Delapan Belas — Hidden Words

Setelah berhasil di bujuk untu keluar kamar oleh Arial, akhirnya pagi ini Ara mau keluar dari kamarnya. Gadis itu ikut sarapan bersama dengan kedua orang tua nya, Yuda, Reno dan juga Arial yang masih berada di Jakarta.

Pagi ini suasana rumah juga berubah, Mas Yuda yang biasanya jahil jadi lebih perhatian lagi dengan Ara, meski liat Mas Yuda perhatian kaya gini masih menjadi suatu yang asing baginya. Karena menurut Ara, Mas Yuda perhatian hanya dari kejauhan saja. Cowok itu tidak pandai dalam mengutarakan perhatiannya.

Begitu juga dengan Reno, Reno yang biasanya cemburuan jika Bunda lebih bagus membuatkan telur ceplok kesukaan Ara itu kini justru membagi telur di piring miliknya untuk Kakaknya.

Ara di kursi meja makannya hanya memandang orang-orang di rumahnya dengan bingung saja, dia masih enggak mau banyak bicara.

“Dek, di kulkas ada tiramisu kesukaan Ara, kemarin Mas Yud beliin,” ucap Yuda di sela-sela makan mereka.

Ara hanya mengangguk saja, Mas Yuda jarang banget beliin makanan buat Ara. Cowok itu lebih suka ngasih uang aja biar Ara yang beli sendiri ketimbang beliin sesuatu untuk Adiknya itu.

“Baju Kakak juga udah Reno setrikain.” Reno menunjuk tumpukan baju Ara yang sudah rapih di atas keranjang, Reno menaruhnya di bawah tangga yang memang biasanya di jadikan tempat untuk menyetrika oleh Bunda.

Di rumah keluarga Ara itu mereka enggak punya asisten rumah tangga, semua di kerjakan sendiri dan Bunda sudah membagi tugas-tugas rumah kepada anak-anaknya itu. Makannya Bunda heran kenapa Ara ngotot buat tetap ngekost, toh selama ini anak-anaknya juga sudah hidup mandiri tanpa ketergantungan oleh siapapun.

“Kok tumben?” tanya Ara bingung.

“Kasian, Kakak pasti capek. Makanya Reno yang setrikain, baik kan Reno.”

Ara hanya mengangguk, di kursinya Arial hanya tersenyum saja.

“Makan yang banyak, dari kemarin kamu makan ngumpet-ngumpet terus kan kaya kucing.” Arial menyendokkan sayur dan menaruhnya di piring Ara.

“Mas Iyal ihhh, itu kebanyakan.” rengek Ara.

Di kursinya Bunda hanya terkekeh saja, hatinya selalu menghangat melihat anak-anaknya akur seperti ini.

“Kak, selesai makan Papa mau ngobrol dulu sama Kakak sebentar bisa, nak?” tanya Papa, yang di jawab anggukan kecil oleh Ara.

Setelah selesai makan, Ara dan Papa bicara berdua di ruang TV. Sementara Bunda sibuk di dapur, ada Yuda di rumah tapi Yuda sedang berada di kamarnya. Sementara Arial dan Reno pergi keluar untuk bermain basket di taman. Bunda sengaja tidak ikut mengobrol di ruang TV karena Papa memang ingin bicara berdua saja dengan si tengah itu.

Di sofa nya Ara hanya menunduk, ia punya firasat kalau Papa pasti akan membicarakan soal kuliahnya. Tapi kini Ara sedikit sadar kalau dia gak bisa terus-terusan menghindari topik pembicaraan ini.

Biar bagaimana pun, topik ini harus di bicarakn. Ara masih ingin kuliah, dan berangsur-angsur angan-angan akan kampus impiannya itu sudah bisa Ara relakan.

“Kak, Papa sudah tahu.” Papa menarik nafasnya pelan. “Gak papa, Kak. Papa gak marah, gak ada yang marah, nak. Mungkin Malang belum menjadi rezeki kamu buat belajar di sana.”

“Tapi Kakak kecewa sama diri Kakak, Pah.”

“Kakak kecewa kenapa? Kakak udah belajar mati-matian loh, kecuali Kakak enggak berusaha itu baru boleh Kakak kecewa, nak.”

Dalam hati Ara mengiyakan ucapan itu, Arial juga bilang kalau ia sudah belajar dengan benar. Ia sudah keras dengan dirinya sendiri sebelum ujian, toh masuk perguruan tinggi negeri tidak bisa menjadi tolak akur kesuksesan kan? Mungkin saja ada yang lebih baik menurut Tuhan untuk Ara.

“Terus gimana, Pah?” Ara mendongakan kepalanya, menatap Papa nya itu dengan wajah penuh penyesalannya.

Kadang Ara berpikir, dari awal saja kedua orang tua nya memang tidak memberinya restu untuk melepaskannya merantau ke Malang. Mungkin ini juga yang menjadi faktor Ara bisa di tolak di kampus incarannya, bukannya restu dari kedua orang tua itu sangat penting? Pikirnya.

“Kakak mau kuliah di mana? Papa serahkan ke Kakak karena Kakak yang mau belajar.”

“Kakak gak mau di kampus nya Mas Yuda,” cicit Ara pelan. Kampus Yuda bukan kampus dengn reputasi yang buruk, hanya saja Ara enggak ingin berkuliah di tempat yang sama dengan Yuda, karena sejak TK sampai SMA Ara selalu di sekolah yang sama dengan Yuda, ia ingin mencari suasana baru.

“Mau di mana, Kak?”

“Kalau di Bandung boleh, Pah?”

“Di kampus Mas Arial?” tebak Papa yang di jawab anggukan kecil oleh Ara, dan Papa membalasnya dengan senyum. “Boleh, Kak. Papa kasih izin.”

