Duka
Dan di sinilah sepasang anak manusia itu sekarang, duduk di kafetaria rumah sakit dengan keadaan canggung setengah mati itu. Sudah terhitung 5 menit keduanya di sana, namun tidak ada satu pun dari keduanya yang berani memulai obrolan lebih dahulu.
Yuno yang sibuk menelisik gadis yang tengah duduk di sebelahnya itu, bingung harus memulai pembicaraan dari mana. Apalagi saat ini Ara enggan memalingkan wajahnya untuk menghadap Yuno, Seperti ia adalah sesuatu yang membuat gadis itu alergi.
Ara justru lebih tertarik melihat air mancur yang berada di tengah taman, kebetulan kafetaria nya tidak jauh dari taman rumah sakit atau sesekali melihat pasien-pasien yang sedang duduk di lorong-lorong dari pada harus melihat ke arah Yuno apalagi memulai pembicaraan dengannya.
Yuno menarik nafasnya berat, ia tahu ini bukan saat yang tepat untuk membahas hubungannya dengan Ara. Keluarganya kini masih dalam suasana berkabung, apalagi melihat kondisi Gita yang sekarang ini. Yuno mengajak Ara untuk duduk di taman selain ia menunggu hingga Arial keluar dari kamar rawat Gita, Yuno juga hanya ingin mengetahui kabar dari Ara, Itu saja sebenarnya.
“Ra?” panggil Yuno pada akhirnya.
Ara? nama nya sendiri yang sudah lama tidak Ara dengar dari bibir Yuno. semenjak mereka berpacaran, Yuno jarang sekali memanggil Ara dengan namanya, Yuno lebih sering memanggilnya dengan sebutan 'sayang' makanya mendengar Yuno menyebut namanya sekarang, benar-benar terasa asing di telinga Ara.
Gadis yang di panggil itu menoleh, melihat ke arah Yuno dengan pandangan tidak nyaman. Yuno tahu itu, meski hanya sekilas mata mereka bertemu karena pada detik berikutnya Ara memalingkan pandangannya ke arah lain.
“Apa kabar?” lanjut Yuno.
Ara mengangguk, “baik, Kak Yuno?”
“Um, baik.”
Pada detik berikutnya tidak ada obrolan lagi di antara mereka, Ara sibuk menunduk sementara Yuno memaksa otaknya untuk mencari topik obrolan lagi. Kabar sudah ia dapati meski Yuno tidak begitu yakin dengan jawaban Ara, lalu apa lagi yang ingin Yuno ketahui dari gadis itu?
“Ra?” panggil Julian dari depan pintu masuk kafetaria, panggilan itu sontak membuat atensi Ara dan Yuno teralihkan. Keduanya kini menoleh ke arah Julian.
“Mau jenguk Gita gak? Mas Ril udah selesai nih.”
Ara hanya mengangguk kecil sebagai jawaban, kemudian ia menoleh ke arah Yuno lagi. Dan disitulah mata mereka kembali bertemu. “Kak, aku jenguk Gita duluan yah,” pamitnya.
“Um,” Yuno mengangguk.
“Duluan, Kak Yuno.”
Ara berdiri, kemudian melangkahkan kakinya meninggalkan Yuno yang masih setia di kursi kafetaria siang itu. Ia menghela nafasnya pelan, meremas tangannya ketika melihat Ara dan Julian keluar bersamaan dari kafetaria ke ruang rawat Gita.
Jujur saja, Yuno merindukan Ara. Tapi buat bicara banyak sama gadis itu juga Yuno enggak bisa, Yuno sadar Ara masih enggak nyaman dengan kehadirannya. Sementara itu, Ara sudah masuk ke ruangan Gita, tadinya dia masuk sama Julian. Tapi seorang suster menegur karena Gita baru boleh di jenguk oleh satu saja, jadi lah Julian menunggu di luar.
