Hanya Mirip

Malam itu Liliana sengaja pulang agak sedikit telat dari jam pulang kantor biasanya, ini ia lakukan agar menghindari macet nya Bandung saat jam pulang kantor tiba. Setelah memastikan semua barangnya sudah masuk ke dalam tas, Liliana keluar dari ruang kerjanya yang masih menyatu dengan divisi lain.

Berjalan menyusuri lorong sambil sesekali menyapa beberapa karyawan lain yang masih mengambil jatah lembur mereka, begitu sampai di depan lobby. Ternyata hujan, ia lupa membawa payung karena hanya ada satu payung di rumahnya dan memang sengaja ia tinggal agar pengasuh anaknya itu bisa membawa Bella ke sekolahnya.

Liliana mendesah pelan, terpaksa kali ini ia harus merelakan tas jingjing yang ia bawa untuk menaruh kotak bekalnya sebagai penutup kepalanya agar tidak terkena hujan. Untungnya jarak kantor dengan halte bus tidak jauh, hanya berjalan sedikit saja sudah sampai.

Beruntungnya saat ia sampai, bus yang akan membawanya sampai ke rumah itu tiba. Jadi kan Liliana enggak perlu menunggu lagi kalau begini, di dalam bus Liliana sedikit menyeka lengan kemeja nya yang basah karena hujan. AC di dalam bus juga jadi semakin dingin karena tidak banyak penumpang yang naik.

Di perjalanan sembari melihat lampu-lampu kota dan rintik hujan yang masih turun, Liliana jadi teringat akan kejadian tadi siang. Saat ia tidak sengaja berpapasan dengan Istri seniornya itu, namanya Buk Ara. Beliau hanya bertanya apa Suaminya ada di ruangannya atau tidak.

Berkali-kali Liliana mencoba mengingatkan dirinya sendiri untuk sadar siapa Pak Julian itu, maksudnya bukan soal ketimpangan jabatan di kantor. Ia hanya harus sadar kalau Pak Julian hanya mirip dengan Suaminya dulu dan dia sudah menikah.

Jujur saja, baru satu tahun ini Liliana berhasil bekerja tapi ia sudah mulai menaruh rasa pada Julian sejak hari dimana Julian berkordinasi padanya soal desain produk, katakan Liliana memang mudah baper. Julian hanya mengingatkannya pada Suaminya yang sudah berpulang itu.

Dari caranya bicara, tersenyum, sampai ke paras wajahnya pun. Agak sedikit gila kalau Liliana sempat berharap jika ia bisa dekat dengan Julian, tapi kenyataan langsung menamparnya karena tidak lama setelah itu Liliana mendapat undangan jika Julian akan segera menikah. Dengan perempuan yang jauh lebih baik dari dirinya.

Begitu bus yang membawanya berhenti di halte dekat rumahnya, Liliana buru-buru turun. Untungnya hujan sudah redah jadi ia tidak perlu repot-repot berlari dan menjadikan tas jinjingnya sebagai penghalau kepalanya dari air hujan.

Begitu sampai di rumah, ada Bi Narsih pengasuh Bella yang berdiri di teras rumah. Memang seperti menunggu dirinya pulang. Tapi tumben sekali berdiri di teras seperti orang kebingunhan, pikir Liliana.

“Kok nunggu di depan, Bi? Bella kemana?” tanya Liliana.

“Anu, Buk.” wajah Bi Narsih sedikit panik bercampur khawatir. “Neng Bella badannya demam, udah Bibi kasih obat tadi sore. Tapi sekarang demam lagi, mau Bibi kasih lagi tapi obatnya habis.”

Mendengar itu, hati Liliana mencelos. Bella akan menjadi sangat rewel ketika sedang sakit. “Sekarang dimana Bella nya, Bi?”

“Udah tidur, Buk. Tadi Bibi kompres.”

