Kedelapan— Sakit?
Hari ini adalah hari pertama Ara bekerja di Sunshine Klinik, ada beberapa klien lama dari psikolog anak yang dulu dan sekarang di ambil alih oleh Ara. Lalu dia juga mendapatkan 2 klien baru, di hari pertama menurut Ara cukup seru gak ada hal-hal yang memberatkannya atau membuat dia capek.
Apalagi semua karyawan di klinik itu ramah dan baik sekali padannya, siang ini setelah makan siang. Ara kembali ke ruangannya, nantinya akan ada klien baru yang harus konseling sama dia, sebelum klien nya datang Ara sempat membaca biodata anak tersebut. Ternyata seorang anak yang di diagnosa ADHD dan baru mulai terapi.
Tidak lama kemudian suara dari ketukan pintu ruangannya menginterupsi Ara, itu asisten nya. di belakangnya ada seorang wanita berusia 50 tahunan bersama seorang gadis kecil.
“Mbak Ara, klien nya sudah datang.”
“Oh ya, langsung masuk aja ya.” Ara senyum, dia berdiri dan menyambut klien nya itu. “Hallo, selamat siang.”
“Siang, Mbak Ara.” balas sapaan wanita berusia 50 tahun itu.
“Nama saya Ara, Buk. Saya yang akan menjadi psikolog untuk Bella.” Ara memperkenalkan dirinya dulu, dari tadi pun setiap ada klien yang datang ia memperkenalkan dirinya terutama pada klien lama yang biasa di tangani psikolog anak yang posisinya saat ini ia gantikan.
“Salam kenal, Mbak Ara. Saya Bi Narsih, sebenarnya saya pengasuhnya Bella. Mama nya gak bisa antar karena kerja, jadi kalau ada yang mau di bicarakan tentang Bella, Mbak bisa bicara sama saya biar nanti saya yang sampaikan sama Mama nya,” jelas wanita yang bernama Bi Narsih itu.
Ara mengangguk, dalam hati dia agak sedikit kecewa karena harus bicara sama pengasuh dari bocah di depannya itu. Menurut Ara akan lebih baik jika ia berkomunikasi langsung tentang perkembangan Bella pada orang tua nya langsung.
“Ahh, begitu. Baik, kalau gitu. Bi Narsih bisa tunggu di depan, biar saya bisa melakukan sesi sama Bella berdua ya.”
Setelah Bi Narsih keluar, Ara mulai mendekati Bella. Seperti yang sudah-sudah Ara memperkenalkan dirinya, dia juga meminta Bella untuk memperkenalkan dirinya sendiri. Kemudian sembari mengajak Bella bicara mengenai dirinya, Ara beri Bella beberapa tugas yang sudah ia siapkan.
“Kalau di rumah biasanya Bella lebih suka main sama siapa?” tanya Ara, dia memperhatikan Bella yang sedang sibuk menyusun balok menjadi sebuah bentuk rumah, ini adalah terapi okupasi sembari Ara melakukan pendekatan pada Bella selain melatih konsentrasi anak itu.
“Sama Bibi tapi sebenarnya Bella lebih suka main sama Mama.” bocah itu diam sebentar kemudian melanjutkan permainannya lagi. “Tapi Bella juga suka main sama Papa walau Papa gak pernah ajak main Bella.”
“Oh ya?” Ara menaikan satu alisnya. “Kenapa enggak Bella aja yang ajak main Papa?”
Bella menghela nafasnya pelan, matanya masih fokus ke balok-balok yang tengah ia susun walau terkadang ada saja hal-hal kecil yang mudah mendistraksinya. Seperti bola yang ada di sebelahnya, atau bahkan tugas menggambar yang belum Ara perintah untuk Bella. Tapi Ara berusaha untuk mengembalikan fokus Bella, ini agar nantinya Bella bisa fokus pada aktifitas sehari-harinya.
“Papa tuh jarang pulang ke rumah, Miss. Kemarin waktu ulang tahun Bella. Papa datang tapi Papa gak kelihatan bahagia, Papa juga bilang kalau Papa enggak bisa main sama Bella terus karena Mama yang melarang Papa bertemu Bella.”
