya, kini Yuno tinggal mengelap pigura dan beberapa vinyl yang ia taruh di ruang tamunya. Yuno menghela nafasnya berat, ada fotonya dengan Ara di sana. Foto saat Yuno kelulusan SMA dan beberapa foto saat ia dan Ara liburan bersama.

Awalnya Yuno ingin menyimpan itu semua laci agar tidak terlihat lagi olehnya, namun otak dan hatinya tidak sejalan. Jadi ia abaikan foto-foto itu meski sedikit debu sudah menempel di sana, soal rencananya untuk pulang tahun ini ke Indonesia terpaksa Yuno undur.

Mungkin ia akan pulang awal tahun nanti, ada beberapa tugas kampusnya yang harus Yuno kerjakan dan juga janjinya bersama Josep untuk acara tahun baru bersama. Josep juga tidak pulang ke Thailand, maka dari itu cowok itu akan membuat party di apartemen nya.

Sedang asik menata beberapa vinyl miliknya, tiba-tiba saja ponsel Yuno bergetar. Jadi, ia hentikan dulu pekerjaan itu dan melihat siapa yang memanggilnya.

“Gita? Tumben,” Yuno terkekeh sebelum akhirnya ia mengangkat telfon itu dan menyalakan pengeras suaranya. “guten tag,” sapa Yuno.

Kak, gue gak salah jam kan buat telfon lo?

Yuno terkekeh, “enggak lah, perbedaan waktu di Indo sama di Jerman cuma 5 jam. Kalau sekarang di sana sore, disini pagi menjelang siang. Ada apa nih, tumbenan lo nelfon gue?”

lo gak kuliah?” tanya Gita basa basi, di sebrang sana gadis itu duduk di depan meja belajarnya sembari mengetukkan satu jarinya ke meja. Ia ingin mengadu pada Yuno tentang apa yang terjadi hari ini, namun rasanya Gita ragu. Biar bagaimana pun juga, Gita bertengkar hebat dengan Ara. Meski sudah putus, Gita yakin kalau Yuno masih sangat mencintai gadis itu.

“Kok lo tiba-tiba amnesia gini sih? Hari ini kan weekend.

“*oh, iya ya..” Gita bergumam.

“Kangen ya?” tebak Yuno.

Kak? Lo kapan pulang?

“Tuh kan kangen,” Yuno terkekeh pelan, meski bukan nada merajuk yang ia dengar dari Gita. Tapi tetap saja menurut Yuno manjanya Gita keluar.

gue nanya ih!! Lo kok jadi ngeselin sih?

“Kalo gak kangen ngapain nanya-nanya?” bukan Yuno namanya kalau enggak bikin Adik sepupunya itu tambah kesal.

gue matiin nih.

Yuno semakin tertawa, namun sedetik kemudian senyum itu lenyap. Batalnya ia pulang akhir tahun ini mungkin akan mengecewakan Gita dan juga kedua orang tua nya.

“Gue balik awal tahun, Git. Awal januari mungkin.”

kok jadi mundur?!” pekik Gita.

“Ada acara.” Yuno meringis.“lo tuh kalo kangen kita skype aja gak sih? Nyalain MacBook lo buruan.” Yuno berjalan ke arah kamarnya, ia mengambil MacBook miliknya itu.

gak mau ah.

“Yaudah kalau cuma mau telfon mending matiin aja,” ancamnya.

yaudah tunggu sebentar,” ucap Gita Pasrah, akhirnya ia menyalakan MacBook miliknya dan menelfon Yuno via skype.

Begitu melihat wajah Gita yang babak belur, dengan lebam dan beberapa goresan di wajah serta lehernya berhasil membuat Yuno terbelalak kaget.

“Lo berantem sama siapa sampe babak belur kaya gini?!” pekik Yuno kaget.

sama kating gue.” cicit Gita, Gita enggak bohong soal itu. Ia memang sempat di keroyok oleh Kakak tingkatnya waktu itu. Namun luka-luka yang di dapatnya sudah sembuh, Gita bohong soal lukanya kali ini karena dia gak ingin Yuno kecewa sama perlakuan Ara.

“Sialan! Terus gimana? Mereka di hukum gak? Kok bisa sih, Git?”