Liliana mengangguk, ia buru-buru masuk ke kamar anaknya itu. Dan benar saja, Bella sedang meringkuk di ranjangnya lengkap dengan selimut tebal dan handuk kecil di atas keningnya.

“Bi, saya boleh minta tolong beliin obatnya Bella?”

“Bisa, Buk.”

Liliana mengeluarkan uang seratus ribu dari dompet miliknya dan memberikan itu ke pengasuhnya, dia gak bisa pergi meninggalkan Bella ke apotek. “Tolong yah, Bi. Maaf ngerepotin.”

“Gapapa, Buk. Bibi beliin dulu yah.”

Setelah Bi Narsih pergi, Liliana mengusap pipi anaknya itu. Menaruh handuk basah bekas kompres kening anaknya itu ke dalam wadah berisi air. Ia jadi merasa bersalah pada Bella karena sering meninggalkan bocah itu bersama pengasuhnya. Sebagai orang tua tunggal, Liliana harus bekerja keras untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dengan Bella.

Ia enggak bisa berharap pada keluarganya, ah, bahkan keluarganya sudah membuang dirinya. Berharap pada keluarga dari Suaminya itu juga tidak mungkin. Mereka menikah tanpa restu sama sekali, menikah karena kesalahan yang pernah ia dan Suaminya itu lakukan.

Liliana dan Suaminya adalah teman masa kuliah, mereka kemudian memutuskan untuk berpacaran sampai akhirnya melakukan hal yang seharusnya tidak mereka lakukan, sudah berulang kali Liliana dan Suaminya itu meminta restu dari keluarga mereka, tapi sayangnya keduanya enggak memberi restu. Selain karena sudah kecewa dengan kondisi Liliana yang sudah hamil.

Mereka juga berbeda keyakinan dan itu sangat di tentang oleh kedua keluarga mereka, biarpun begitu Suaminya tetap bertanggung jawab menikahi Liliana. Laki-laki itu mengalah dan pindah ke agamanya. Tapi tidak lama setelah Bella lahir, kejadian nahas menimpa Suaminya. Laki-laki itu mengalami kecelakaan saat pulang bekerja dan meninggal di tempat.

“Maafin Mama yah, Bella. Mama sering ninggal-ninggalin kamu,” ucap Liliana. Ia mengecup kening anaknya itu. Meski kerap kali di benci oleh tetangga sekitarnya karena Bella yang di anggap berisik dan menganggu. Tapi Liliana sangat menyayangi Bella, hanya Bella bagian dari diri Suaminya yang masih tersisa dan satu-satunya seseorang yang ia miliki.

Bella itu bukan seperti anak pada umumnya, dari usia 3 tahun Bella sudah di diagnosa mengalami ADHD( attention-deficit/hyperactivity disorder) oleh psikolog anak. Makanya biaya sekolah Bella pun enggak main-main.


“Jadi kondisi Istri saya gimana, Dok?” tanya Julian setelah dokter obgyn yang memeriksa Ara itu selesai melakukan pemeriksaan.

Hari ini Julian memang sengaja meminta izin untuk datang agak siang ke kantor karena harus menemani Ara ke dokter obgyn dulu, mereka udah sepakat mau memeriksakan kesehatan guna program hamil.

“Ada miom di rahim Istri Bapak. Mungkin ini juga menjadi salah satu faktor kalau Istri Bapak belum hamil juga, miom nya sebesar ini.” dokter Irene yang memeriksa Ara itu menunjukan hasil USG kondisi rahim Ara, Ara yang mendengar penjelasan itu di balik tirai hanya bisa mengigit bibir dalam nya.

“Pantas saja selama ini Ibu Ara sering mengeluhkan nyeri datang bulan yang berlebihan dan nyeri panggul.”

“Ta..pi masih bisa sembuh kan, Dok?” hati Julian sakit banget dengarnya, dia bukan kecewa karena hal ini yang menjadi penghambat mereka belum memiliki anak. Julian hanya sakit karena ia telat menyadari hal ini, itu artinya selama ini Ara banyak menahan rasa sakit karena hal ini kan.