Mendengar penjelasan Bella, Ara cuma berpikir kemungkinan adalah kedua orang tua Bella bertengkar atau mungkin bercerai sampai-sampai sikap Bella akhir-akhir ini agak sedikit cranky ya Ara sempat membaca riwayat Bella akhir-akhir ini di form pendaftarannya.
Setelah sesi okupasi berakhir, Ara memberi Bella tugas menggambar seperti bakat yang Bella miliki. Sementara itu Ara keluar dari ruangannya untuk bicara dengan Bi Narsih. Ternyata pengasuhnya itu masih setia menunggu di ruang tunggu.
“Bi Narsih? Bisa ikut saya ke ruang konsultasi?” panggil Ara.
“Bisa, Mbak.” Bi Narsih langsung berdiri dan mengekori Ara ke ruangan yang berada tepat di sebelah ruangan konseling Ara dan Bella tadi.
Keduanya duduk di sofa yang saling berhadapan, Ara juga sempat memberi Bi Narsih teh hijau agar obrolan mereka lebih santai soal Bella. “Begini, Bi. Saya sudah memberi Bella tugas, makanya saya bisa tinggal dia dulu buat bicara sama Bi Narsih, jadi begini.”
Ara menghela nafasnya dulu, dia berusaha untuk bicara pada point-point nya saja agar bi Narsih tidak bingung saat menjelaskan pada orang tua nya Bella.
“Saya ambil kesimpulan sikap Bella yang akhir-akhir ini sering marah, bisa saja di sebabkan karena kondisi rumah tidak kondusif?” tanya Ara, dia mau dengar apakah Bi Narsih tau sesuatu tentang latar belakang orang tua Bella. Ya ini bukan karena Ara mau ikut campur, tapi ini semua demi kepentingan terapi Bella.
“Bibi juga bingung jelasinnya, Mbak. Yang jelas Bella akhir-akhir ini rewel soal Papa nya, orang tua nya sedang dalam proses berpisah.”
Ara mengangguk pelan, “ahhh, bisa jadi ini menjadi salah satu pemicu nya Bella sering marah.”
Bi Narsih mengangguk. “Mama nya juga sering ngelarang Papa nya Bella biar enggak sering-sering datang ke rumah, Papa nya Bella itu memang tidak begitu perhatian sama Bella, Mbak. Bibi pernah dengar katanya dia malu punya anak seperti Bella. Tapi disisi lain Bella sayang sekali sama Papa nya, Bella itu seperti di sembunyikan dari keluarganya, Mbak.”
“Ahh..” Ara mengangguk-angguk, agaknya rumit kalau ia bukan bicara dengan orang tua nya Bella langsung. “Karena hal ini Bella jadi sering marah, kondisi rumah gak kondusif terutama suasana hati orang tua nya. Bella barusan cerita kalau akhir-akhir ini Mama nya juga suka kasar sama dia.”
“Begini, Bi. Tolong sampaikan saja pada orang tua Bella. Saya ingin bicara langsung sama beliau karena di lihat dari cerita Bella ini semua ada sangkut pautnya dengan orang tua nya, setelah ini saya berikan Bella tugas untuk di rumah. Supaya pikiran Bella bisa teralihkan dari Papa nya.”
Bi Narsih nampak bingung, namun akhirnya dia mengangguk. “Nanti Bibi sampaikan ya, Mbak.”,
Setelah sesi bersama Bella berakhir, Ara sudah tidak ada klien lagi. Dia juga sudah di jemput oleh Reno karena ini sudah jam pulangnya. Setelah berpamitan pada rekan-rekan kerjanya Ara langsung turun ke lantai 1, Julian belum bisa jemput karena ini masih jam kerjanya. Lagi pula Suaminya itu sudah izin setengah hari hanya demi mengantarnya ke klinik.
“Gimana, Kak. Hari pertama kerjanya?” tanya Reno waktu Ara baru masuk ke dalam mobil.
“Seru kok. kamu, sendiri? Karina kemana?” tanya Ara.
“Karin di rumahnya Mbak Gita sama Mas Iyal, lagi main sama si kembar. Nanti malam Reno jemput kok.”
Ara mengangguk, dia bersandar di kursi mobil karena ngerasa kepalanya sedikit pening. Reno yang melihat kakaknya itu agak sedikit pucat jadi khawatir, soalnya Julian wanti-wanti banget ke Reno buat jagain Kakak nya itu.
