Enam Belas — Tanpa Kamu
“Gita?!” pekik Ara, dia kaget banget waktu tiba-tiba Gita ada di depan pagar rumahnya. Gita datang sendiri, membawa buket berisi coklat dengan berbagai macam rasa.
“Gue mau nganter titipan Kak Yuno nih buat lo, Ra.” ucap Gita, gadis itu masuk setelah Ara membukakan pagar rumahnya.
“Sini, Git. Duduk dulu.”
Keduanya duduk di teras rumah Ara, di ruang tamu sedang ada Reno dan teman-temannya yang sedang kerja kelompok. Tadi Ara sedang bantu bunda bikin cookies untuk Reno dan juga teman-temannya.
“Lagi sibuk, Ra?” tanya Gita, dia ngasihin buket itu ke Ara. Setelah itu duduk di kursi yang ada di teras rumah Ara, rumahnya lumayan sejuk karena Bunda nya Ara menanam macam-macam tumbuhan. Ada kicauan burung milik Papa nya juga yang di gantung dengan sangkar di sana, bikin suasana rumah itu tampak asri.
“Enggak sih, Git. Ih ngomong-ngomong makasih, buketnya. Kenapa gak di antar sama kurir aja sih? Kak Yuno ngerepotin elo banget.”
Ara tersenyum kecil, begitu melihat ada coklat dengan berbagai macam rasa di sana. Terutama coklat rasa strawberry dan matcha, Ara suka banget sama kedua rasa itu. Dia juga gak nyangka kalau Yuno ngirimin buket ini pakai perantara Gita, cowok itu gak ngomong apa-apa.
Ah, lebih tepatnya Yuno dan Ara belum berkabar lagi sejak 2 hari yang lalu. Terakhir Yuno hanya bilang jika ia benar-benar sibuk di kampusnya, terlebih Yuno juga aktif di organisasi kampusnya. Cowok itu sedang menikmati tahun pertamannya sebagai mahasiswa baru.
“Santai aja, Kak Yuno emang ngerepotin sih, tapi gue juga sekalian mau main ke rumah lo sebentar, oh iya, di dalamnya ada surat buat lo, tapi bacanya nanti aja di kamar.”
Yuno yang mengetikkan kata-katanya sendiri, kemudian, Gita yang tulis ucapan itu di kartu ucapan. Dia gak nyangka kalau Kakak sepupunya itu bisa berubah jadi dangdut juga waktu sama Ara.
“Dia gak bilang ke gue kalo ngirimin ini,” Ara senyum, masih takjub dengan buket berisi coklat-coklat itu.
“Iya emang enggak, Ra. Kemarin dia ngerasa bersalah banget sama lo karena gak ngabarin lagi. Katanya ada acara di fakultasnya gitu,” Gita mengerutkan keningnya, berusaha mengingat cerita Yuno tempo hari. “party-party gitu gak paham deh, terus Kak Yuno mabuk jadi lupa deh tuh dia ngabarin lo.”
“Mabuk?” tanya Ara, keningnya berkerut bingung.
Seingatnya Yuno pernah bilang kalau dia enggak akan nyentuh alkohol, Yuno bilang ingin hidup sehat. Selain itu, tidak ada minuman alkohol juga di kulkas Yuno saat Ara datang. Tapi kenapa sekarang Ara mendapat kabar jika Yuno mabuk di acara fakultasnya? Apa memang budaya di Jerman seperti itu? Pikirnya.
Gita mengangguk, “iya, mabuk. Kak Yuno gak bilang apa gimana?”
Ara menggeleng pelan, suasana hatinya yang semula membaik itu menjadi tidak karuan setelah mendengar ucapan dari Gita barusan.
“Enggak, Git. Dia cuma bilang kalo emang ada acara di fakultasnya, tapi dia enggak bilang kalau sampai mabuk. Padahal dia udah janji sama gue, kalo enggak akan nyentuh alkohol. Dia bilang mau hidup sehat selama di sana,” jelas Ara, yang membuat Gita salah tingkah sendiri. Gita jadi enggak enak, dia jadi ngerasa kaya ngadu banget ke Ara tentang apa yang Yuno ceritakan padanya.
“Mungkin lupa kali, Ra. Emang budaya di luar tuh kaya gitu gak sih? Minum-minum itu udah biasa,” Gita tersenyum kikuk, dia berusaha menenangkan Ara.
“Ah, by the way sore ini pengumuman masuk SBM kan?” Gita mengalihkan pembicaraan mereka sebelumnya.
“Iya, makanya gue deg-degan banget nih.”
