Delapan—Tak Di Tanganku

Sudah terhitung hari ketiga Ujian Nasional di Indonesia berlangsung, sejak hari terakhir Yuno dan Ara bertukar kabar melalui panggilan video. Sejak hari itu Yuno menyuruh Ara untuk fokus pada ujiannya dulu, mereka membatasi bertukar kabar lagi setelah itu.

Hanya pesan singkat saja yang Ara balas ketika di Jakarta pagi hari sebelum gadis itu berangkat ke sekolahnya, Yuno paham dan memaklumi itu. Ia sama sekali enggak keberatan dengan intensitas komunikasi mereka yang semakin berkurang.

Hari ini, Yuno mulai memindahkan satu persatu barang miliknya ke apartemen nya di Heidelberg. Sekolah bahasanya sudah selesai, Yuno hanya tinggal menunggu masuk ke kampusnya sebagai mahasiswa kedokteran di tahun ajaran baru, Barang yang Yuno pindahkan ke apartemen barunya juga hanya baju dan barang kecil-kecil saja.

Sisa nya apartemen yang berada di Heidelberg sudah include dengan perabotan. Kemarin Yuno di bantu oleh Josep, tapi hari ini Josep juga sedang mencari jasa truk untuk ia pakai pindahan. Di antara Yuno, Josep dan Roseane. Hanya Ann yang berada di Berlin, ia akan kuliah di kampus yang ada di sana.

Sementara Josep di Hamburg dan Yuno di Heidelberg. Namun, ketiganya setuju jika ada waktu luang, mereka harus bertemu walau hanya untuk sekedar ngopi. Di stasiun menuju Heidelberg, Yuno sedikit melirik Ann yang hari itu membantunya, Ann membawa koper kecil berisi buku-buku dan satu paper bag berisi makanan yang barusan mereka beli.

“Lo gak keberatan?” tanya Yuno sedikit khawatir pada Ann, kadang Yuno heran. Ann itu kurus tapi gadis itu benar-benar kuat. Bahkan awalnya Ann memilih koper besar berisi sisa baju-baju Yuno, mana tega Yuno membiarkan Ann yang kurus dan seorang perempuan membawa koper besar itu.

“Ya ampun, No. Koper kecil gini doang mah gue kuat,” jawab nya enteng, seolah-olah itu bukan masalah buatnya.

Yuno hanya bisa tersenyum kemudian melihat ke arah arloji miliknya. “Keretanya sampai sini 10 menit lagi, by the way, thanks ya Ann udah bantuin gue pindah.”

Ann mengangguk, ia menoleh ke arah Yuno yang hari itu terlihat sedikit pucat baginya. “Muka lo pucat, No. Lo sakit?”

“Agak gak enak badan, kecapekan gue kayanya.”

Tangan kurus Ann kemudian terulur memegang kening Yuno, badan Yuno demam. Suhu nya sangat berbeda dengan suhu badan Ann saat ini, pantas saja Yuno agak sedikit lebih diam.

“Tau lo sakit mending kita pinjam mobilnya Rosalie buat pindahan elo, dari pada naik kereta kaya gini.”

“Naik mobil lebih lama 2 jam, Ann. Lagian apart gue gak jauh dari stasiun kok, udah lah gapapa.”

Walau Yuno bilang gapapa, tapi tetap saja Ann khawatir dengan cowok itu. Begitu kereta yang akan mereka tumpangi datang, buru-buru Ann masuk untuk menaruh koper milik Yuno dan sedikit berlari ke mini market untuk membeli beberapa obat. Seingat Ann, kotak obat milik Yuno masih berada di apartemen lamannya.

“Lo habis dari mana?” Yuno tadi sempat mencari Ann ke gerbong lain, takut-takut Ann nyasar. Gadis itu bilang ingin ke toilet sebentar, padahal Ann keluar dari kereta terburu-buru demi bisa membelikan Yuno obat.

“Mini market buat beli obat penurun demam, lo udah makan kan tadi? Minum dulu obatnya ya.” Ann menyuruh Yuno untuk duduk di kursinya, sementara ia membukakan air minum yang ia bawa di tas miliknya dan juga memberikan Yuno obat yang barusan ia beli.

“Lo tuh calon dokter, No. Sebelum nyembuhin pasien lo, lo harus bisa jaga kesehatan diri lo sendiri.”

Yuno hanya pasrah saja, ia meminum obat itu, kemudian bersandar pada kursi kereta. Sejak ia pindah ke Jerman, kedua orang tua nya jarang sekali mengabari Yuno. Papa dan Mama benar-benar sibuk di rumah sakit, apalagi Yuno tahu kalau akhirnya Papa berhasil menjabat sebagai direktur rumah sakit yang di dirikan oleh Eyang kakungnya.

Dulu, sewaktu Yuno pertama kali pindah ke Berlin dan sakit. Ara sangat mengkhawatirkannya, gadis itu bahkan gak ada hentinya untuk mengingatkan Yuno minum obat, makan dan istirahat. Namun saat ini Ara bahkan enggak tahu kalau Yuno sakit, Yuno juga gak cerita karena ia tidak ingin membuat gadis nya khawatir.

“Sekali lagi, thanks ya, Ann.”

“Sama-sama.”

Kereta yang keduanya tumpangi itu jalan, di perjalanan Yuno sempat tertidur karena efek mengantuk dari paracetamol yang Ann berikan untuknya, di sebelah Yuno. Alih-alih ikut tertidur juga, Ann justru mendengarkan lagu dari earphone nya sembari memperhatikan setiap lekuk wajah Yuno yang menurutnya sangat sempurna itu.

