Hari Pertama

Hari ini adalah hari pertama Ara bekerja di Sunshine Klinik, ada beberapa klien lama dari psikolog anak yang dulu yang sekarang di ambil alih oleh Ara. Lalu dia juga mendapatkan 2 klien baru, di hari pertama menurut Ara cukup seru gak ada hal-hal yang memberatkannya atau membuat dia capek.

Apalagi semua karyawan di klinik itu ramah dan baik sekali padannya, siang ini setelah makan siang. Ara kembali ke ruangannya, nantinya akan ada klien baru yang harus konseling sama dia, sebelum klien nya datang Ara sempat membaca biodata anak tersebut. Ternyata seorang anak yang di diagnosa ADHD dan baru mulai terapi.

Tidak lama kemudian suara dari ketukan pintu ruangannya menginterupsi Ara, itu asisten nya. di belakangnya ada seorang wanita berusia 50 tahunan bersama seorang gadis kecil.

“Mbak Ara, klien nya sudah datang.”

“Oh ya, langsung masuk aja ya.” Ara senyum, dia berdiri dan menyambut klien nya itu. “Hallo, selamat siang.”

“Siang, Mbak Ara.” balas sapaan wanita berusia 50 tahun itu.

“Nama saya Ara, Buk. Saya yang akan menjadi psikolog untuk Bella.” Ara memperkenalkan dirinya dulu, dari tadi pun setiap ada klien yang datang ia memperkenalkan dirinya terutama pada klien lama yang biasa di tangani psikolog anak yang posisinya saat ini ia gantikan.

“Salam kenal, Mbak Ara. Saya Bi Narsih, sebenarnya saya pengasuhnya Bella. Mama nya gak bisa antar karena kerja, jadi kalau ada yang mau di bicarakan tentang Bella, Mbak bisa bicara sama saya biar nanti saya yang sampaikan sama Mama nya,” jelas wanita yang bernama Bi Narsih itu.

Ara mengangguk, dalam hati dia agak sedikit kecewa karena harus bicara sama pengasuh dari bocah di depannya itu. Menurut Ara akan lebih baik jika ia berkomunikasi langsung tentang perkembangan Bella pada orang tua nya langsung.

“Ahh, begitu. Baik, kalau gitu. Bi Narsih bisa tunggu di depan, biar saya bisa melakukan sesi sama Bella berdua ya.”

Setelah Bi Narsih keluar, Ara mulai mendekati Bella. Seperti yang sudah-sudah Ara memperkenalkan dirinya, dia juga meminta Bella untuk memperkenalkan dirinya sendiri. Kemudian sembari mengajak Bella bicara mengenai dirinya, Ara beri Bella beberapa tugas yang sudah ia siapkan.

“Kalau di rumah biasanya Bella lebih suka main sama siapa?” tanya Ara, dia memperhatikan Bella yang sedang sibuk menyusun balok menjadi sebuah bentuk rumah, ini adalah terapi okupasi sembari Ara melakukan pendekatan pada Bella selain melatih konsentrasi anak itu.

“Sama Bibi tapi sebenarnya Bella lebih suka main sama Mama.” bocah itu diam sebentar kemudian melanjutkan permainannya lagi. “Tapi Bella juga suka main sama Papa walau Papa gak pernah ajak main Bella.”

“Oh ya?” Ara menaikan satu alisnya. “Kenapa enggak Bella aja yang ajak main Papa?”

Bella menghela nafasnya pelan, matanya masih fokus ke balok-balok yang tengah ia susun walau terkadang ada saja hal-hal kecil yang mudah mendistraksinya. Seperti bola yang ada di sebelahnya, atau bahkan tugas menggambar yang belum Ara perintah untuk Bella. Tapi Ara berusaha untuk mengembalikan fokus Bella, ini agar nantinya Bella bisa fokus pada aktifitas sehari-harinya.

