Berakhir
Yuno sudah kembali menata hidupnya kembali sejak kemarin, kembali ke kampusnya dan mengejar ketertinggalannya sejak ia tidak hadir di kampus. Untungnya dosen-dosennya mengerti, walau rasanya sangat kuwalahan mengejar beberapa mata kuliah secara bersamaan tapi bagi Yuno itu lebih baik dari pada ia harus berdiam diri di apartemen lalu teringat masalahnya lagi.
Walau masih suka merasa sepi dan kosong, Yuno mencoba mencari pelampiasan baru yang lebih positif lagi dari pada harus menenggak kaleng-kaleng beer yang akhir-akhir ini ia jadikan sebagai pelariannya. Hari ini Yuno datang ke sebuah toko kamera, ia ingin membeli kamera baru.
Yuno ingin belajar memotret, tidak ada niat serius dalam hal ini. Yuno hanya ingin mencari kesibukan saja, sampai rasanya badannya lelah dan begitu ia sampai di apartemen, yang ia lakukan hanya tertidur tanpa sempat memikirkan hatinya yang masih terasa sakit.
Yuno mantapkan pilihannya pada sebuah kamera analog berwarna coklat itu, Yuno sempat mendapat sedikit ilmu memotret dengan baik dari staff nya, sampai akhirnya ia mencobanya sendiri. Setelah selesai membayar kamera analog yang ia beli, Yuno sempatkan untuk jalan-jalan sebentar sebelum ia pulang.
Yuno hanya berjalan-jalan di daerah dekat kampusnya, suhu nya yang semakin dingin hingga membuat hidungnya memerah. Yuno abaikan begitu saja, ia sudah mulai terbiasa dengan udara dingin dan kering sejak kepindahannya ke Jerman.
Sedang asik memotret, tiba-tiba saja ponselnya bergetar halus di coat yang Yuno pakai, ternyata itu panggilan dari Gita. Yuno baru sadar kalau dia belum mengabari Adik sepupunya itu saking sibuknya dia mencari banyak kegiatan di luar kampusnya.
“Hai, Git.” sapa Yuno. Ia tersenyum pada Gita yang berada di kamarnya.
“lo dimana, Kak?“
“Lagi di luar, kenapa?”
Gita menghela nafasnya pelan, Yuno seperti berjalan entah kemana. Terlihat dari layar ponselnya yang bergerak dan wajah Yuno yang tidak begitu stabil terlihat di kamera.
“lo kemana aja? Gak ngasih kabar berhari-hari. Lo gak bales chat gue juga, gak di baca juga. Kemana aja?” hardik Gita. Agak sedikit kesal karena Yuno tampak biasa saja, padahal Gita sangat mengkhawatirkan Kakaknya itu.
“Disini-sini aja.”
“ck, serius Kak.“
Yuno tertawa di sebrang sana, Gita bisa melihat Yuno duduk di sebuah cafe atau restaurant. Entah lah, yang jelas kondisinya agak sepi dengan dinding bata merah dan lukisan abstrak yang menggantung di belakang Yuno. Gita tebak mungkin Yuno masuk ke dalam cafe.
“Gue serius.”
Gita memutar bola matanya malas, kalau Yuno dekat mungkin sudah Gita pukul lengannya. “lo udah tau kalo Ara sakit? Dia opname.“
Ucapan Gita itu berhasil membuat Yuno mengehentikan geraknya, tadi dia sedang memasukkan kamera analog nya ke dalam tas. Cubitan halus di hatinya itu kembali Yuno rasakan, benarkah? Gadis itu sakit? Apa ini karena dirinya? Pikir Yuno.
“Sa..kit apa?” tanya Yuno.
“ck.” Gita berdecak, di sebrang sana ia melipat tangannya di depan dada. “Lo ada apa sih Kak sama Ara? Akhir-akhir ini juga lo beda banget, enggak mau cerita sama gue?“
Gita dan Yuno itu suka berbagi cerita terkadang, ya meski kalau Yuno cerita Gita harus sedikit memaksanya. Yah seperti ini contohnya, menurutnya Yuno bukan seseorang yang mudah terbuka pada orang lain tentang masalahnya. Yuno itu tertutup, banyak memendam apa yang ia rasa.
Padahal Gita sudah pernah bilang, bercerita itu bukan berarti mengeluh. Bercerita tidak sama dengan mengeluh, tapi Yuno tetap saja pada pendiriannya. Sebenarnya Yuno hanya bingung, dia enggak tau harus memulai dari mana jika ingin bercerita. Rasanya bingung karena terlalu banyak memendam.
“Gue udah putus sama Ara, Git.” ucap Yuno lirih.
