Dua— Tentang Waktu

Setelah selesai mempelajari beberapa materi untuk ujian sekolah bahasanya, Yuno hendak akan tidur. Ini sudah jam 12 malam di Jerman dan sebelum ia tidur, Yuno sempatkan mengirimkan pesan singkat ke Ara hanya untuk mengucapkan selamat pagi.

Setelah itu ia menarik selimut miliknya lalu menonton beberapa video dulu sebelum akhirnya terlelap, sudah 4 bulan setelah Yuno di Jerman dan ia masih aktif menjadi siswa sekolah bahasa Jerman sampai ke tingkat B2 sebelum akhirnya nanti melanjutkan ke kampus kedokterannya.

Satu bulan pertama setelah pindah Yuno banyak sekali kaget dengan budaya di Jerman, makannya dan yang jelas iklim di sana. Terlebih, Yuno benar-benar sendiri. Tidak ada sanak saudara di Jerman maka dari itu Ara tidak ada hentinya mengingatkan Yuno untuk menjaga kesehatannya.

Jika di tanya rindu dengan Jakarta dan segala bentuk kebisingannya, maka Yuno akan menjawab, tentu saja ia rindu. Mata yang perlahan-lahan mulai berat itu kembali segar ketika sebuah panggilan muncul di layar ponselnya. Itu Ara, gadis itu memang selalu bangun subuh-subuh.

Ara akan sedikit membaca materi sebelum mandi dan bersiap untuk sekolah, gadis itu akhir-akhir ini sibuk. Sejak menginjak kelas 12, Ara sering pulang larut karena ada jam tambahan di sekolah dan beberapa bimbel yang harus ia ikuti demi bisa masuk perguruan tinggi.

“Halo, Sayang?” sapa Yuno, wajahnya tersenyum walau Ara tidak melihatnya.

Kak Yuno kok belum tidur? Di sana udah jam 12 malam kan?

“Baru mau tidur kok, habis ngerjain tugas. Kamu lagi apa?”

lagi baca-baca materi aja, habis itu mau mandi.

Dari sebrang sana, Yuno bisa mendengar suara kertas yang seperti di bulak balik. Ara benar-benar tengah membaca kembali materi yang di pelajari nya. Kemarin Ara bercerita bahwa gadis itu sudah memiliki tujuan kampus mana yang akan ia pilih, Ara juga bilang jika ia ingin mengambil jurusan psikologi.

Dan alasan itu semua karena Ara termotivasi oleh Yuno. Sewaktu hectic menjelang ujian nasional, Yuno sempat sering terkena panic attack dan Ara tahu akan hal itu. Yuno juga sempat stress berat hingga berimbas pada kesehatannya karena waktu itu nilainya sempat turun, berujung dengan kemarahan Papa yang kecewa dengan nilai Yuno.

Sejak itu, Ara jadi termotivasi menjadi seorang psikolog. Jika Yuno nanti akan menyembuhkan orang lain, maka Ara yang akan menyembuhkannya.

“Um, jangan lupa sarapan yah. Di antar siapa, sayang?”

aku di jemput Echa sama Janu, ihhh Kak Yuno tau gak sih? Mereka tuh ngeselin banget tau,” Ara merajuk, jika boleh Yuno tebak pasti wajah gadis itu tengah cemberut sekarang.

“Kenapa sayang?”

Kak Yuno tau kan kalo Janu sama Echa pacaran? Yah itu, mereka bucin terus di kelas. Aku jadi kaya nyamuk tau di antara mereka, nyebelin banget kan? Apalagi Janu si kutu kupret itu, dia sering banget ngeledekin aku kalo aku pacaran sama Bang Toyib. Apa banget coba!!

Yuno terkekeh, ia sudah tahu Janu dan Echa berakhir bersama. Karena waktu itu Janu sempat menjadi bahan ledekan di grup chat yang Jo buat.

“Mulut nya Janu emang gak ada adab nya, masa aku di samain sama Bang Toyib.”

kalo Kak Yuno pulang kasih paham dia yah.

“Kalo aku pulang nanti aku ikat di tiang listrik aja kali yah,” ucap Yuno yang kemudian membuat keduanya tertawa.

Kak?

“Ya, Sayang?”

i miss you.” suara Ara sedikit bergetar, meski sudah 4 bulan di tinggal Yuno, Ara belum terbiasa akan hal itu.

Terkadang ia harus menahan diri untuk bercerita dengan Yuno karena perbedaan waktu antara Jakarta dan Berlin yang berbeda 6 jam. Belum lagi jika Yuno sedang sibuk dengan kegiatannya, begitu mereka ada sedikit waktu senggang Ara terkadang suka tidak mood untuk menceritakan kesehariannya.

Belum lagi Ara terkadang harus sedikit mengalah, seperti tidur sedikit larut demi bisa bertatap wajah meski dari layar laptop dengan Yuno. Atau bahkan sebaliknya, yah seperti ini.

“Sabar yah, aku janji kalau libur aku pasti pulang kok. Aku juga kangen kamu.” suara Yuno sedikit memelan, ia juga sangat merindukan kekasihnya.

Habis selesai ujian nasional, aku terbang ke Jerman yah? Aku nabung kok, nanti sisa nya aku minta tambahin Papa.