“Papa tuh jarang pulang ke rumah, Miss. Kemarin waktu ulang tahun Bella. Papa datang tapi Papa gak kelihatan bahagia, Papa juga bilang kalau Papa bukan Papa nya Bella. Terus habis itu Mama larang Bella buat kejar Papa, padahal Papa mau pergi ninggalin Bella sama Mama berdua di rumah.”

Mendengar penjelasan Bella, Ara cuma berpikir kemungkinan adalah kedua orang tua Bella bertengkar atau mungkin bercerai sampai-sampai sikap Bella akhir-akhir ini agak sedikit cranky ya Ara sempat membaca riwayat Bella akhir-akhir ini di form pendaftarannya.

Setelah sesi okupasi berakhir, Ara memberi Bella tugas menggambar seperti bakat yang Bella miliki. Sementara itu Ara keluar dari ruangannya untuk bicara dengan Bi Narsih. Ternyata pengasuhnya itu masih setia menunggu di ruang tunggu.

“Bi Narsih? Bisa ikut saya ke ruang konsultasi?” panggil Ara.

“Bisa, Mbak.” Bi Narsih langsung berdiri dan mengekori Ara ke ruangan yang berada tepat di sebelah ruangan konseling Ara dan Bella tadi.

Keduanya duduk di sofa yang saling berhadapan, Ara juga sempat memberi Bi Narsih teh hijau agar obrolan mereka lebih santai soal Bella. “Begini, Bi. Saya sudah memberi Bella tugas, makanya saya bisa tinggal dia dulu buat bicara sama Bi Narsih, jadi begini.”

Ara menghela nafasnya dulu, dia berusaha untuk bicara pada point-point nya saja agar bi Narsih tidak bingung saat menjelaskan pada orang tua nya Bella.

“Saya ambil kesimpulan sikap Bella yang akhir-akhir ini sering marah, bisa saja di sebabkan karena kondisi rumah tidak kondusif?” tanya Ara, dia mau dengar apakah Bi Narsih tau sesuatu tentang latar belakang orang tua Bella. Ya ini bukan karena Ara mau ikut campur, tapi ini semua demi kepentingan terapi Bella.

“Bibi juga bingung jelasinnya, Mbak. Yang jelas Bella akhir-akhir ini rewel soal Papa nya, padahal Papa nya sudah lama meninggal. Bahkan dari Non Bella belum lahir.”

Ara mengerutkan keningnya bingung, “Papa nya sudah meninggal?”

Bi Narsih mengangguk. “Tapi Mama nya punya teman, nah Bella ini manggil teman Mama nya ini pakai sebutan Papa. Mungkin karena hal ini kali ya Mbak, Bella jadi sering uring-uringan minta Papa nya buat pulang.”

“Ahh..” Ara mengangguk-angguk, agaknya rumit kalau ia bukan bicara dengan orang tua nya Bella langsung. “Karena hal ini Bella jadi sering marah, kondisi rumah gak kondusif terutama suasana hati orang tua nya. Bella barusan cerita kalau akhir-akhir ini Mama nya juga suka kasar sama dia.”

“Begini, Bi. Tolong sampaikan saja pada orang tua Bella. Saya ingin bicara langsung sama beliau karena di lihat dari cerita Bella ini semua ada sangkut pautnya dengan orang tua nya, setelah ini saya berikan Bella tugas untuk di rumah. Supaya pikiran Bella bisa teralihkan dari Papa nya.”

Bi Narsih nampak bingung, namun akhirnya dia mengangguk. “Nanti Bibi sampaikan ya, Mbak.”,

Setelah sesi bersama Bella berakhir, Ara sudah tidak ada klien lagi. Dia juga sudah di jemput oleh Reno karena ini sudah jam pulangnya. Setelah berpamitan pada rekan-rekan kerjanya Ara langsung turun ke lantai 1, Julian belum bisa jemput karena inj masih jam kerjanya. Lagi pula Suaminya itu sudah izin setengah hari hanya demi mengantarnya ke klinik.