Wajah Ara yang tadinya penuh rasa bersalah itu kini lebih cerah, ia tersenyum dan beringsut memeluk Papa nya itu. Setidaknnya Narawangsa lebih baik, di sana juga banyak teman-temannya dan Ara akan tetap bisa belajar hidup mandiri menjadi anak kost, ya meski Ara tahu ia tidak akan luput dari pengawasan Arial.

“Makasih, Pah.” ucap Ara memeluk Papa nya.

“Jangan sedih-sedih lagi ya, Kak. Belajar yang benar di sana, jaga diri kamu juga,” ucap Papa sembari mengusap-usap punggung putri satu-satunya itu.


Sudah dua hari Ara masih tidak menjawab panggilan dari Yuno, membalas pesaanya pun tidak. Ara ngerasa dia butuh waktu sendiri untuk meredam segala rasa kecewa nya. Tapi lama kelamaan, ia jadi tidak tega sendiri dan merasa sedikit jahat. Apalagi Yuno sudah mengatakan ia benar-benar merasa bersalah.

Akhirnya malam itu Ara melakukan panggilan video dengan Yuno, di sebrang sana Yuno tersenyum manis. Cowok itu berada di kamar apartemennya, Ara juga sudah berada di ranjangnya dengan MacBook yang berada di pangkuannya.

Sayang, hai. Aku kangen kamu, gimana kabarnya? Udah baikan?” Yuno sudah tau kabar Ara dari Echa, Yuno juga belum berani bahas soal kampus dengan Ara. Ia ingin membiarkan Ara yang bercerita lebih dulu saja.

Di tempatnya Ara mengangguk, memperhatikan Yuno yang menurut nya semakin kurus dari hari terakhir ia melihatnya langsung.

“Kak Yuno?”

yes babe?

“Kok kurusan?”

Yuno meringis, ia enggak mau cerita kalau ia sempat jatuh sakit. Rasanya hanya tidak tepat ia bercerita seperti ini di saat ia tahu kondisi Ara juga baru sedikit membaik, jadi Yuno akan tetap merahasiakan hal ini pada gadis itu.

capek banget, sayang. Aku kan ikut beberapa organisasi di kampus, dan emang lagi hectic-hectic nya. Maaf yah, waktu buat kamu jadi sedikit berkurang,” jelas Yuno penuh penyesalan.

“Um.” Ara mengangguk sekali lagi. “Gapapa, Kak. Aku bisa ngerti kok, apalagi fakultas kedokteran emang sesibuk itu.”

Ada banyak kata yang ingin Ara ungkapkan, namun semuanya seperti tertahan di ujung bibirnya. Ia tidak pernah bisa lugas bercerita pada Yuno, Ara sadar terlalu banyak yang ia dan Yuno sembunyikan.

tapi aku janji, kalo ada waktu sebentar pun aku bakalan ngabarin kamu.

“Yang penting itu kamu istirahat dan makan, Kak. Kamu tuh udah kurus banget dari yang terakhir aku liat tau.”

Yuno menaikan sebelah alis tebalnya itu, “masa sih, sayang? Tapi emang sibuk sih, nanti aku makan yang banyak yah. Kamu gimana di sana?

Ara menunduk, dia gak mau cerita bahwa betapa hancur nya dia beberapa hari ini pada Yuno. Ara tahu, kuliah kedokteran itu banyak menguras tenaga dan pikiran dan Ara enggak ingin menambah beban pikiran Yuno dengan bercerita hal-hal sedih pada cowok itu.

“Aku jadinya kuliah di Bandung, Kak. Gak jadi di Malang.”

oh ya? Di kampus nya Arial, sayang?

“Um, minggu depan aku ke Bandung buat ngurus pemberkasan. Terus sekalian cari kosan.”

kamu kenapa gak tanya Gita, sayang? Kan bakalan satu kampus sama dia juga, kali aja kosan Gita masih ada kamar yang kosong?” usul Yuno.

Ara sampai tidak kepikiran. Apalagi Gita bilang kemarin kalau gadis itu sudah mendapatkan kosan di Bandung, benar juga. Dari pada ia mencari-cari kosan lagi, lebih baik bertanya dengan Gita dulu saja kan.

“Eh iya juga ya, Kak. Aku gak kepikiran, untung kamu ngingetin.”

nanti kasih tau aku yah kalau udah dapat kosan.

“Um, Kak Yuno? Kamu kapan pulang?”

kangen ya? Sabar yah, kemungkinan aku baru bisa pulang tahun depan, sayang. Atau paling cepat akhir tahun ini, tapi mungkin juga gak bisa lama-lama.

Ara menghela nafasnya pelan, ia benar-benar merindukan Yuno setelah kemarin ia sedikit menjauhi cowok itu.

“Aku selalu kangen kamu, pengen peluk, pengen cium juga, pengen ngajak kamu ke tempat-tempat yang aku datangi tanpa kamu, mau kasih tau kamu kalo aku udah bisa dekor birthday cake ada banyak hal yang mau aku lakuin sama kamu,” cerocos Ara malam itu yang Yuno balas dengan senyumannya. Sama hal nya dengan Ara, ada banyak juga yang ingin Yuno lakukan bersama gadis itu.

tapi dari semua hal yang kamu sebutin barusan, apa yang kepengen banget kamu lakuin?

Mendengar pertanyaan dari Yuno itu, Ara terdiam sebentar. Jemarinya ia remas pelan dan bibirnya ia kulum, ada banyak kata yang tertahan di bibirnya dan perasaan yang ingin sekali ia utarakan. Namun yang keluar dari bibir Ara hanyalah.

“Mau peluk kamu,” ucapnya.