1O. Rayuan

Pada denting terakhir lonceng di bunyikan, Julian memberikan satu pukulan kencang ke arah lawan hingga laki-laki yang jauh lebih besar darinya itu tumbang. Nafasnya sedikit terengah dan keringat bercucuran dari tubuhnya, sang wasit menghitung dari satu sampai lima.

Begitu tidak ada pergerakan pada lawan, Kang Ian naik begitu saja ke atas ring dan mengangkat tangan kanan Julian. Memamerkan cowok itu dengan bangga pada penonton dan pemain lainnya, seketika area berpenerangan minim dengan sorot lampu paling terang di atas ring itu menyorak dengan kencang.

Pujian dan tepukan tangan Julian dapatkan, sampai akhirnya ia memilih untuk turun dan berjalan ke arah loker. Ada Jonas ternyata yang sudah menunggunya di sana, cowok itu sedang merokok. Namun ketika Julian datang, ia mematikan rokok itu dengan menginjaknya ke tanah.

“Gila gila gila hebat banget Gatot Kaca gue yang satu ini!!” sorak Jonas bangga, cowok itu menepuk-nepuk lengan Julian yang tampak lebih berisi itu.

“Sakit, TAI!!” keluh Julian.

Ia mengambil handuk kecil di lokernya dan menyeka keringatnya itu, setelahnya Julian minum dari botol yang selalu ia bawa hingga setengahnya nyaris tandas.

“Walau sejujurnya permainan lo hari ini pake emosi, tapi boleh lah. Lo gak gegabah, menang deh tuh lo 80% dari Kang Ian karna cuma modal 15 menit si Frenky udah K.O.”

“Emang kelihatan banget gue main pake emosi?” Julian menoleh ke arah Jonas.

“Ya elah, Kang Ian aja sampe nyolek gue mulu nanya lo kenapa. Karna main lo gak kaya biasa, strategi lo dapet tapi lo main pake emosi. Kaya lagi lampiasin kesel, kenapa sih kalau boleh tau wahai kakanda?” Jonas merangkul Julian dan mengedipkan satu matanya dengan genit hingga Julian bergedik geli.

“Tai, geseran ah. Gerah banget, nempel-nempel aja lo kaya cicak.” Julian kembali berdiri, mengambil kaus miliknya dan memakainya kembali. Ia juga menyemprotkan parfum disana.

“Serius anjir kenapa sih?”

“Gapapa, lagi kacau aja.”

“Soal Ara?” tebak Jonas yang berhasil membuat Julian menoleh. “Gas aja gak sih? Udah putus gini sama cowoknya.”

“Gak semudah itu, emang dia gak galau apa? Dia aja tiap hari nanyain cowoknya mulu ke gue.”

“Yaudah tunggu aja dah, siapa tau balikan tuh mereka.”

“Tai, ini sih jadinya gue yang galau.” Julian yang kesal melempar Jonas dengan handuk yang tadi ia kenakan, kalau begitu caranya sih Julian yang sakit lagi.

“Jorok banget mulut elu.”

“Tapi kalo kata lo nih, kira-kira gue tetep gas aja gak sih? Tapi sampe kapan? Maksud gue, biasanya cewek udah gak galau lagi pas putus berapa lama?” Julian pikir Jonas lebih berpengalaman soal ini, cowok itu pernah beberapa kali menjalin hubungan meski semuanya berakhir tandas di tengah jalan. Yah, apalagi kalau bukan karena Jonas yang hobi main-main dan mudah bosan.

“Coba aja sebulan ini, yah kasih waktu lah dia habisin masa sedihnya. Tapi lo juga harus kencengin usaha lo, kasih lihat dia kalo lo punya perasaan lebih dari temen.”

Julian mengangguk-angguk, ucapan Jonas ada benarnya juga. Setidaknya dia harus memberi waktu pada Ara untuk menyembuhkan lukanya dulu sebelum memulai hubungan baru dengannya, lagi pula masih banyak waktu.

Setelah selesai dengan komisinya hari ini dari hasil bermain tinju, Julian berjalan keluar dari gedung tua itu. Melewati jalanan yang selalu becek dan sempit untuk menuju ke mini market tempat ia memarkirkan motornya, Julian sempat mampir dulu ke tukang sate ayam dan martabak. Membelikan Ara sate ayam untuk gadis itu makan malam gadis itu nitip 2 porsi entah untuk siapa yang satunya, dan martabak kacang coklat untuk penghuni kosan.

Begitu sampai di kosan, Julian langsung masuk dari arah ruang tamu dan mendapati Ara sedang menonton TV dengan Echa, gadis itu menoleh ke arah Julian dan tersenyum girang. Julian sedikit lega, karena wajah mendung gadis itu udah jarang nampak lagi.

“IJULLL!!” pekik Ara, gadis itu berdiri dan menghampiri Julian. Persis seperti anak perempuan yang melihat Ayahnya pulang bekerja.

“Pesanan lo sate ayam kan?” Julian memberikan kantung plastik berisi sate ayam itu pada Ara.

“Baik banget sih, lo udah makan?” tanya Ara yang di balas gelengan oleh Julian. “Makan bareng yuk, tadi gue masak nasi daun jeruk. Enak deh.”

“Duluan, gue mau mandi dulu.”

“Yaudah gue tunggu di ruang TV atas yah!” Ara berlari ke arah dapur, mengambil piring untuknya dan Julian kemudian berlari ke lantai 2.

Julian yang tadinya mau langsung masuk ke kamarnya jadi menoleh ke arah Echa dulu, dia ngerasa sedari tadi Echa menatapnya. “Gue beli martabak buat anak-anak, Cha. Gue taro di meja makan yah.”

