14. For Revenge
Sore itu setelah kelas terakhirnya, Julian enggak langsung pulang ke kosan. Dia juga enggak antar Ara pulang karena gadis itu pulang bersama Arial, ini kesempatan bagus untuknya bertemu dengan Saddam. Yup, Ara mungkin bisa memaafkan cowok itu tapi tidak dengannya.
Julian mau memberi setidaknya pelajaran pada cowok itu agar tidak berani macam-macam dengan Ara lagi, ia sudah membuat janji temu dengan Saddam di bekas gedung tidak terpakai di belakang kampus, sudah hampir setengah jam Julian menunggu namun Saddam urung datang juga.
Ia sempat berpikir kalau cowok itu enggak punya nyali buat ketemu, ketika Julian ingin pergi dari tempat itu. Tidak lama kemudian sebuah deru motor terdengar, dan benar saja. Itu Saddam, sayangnya cowok itu enggak datang sendirian.
Ia datang bersama dua orang temannya yang sering Julian lihat, sudah banyak rumor juga mengenai Saddam dan dua temannya itu yang kerap kali melakukan pelecehan sama anak-anak kampus, terutama di kalangan mahasiswa baru. Makanya untuk kali ini Julian akan membuat cowok itu bertekuk lutut meminta maaf dengan Ara.
“Gue pikir elo gak bakalan datang,” ucap Julian ketika cowok itu turun dari motornya.
Saddam menyeringai, memandang Julian remeh dan menelisik dirinya dari atas sampai bawah. Seperti sedang menilai kemampuan Julian, Saddam sempat salut karena baru kali ini ada mahasiswa baru yang berani menyuruhnya untuk datang menemuinya seperti ini.
“Ada urusan apa lo sama gue hah? Masih MABA udah sok-sok an merintah-merintah gue buat datang ke sini, mau jadi jagoan lo, hah?” Saddam maju lebih dulu, di matanya saat ini Julian hanyalah bocah ingusan yang sok berani padanya. Ah, mungkin Julian belum tahu seberapa pengaruhnya kedua orang tua Saddam di kampus mereka berkuliah.
“Kenapa emangnya?”
“Nantangin dia, Dam. Hajar aja udah hajar,” imbuh dua teman di belakang Saddam.
“Kita hajar aja nih?” Saddam menunjuk Julian, ia menoleh ke arah dua temannya seperti meminta persetujuan keduanya untuk menghajar Julian lebih dulu.
“Gimana kalau sebelum itu, lo liat dulu video ini?” Julian mengeluarkan ponselnya, ia putar video rekaman CCTV yang ia minta dari club tempat Ara datang.
Dalam video itu, terlihat jelas jika Saddam beberapa kali memesan minuman pada bartender dan terus mengajak Ara bicara, namun di menit berikutnya saat Ara sudah kelihatan menyandarkan kepalnya ke meja bartender. Saddam mengeluarkan sesuatu dari saku kemeja yang ia pakai, dan memasukannya ke minuman milik Ara.
Setelah itu, Ara semakin limbung dan Saddam melancarkan aksinya untuk menyentuh gadis itu. Hanya sampai disitu, karena Julian memotong video pemukulan ketika Yuno tiba-tiba saja datang dan menghajar Saddam.
“Dapat dari mana lo soal video itu?!”
Saddam mulai kalang kabut, ia gak kepikiran jika dengan mudahnya Julian justru mendapatkan video rekaman CCTV dari club. Karena Saddam kira kejadian itu berakhir begitu saja di malam itu dengan ia yang sudah di hajar oleh cowok yang enggak dia kenal.
“Lo kepengen banget tau?” Julian menaikan satu alisnya.
“DAPET DARI MANA BANGSAT JAWAB GUE!!” Saddam menarik kerah kemeja flanel yang Julian pakai, namun itu enggak membuat Julian gentar dan takut. Ia malah semakin tertawa melihat wajah Saddam yang mendadak panik.
“Gimana kalo video ini gue kasih ke nyokap bokap lo? Gue kepengen tau apa reaksi mereka,” Julian menyeringai. “Oh enggak-enggak, gimana kalau video ini gue kasih ke polisi terus gue bikin laporan kalo lo ngelakuin pelecehan? Kayanya gue yakin, korban-korban yang udah lo bikin hancur hidupnya juga bakalan ngelakuin hal yang sama.”
“Denger!!! Mereka gue bayar, gue make mereka itu enggak gratis dan gue punya sesuatu yang bikin mereka diam, paham lo?!” Saddam melepaskan cengkeramannya di kerah Julian.
“Yakin?”
“Dam, udah lah hajar aja kelamaan!” salah satu cowok di belakang Saddam tampak geram, pasalnya mereka juga ada di club itu. Dan mereka yakin Saddam tidak akan mau jatuh sendirian, ia akan mengajak orang lain hancur bersama nya. Makanya mereka menyarankan untuk membungkam Julian secepatnya.