Sungguh, Rasanya Yuno enggak terima lihat Adik sepupunya babak belur seperti ini. Ini juga alasan dulu Yuno sempat mengajak Gita untuk menyusulnya ke Jerman, namun apa daya karena Gita lebih memilih satu kampus dengan Kevin ketimbang dirinya. Padahal jika satu kampus dengan Yuno, ia bisa lebih gampang menjaga Gita.

sidangnya besok, ada Papa sama Mama juga yang bakalan datang.

“Om Sagara? Seriusan?”

Gita mengangguk, “makanya lo gak usah khawatir.

“Tetap aja gue khawatir, lo bonyok kaya gitu.”

Gita menunduk, ia jadi teringat kata Ara kalau dia yang merebut Arial darinya. Mengingat kata-kata itu, ia jadi menginginkan Yuno untuk segera pulang. Agak sedikit menyesal karena Yuno sering sekali memanjakannya namun Gita malah lebih sering manja ke Kevin.

Kak, kalo lo balik. Lo jadi ke Bandung kan?” tanya Gita. Gita cuma mau nunjukin ke Ara kalau dia juga punya Kakak dan Yuno mampu memanjakan nya lebih dari yang Arial lakukan.

Yuno yang mendengar begitu jadi menunduk, ia memang kepikiran untuk berlibur ke Bandung. Namun waktu itu ia belum putus dengan Ara, kalau kejadiannya berakhir seperti ini. Yuno jadi mempertimbangkan lagi untuk pergi ke Bandung saat di Indonesia nanti.

“Gue gak tau, Git. Tapi kalo pun ke Bandung. Kayanya gue gak akan nginap di sekitar kosan lo.”

Gita mengangguk, dia paham Yuno mungkin enggan bertemu dengan Ara. “karena Ara yah, Kak?

Yuno hanya menjawab pertanyaan itu dengan meringis. “Tapi gue tetap bakalan ke Bandung kok.m, Gue usahain.”

beneran yah?

Yuno mengangguk, “Mau jalan-jalan kemana kalo gue ke sana?”

ke pasar ikan Muara, anterin gue beli ikan cupang lagi buat temennya Sir John Silver Vorpal Sword.

“Hah?” pekik Yuno waktu dengar Gita nyebutin nama ikan cupangnya. “Siapa?”

Sir John Silver Vorpal Sword, kok lo jadi budeg gini sih?” hardik Gita. Sebel banget dia kalo harus ngulang-ngulang omongan.

“Gaya amat cupang di kasih nama Sir John.”

Sir John Silver Vorpal Sword,” imbuh Gita karena Yuno gak menyebutkan nama cupangnya itu dengan lengkap.

“Yah. Terserah lo pokoknya itu deh, ini cuma mau ke Pasar Ikan doang?”

Gita menggeleng. “Gue mau ajak lo ke Cimenyan juga sama Ranca Upas, nanti kita kasih makan rusa disana.”

Pagi menjelang siang itu, Yuno mendengarkan celotehan dari Gita sembari ia makan siang dengan menu seadanya di kulkas. Mungkin benar dugaanya jika Gita merindukannya meski Adiknya itu tidak mengucapkanya secara gamblang, entah karena gengsi atau malu.


“Kamu beneran gak mau dengerin Mas Iyal dulu nih?” tanya Arial.

Karena Ara enggak kunjung keluar dari kamarnya, akhirnya Arial yang menghampiri Adiknya itu ke kamar. Membawakan beberapa makanan kesukaan Ara sebagai bentuk permintaan maafnya.

Arial ingin minta maaf dan menjelaskan semuanya dengan Ara, dia juga ingin mengobati luka-luka yang di dapat Adiknya itu karena berkelahi dengan Gita. Namun Ara masih bergerumul di dalam selimut dan tidak mau bicara dengan Arial.

“Mas tau Ara belum tidur, Mas Iyal minta maaf yah. Maaf karena perhatian Mas ke Ara berkurang, Mas tau Mas salah.” Arial menunduk, ia akui itu. Ia jadi agak sedikit mengabaikan Ara. Tapi itu tidak sepenuhnya, karena Arial sempat berpikir jika ia terlihat memanjakan Ara seperti biasanya di depan teman-teman serumahnya, Arial takut Ara akan malu, lagi pula Ara juga lebih sering bersama Julian dibanding dirinya.