“putus?” Gita mengulangi kalimat itu demi memastikan telinganya tidak salah dengar. Dan Yuno mengangguk mengiyakan. “kenapa Kak?“
“dia bilang, dia udah gak kuat sama gue. Gue sadar kok gue udah banyak ngecewain Ara, gak bisa jagan dia, gak bisa selalu ada buat dia. Gue udah instrospeksi kenapa dia minta udahan, gue pikir dengan gue mundur. Gue gak akan lagi nyakitin dia, Git.” jelas Yuno.
Gita diam, dia mencoba memaknai kata-kata Yuno dengan apa yang terjadi selama ini. Gita akui, Yuno memang sering absen jika Ara membutuhkan cowok itu, tapi itu semua karena Yuno jauh kan? Bukan karena Yuno dekat tapi selalu tidak ada jika Ara membutuhkannya.
“lo yakin gak ada masalah lagi sama dia? Selain itu mungkin?” Gita ngerasa masih ada yang mengganjal. Dia juga mikir kalau Ara kayanya enggak sedangkal itu. Ara juga pernah bilang kalau konsekuensi berhubungan jarak jauh dengan Yuno sudah bisa ia terima, dan ia tidak masalah dengan itu. Ah, tapi enggak tau kalau pemikiran gadis itu sekarang berubah.
“Ara ada salah paham sama gue, Git. Dia mikirnya gue selingkuh. Tapi cerita nya panjang, Git. Gue juga belum siap buat cerita ini.”
Yuno ingin cerita semuanya ke Gita, tapi rasanya tiap kali ingin bercerita tentang hubungan dengan Ara dan juga kepergian Ann. Seperti ada kawat berduri yang melilit tenggorokannya, kata-kata itu seperti tertahan tidak mampu Yuno utarakan saking sakitnya.
“Kak tapi lo masih sayang sama Ara gak sih sebenernya?“
“Kalau gue enggak sayang, gue enggak mungkin mundur, Git. Gue mundur karena gue sayang sama dia.”
“Ara sedih banget kelihatanya, Kak. Kalo masih bisa di perbaiki. Lo bisa memulainya dari awal menurut gue.“
Di tempatnya Yuno menunduk, mendengarkan wejangan dari Adik sepupunya itu bagai petuah. Gita memang lebih berpengalaman dengan hubungan dari pada Yuno, meski belum banyak bercerita. Tapi Gita berusaha memahami sulitnya komunikasi dari jarak jauh, Yuno juga mencoba memikirkan kata-kata Gita.
Saran dari Adiknya itu untuk bicara kembali dengan Ara dan memperbaiki hubungan mereka, memulai dari awal kembali. Namun menurut Yuno saat ini berpisah menjadi jalan terbaik sementara, biar nanti Yuno akan menjelaskan ke Ara langsung saat ia sudah pulang ke Indonesia.
Urusan Ara mau menerima nya lagi atau tidak, biar itu menjadi urusan belakangan.
“Julian, Tan. Temannya Ara.” Julian menjabat tangan Bunda nya Ara itu dengan senyum merekah, dia baru kembali dari vila dan menjenguk Ara dulu sebelum dia pulang bareng Arial ke Bandung.
“Nak, Julian yang antar Ara ke rumah sakit yah?” tanya Bunda, dan di jawab anggukan malu-malu oleh Julian.
“Iy..ya Tan.”
“Makasih yah, Nak Julian. Kalau gak ada kamu, Tante gak bisa bayangin deh Ara gimana.”
“Sama-sama, Tan.”
Ara sudah jauh lebih baik, walau masih sering sesak setidaknya dia udah enggak selemas kemarin. Gadis itu juga masih pakai alat bantu pernafasan, dokter bilang Ara baru bisa pulang setelah mendapat izin dari dokter spesialis penyakit dalamnya.
Tidak lama kemudian pengeras suara yang berada di ruang rawat Ara menyala, panggilan untuk keluarga Ara dari ruang suster. Biasanya harus ada obat yang perlu di tebus, atau dokter yang ingin membacakan hasil pemeriksaan Ara.
Setelah Bunda keluar dari ruang rawat Ara, Julian duduk di kursi yang bekas di duduki Bunda nya Ara itu. Cowok itu dengan jahil menjawil hidung Ara hingga gadis itu terkekeh.
“Tangan lo bau tau,” ucap Ara sembari memegangi hidungnya.
“Enak aja, wangi gini.”
“Bau terasi,” Ara terkekeh dan ucapannya itu membuat Julian mencium tangannya sendiri untuk memastikan apa yang dikatakan Ara.
“Iya yah, bau terasi. Kayanya gara-gara gue abis makan pecel lele deh.”