“Aku tambahin aja yah?”

jangan ih!!

“Kenapa emang?”

gak usah, Kak Yuno nanti jajanin aku aja di sana.

“Ya udah deh kalo gitu.”

Setelah berbicara dengan Ara melalui telefon, mata Yuno jadi tidak mengantuk lagi. Ia malah sibuk melihat isi galerinya, foto-foto nya dengan Ara. Kemudian membuat daftar tempat-tempat yang bisa ia kunjungi jika Ara ke Berlin nanti.

Meski baru 4 bulan di Jerman, Yuno sudah memiliki seorang teman dekat yang tahu sekali tempat wisata yang wajib di kunjungi jika ke Berlin. Maka dari itu Yuno sudah mengunjungi banyak tempat.


Ini sudah jam pelajaran ke 4 hari ini, sayangnya guru yang seharusnya hadir di kelas itu sedang berhalangan. Maka dari itu kelas 12 IPS 2 jadi agak ramai, ada yang asik bermain game, mengobrol, makan sampai yang pacaran pun ada.

Tapi yang Ara lakukan justru meringkuk di kursinya sembari menyandarkan kepalanya di meja. Perutnya terasa sakit karena hari pertama datang bulannya, Echa yang duduk di kursi Janu itu jadi menghampiri Ara yang terlihat tidak baik-baik saja.

Janu itu duduk di kursi belakang Echa dan Ara. Janu duduk sendiri, karena jumlah murid di kelas mereka hanya 27. Makanya Janu enggak punya teman sebangku, dan dia enggak masalah dengan itu.

“Ra, lo kenapa?” tanya Echa khawatir, ia menyibak rambut panjang temannya itu yang sedikit menutupi wajahnya.

“Cha, perut gue sakit banget.”

“Lo lagi dapet?

Ara hanya mengangguk, kepalanya juga sedikit pening karena keringat yang terus bercucuran di dahi nya.

“ke UKS aja yuk gue temenin, jam kosong gini.”

Ara hanya mengangguk, Echa kemudian membantu Ara berdiri dan memapah gadis itu untuk berjalan menuju UKS. Namun tidak lama kemudian Janu yang duduk tepat di belakang Ara itu kaget, pasalnya rok putih yang Ara kenakan berubah menjadi merah.

“Beb, rok nya Ara kotor!” pekik Janu yang membuat beberapa murid jadi menoleh ke arah Ara dan Echa.

Sontak itu juga membuat Echa langsung memeriksa rok yang Ara pakai, dan benar saja. Rok itu sudah kotor dengan darah yang agak banyak. untung saja Echa membawa jaket, jadi langsung ia ambil jaket miliknya dan ia ikat jaket itu di pinggang Ara agar menutupi roknya.

“Cha, tapi nanti jaket lo kotor gimana?” Ara jadi enggak enak, pasalnya itu adalah jaket favorite Echa.

“Udah lah gapapa, nanti bisa di cuci dari pada lo jalan di liatin orang kan gak lucu, Ra.”

Sesampainya di UKS, Ara berbaring di ranjang. Meringkuk sembari menghirup banyak-banyak aroma minyak angin yang di berikan oleh perawat UKS sembari menunggu Echa membelikan teh manis hangat untuknya.

Tiba-tiba saja ia jadi semakin merindukan Yuno, waktu Ara sakit perut saat sedang datang bulan seperti ini. Yuno yang mengantarnya pulang, Yuno juga yang memberikan jaketnya untuk menutupi rok Ara yang kotor.

Yuno bahkan enggak malu membeli beberapa kebutuhan Ara sewaktu datang bulan, seperti pembalut, jamu pereda nyeri, hot pack dan tablet tambah darah. Dan saat ini Yuno enggak ada di dekatnya.

Tanpa Ara sadari ia menangis, menutupi wajahnya dengan selimut. Isak nya tidak kencang, Ara menangis tanpa suara namun ia berhasil membuat nafasnya sedikit tersengal karena sesak menahan rasa sakit dan kerinduannya pada Yuno.

Tidak lama kemudian korden ruang UKS terbuka menampakan Echa yang membawa segelas teh hangat, dan wajah nya berubah menjadi panik karena melihat Ara yang tiba-tiba menangis sesenggukan.

Setelah menaruh teh hangat yang ia beli di nakas, Echa duduk di kursi samping ranjang Ara dan mengusap bahu temannya itu penuh khawatir. Waktu itu, Echa cuma berpikir jika keram perut yang Ara rasakan benar-benar sesakit itu.

“Ra, lo mau balik aja? Sakit banget yah?”

Awalnya Ara tidak menjawab, namun setelahnya gadis itu menyibak selimut yang menutupi wajahnya.

“Cha, gue kangen Kak Yuno...” ucapnya, dan tangis Ara semakin pecah.

“Ya ampun, Ra. Gue pikir kenapa—”

“Kenapa gimana!! Waktu gue keram perut tuh biasanya Kak Yuno yang bawa gue ke UKS, beliin jamu, beliin teh hangat sampai minjemin jaketnya!!” rajuk Ara benar-benar seperti anak kecil yang tengah menangis karena tidak di belikan mainan.

“Iya, tapi kan sekarang ada gue, Ra.”

“Gue maunya Kak Yuno!”