“Mas bukan jadi lebih sering manjaim Gita dan perhatiin Gita, Adiknya Mas Iyal itu cuma Ara. Gita dan Ara itu enggak sama, perhatian Mas ke Gita juga enggak sama kaya ke Ara.”

Di dalam selimutnya Ara mendengarkan Arial berbicara, meski enggan ia sahuti ucapan dari Kakaknya itu. Ia masih dongkol setengah mati karena Arial lebih membela Gita di banding dirinya, namun biarpun begitu. Ara tetap mendengarkan penjelasan Arial kok.

“Mas, bingung. Tapi semoga Ara paham sama yang Mas omongin. Waktu tahu Gita di kerjain sama anak-anak ILPOL, Mas marah banget. Rasanya enggak terima, apalagi Mas yang jadi penyebab itu semua. Makanya Mas ngerasa bertanggung jawab buat bawa Gita ke rumah sakit dan nemenin dia. Mas tahu Mas salah karena jadi gak merhatiin kamu.”

“Mas sering bareng Gita dan antar jemput dia, awalnya karena Kevin yang sering minta tolong ini. Mas pikir kamu juga lebih sering sama Julian ketimbang, Mas.” Arial mengulum bibirnya sendiri, jika melihat Gita. Ia jadi teringat pernah merasakan hal yang sama dengan seorang gadis yang dulu pernah Arial taksir habis-habisan.

“Kamu ingat Kak Jiha gak, dek?”

Jiha? Itu nama cewek yang di sukai Mas Arial saat SMA kan? pikir Ara.

“Mas jadi ngerasain perasaan yang sama waktu Mas lihat Gita. Gita emang nyebelin awalnya, tapi karena sering sama dia. Mas jadi sadar kalau dia enggak senyebelin yang Mas kira.”

Mendengar penjelasan Arial itu, Akhirnya Ara menyibak selimutnya. Ia mengubah posisinya yang tadinya tiduran menjadi duduk, melihat wajah melas Arial yang kini tersenyum ke arahnya.

“Mas Iyal suka sama Gita?” tanya Ara.

“Hah?” Pekik Arial, matanya membulat. benarkah? Apakah saat ini terlihat seperti itu? Ah, Arial masih kaku dalam menafsirkan perasaanya sendiri.

Ara mengangguk, “kaya Kak Jiha kan?”

“Um,” Arial mengangguk dengan ragu. “Mungkin..”

“Itu artinya Mas Iyal suka sama Gita. Aku pikir, Mas Iyal ke Gita itu karena anggap Gita Adik.”

“Kamu mikirnya gitu?” tanya Arial yang di jawab anggukan oleh Ara, jika tahu kalau Arial menyukai Gita dan bukan menganggap Gita sebagai Adiknya. Ara kan gak perlu cemburu gak karuan dan berakhir bertengkar dengan Gita.

“Habisnya Mas Iyal kaya lagi ngemong Gita, kelihatanya gitu di mata aku. Aku jadi ngerasa kalo Mas Iyal mau cari pengganti aku tau gak! Kalau tahu Mas Iyal suka sama Gita, Ara kan gak usah harus berantem-berantem kaya gini!” pekik Ara, dia malah menangis karena kesal sekaligus terharu karena akhirnya Arial bisa mulai menyukai gadis lain setelah di tolak secara halus oleh Jiha.

“Dek, ya ampun.” Arial beringsut maju, ia membawa Ara kepelukannya dan memeluk Adiknya itu dengan gemas. “Mana mungkin. Mas Iyal cuma punya satu Adik perempuan aja.”

“Gak boleh nambah lagi! Awas aja!”

“Kalau Mas Iyal punya pacar boleh gak?”

“Ya boleh lah!” Ara memukul lengan Arial. “Tapi, Gita kan punya Kevin, Mas?”

Mendengar ucapan itu membuat Arial jadi meringis, ia gak boleh melupakan jika Gita masih memiliki Kevin. Yah, meskipun di mata Arial. Kevin seperti bukan pacar yang baik untuk Gita, buktinya saja Kevin tidak pernah ada di saat Gita benar-benar membutuhkanya kan?

“Mas Iyal gak akan ngerusakin hubungan orang kan? Dosa loh, Mas.”

“Hah?” merusak hubungan orang? Mana mungkin, itu bukan Arial sekali. pikir Arial.