Ara tertawa dan memukul tangan Julian dengan gemas, Julian lega Ara udah bisa ketawa lagi sama candaan garing nya itu. Walau sedetik kemudian senyum itu kembali redup.
“Kata Bunda, lo belum makan malam yah? Gue suapin mau gak?”
“Jul?” panggil Ara.
“Hm?”
“Kira-kira, Kak Yuno masih sayang sama gue gak yah?” Ara memperhatikan jemarinya yang saling tertaut itu, seperti mencari jawaban disana akan perasaan Yuno padanya. Jujur saja, Ara masih kepikiran cowok itu. Masih berharap Yuno akan kembali padanya dan meminta maaf.
“Yang ngajakin putus duluan tuh elo yah?” tebak Julian yang membuat kedua bola mata Ara membulat.
“Kok lo tau?”
“Gue cuma nebak aja.” Julian menghela nafasnya pelan. “Kalau dia masih sayang sama lo, dia pasti ngabarin lo lagi, Ra. Gue pikir sekarang hal paling baik adalah saling intropeksi diri.”
“Gue nyesel banget ngomong gitu ke Kak Yuno, gue gak kepikiran dia bakalan iyain ucapan gue. Gue mikirnya dia bakalan nahan gue buat gak pergi,” Ara meringis.
“Lo udah tanya soal kemarin? Ma..maksud gue. Soal foto dia sama cewek blonde itu?”
Ara mengangguk, “gak ada jawaban, dia gak bela diri dia sama sekali. Tapi dia enggak terima pas gue bilang dia selingkuh.”
Mata Ara mulai memanas, seperti menyebut nama Yuno saja bisa berhasil membuat pertahanan nya kembali luruh. Biar bagaimana pun 4 tahun bersama, membuat Yuno seperti mengisi separuh hidupnya, dulu sewaktu dia baru jadian sama Yuno. Ara enggak pernah terpikirkan seperti apa kelak hubungan mereka akan berakhir.
Setiap hari jadi mereka, Ara selalu memanjatkan doa agar hubungan mereka terus berjalan dengan baik. Ara selalu berharap, Yuno bisa menjadi laki-laki pertama dan terakhir baginya.
“Mungkin dia emang enggak selingkuh, Ra. Yang bikin asumsi kalo dia selingkuh kan elo, yah emang dia salah karna gak ngabarin lo apa-apa. Tapi lo sendiri juga belum dengerin penjelasan dia kan?” Julian realistis aja, dia enggak melulu melihat permasalahan ini dari sisi Ara. Karna biar bagaimana pun juga, Yuno belum menjelaskan apapun kenapa hari itu Yuno bisa bersama dengan gadis berambut blonde itu.
Julian enggak mau menghakimi orang lain dan hanya melihat dari satu sudut pandang aja. Tapi kalau ternyata cowok itu memang salah dan benar selingkuh seperti yang di tuduhkan Ara, Julian akan maju untuk menyatakan perasaanya pada Ara dan enggak akan Julian biarkan cowok kembali bersama Ara.
Dalam hati Ara membenarkan ucapan Julian, dia juga meruntuki dirinya sendiri yang gegabah dalam mengambil keputusan. Bahkan ia tidak memberikan kesempatan pada Yuno untuk menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi.
Tapi untuk menghubungi cowok itu kembali dan meminta penjelasan padanya juga rasanya Ara sudah kepalang malu, tau kan Ara itu gadis dengan gengsi yang lumayan tinggi.
“Kira-kira hidup gue bakalan baik-baik aja gak yah, Jul. Setelah ini, gak ada lagi Kak Yuno di hidup gue.”
“Kalau sebelum kenal dia hidup lo baik-baik aja, setelah ini juga hidup lo tetap akan baik-baik aja, Ra.”
Ara mengangguk, ia mengusap setitik air matanya yang ada di ujung itu. Julian yang melihat itu justru mengambil tissue dan menyeka nya.
“Jangan nangis mulu ah, gue lebih suka liat lo ngambek kayanya dari pada nangis.”
“Lo yang gue ambekin yah?” Ara terkekeh.
“Jangan lah emang gue salah apa?” Julian menaikan sebelah alisnya.
“Tadi katanya lebih baik liat gue ngambek gimana sih?”
Keduanya kemudian tertawa, Julian banyak mengajak Ara ngobrol sampai akhirnya ia berhasil membujuk gadis itu untuk makan malam. Kalau boleh melayangkan harapannya lagi, Julian ingin sekali melanjutkan perasaanya. Mungkin ini adalah kesempatan yang semesta berikan padannya.
Tapi Julian enggak mau gegabah dulu, dia mau membiarkan Ara menghabiskan kesedihannya dulu. Sampai di rasa waktunya tepat, Julian akan segera menyatakan perasaanya pada gadis itu.