“Gue punya permainan bagus.” Julian menyimpan ponsel nya itu di saku. “Gimana kalo lo lawan gue? Lo, bukan dua kacung di belakang lo.” Julian melirik ke arah dua teman Saddam itu.
“Anjinggg!” gumam di antara keduanya.
“Kalo lo menang, gue enggak akan kasih video itu ke siapa-siapa dan bakalan lupain kejadian itu. Tapi kalau lo kalah, lo harus minta maaf ke Ara dan semua korban yang udah pernah lo tidurin?” Julian menaikan sebelah alisnya. “deal?“
Di tempatnya, Saddam menelan saliva nya susah payah. Kedua tangannya terkepal menahan amarah, jika Julian tidak sedang mengancamnya dengan video itu sekarang. Mungkin Saddam sudah menghajar cowok itu habis-habisan.
“deal.“
“Gak di sini,” lanjut Julian.
“Bangsat, dimana?! Lo jangan menguji sampai dimana gue bisa sabar.”
“Gue mau kita tanding di ring!” Julian memberikan secarik kertas berisi alamat dimana Black Box berada. Kemudian cowok itu pergi lebih dulu ke Black Box, meninggalkan Saddam yang masih mematung dengan tangan terkepal meremas kertas yang Julian berikan.
Dan sampailah kedua cowok itu di atas ring sekarang, Julian sengaja memakai cara ini agar Saddam enggak bisa menuntut nya apa-apa jika kedua orang tua nya melihatnya babak belur, toh ini olahraga dan mereka tanding satu lawan satu di atas ring, ada wasit juga dan Saddam melakukan ini atas dasar kemauannya sendiri.
Pada bunyi lonceng pertama, Julian menatap Saddam sengit. Ia membiarkan Saddam menyerangnya lebih dulu, meski Saddam enggak pernah berakhir memukul wajah Julian. Lalu, pada detik berikutnya giliran Julian yang memberikan serangan balik pada Saddam di uluh hati cowok itu.
Belum apa-apa saja cowok itu sudah mundur beberapa langkah sembari memegangi perutnya, dan kesempatan itu Julian pakai untuk memberikan serangan lagi pada Saddam. Ia sempat limbung ketika Saddam berhasil meninju perutnya.
Namun Julian pandai menetralkan rasa nyeri jika ia mendapatkan hajaran di perut, cowok itu kini bergerak maju. Menghajar wajah Saddam hingga satu goresan terdapat di sudut bibirnya, bibir cowok itu berdarah dan Julian tersenyum puas.
Seperti membaca situasi, Julian menyipitkan matanya dan menghajar Saddam dari samping. Ia hajar di bagian lengan cowok itu, kemudian di wajah sebelah kirinya lagi. Ia pikir Saddam enggak akan kembali melawan setelah cowok itu sempat gemetar dengan kemampuan tinju yang Julian miliki, namun Saddam berhasil mencuri tinjuan pertamanya yang mengenai wajah Julian.
Gusi cowok itu mengeluarkan darah, namun hal itu juga lah yang membuat Julian naik pitam. Wajahnya memar dan itu seperti Saddam berhasil menyalakan alarm kemarahannya, jadi dengan cepat Julian hajar cowok itu di beberapa titik lemahnya hingga Saddam meringkuk.
Dan kesempatan itu Julian pakai untuk menguasai tubuh Saddam dari atas dan terus menghajar lawannya hingga Saddam tidak mampu melawan, cowok itu hanya menyembunyikan wajahnya dengan lengannya agar Julian tidak terus menerus menghajar wajahnya.
Ian selaku wasit di sana sampai masuk ke dalam ring dan menarik Julian, ia tahu Julian kelepasan. Saat di tarik cowok itu terengah-engah dengan keringat yang menetes deras di tubuh nya.
“Jul!! Lo kenapa? Sadar! Lo mau bikin dia mati hah?!” pekik Kang Ian memperingati Julian.
“DIA UDAH BERANI-BERANINYA NYETUH ARA, KANG!!” teriak Julian. Ia tidak pernah semarah itu, tapi rasanya sore itu benar-benar ia ingin meledak.
“Gak gitu caranya, lo disini petarung. Lo di atas ring dan semua yang main disini ada aturannya, lo gak bisa sembarangan mukulin dia kaya lo lagi mukulin maling, paham lu!” sentak Kang Ian.
Julian memejamkan matanya, ia akhirnya mengangguk. Jujur saja, jika Kang Ian tidak menahannya mungkin Saddam akan berakhir lebih babak belur dari ini.
