Kedua— Keputusan

Setelah hampir dua minggu Julian menikmati waktu libur lebarannya, hari ini dia udah mulai masuk kerja lagi. Dia juga udah mulai sibuk berkordinasi sama divisi lain untuk melakukan riset product baru yang akan segera di luncurkan, Julian itu kerja di sebuah perusahaan brand skincare ternama.

Seperti yang sudah-sudah sering di bicarakan publik, baik brand dari skincare dan make up itu sedang berkembang pesat dan terus berlomba-lomba untuk berinovasi mengembangkan product baru, perkembangannya cukup pesat sampai-sampai kadang Julian sendiri cukup hectic melakukan riset mengenai pasar, pengembangan desain product, sampai ke soal anggaran yang di berikan oleh kantor nya.

Kaya sekarang ini, Julian lagi sibuk mendengarkan presentasi dari divisi produksi soal ingredients yang ada di product skincare mereka. Sembari mendengarkan presentasi itu, Julian sembari mencari tahu manfaat dari bahan-bahan yang akan di pakai.

“Apa ada yang mau di tanyakan, Pak?” tanya seorang laki-laki dari divisi produksi yang sedang mempresentasikan ingredients product yang akan mereka gunakan.

“Snail ya?” Julian mengangguk-angguk kecil dan menutup lembaran kertas yang sedang ia amati tadi.

“Seperti yang kita tahu, kalau brand kita ini kan terkenal dengan branding skincare halal nya. Apa selama mengekstraksi siput, ada unsur kekerasannya? Karena seperti yang kita tahu selain halal dan aman untuk di pakai manusia, kita juga enggak boleh menyakiti hewan.”

Laki-laki dari divisi produksi itu membenarkan kacamata yang ia pakai ke pangkal hidungnya, tatapannya agak ragu untuk menjelaskan tentang pertanyaan sederhana yang di lontarkan oleh atasannya barusan.

“Untuk proses ekstraksi lendirnya kita memang masih memakai metode lama, Pak.”

“Dengan memasukan siput ke bejana berisi air garam, memakai bahan kimia atau menggunakan sengatan listrik supaya siput mengeluarkan lendir?” tanya Julian lagi, sejauh ini dari hasil pengamatannya memang seperti itu.

“Opsi ketiga, Pak. Sejauh ini yang paling aman agar lendir tidak tercampur bahan-bahan lain dengan memakai sengatan listrik.”

Julian menghela nafasnya pelan, “lalu siput-siput yang sudah di ambil lendir nya itu berakhir mati yah? Ini sama aja product baru yang akan kita luncurkan menyakiti hewan.”

Di ujung meja sana ada seorang wanita yang mengangkat tangan, namanya Andini dia memang dari divisi produksi yang di khususkan untuk bekerja di lab.

“Sebenarnya ada cara lain, Pak. Dari sepengalaman saya siput bisa mengeluarkan lendir itu ketika siput merasa setress, ketika sedang berjalan dan yang ketiga ketika bahagia.”

Andini berdiri dan menyerahkan beberapa kertas yang sudah ia print dan memberikan itu ke Julian, itu adalah penelitian dari tempat kerjanya dulu yang mengembangkan sebuah alat produksi untuk membuat siput-siput bahagia selama proses ekstraksi. Mereka juga bisa melakukan ternak pada siput.

“Itu adalah alat yang di gunakan untuk melakukan proses ekstraksi pada siput dengan cara membuat siput bahagia, sehingga lendir nya bisa keluar dan setelahnya siput bisa di pindahkan ke tempatnya lagi setelah proses ekstraksi selesai, alat ini juga enggak akan menyakiti siput sampai membuatnya mati,” jelas Andini.

Di kursinya Julian membaca tentang alat yang di maksud Andini itu, tempatnya mirip sebuah panci besar yang berisi uap. Metode yang di gunakan oleh Korea Selatan untuk memproduksi lendir siput demi kepentingan kosmetik, Andini memang pernah bekerja di lab yang memproduksi skincare di Korea Selatan.

“Bagus, saya lebih setuju sama ini.” Julian menyerahkan kembali kertas itu ke Andini.

“Tapi biayah produksinya akan sangat mahal, Pak. Kita perlu impor barang itu dari luar karena di sini belum ada.” laki-laki yang tadi mempresentasikan itu menyela.

“Kita meeting sampai di sini dulu yah, nanti saya perlu konfirmasi dari Pak Handoko dulu soal ini. Nanti kalau sudah ada keputusan dari beliau, kita bisa bicarakan ini lagi.”

Selesai dengan meeting nya siang ini Julian langsung keluar dari ruangan meeting dan berjalan ke ruangannya, sebentar lagi sudah memasuki jam makan siang, Julian mungkin enggak akan makan siang di kantin atau keluar mencari restoran atau cafe. Dia akan pesan dari layanan pesan antar saja karena hari ini kerjaannya benar-benar menumpuk.

