Dua Belas— Bagaimana Jika Aku Gagal?

Sudah dua jam Yuno dan Ara belajar, lebih tepatnya Ara yang belajar karena Yuno hanya memantau dan mengoreksi soal-soal yang ia anggap salah, kemudian mengajari gadis itu hingga Ara paham. Dengan sabar Yuno mengajarkan satu persatu soal, walau terkadang konsentrasi Ara suka buyar dan sering mengalihkan konsentrasinya juga.

Seperti saat ini, saat Yuno sedang menjelaskan letak kesalahannya pada soal matematika, alih-alih memperhatikan buku serta penjelasan Yuno. Gadis itu justru lebih tertarik memperhatikan wajah kekasihnya itu.

“Sayang..” tegur Yuno, namun Ara malah tersenyum sembari menutup wajahnya dengan kedua tangannya itu.

“Ini aku merhatiin tau,” sangkalnya.

“Yang kamu perhatiin muka aku, bukan soalnya. Ayo dong serius, katanya mau dapat kampus yang kamu mau.”

“Tapi aku udah ngerjain 50 soal, kan capek, Kak. Gak kasian apa aku tuh minggu kemarin baru selesai UN.” Ara mengulum bibirnya, mengedipkan kedua matanya layaknya seekor anak kucing yang ingin meminta di pungut.

Yuno menghela nafasnya pelan, gak tega juga lihat wajah Ara yang sudah memelas. Dari tadi memang Yuno sudah memberikan soal-soal yang kemungkinan keluar di ujian untuk masuk perguruan tinggi.

“Yaudah, kamu istirahat dulu, aku mau periksa soal-soal yang kamu kerjain tadi.” Yuno akhirnya luluh juga.

“Yeayyyyy makasih sayangku.”

Ara memanfaatkan waktu yang Yuno berikan dengan memakan cemilan yang tadi ia siapkan sebelum belajar, mereka belajar di ruang TV yang bersebrangan langsung dengan balkon apartemen, jadi Ara bisa melihat cuaca di luar sana, ini sudah jam 8 malam namun di luar sana masih sangat terang.

Waktu terang di Jerman pada akhir musim semi bisa sampai jam 9 malam, dan Ara masih suka kaget akan hal itu. Sedang asik melamun sembari memakan satu persatu cemilan di depannya tiba-tiba saja Yuno senyum-senyum sendiri, membuat Ara menoleh ke arahnya dengan tatapan bingung.

“Kok senyum-senyum?” tanya Ara.

Yuno menggeleng pelan, mengingat bagaimana malam itu ia melihat Ara tertidur.

“Gapapa, lucu aja,” jawab Yuno, ia berusaha melihat ke arah lain supaya Ara enggak salah tingkah.

“Ihh Kak Yuno! Kenapa gak?”

“Kamu tuh kalo tidur mendengkur yah?”

“Hah?!” pekik Ara kaget, seingatnya sih enggak. Kalau ngiler mungkin iya, Kak Yuno ini bercanda atau serius sih? “Emang iya?”

Yuno mengangguk. “Kenceng banget, tapi lucu.”

Wajah Ara benar-benar memerah, dia malu setengah mati. Gimana kalau setelah ini Kak Yuno ilfeel? Walau kelihatan biasa-biasa aja, tetap aja Ara malu setengah mati.

“Kak, serius?”

“Iya, ngapain aku bohong? Tapi gapapa, lucu soalnya.” Yuno masih tertawa, dia gak ada rasa ilfeel sama sekali. Malah menurut Yuno itu lucu, dan ia pikir mendengkur saat tidur itu manusiawi. apalagi Ara sempat jetlag kemarin dan pastinya kelelahan. Ia masih memaklumi itu, toh ia juga mendengkur saat tidur.

“KAK YUNO JANGAN KETAWAAAAAA!!” rengek Ara, dia malu setengah mati.

“Habisnya lucu masa aku gak boleh ketawa sih?”

“Tapi kan aku malu.”

Yuno terkekeh, ia menaruh pena yang terselip di jemarinya kemudian merangkul Ara. Dan gadis itu memeluknya dari samping dengan penuh posesif.

“Aku gak ilfeel, malahan lucu lagi. Aku juga enggak sengaja liatnya, aku pikir kamu belum tidur karna pintunya enggak kamu kunci. Ternyata udah tidur.”

“Emangnya kamu mau ngapain tadinya masuk kamar aku?”