“Yakin aja udah, lo udah belajar.”
“Lo udah dapat kosan, Git?” tanya Ara.
Gita mengangguk, “udah kok, udah gue bayar juga. Tinggal cus pindah aja, rencana sih agak mepet pas ospek.”
Setelah mengantar buket berisi coklat untuk Ara, Gita langsung pulang. Dia gak bisa lama-lama karena harus ada beberapa barang yang ia beli untuk kebutuhannya selama di Bandung.
Sedangkan Ara, ia masuk ke dalam kamarnya. Memperhatikan buket itu dan terdiam di atas ranjangnya, dia benar-benar merasa Yuno telah berubah. Kadang Ara berpikir, bolehkan ia menaruh kecurigaan dengan gadis bernama Ann itu? Bagaimana jika Yuno menyukai gadis lain di sana? Bagaimana jika Ann yang merubah Yuno?
Sore nya, perasaan Ara semakin tidak karuan. Apalagi saat ia harus duduk di depan MacBook nya memperhatikan web yang menampilkan pengumuman penerimaan mahasiswa baru di kampus pilihannya. Di kursi meja belajarnya, Ara meremas jemarinya hingga buku-bukunya itu memutih.
Saking tegangnya, perutnya sedikit mual dan dadanya terasa panas. Ara setakut itu jika ia tidak di terima di kampus impiannya, meski jauh-jauh hari ia sudah menanamkan pada dirinya untuk tidak berekspektasi lebih, namun perasaanya tidak bisa di bohongi jika ia benar-benar mendambakan kampus itu.
Dan tibalah waktunya, web yang sedari tadi Ara tatap itu akhirnya menampakan nama-nama calon mahasiswa baru di kampus yang ia pilih, mata gadis itu tak ayal lepas dari layar MacBook di depannya. Mencari namanya di sana dengan telitih, satu persatu ia amati namun Ara sadar tidak ada namanya di sana.
Awalnya ia menyangkal, maka sekali lagi ia cari namanya di sana namun tak ia temukan. Saking kecewanya, Ara sampai sedikit mencakar jemarinya sendiri demi melampiaskan perasaan kesalnya.
“Kak? Gimana? Nama kamu ada gak?”
Itu suara Bunda, dan Ara tidak mampu menjawab panggilan Bunda itu. Ia luruh di bawah ranjangnya, memeluk lututnya sendiri dan menahan isaknya sendiri. Ara kecewa, hasil kerja kerasnya selama ini tidak membuahkan hasil yang ia inginkan. Segala usahanya menghianatinya, rasanya sore itu dunianya terasa runtuh.
Saat itu, Ara hanya memikirkan satu nama di kepalanya. Seseorang yang selalu menjadi tempatnya mengadu sebelum ia mengadu kepada Papa dan Bunda, Gadis itu mengambil ponselnya untuk menghubungi Yuno sembari menahan isakanya yang semakin menyesakkan.
Namun, di sebrang sana tak kunjung ia dapatkan jawaban. Ara hanya di hadapkan dengan suara sambungan telfon tanpa adanya suara barinton Yuno yang ingin ia dengar.
“Angkat, Kak. Aku butuh kamu...” gumamnya.
“Ara? Gimana, Kak? Buka dulu pintu nya sayang.”
Suara Bunda itu kembali mengintrupsi, namun Ara dengan frustasi justru melempar ponselnya ke ujung kamar karena tidak kunjung mendapatkan jawaban akan panggilannya pada Yuno.
Sore itu, Ara hanya bisa memeluk dirinya sendiri. Ia tidak keluar dari kamarnya bahkan sampai jam makan malam, Bunda dan Papa tentu saja khawatir. Namun kedua orang tua Ara itu tidak ada yang berhasil membujuk si tengah itu setidaknya untuk keluar makan malam.
Yang Ara lakukan di dalam kamarnya hanyalah meringkuk di atas ranjang, matanya sembab dan kepalanya pening di hantam kekecewaan bertubi-tubi.
“Kak? Apapun hasilnya, Bunda dan Papa enggak marah sama kamu, setidaknya Kakak udah bekerja keras, Nak.”
Tidak ada sahutan, Ara masih bergeming dan kembali memeluk selimutnya sendiri. Bahkan saking marahnya dengan Yuno karena tidak mengangkat telfonnya, Ara sampai menyingkirkan semua boneka pemberian cowok itu dari atas ranjangnya. Saat ini yang ia butuhkan hanya kesendirian, ia ingin menenangkan dirinya sendiri dulu.