“Gimana, Kak. Hari pertama kerjanya?” tanya Reno waktu Ara baru masuk ke dalam mobil.

“Seru kok. kamu, sendiri? Karina kemana?” tanya Ara.

“Karin di rumahnya Mbak Gita sama Mas Iyal, lagi main sama si kembar. Nanti malam Reno jemput kok.”

Ara mengangguk, dia bersandar di kursi mobil karena ngerasa kepalanya sedikit pening. Reno yang melihat kakaknya itu agak sedikit pucat jadi khawatir, soalnya Julian wanti-wanti banget ke Reno buat jagain Kakak nya itu.

“Kakak kenapa?” sembari menyetir Reno sedikit menoleh ke kursi penumpang di sebelahnya.

“Kepala Kakak agak pening, Ren.”

“Tadi udah makan belum?”

Ara mengangguk, “udah kok.”

“Mabuk darat?” Reno ingat kalau Kakaknya itu punya riwayat mabuk darat, tapi ini kan dekat bahkan belum ada separuh perjalanan ke rumahnya masa udah mabuk aja? Pikir Reno.

“Enggak, Ren. Jangan ngajak ngomong Kakak please Kakak jadi mual.” Ara penjamin matanya dia ngerasa perutnya bergejolak banget, kaya ada sesuatu yang mau dia muntahin tapi dia tahan. Kasian Reno kalau dia harus muntah di mobil.

“Kakak mau muntah?!” pekik Reno.

“Reno!! Jangan ngajak Kakak ngomong please Kakak udah mual banget!!” Ara gak kalah teriak separuh kesal soalnya Reno ini malah bikin dia jadi panik.

Reno diam, dia berusaha buat melajukan mobil milik Kakaknya itu agak cepat walau beberapa kali Ara nyubit lengan Reno, soalnya itu malah bikin Ara makin mual. Sesampainya di rumah, Ara langsung masuk ke kamarnya dan berlari ke kamar mandi. Dia muntahin semua makan siang yang tadi dia idam-idamkan, ya apalagi kalau bukan nasi bebek pakai bumbu hitam.

Dan sialnya karna rasa nasi bebeknya yang pedas, hidung Ara sampai perih dan memerah. Air matanya sampai keluar, tapi bukanya lebih baik setelah memuntahkan isi perutnya. Ara malah makin mual, akhirnya dia duduk di lantai kamar mandinya dan muntahin isi perutnya itu di closet bukan lagi di wastafel.

“Kakak???” panggil Reno, karena mendengar Kakaknya itu muntah-muntah. Akhirnya Reno terpaksa masuk ke kamar Kakaknya itu.

“Ren, ambilin air hangat dong. Kakak lemes banget, Ren.” Ara tuh muntah banyak banget, bahkan sampai muntah yang pahit gitu.

“Iy..iya iya bentar Kak, Kakak duduk di tempat tidur aja yuk.” Reno berusaha gendong Kakaknya itu tapi tangannya di pukul sama Ara.

“Masih mau muntah, nanti malah muntah di kasur. Cepetan ambil minum!!” Ara jadi dongkol banget sama Reno gara-gara bukannya cepetan ambilin minum.

“Iya, iya bentar.” Reno lari keluar kamar dan ambil air hangat buat Kakaknya itu, dia juga nyoba telfon Kakak iparnya itu buat ngasih tau kalau Kakaknya muntah-muntah.

Beruntungnya pada nada sambung ketiga, Reno bisa mendengar suara Kakak iparnya itu di sebrang sana. “Hallo, Mas Ijul?”

kenapa, Ren?

“Mas, Kakak muntah-muntah nih. Belum berhenti-berhenti dari tadi, mau Reno angkat ke ke ranjang gak mau malah duduk di dekat closet.”

kasih minum dulu ya, Ren. Jangan sampe Kakak dehidrasi, Mas pulang sekarang.” Julian langsung mematikan telfon dari Adik iparnya itu.

