Empat — Kepercayaan
ada hari di mana Yuno pernah mengkhawatirkan banyak hal yang belum pernah terjadi, seperti saat ini. Saat ujian kenaikan level bahasanya sudah selesai, Yuno memutuskan untuk ke sebuah cafe yang tidak jauh dari sekolah bahasanya. Ia sudah berjanji untuk menghubungi Gita setelah ujiannya selesai.
Hari ini memang Yuno pulang lebih cepat, begitu sampai di cafe, Yuno memesan sebuah minuman dan cake untuknya. Ia sengaja memilih kursi di pojok karna hanya tempat itu yang ia pikir nyaman untuk melakukan panggilan video. Tidak ada orang berlalu lalang, hanya ada 4 orang saja yang sedang fokus pada laptop di depannya dan membaca buku.
Sebelum memulai panggilan video, Yuno sempat mengirimi Gita pesan dulu. Memastikan Adik sepupunya itu sudah siap, dan tidak lama kemudian keduanya melakukan panggilan video. Ternyata Gita sedang berada di kamarnya.
“Lo gak sekolah?” tanya Yuno, tanpa basa basi apapun.
“salam dulu kek minimal, ini main langsung nanya gak sekolah aja.” di sebrang sana Gita terlihat menghela nafasnya dengan kasar, namun pada akhirnya ia menjawab pertanyaan itu.
“di Jakarta tuh udah jam 7, sekolah apaan jam 7 malam. Ngaco!!“
Yuno sampai lupa jika sekarang sudah jam 2 siang di Berlin, pantas saja Gita sudah berada di rumahnya. Tapi setahu Yuno, gadis itu juga sibuk. Bukan hanya dengan sekolah. Dari dulu, Gita banyak mengikuti berbagai macam kegiatan. Seperti balet, private biola dan segala macam bentuk kegiatan yang banyak ia ikuti.
Tapi walau begitu, Yuno senang karna Gita melakukan itu semua atas kemauannya sendiri. Berbeda dengan Yuno, ia tidak pernah bisa melakukan apa yang ia inginkan. Bahkan untuk sekedar bermain musik, pernah dulu Yuno ketahuan ikut ekstrakulikuler musik di sekolahnya.
Dan saat Papa nya tahu, Yuno di tentang habis-habisan dan di paksa keluar dari sana. Alih-alih bermusik, Papa lebih setuju Yuno bermain basket atau lebih baik fokus pada nilai akademiknya, Berbeda dengan kedua orang tua nya Gita yang membiarkan anak mereka mendapatkan apa yang di mau.
“Maksud gue, gak ada bimbel atau private apa gitu. Biasanya kan lo lebih sibuk dari gue.”
“gak ada, hari ini gue mau istirahat. Capek lagi jadi kelas dua belas tuh.” di sebrang sana Gita memperhatikan Yuno, seperti Kakak sepupunya itu bukan sedang berada di apartemen miliknya.
“lo dimana, Kak? Di cafe?“
Yuno mengangguk, setelah pelayan mengantarkan pesanan miliknya. Yuno menyeruput kopi itu sedikit dan kembali fokus berbicara dengan Gita.
“Baru kelar ujian gue. Gimana sekolah lo? Lancar kan? Jangan kebanyakan pacaran sama Kevin.”
Ah iya, Gita sudah putus dengan Jo, seingat Yuno keduanya mengakhiri hubungan mereka atas kesalahan Jo, Gita hanya cerita pada Yuno kalau intinya ia sudah kecewa dengan Jo, namun saat di tanya kenapa, Gita lebih memilih merahasiakannya.
Namun pada akhirnya Jo sendirilah yang jujur pada Yuno dan meminta maaf padanya, karena ia sudah menyakiti Adik sepupu yang Yuno jaga selama ini. Meski begitu, hubungan Jo dan Yuno masih berteman baik.
“siapa yang pacaran melulu, gue sama Kevin tuh bisa bagi waktu. Eh, gimana ujian lo tadi, Kak?“
“Lancar, doain aja gue cepat naik level.”
“tapi lo betah gak di sana?“
“Betah, walau kadang banyak kagetnya. Oh, iya. Git, weekend ini lo jadi jalan sama anak-anak?” ucap Yuno terus terang, memang ia ingin menanyakan hal ini pada Gita dan meminta tolong sesuatu pada adik sepupunya itu.
“iya jadi, Ara cerita ke lo yah?“
Yuno mengangguk, “akhir-akhir ini gue kepikiran dia terus.”
“kepikiran apa? Takut Ara selingkuh?” tebak Gita.
“Bukan, kepikiran aja kalo ada yang gantiin gue pas Ara lagi butuh.”