Di dalam sana, Gita enggak banyak bicara. Gadis itu baru bisa di ajak komunikasi tipis-tipis saja, jadi yang Ara lakukan hanya mengupasi Gita buah sembari menceritakan tentang boneka rajut yang Ara bawa untuknya. Dari dua hari yang lalu, Ara ngebut bikin boneka rajut untuk Gita. Ini juga jadi salah satu bentuk permintaan maafnya, sebenarnya Ara bikin 3, untuknya, Gita dan juga Echa.
Namun yang baru berhasil ia rampungkan hanya milik Gita saja, sisa nya masih berbentuk kepala yang belum Ara sambung ke badannya. Mungkin nanti jika ada waktu senggang lagi Ara akan melanjutkannya.
“Ini buat nemenin lo tidur, gue bikinnya agak kecil karna tadinya mau gue jadi gantungan kunci.” Ara menaruh boneka itu di samping Gita.
“Gue baru belajar bikinnya boneka bentuk panda, nanti gue belajar bentuk lain yah. Lo mau gue bikinin bentuk apa, Git?” tanya Ara.
Gita yang di tanya seperti itu hanya diam, dia masih memperhatikan boneka rajut yang Ara bawa. Menyentuhnya dan meraba wajah boneka itu dengan telunjuknya.
“Git?” panggil Ara.
Biarpun Ara pernah kesal dengan Gita, tapi melihat gadis itu tampak rapuh seperti ini membuat hatinya sakit juga. Gita yang selalu dia lihat di kosan dengan tawa dan ucapannya yang kadang ceplas ceplos itu menjadi Gita yang diam dengan pandangan kosong menyedihkan.
Ara gak pernah tahu hidup Gita semengerikan apa sampai-sampai ia harus mengalami hal seperti ini, tapi dari yang Ara tahu. Kepergian Papa nya cukup tragis, bahkan enggak ada yang menyangka kalau ada desas desus jika Papa nya Gita bukan mengalami kecelakaan tunggal namun sengaja bunuh diri, karena ketahuan menggelapkan dana perusahaan. Sampai detik ini pun Mama nya Gita masih mencari tahu kebenarannya.
Gita masih terdiam, memperhatikan boneka yang Ara berikan untuknya. Sampai akhirnya kedua mata gadis itu melihat ke arah Ara yang tengah menangis sesegukkan di depannya.
“Lo kenapa?” tanya Gita dengan suara parau nya. Gita bingung kenapa Ara tiba-tiba menangis, apa karena ia tidak menyahuti ucapannya barusan? Pikir nya.
Ara yang di tanya seperti itu hanya menggeleng pelan dan menghapus air matanya. “Gue kangen aja sama lo, maafin gue yah Git. Kemarin-kemarin gue udah jahat sama lo.”
Gita lagi-lagi hanya diam, namun gadis itu memperhatikan Ara yang sibuk mengusap air matanya sendiri dengan tangan dan lengan bajunya.
“Lo jangan ngerasa sendirian yah, Git. Hidup ini emang mengerikan banget, mungkin saat ini lebih mengerikan lagi buat lo. Tapi lo enggak sendirian Git, lo masih punya gue, Janu, Kevin, Mas Iyal, Julian, Echa sama Chaka. Kita temen lo, Git.”
Gita bingung menanggapinya seperti apa, jadi dia hanya diam sembari terus memperhatikan Ara. Gita bisa merasakan ketulusan dari permintaan maaf Ara, dia juga sudah melupakan kejadian itu.
Saat Ara pamit pulang pada Gita, gadis itu hanya mengangguk kecil tanpa mengucapkan apa-apa lagi, namun saat tangan Ara menyentuh gagang pintu dan hendak keluar dari ruang rawatnya, Ara menoleh ke arah Gita saat suara parau itu memanggil namanya.
“Ra?”
“Hm?”
“Makasih,” ucap Gita. Setelah mengucapkan itu, dia kembali meringkuk di ranjangnya memeluk boneka pemberian Ara tanpa melihat ke arahnya lagi.
Setelah menjenguk Gita, Ara gak langsung pulang ke Bandung. Kebetulan besok juga hari libur, jadi dia akan menginap di rumahnya dulu. Selama perjalanan pulang ke rumahnya di antar Julian. Ara banyak banget diam, ngomong-ngomong mereka naik angkutan umum karena motor Julian di tinggal di Bandung.