Setelah menyuruh Saddam meminta maaf pada Ara besok pagi, cowok itu pulang di bopong kedua temannya. Julian juga langsung pulang, tapi sebelum itu ia mampir ke apotik dulu untuk membeli obat. Bibirnya berdarah dan wajahnya memar, ia mungkin akan membeli salep dulu agar anak-anak kosan enggak bertanya-tanya kenapa wajahnya memar.
Begitu selesai sedikit mengobati wajahnya, Julian langsung pulang. Tapi belum sampai di depan pagar kosan, Julian justru melihat Ara sedang duduk di gapura masuk ke kompleks kosan mereka. Jadi, Julian berhentikan motornya disana. Ara juga nampak girang waktu lihat Julian.
“Kok lo duduk disini?” tanya Julian.
“Jul, bibir lo kenapa?” Ara ingin menyentuh lebam di wajah Julian namun cowok itu dengan cepat menghindar.
“Gapapa, kepentok aja ini.”
“Bohong, lo tinju lagi yah?”
Julian hanya menggeleng pelan, “lo kok disini, nungguin siapa?”
“Nungguin elo.”
“Kan bisa di kosan, Ra. Disini kaya lagi nungguin angkot aja, kalo di culik gimana?” Julian terkekeh.
“Siapa juga yang mau nyulik gue, eh Jul. Makan nasi uduk yang di dekat kampus Elit yuk.”
“Sekarang?” tanya Julian yang hanya di balas anggukan kecil oleh Ara. “Ayok.”
“WATTAAAAHH,” Ara bertepuk tangan, dengan cepat ia langsung naik ke atas motor Julian dan berpegangan di pinggang cowok itu.
Julian sempat menelan salivanya susah payah ketika Ara seperti tengah memeluknya, degup jantungnya juga semakin menggila rasanya. Di perjalanan, Julian sempat curi-curi pandang sama Ara dari kaca spionnya.
“Jul?”
“Hm?” Julian sedikit menoleh, membagi konsentrasinya menjadi dua untuk menyetir dan juga mendengarkan Ara di belakang.
“Gue tuh malu banget mau pulang sebenarnya.”
“Emangnya lo tukang apa pake malu segala.”
“Ihhh gue serius,” Ara menusuk pinggang Julian dengan jari telunjuknya, itu adalah titik sensitif Julian dan cowok itu bergedik geli.
“Iya-iyaaa, malu kenapa sih emang?”
“Soal kejadian malam itu, sama Kak Yuno.”
lagi-lagi Yuno..
“Kenapa emang?”
“Malam itu beneran rasanya gue udah sinting banget, gue malu banget sampe gue gak berani nongolin muka gue depan Kak Yuno lagi rasanya.”
“Emang lo ngapain sih? Dia udah nolongin elo, loh. Lo gak mau bilang makasih ke dia?” Julian melirik Ara dari kaca spion nya, gadis itu tampak mengulum bibirnya seperti ia tengah merasakan malu dan menimang-nimang sesuatu.
“Iya mau, tapi masalahnya tiap gue ingat kejadian itu rasanya gue pengen ganti muka aja tau gak?”
“Yah kenapa sih emangnya?”
“Lo tau kan kalo Saddam ngasih gue sesuatu di minuman gue?” jujur saja mengingat kejadian itu membuat Ara jadi jijik sama dirinya sendiri, meski ia tahu Yuno mungkin akan memaklumi dirinya malam itu.
Julian mengangguk. “Iya tau.”
“Gue ngelakuin sesuatu sama Kak Yuno. Yang mungkin bikin dia jijik sama gue.”
“Dia juga mungkin maklumin lo, Ra.”
“Iya dia maklumin gue, tapi rasanya tetap aja gue malu.”
“Tapi lo gak boleh ngehindar gini terus yah, kalo udah ngerasa lebih baik lo harus temuin dia dan bilang makasih ke dia. Dia udah bawa lo balik, rela di omelin Gita karena ngetok-ngetok kamar Gita demi nyuruh Gita gantiin baju lo yang basah karena keringetan sama kena muntahan lo.”
“Apa?!” pekik Ara. “Gimana, Jul?”
“Gimana apanya?”
“Gak, tadi lo bilang siapa yang gantiin baju gue?”
“Gita.”
“Bukannya Kak Yuno sendiri?”
“Gila kali, gue liat sendiri dia ngetok-ngetok kamar Gita kok.”
“Jadi? Kak Yuno gak ngeliat gue gak pake baju kan?”
“Ra lo ngomong apaan sih?” Julian jadi kesal sendiri, tapi dia juga bingung sendiri sama ucapan Ara. Apalagi melihat wajah panik gadis itu dari balik spion motornya.
“Gita bilang Kak Yuno sendiri yang gantiijn baju gue, jadi ternyata di ngerjain gue?! ARGHGHHH awas yah lo dasarrrrrr cewek pendekk!” pekik Ara, sampai ia tidak sadar tangannya meremas kemeja flanel yang Julian pakai.