“Mau ngasih teh.”

Ara tersenyum kecil, Ara sedikit merasa kalau suasana seperti ini terasa seperti ia dan Yuno sudah menikah. Kadang menikirkan suatu hari ia bisa menikah dengan Yuno membuat kupu-kupu di perutnya berterbangan.

“Kak?”

“Hm?”

“Kalau aku gak berhasil masuk ke kampus impian aku, Kak Yuno marah gak?” tanyanya, jujur saja liburan kali ini terasa menyenangkan karena ia bisa bersama Yuno. Tapi Ara belum selega itu, ia masih di hantui perasaan tidak nyaman karena takut tidak berhasil masuk ke kampus yang ia idamkan.

“Kenapa harus marah?” Yuno menatap Ara bingung, jemarinya mengusap pucuk kepala gadisnya itu penuh kasih sayang.

“Gapapa, Kak Yuno tau gak?”

“Apa?”

“Aku belajar mati-matian supaya nilai UN aku bagus, aku juga bakalan berusaha sekuat tenaga biar bisa masuk kampus yang aku mau. Supaya bisa bikin kamu bangga punya aku.”

Yuno memang banyak sekali memotivasi Ara dalam hal belajar, ia bukan gadis yang ambisius. Namun bersama Yuno menjadikanya banyak bekerja keras, ia tidak ingin membuat Yuno malu jika gadis yang di pacarinya bodoh.

“Kenapa buat aku? Harusnya kamu lakuin itu semua, untuk diri kamu sendiri. Sayang?”

“Um?”

“Kamu mau kuliah di kampus manapun, aku akan selalu dukung kamu. Kalau kamu gagal, aku gak akan marah, kamu udah kerja keras, kamu udah berusaha. Aku udah cukup bangga punya kamu yang selalu ngertiin aku, nemenin aku, ngedukung aku. Dan aku mau lakuin hal yang sama dengan apa yang kamu lakukan ke aku.”

Ara menunduk, kemudian menatap kembali wajah Yuno yang kini juga tengah menatapnya. Matanya sedikit terpejam ketika jemari milik Yuno itu membelai wajah tirusnya.

“Kamu gak pernah menghakimi aku ketika aku gagal, dunia kamu gak akan selesai gitu aja cuma karena kamu gak masuk kampus yang kamu mau.”

“Kak...” kata-kata Yuno barusan berhasil membuat hati Ara tersentuh, ia berhambur ke pelukan Yuno dan menyembunyikan wajahnya di dada cowok itu. Ara menangis di sana, Yuno selalu bisa menengkannya.

Dulu, saat Ara sakit hingga suaranya serak sampai tidak bisa ikut lomba paduan suara ke luar kota. Yuno juga orang yang bisa menengkannya, membuat Ara berhenti menyalahkan dirinya sendiri. Kadang ia merasa, Yuno seperti air di hidupnya yang mengisi kekosongan di hidupnya. Ah tidak, mereka saling mengisi. Bagi Yuno pun Ara berperan mengisi kekosongan di hidupnya.

Karena hari sudah semakin gelap, Ara berpamitan untuk tidur lebih dulu. Saat sudah selesai memakai skincare malamnya, ia tidak sengaja melihat ada jepit rambut di kolong tempat tidurnya, itu pun tidak sengaja karena tertendang kakinya.

Ara menunduk, mengambil jepit rambut berbentuk bunga lily itu, keningnya mengkerut mempertanyakan milik siapa jepit rambut itu, gak mungkin itu punya Yuno kan? Rambut Yuno memang sedikit panjang, tapi seingat Ara, Yuno hanya mengenakan bando alih-alih jepit rambut seperti ini.

“Mungkin punya pemilik apartemen yang lama kali ya?” gumamnya, Ara menaruh jepit itu di nakas sebelah ranjangnya dan naik ke atas kasur.

Namun ada hal lain yang membuatnya sedikit terkejut, di bantal yang ia pakai. Ada sehelai rambut berwarna bloonde yang lumayan panjang, ini rambut milik seorang gadis. Enggak mungkin rambut sepanjang itu milik seorang laki-laki kan? Ara menahan nafasnya, pikirannya jadi semakin kalut memikirkan siapa gerangan pemilik rambut bloonde dan jepit rambut yang ada di kamar tamu Yuno? Apa Yuno sempat membawa gadis lain ke apartemennya? Pikir Ara.