“Jul,” panggil Echa, gadis itu menghampiri Julian dan menatapnya dengan tatapan yang sulit Julian artikan. “Lo masih naksir sama Ara?”

“Hah?” Julian melongok, dia bingung tiba-tiba Echa menodongnya dengan pertanyaan seperti itu.

“Lo masih suka sama Ara? Masih mau deketin dia?”

“Yah, emang kenapa sih Cha? Ara udah putus gini kan sama cowoknya?”

“Iya gue tau dia udah putus sama Kak Yuno, tapi lo yakin? Maksud gue. Ara aja kelihatanya gak lebih anggap lo sebagai teman.”

“Yakin gimana sih, Cha? Emang segitu gak pantes nya gue sama Ara?” jujur saja kata-kata Echa kalau sudah membahas soal perasaanya dengan Ara sedikit menyakiti Julian, memangnya dia kenapa? Apa yang pantas bersama Ara hanya mahasiswa kedokteran itu saja?

“Gue gak ngomong gitu yah, gue tuh cuma—”

“WEHHH GELAAAA IJUL LO BAWA APAAN?” teriak Janu dan Chaka yang tiba-tiba saja datang dari area kolam renang, kedua cowok itu tadi lagi gitaran sama Kevin di sana.

“Martabak, buka deh tuh. Gue beli 3 kotak. Sisain buat gue ye, jangan di abisin semua,” Julian memberikan plastik berisi 3 kotak martabak itu pada Janu.

“Tumben! Banyak duit lo, Jul?” tanya Chaka.

“Makan aja udah, gue mau mandi dulu.” Julian langsung pergi begitu saja, mengabaikan Echa yang masih berdiam diri di depan ruang TV. Julian enggak mau melanjutkan obrolannya dengan Echa lagi, dia juga ngerasa gak butuh nasihat dari gadis itu. Julian akan tetap pada pendiriannya untuk terus mendekati Ara.


Di lantai 2, sembari menunggu Julian selesai mandi. Ara siapin piring untuknya makan bersama Julian dan satu piring lagi dengan satu bungkus sate ayam lengkap dengan lontong disana, ia melirik ke kamar Gita yang masih tertutup.

Kemudian tersenyum sendiri dengan gemas, jika kemarin hanya ada rasa kesal dengan Gita. Lain hal nya hari ini, dia mau minta maaf ke Gita karena sudah salah sangka sama cewek itu. Ara senang banget waktu Arial bilang dia mulai menyukai gadis lagi, yah meskipun Ara tahu kalau Gita masih bersama Kevin.

Tapi setidaknya dia tahu kalau Arial mau membuka hati lagi kan? Lagi pula, Ara baru menyadari kalau selama bersama Gita. Arial jadi tampak lebih hidup di banding dulu, hidupnya enggak melulu tentang belajar lagi.

Tidak lama kemudian pintu kamar Gita terbuka, menampakan gadis itu yang sedang asik bermain HP sembari berjalan menuju lantai 1. Namun sebelum Gita turun dari tangga, Ara menjegal jalan cewek itu dengan merentangkan tangannya agar Gita enggak bisa lewat.

Gita yang liat itu hanya mendengus dan memutar bola matanya malas, “minggir gue mau lewat,” ucapnya acuh.

“Gue beliin sate ayam buat lo tuh,” Ara melirik ke arah bungkusan sate ayam di atas piring. Gita sempat meliriknya sebentar.

“Lo kasih racun yah?”

“Fitnah!! Mana ada.”

“Terus ngapain?”

“Yah mau beliin aja emang gak boleh?”

Gita hanya menggeleng malas, dan berusaha menyingkirkan Ara dari depannya. Namun cewek itu malah semakin menghalangi jalan Gita.

“Itu gue beliin juga!” pekik Ara kesal karena Gita seperti mengacuhkannya.

“Gak, gue mau masak sendiri aja.” Gita heran sebenarnya apa yang membuat Ara malam itu jadi baik padannya, padahal kemarin mereka baru aja berantem hebat. Bahkan beberapa luka di tubuh Gita belum kering dan hari ini gadis itu bersikap seolah-olah tidak terjadi apapun pada mereka, aneh sekali kan?

“Ihhhh gue udah beliin sate ayam! Harus di makan.” bujuk Ara, ia mengambil piring itu buru-buru dan menyerahkannya ke Gita.

“Gue gak mau. Udah buat lo aja, lagian aneh banget. Lo kemarin mukulin gue tiba-tiba jadi baik, kepala lo abis kepentok apaan?” Gita melipat kedua tangannya di dada dan menatap Ara sengit, masih agak kesal walau gadis itu seperti merayunya saat ini.

“Gak kepentok, lo tuh yah. Gue niat baik malah di gituin.” Ara menaruh piring itu kembali ke meja ruang TV dengan kesal.

Tuh kan, ngambek lagi. Gadis itu mudah sekali berubah-ubah mood nya, sampai Gita yang menyaksikan sendiri juga heran dan menggeleng kepalanya. Namun akhirnya ia menghampiri Ara dan mengambil piring berisi sate ayam itu, agak sedikit enggak tega lihatnya. Gita cuma mikir apa mungkin sikap Ara yang tiba-tiba kaya anak kecil gini, Adalah efek dari tandasnya hubungan gadis itu bersama Yuno?

“Gue ambil nih, tapi gue masih marah sama lo yah!” ucap Gita sebelum gadis itu turun dari lantai 2.

Melihat Gita yang mengambil makanan darinya, Ara langsung tersenyum dan menepukkan tangannya dengan girang. Namun begitu Julian datang, gadis itu langsung bersikap seolah-olah tidak terjadi apa-apa.

“Kenapa lo tepuk-tepuk tangan?” tanya Julian bingung.

“Gapapa, seneng aja. Yuk makan!”