“Kakak kenapa?” sembari menyetir Reno sedikit menoleh ke kursi penumpang di sebelahnya.
“Kepala Kakak agak pening, Ren.”
“Tadi udah makan belum?”
Ara mengangguk, “udah kok.”
“Mabuk darat?” Reno ingat kalau Kakaknya itu punya riwayat mabuk darat, tapi ini kan dekat bahkan belum ada separuh perjalanan ke rumahnya masa udah mabuk aja? Pikir Reno.
“Enggak, Ren. Jangan ngajak ngomong Kakak please Kakak jadi mual.” Ara penjamin matanya dia ngerasa perutnya bergejolak banget, kaya ada sesuatu yang mau dia muntahin tapi dia tahan. Kasian Reno kalau dia harus muntah di mobil.
“Kakak mau muntah?!” pekik Reno.
“Reno!! Jangan ngajak Kakak ngomong please Kakak udah mual banget!!” Ara gak kalah teriak separuh kesal soalnya Reno ini malah bikin dia jadi panik.
Reno diam, dia berusaha buat melajukan mobil milik Kakaknya itu agak cepat walau beberapa kali Ara nyubit lengan Reno, soalnya itu malah bikin Ara makin mual. Sesampainya di rumah, Ara langsung masuk ke kamarnya dan berlari ke kamar mandi. Dia muntahin semua makan siang yang tadi dia idam-idamkan, ya apalagi kalau bukan nasi bebek pakai bumbu hitam.
Dan sialnya karna rasa nasi bebeknya yang pedas, hidung Ara sampai perih dan memerah. Air matanya sampai keluar, tapi bukanya lebih baik setelah memuntahkan isi perutnya. Ara malah makin mual, akhirnya dia duduk di lantai kamar mandinya dan muntahin isi perutnya itu di closet bukan lagi di wastafel.
“Kakak???” panggil Reno, karena mendengar Kakaknya itu muntah-muntah. Akhirnya Reno terpaksa masuk ke kamar Kakaknya itu.
“Ren, ambilin air hangat dong. Kakak lemes banget, Ren.” Ara tuh muntah banyak banget, bahkan sampai muntah yang pahit gitu.
“Iy..iya iya bentar Kak, Kakak duduk di tempat tidur aja yuk.” Reno berusaha gendong Kakaknya itu tapi tangannya di pukul sama Ara.
“Masih mau muntah, nanti malah muntah di kasur. Cepetan ambil minum!!” Ara jadi dongkol banget sama Reno gara-gara bukannya cepetan ambilin minum dia malah mau mindahin Ara dulu.
“Iya, iya bentar.” Reno lari keluar kamar dan ambil air hangat buat Kakaknya itu, dia juga nyoba telfon Kakak iparnya itu buat ngasih tau kalau Kakaknya muntah-muntah.
Beruntungnya pada nada sambung ketiga, Reno bisa mendengar suara Kakak iparnya itu di sebrang sana. “Hallo, Mas Ijul?”
“kenapa, Ren?“
“Mas, Kakak muntah-muntah nih. Belum berhenti-berhenti dari tadi, mau Reno angkat ke ke ranjang gak mau malah duduk di dekat closet.”
“kasih minum dulu ya, Ren. Jangan sampe Kakak dehidrasi, Mas pulang sekarang.” Julian langsung mematikan telfon dari Adik iparnya itu.
Begitu mendapatkan izin dari atasannya, Julian langsung pulang ke rumah. Waktu sampai rumah pun Ara lagi tiduran di ranjang mereka sambil sesekali mengoleskan minyak angin di sisi kanan dan kiri keningnya. Julian beneran khawatir banget, padahal ini baru hari pertama Ara kerja tapi wanita itu sudah sakit kaya gini.
“Kamu tuh tadi makan apa sih?” Tanya Julian, dia bantu Ara bangun dari ranjangnya buat sandaran. Julian sempat mampir ke apotek karena Ara nitip obat sama dia.
“Makan nasi bebek aja kok,” jawab Ara setelah dia selesai minum obat yang Julian kasih.
“Pedas ya?”