Hidungnya kecil dan mancung, alis yang tebal, bulu mata yang lentik, bibir yang menawan sempurna serta bulu-bulu halus di wajahnya. Kadang Ann berpikir Yuno terlalu sempurna untuk ukuran manusia pada umumnya, katakan ia berlebihan tapi itu adalah sebuah kejujuran tentang Yuno darinya.

Sedang asik menelisik wajah Yuno, tiba-tiba saja kedua mata itu terbuka. Ann yang tadinya tersenyum, kini mendadak membuang pandanganya ke arah lain dan sedikit canggung.

“Gue ketiduran.”

Ann dengar, namun ia memilih untuk tidak menggubris ucapan Yuno. Lagi pula ia bisa berpura-pura tidak mendengar karena masih ada earphone di telinganya, namun merasa pundaknya di sentuh oleh Yuno. Akhirnya Ann membuka earphone yang menyumpal telinganya itu.

“Kenapa?”

“Rosalie bilang dia gak bisa jemput lo.” Yuno menunjukan ponselnya yang berisi pesan singkat dari Rosalie, Rosalie itu teman mereka sekaligus tetangga Ann. Ann sudah meminta tolong pada Rosalie untuk menjemputnya, namun gadis itu kali ini bilang tidak bisa menjemputnya karena Ibu nya baru saja datang.

Ann menghela nafasnya berat. “Gue balik naik kereta lagi aja, No.”

“Udah gelap gini.”

“Gapapa, gue biasa kemana-kemana sendiri lagi.”

“Lo gak mau keliling Heidelberg dulu? Seenggaknya balik besok, kebetulan di apart gue ada 2 kamar. Lo bisa pakai kamar tamu kalau mau.”

Tidak ada jawaban dari Ann, gadis itu hanya menatap wajah Yuno lekat-lekat. Membuat Yuno yang berada di depannya sedikit bingung.

“Ann?” panggil Yuno menyadarkan Ann dari lamunannya.

“Gapapa gue langsung balik aja, No.”

“Besok aja, besok gue yang antar lo balik ke Berlin.”

Akhirnya Ann mengangguk, dalam hati bolehkan ia layangkan harapannya kembali pada Yuno meski ia tahu Yuno sudah memiliki seseorang di hatinya.


“Jadi lo udah pasti banget tuh di Bandung, Nu?” tanya Ara.

Janu, Ara dan Echa masih bersantai di taman sekolah. Mereka sudah pulang, tidak ada yang mereka tunggu lagi. Namun Echa mengajak keduanya untuk duduk sembari membicarakan tentang kampus yang akan mereka ambil. Echa gak ada rencana buat kuliah di luar kota, keinginannya adalah tetap berkuliah di Jakarta.

“Pastilah, bokap gue udah daftarin gue di sana.”

“Di Narawangsa tuh?” kening Echa berkerut.

Janu mengangguk kecil, “lagian yang, kenapa enggak bareng aku aja sih? Kan kita bisa kost bareng. Ada Gita sama Kevin juga.”

Echa, Janu dan Ara sudah tau kalau pada akhirnya Gita kembali mengekori Kevin. Keduanya juga sudah mencari kosan di Bandung yang dekat dengan kampus keduanya. Sementara Echa, dia masih berusaha untuk dapat perguruan tinggi negeri di Jakarta.

“Aku masih mau berusaha dapat PTN dulu, Nu. Kalo lo gimana, Ra?”

Ara yang di tanya gitu menghela nafasnya berat, “sama, Cha. Mau coba PTN dulu. Kalau enggak dapat yah gue ke Narawangsa, Papa juga nyuruh gue di sana. Ya seenggaknya Narawangsa lebih baik dari pada gue harus satu kampus sama Mas Yuda.”

“Gue pikir lo bakal nyusul Bang Yuno ke Jerman, Ra.” celetuk Janu asal-asalan.

“Duit Papa gue enggak sebanyak itu, Nu.”

“Tapi lo jadi, Ra. Liburan ke Jerman nyusul Kak Yuno?”

Ara mengangguk, “gue udah pesan tiketnya juga. Mungkin seminggu gue di sana, gila lo habis hectic sama UN gue gak healing bisa setress nanti sebelum nyiapin diri buat kuliah.”

“Healang healing, elu mah mau pacaran gitu pake bilang healing segala,” cerocos Janu.

“Eh diem yah lo kadal gurun!” sentak Ara kesal, kadang mulutnya Janu tuh kaya Ibu-Ibu julid.

“Papa lo ngizinin, Ra?”

“Um!” Ara mengangguk. “Kak Yuno yang minta izin, Kak Yuno berhasil yakinin Papa. Yaudah deh di kasih izin.”

“Jangan aneh-aneh ya lo berdua di sana,” Echa terkekeh, dia udah ngasih ultimatum buat Ara walau sebenarnya Echa yakin kalau Ara dan Yuno pasti menjaga diri dan tahu batasan pacaran mereka.

“Heh, Kak Yuno bukan orang kaya gitu yah, enak aja lo. Harusnya gue tuh yang bilang gitu ke lo berdua.”

Setelah selesai Ujian Nasional, Ara akan segera berangkat ke Jerman. Dia sudah sangat merindukan Yuno, bahkan Ara sudah membuat daftar kencan bersama Yuno.