“Masih bisa, Pak. Kita bisa angkat miom nya. Baru setelah itu nanti kita bisa lanjut ke program hamil nya.”

Julian mengangguk, setelah keluar dari ruang pemeriksaan. Di perjalanan menuju rumah pun Ara hanya diam saja, Julian sadar mood Istrinya itu sedang tidak baik. Ara pasti sedih mendengar hal ini.

“Sayang, mau beli ice cream dulu gak? Atau mau beli roti yang manis-manis gitu?” tanya Julian, ia melirik Ara yang sibuk menoleh ke arah jendela.

“Mau langsung pulang aja, Mas.”

“Enggak mau mampir beli apa gitu?”

Ara hanya menggeleng, ia tidak berani menatap Julian sedikit pun. Ara hanya merasa ia sudah mengecewakan Julian, ada banyak hal-hal yang menganggu pikirannya, ada banyak kata bagaimana di kepalanya seperti, bagaimana jika ia tidak bisa hamil? Bagaimana jika Julian sangat menginginkan anak dan mencari wanita lain yang bisa memberikannya anak? Bagaimana jika Julian habis kesabaran dan menceraikannya?

Karena Ara terlalu larut dalam lamunan panjangnya, ia sampai tidak sadar kalau mobil yang di kendarai Suaminya itu sudah sampai di rumah.

“Sayang?” panggil Julian.

Ara menghela nafasnya, dan menoleh ke arah Julian. Senyum Suaminya itu merekah, Ara tahu Julian sedang berusaha menenangkannya dan membesarkan hatinya, Ara enggak bodoh buat enggak tahu kalau ia bisa sembuh. Tapi itu semua kan prediksi dokter bagaimana jika saat sudah melakukan pengangkatan miom ia masih belum bisa hamil? Pikirnya.

“Aku tau dengar ini kamu pasti sedih banget, tapi kamu juga dengar kan kata Dokter Irene kalau kamu masih berpeluang tinggi buat sembuh dan hamil,” jelas Julian.

“Tapi kalau tetap gak bisa gimana, Mas?”

Julian menggeleng. “Gapapa, emang kenapa? Aku enggak masalah nunggu, atau kalau Tuhan memang enggak mau menitipkan anak sama kita. Aku sama sekali enggak keberatan. Ra, Aku nikahin kamu bukan semata-mata buat punya anak aja. Aku sayang kamu, aku cuma mau hidup sama kamu.”

Mendengar ucapan itu, hatinya jadi menghangat, Julian memang sesayang itu dengannya. Ara benar-benar menemukan laki-laki yang tepat, tapi bagaimana dengan keluarganya dan keluarga Julian apa mereka enggak keberatan?

“Kamu gak malu kalo kita gak punya anak?”

“Kenapa malu? Emangnya itu aib?” bagi Julian punya anak atau tidak saat ini enggak begitu penting, meski enggak bisa dia pungkiri jika ia juga menginginkannya. Tapi bagi Julian saat ini yang terpenting adalah kesehatan Istrinya.

“Maafin aku yah, Mas.” Ara beringsut memeluk Julian, ia menitihkan air matanya di sana. Entah lah, rasanya ia menjadi sangat sensitif mendengar hal ini.

“Jangan minta maaf yah, ini bukan salah kamu.” Julian mengusap punggung Ara, mengecup kepalanya berkali-kali.

Setelah mengantar Ara pulang, ia sempat mengirimi pesan pada Elara, Gita dan Teh Niken. Jika diantara mereka sedang ada waktu luang Julian hanya meminta tolong untuk menemani Ara sebentar untuk menghiburnya. Julian cuma gak mau Istrinya stress dan berdampak pada kesehatannya.

Minggu depan, Ara akan segera melakukan operasi pengangkatan miom di rahimnya. Dengan syarat kondisi tubuhnya harus benar-benar sehat.