Dengan ragu-ragu Ara ngangguk, dia udah bisa tebak deh kalau Julian kayanya bakalan marah kalau tahu dia makan pedas. Ya gimana enggak, dari jaman kuliah itu Ara punya asam lambung yang kalau kambuh tuh bisa parah banget. Makanya dulu sewaktu mereka kuliah, Julian enggak pernah lupa beliin Ara onigiri sama susu ultra buat sarapan Ara.
“Kan aku udah bilang berapa kali jangan makan pedas, itu nasi bebek bumbu hitam kan? Kamu tuh sayang gak sih sama badan kamu sebenarnya?”
“Abang.... Jangan marah, aku lagi sakit kamu malah marah-marah kaya gitu.” Kedua mata Ara berkaca-kaca, Julian emang gak ngebentak tapi pria itu marah. Kelihatan dari wajahnya, dan gak tau kenapa rasanya Ara kaya sedih banget liat Julian marahin dia kaya gitu.
“Aku marah tuh karna aku khawatir, karna aku sayang sama kamu. Tapi kayanya kamu malah gak sayang sama diri kamu sendiri.” Julian berdiri, dia mau ganti baju dulu. Agak kesal sebenarnya pas tahu apa penyebab Ara muntah-muntah kaya gitu.
Pasalnya Ara itu sulit sekali di ajak ke dokter, kalau dia ngerasa belum perlu banget dan masih bisa di atasi sama obat-obatan yang biasa dia minum. Gak akan mau deh Ara di ajak pergi ke dokter, itu sebabnya sakit yang di derita Ara kaya usus buntu dan miom terlambat terdeteksi.
Ara enggak jawab ucapan Suaminya lagi, dia meringkuk di ranjangnya sembari menangis. Perutnya sudah tidak mual, tapi masih sedikit nyeri, terutama saat ia duduk.
“Untung ada Reno di rumah tau gak? Coba kalau dia gak ada di rumah, kaya apa kamu tadi muntah-muntah sendirian.”
Selesai berganti baju, Julian noleh ke arah istrinya itu. Dia jadi enggak tega sendiri liat Ara yang nangis, agak merasa bersalah karena udah ngomelin Ara waktu dia lagi sakit. Padahal kalau Julian sakit, Ara gak pernah ngomel-ngomel sama dia. Akhirnya Julian samperin istrinya itu, dia duduk di sisi ranjang mereka sambil ngusap-ngusap punggung kecil istrinya itu.
“Sayang..”
“Aku emang salah, tapi aku juga gak pengen sakit hiks,” ucap Ara di sela-sela isaknya.
“Iya aku tau, aku minta maaf ya. Aku khawatir banget tadi. Lain kali bawa bekal sendiri aja ya?”
Ara enggak jawab, dia malah narik selimutnya sampai sebatas kepalanya. Hatinya belum membaik setelah Julian marah-marahin dia perkara nasi bebek. Julian yang tau Ara balik ngambek itu cuma bisa geleng-geleng kepala aja, dia akhirnya memutuskan buat keluar dari kamar mereka. Memberi waktu untuk Istrinya itu istirahat sembari ia membuatkan bubur ayam untuk makan malam Ara.
Paginya Ara bangun lebih dulu dari pada Julian, waktu dia bangun, Suaminya itu masih tidur biasanya Julian udah bangun buat sholat subuh sama olahraga kecil sebelum berangkat kerja. Oiya, hari ini Ara enggak ke klinik. Jadwalnya di klinik seminggu cuma tiga kali aja dan bukan di hari yang berdekatan.
Ara enggak langsung bangun, dia ngusap wajah Julian dulu yang masih tidur sembari memegang minyak angin. Semalam tuh Ara masih ngerintih kalau tiba-tiba perutnya nyeri, dia sadar kok kalau Julian yang ngasih minyak angin di bagian perutnya yang terasa nyeri itu.
Waktu Ara pegang pipinya Julian, pria itu bangun. Julian tuh tidur enggak pernah yang benar-benar pulas sampai susah buat di bangunin, dia justru gampang banget bangun apalagi kalau lampu kamar di nyalain walau sebentar aja. Atau Ara yang ke toilet tapi kelamaan.
“Masih sakit perutnya, Bun?” tanya Julian dengan suara seraknya itu.
Ara udah sering banget tidur berdua sama Julian, bahkan waktu mereka pacaran sekalipun dan selama itu pula dia masih suka salah tingkah tiap kali dengar suara serak khas bangun tidur milik Julian itu. Kedengarannya jadi makin sexy.