“itu artinya lo kepikiran Ara selingkuh dodol, kok lo bisa sih mikir gitu, Kak? Yang Ara pikirin aja cuma lo tau, kemarin gue sempat main sama dia sebentar karena gak sengaja ketemu waktu lagi beli make up. Sepanjang main sama gue, dia selalu ngomongin lo terus. Ini lagi, lo malah kepikiran gini.“
“Git, gue cuma takut Ara terbiasa tanpa gue..” nada suara Yuno memelan, itu yang sangat ia takuti. Meski liburan nanti ia akan pulang, meski ia terus menjaga komunikasinya dengan Ara. Tapi tetap saja itu semua terasa berbeda dengan ia yang biasanya selalu berada di sisi Ara.
Gita yang mendengar ucapan itu jadi agak terdiam, Yuno memang baru pertama kali pacaran. Dan Gita tahu bagaimana Yuno sangat mencintai dan memperlakukan pacarnya itu dengan baik.
“Kak, gue bukanya mau bikin lo tambah kepikiran. Tapi menurut gue, bukanya bagus kalo Ara justru terbiasa tanpa lo? Gini, bagus kalo Ara mandiri, bagus kalo dia gak bergantung sama lo, lo bisa bayangin gak kalo Ara gak mandiri dan bergantung ke elo? Lo juga yang bakalan repot“
Gita tau ini terdengar sedikit menyakitkan untuk Yuno, mungkin. Tapi bukankah bagus jika Ara tidak terlalu bergantung pada Yuno? Toh pacaran kan bukan harus selalu berdua, bayangkan serepot apa Yuno jika Ara selalu bergantung padanya. Lama kelamaan hubungan yang seperti itu akan menjadi hubungan yang tidak sehat.
“selama kalian masih komunikasi dengan baik, menurut gue gak ada yang harus di permasalahin dari itu. Sekarang, gimana caranya kalian bisa saling jaga kepercayaan satu sama lain. Kak, kuncinya jalin hubungan itu tuh kepercayaan. Lagian yah, pacaran ketemu mulu terus bucin-bucinan mulu tuh bakal jadi bosen.“
Yuno sempat diam sebentar, mencerna kata-kata Gita yang agak sedikit membuat dadanya sesak, seperti ia baru saja di tampar oleh sebuah kenyataan. Namun, Yuno tetap mendengarkan kata-kata Adik sepupunya itu, ucapan Gita benar. Ia harusnya bangga kalau Ara bisa mandiri dan tidak bergantung padanya.
Siang itu Ara ke toko buku sendirian, hari ini dia gak sama Echa, Cindy atau pun Kinan. Hari ini Echa pulang bareng Janu, sementara Cindy dan Kinan harus menyelesaikan tugas terakhirnya untuk menyelesaikan masa jabatan kedua nya di OSIS.
Ara sebenarnya gak berniat buat ke toko buku, karena tujuan utamanya jalan-jalan ke mall sendirian cuma buat beli lip tint. Tapi siapa sangka kalau kakinya justru melangkah masuk ke toko buku, jadi sekalian saja dia membeli buku untuk keperluan Ujian Nasional dan beberapa novel.
Ara tersenyum ketika ia menemukan buku yang ia cari, buku soal-soal Ujian Nasional terbaru yang paling laris. Hanya sisa 1 di rak buku dan ia langsung mengambil buku itu, namun siapa sangka kalau ada tangan lain yang ikut mengambil buku itu juga.
Dan Ara langsung menoleh ke arah orang yang berada di sampingnya itu, seorang laki-laki tinggi dengan jaket denim dan celana jeans kini menatap dirinya.
“Oh, sorry, Mas.” Ara menunduk, biarlah ia mengalah. Toh nanti ia masih bisa mencari di toko buku lain.
“Ambil aja, lo tadi duluan yang liat kan,” ucap laki-laki tinggi itu.
“Gapapa, Mas. Buat Mas nya aja, nanti saya bisa cari di toko lain. Lagi enggak buru-buru juga kok.”
“Serius nih?”
Ara mengangguk, “iya gapapa, Mas.”
“Makasih, yah.”
Ara hanya membalas ucapan itu dengan tersenyum kikuk, begitu ia ingin berjalan ke arah kasir. Laki-laki tinggi tadi menahan pundak Ara, membuat gadis kurus itu sedikit mundur dan berbalik ke arahnya. Jujur saja, laki-laki tadi agak sedikit mengintimidasi Ara.
“Eh jangan manggil Mas juga, gue masih SMA kok. Gue kelas dua belas juga.”
“Kelas dua belas?”
Laki-laki itu mengangguk, Ara sedikit malu karena salah memanggil, ternyata laki-laki itu seumuran dengannya.
“Lo anak BM400 kan?”
“Kok tahu?” pekik Ara.
“Ya lo kan pake seragam.”
“Bener juga sih.” Ara mengangguk-angguk. “sorry yah, gue gak tau lo kelas dua belas juga, gue pikir beli itu buat adek lo atau siapa gitu.”
“Gapapa.”
“Kalau gitu, gue duluan.” Ara menunjuk ke arah kasir, dan cowok itu mengangguk. Membiarkan Ara pergi lebih dulu untuk membayar novel-novel yang ia beli.