Setelah berpamitan dengan atasannya, Julian langsung keluar dari ruangannya. Namun sayangnya ia tidak sengaja menabrak Liliana yang hendak ingin masuk ke ruangannya. Wanita itu menatap Julian nyalang, namun karna Julian yang panik dia gak sempat bicara apa-apa lagi pada Liliana dan pergi begitu saja.

Namun siapa sangka Liliana justru menyamai langkahnya dengan Julian dan menariknya untuk masuk ke dalam pantry. Katakan Liliana sudah keterlaluan, tapi dia melakukan ini semua untuk anaknya. Izinkan dia menjadi jahat sekali ini saja, selama ini Liliana berpikir dunia sudah cukup jahat dengannya dan juga Bella.

“Gila kamu, ngapain kamu bawa saya ke sini?” sentak Julian, ia ingin membuka pintu pantry namun Liliana menghalanginya dengan berdiri di depannya. “Minggir Liliana, Istri saya lagi sakit.”

“Sebelum Bapak pergi, saya mau kasih lihat sesuatu yang menarik dulu buat Bapak,” Liliana mengeluarkan amplop putih dari saku celana nya dan memberikannya ke Julian dengan cara menempelkannya di dada bidang laki-laki itu.

Julian yang ingin urusannya dengan Liliana cepat usai, akhirnya membuka amplop itu. Sungguh di luar dugaan Julian, ternyata hari dimana Liliana mengundangnya ke rumah untuk acara Bella. Ia abadikan moment itu diam-diam, ada seseorang yang memotretnya apalagi saat Liliana mengalungkan tangannya di lengan Julian dan duduk lebih dekat dengan laki-laki itu.

Ada juga foto-foto nya bertiga dengan Liliana dan juga Bella yang berada di tengah-tengah mereka, jika orang yang tidak tahu kejadian yang sebenarnya dan siapa mereka. Mungkin orang itu bisa salah sangka dan mengira mereka adalah keluarga kecil.

Tidak hanya itu, ada foto-foto Julian juga di Black Box. Ya, Julian akui, ia memang masih suka ke Black Box dan menemui Ian pelatihnya. Tapi Julian sudah tidak tanding tinju ilegal dan mendapat bayaran lagi. Ia hanya berlatih di sana untuk bersenang-senang.

Salah Julian memang karena dia sudah melanggar janjinya pada Ara, dulu waktu Ara tahu kalau Julian kalah dalam bertanding pun. Ara minta sama Julian buat keluar dari tempat itu dan Julian menuruti maunya.

“Gila kamu, Li. Mau kamu apa?” tanya Julian mulai naik pitam.

“Saya mau Bapak jadi Papa nya Bella.”

Julian tertawa hambar, dia melempar foto itu ke lantai dan mengusap wajahnya gusar. “Dari pada kamu buang-buang waktu buat ngancam saya kaya gini, lebih baik kamu gunain waktu kamu buat jelasin ke Bella kalau saya bukan Papa nya.”

“Saya enggak mengancam Bapak, saya beneran sungguh-sungguh. Foto-foto ini bisa saya kirim ke Mbak Ara, dan asal Bapak tau. Mbak Ara sakit itu bukan karena kebetulan, Pak.”

Seperti ada alarm yang menyala di kepala Julian, rahang laki-laki itu mengeras ketika ia tahu Ara sakit itu karena ulah Liliana. Kalau saja Liliana bukan seorang wanita sudah Julian pastikan Liliana sudah tersungkur di lantai.

“Kamu apain Istri saya?! Jangan macam-macam kamu sama saya, Li!!” Sentak Julian.

Liliana menyeringai, ia membuka kunci pintu pantry itu. “Sekarang Bapak pulang dulu aja, nanti saya kabari lagi apa mau saya selanjutnya.”