Ara menggeleng pelan, “udah mendingan kok, kamu mau sarapan pake apa?”
“Aku aja yang buatin ya?”
“Jangan, kamu udah capek banget semalam jagain aku. Hari ini juga masih kerja kan?”
Julian menghela nafasnya pelan dan mengangguk, “jangan makan pedas-pedas lagi ya, maaf kemarin aku marahin kamu.”
Julian ngusap-ngusap kepala Ara, masih ngerasa bersalah karena udah marah-marah ke Ara. Julian tuh kalau marah ke Ara udahanya pasti ngerasa bersalah banget, kaya apapun yang Ara minta buat nebus kesalahan dia pun bakalan Julian kasih.
“Gapapa, Bang. Aku juga salah kok karena gak sadar diri banget, udah tau nasi bebeknya pedas tapi aku masih lanjut makan aja.”
Keduanya terkekeh pelan, Ara tuh beneran bersyukur banget dia bisa menikah sama Julian yang super duper sabar banget menghadapi dia yang kadang kekanakan. Selain itu Julian juga pengertian banget, enggak malas buat bantuin dia ngerjain pekerjaan rumah dan yang jelas Julian itu sayang banget sama Ara.
Waktu Ara keluar dari kamarnya, ternyata justru Karina sama Reno udah bangun lebih dulu dan bikin sarapan buat mereka, Ara sampai terharu liatnya, mereka beneran kompak banget. Dari situ Ara bisa sedikit menilai kalau Adiknya itu kayanya bakalan jadi Suami idaman banget yang bantu istrinya di dapur.
“Manis banget pagi-pagi udah bikin sarapan bareng,” ledek Ara, dia duduk di meja makan sembari liatin Reno sama Karina yang lagi sibuk bikin pancake pisang, wangi banget sampai-sampai wanginya nyebar ke ruang tamu.
“Eh, Kak Ara udah bangun,” sapa Karina cengengesan, dia jadi malu karena ketahuan sama calon kakak iparnya itu.
“Cobain, Kak. Pancake pisang buatan calon Istri Reno. Di jamin enak ini, kalau kata Kakak sama Mas Ijul enak rencana nya mau kita jual jadi menu breakfast di toko.” Reno naruh piring berisi pancake pisang yang di atasnya itu di kasih madu dan pisang, sebenarnya tampilannya biasa aja dan kaya pancake pada umumnya. Tapi wanginya itu loh benar-benar menggiurkan banget.
“Wihhh.. Serius nih, Rin?” tanya Ara ke Karina yang masih sibuk plating pancake nya.
“Hehe rencana nya sih gitu ya, Kak. Kayanya pancake ini bakalan jadi menu yang enggak aku handle sendiri. Gak kepegang pasti, jadi aku cuma handle brownies aja.”
Ara manggut-anggut, “kakak cobain dulu ya.”
Karina ngangguk, dia sampai nunda kerjaanya dulu buat liat reaksi dari calon kakak iparnya itu pas nyobain pancake nya. Waktu Ara potong pancake nya tuh beneran lembut, masih ada sedikit asap yang mengepul dan itu wangi banget. Waktu Ara cobain pun rasanya beneran pas, pancake nya wangi, lembut, tidak terlalu manis dan yang jelas rasa pisangnya itu terasa sekali.
Beneran cocok dengan lidah Ara yang gak begitu menyukai makanan manis. Karina tuh emang pinter banget buat bikin makanan manis, dia ahlinya apalagi kalau soal brownies.
“ENAKKKK!! Serius, Rin. Ini enak kok, sayang cobain deh, pancake buatan Karina enak banget.” Ara potongin satu potongan pancake buat dia suapin ke Julian yang baru aja keluar dari kamar.
“Iya enak kok, Rin. Gak kemanisan,” ucap Julian mengomentari.
Karina sama Reno yang dari tadi sibuk bikin pancake itu jadi tersenyum puas, apalagi Reno. Dia senang banget kakak-kakak nya itu muji masakannya Karina, Reno bersyukur banget karena keluarganya begitu menyayangi Karina. Begitu pun sebaliknya, Karina juga enggak malu-malu buat nunjukin perhatiannya ke keluarga Reno.
Bersambung...