Biarpun begitu, Julian tetap ngotot buat ngantar Ara sampai rumahnya meski itu membuatnya lebih jauh pulang ke rumah. Rumah mereka enggak searah, dan Ara sudah mengatakan pada Julian jika ia tidak masalah pulang sendirian. Tapi tetap saja Julian ingin memastikan Ara pulang dengan selamat. Apalagi saat mereka pulang tadi sempat gerimis.
“Lo kenapa diam aja sih? Sakit gigi?” tanya Julian memecah hening di antara mereka, keduanya sedang berjalan kaki menunju rumah Ara, Bus yang mereka naiki tadi berhenti halte jadi mereka harus masuk lagi ke dalam kompleks perumahan.
“Gak kesambet kan abis ketemu mantan pacar?” ucap Julian asbun.
“Apaan sih,” Ara melirik Julian sinis, kemudian memukul perut cowok itu pelan. “Enggak lah. Cuma agak bingung aja, gue enggak nyangka dia beneran pulang terus ketemu di rumah sakit Itu aja.”
Julian mengangguk, ia sedang mempertimbangkan untuk menanyakan sesuatu pada Ara. Tapi ia takut gadis itu jadi sedih lagi kalau dia tanya-tanya soal perasaanya pada Yuno, jadi pada akhirnya Julian urungkan niat itu.
“Udah sampe, masuk gih.” Julian menunjuk pagar rumah Ara dengan dagu nya.
“Masuk yuk, gue kenalin sama Reno dan Mas Yuda.”
“Udah malam, Ra.”
Ara melihat ke jam tangan yang ia pakai di tangan kirinya, “apaan sih, baru jam 7 juga. Yuk?”
Julian tampak menimang-nimang ajakan itu, namun pada akhirnya ia mengangguk kecil dan mengikuti Ara masuk ke dalam rumahnya. Dari luar rumah itu nampak asri, ada buru-burung juga yang di gantung di dalam sangkar. Burung itu berkicau agak berisik ketika pagar rumahnya di buka.
Di teras rumah nya, Bunda banyak memelihara tanaman hias seperti bunga anggrek, bonsai dan juga kaktus. Benar-benar sangat nyaman meski ukuran rumah itu tidak begitu besar.
“assalamualaikum, Bun? Ada Ijul nih, Bun.” panggil Ara.
“Wa'alaikumsallam, udah pulang Kak?” Bunda keluar dari rumah, wanita itu tersenyum apalagi saat mendapati Julian mengantar putrinya itu. “Eh, nak Julian. Masuk sini. Sudah makan malam belum?”
Julian menyalami Bunda nya Ara, sudah bertemu dua kali dengan Bunda nya Ara tapi tetap saja Julian masih suka malu-malu.
“Udah, Tan—”
“Belum, Bun. Apaan udah sih lo, makan dulu sini.” sela Ara.
Julian hanya menyengir dan menggaruk tengkuknya malu-malu, ia memang belum makan malam. Tapi kalau makan malam di rumah Ara rasanya sungkan sekali, apalagi saat matanya bertemu dengan laki-laki gondrong yang sedang makan di meja makan itu.
Tatapannya tajam saat melihat Julian, dalam hati Julian menebak-nebak apa itu adalah Mas Yuda, Kakak pertama nya Ara?
“Makan sama-sama yuk, Tante masak semur daging. Enak deh, ada Reno adiknya Ara sama Mas Yuda juga. Kenalan dulu sini.”
Mau enggak mau akhirnya Julian mengangguk, enggak sopan rasanya menolak. Dan Ara yang melihat Julian tersenyum dengan kikuk itu malah tertawa, apalagi saat cowok itu merasa terintimidasi dengan tatapan tajam mata Mas Yuda. Julian enggak tahu aja Mas Yuda kalo udah ngomong ngeselin nya minta ampun, enggak ada lagi deh tuh aura galak kaya yang biasa orang-orang bilang saat pertama kali bertemu Mas Yuda.