“Pak Julian.” panggil seseorang yang membuat Julian menghentikan jalannya, ia menoleh ke belakang dan mendapati Liana di sana.

“Hey, Li. Ada apa?” tanya Julian.

“Saya udah kirim desain untuk lip product yang Bapak minta kemarin ke surel, tolong nanti di periksa ya, Pak. Kalau ada yang kurang Bapak bisa panggil saya.”

“Oke, nanti saya periksa yah.”

Liana mengangguk, “kalau gitu saya kembali ke kursi saya dulu, Pak.”

Julian hanya tersenyum kecil kemudian kembali masuk ke ruangannya, begitu sampai di ruangan senyum nya merekah karena ternyata Ara menunggunya di sana. Istrinya itu datang membawa kotak makanan untuknya.

“Sayang, kok mau ke kantor aku gak bilang-bilang?” tanya Julian, dia mengecup kening Istrinya itu setelah Ara mencium tangannya.

“Sengaja, kan biar jadi kejutan buat kamu.”

Ara duduk di sofa dekat meja kerja Julian dan membuka kotak bekal berisi makanan yang dia masak tadi pagi, Ara menyempatkan membuatkan bekal makan Julian dan mengantarnya sendiri selagi masih hangat.

Setelah selesai menerjemahkan beberapa BAB untuk novel yang sedang ia garap terjemahannya, Ara buru-buru masak dan mengantar bekal untuk Julian. Sore nanti dia masih harus bertemu dengan brand baju yang mau bekerja sama dengannya, Ara itu masih aktif sebagai influencer di Instagram miliknya, kalau kanal Youtube nya memang di fokuskan untuk membahas edukasi seputar kesehatan mental dan pendidikan.

“Kamu masak apa?” tanya Julian, setelah memeriksa beberapa berkas di meja nya, dia nyamperin Ara dan duduk di sebelahnya.

“Masak sapo tahu, ayam serundeng sama tumis brokoli. Aku belum belanja bulanan ternyata.” Ara nyengir, saking sibuknya hanya tersisa bahan-bahan itu di kulkas dapurnya. “Abis dari kantor kamu aku mau ketemuan sama orang dari brand yang mau kerja sama aku, terus belanja bulanan deh.”

“Ini aja udah kelihatan enak lagi, makasih yah, sayang.”

“Sama-sama, Mas. Kamu sibuk banget yah?”

“Enggak, tapi lagi gak nyantai juga, kenapa emang?” sembari menjawab pertanyaan Ara, Julian mencicipi masakan Istrinya itu.

Ara itu pintar masak, masakannya enak-enak hanya saja dia memang jarang memasak karena saking sibuknya. Makanya kalau Ara masak kaya sekarang ini Julian tuh bahagia banget.

“Gapapa, nanya aja. Oh iya, nanti malam aku masak kok. Gausah beli lauk yah.”

“Oh ya? Masak apa?” Julian natap Ara dengan mulut yang terisi penuh oleh makanan, dan itu membuat Ara jadi terkekeh karena menurutnya lucu.

“Kamu mau ayam rica-rica daun kemangi atau ayam pop?”

“Ayam pop aja.” mulutnya masih penuh, tapi Julian udah ngebayangin ayam pop bikinan Ara yang dagingnya tuh lembut banget dan bumbu nya meresap terus di makan pakai sambal dan nasi hangat.

“Oke, nanti aku bikinin yah.” liatin Julian makan gini, Ara tuh bahagia banget rasanya. Walau agak ngerasa sedikit bersalah karena dia jarang banget masakin Julian. “Mas?”

“Hm?”

“Aku tadi mampir ke kantor tempat aku kerja jadi penerjemah. Aku bilang sama Mbak Indri kalau mau resign setelah project novel yang sekarang selesai aku garap.”

Keputusan Ara ingin mengurangi kesibukannya sudah bulat, dan yang akan dia korbankan adalah dengan menjadi penerjemah. Dia mau fokus untuk mendapatkan izin praktik sembari mengelola kanal Youtube nya saja, penghasilan dari sana juga sudah lumayan kok. Karena gaji Julian pun sebenarnya sudah cukup untuk hidup mereka berdua.

Dari gaji yang Julian tabung saja mereka sudah bisa membeli rumah, ya walau enggak besar banget. Hanya rumah dengan dua kamar dan halaman kecil di depan yang belum Ara apa-apakan itu, rencana nya Ara mau menanam bunga dan tanaman herbal. Mungkin nanti setelah memiliki waktu luang.

“Terus kata dia gimana? Dia setuju kamu resign?

Ara mengangguk kecil, “aku bilang memang kita mau program. Jadi yah dia setuju, tapi dia bilang ke aku. Kapanpun aku mau balik yah dia bakalan terima.”

Oiya, Ara itu mulai tertarik belajar bahasa Korea dan memperdalaminya setelah dia sama anak-anak kosan dulu liburan ke Korea, bahkan di sela-sela waktu menunggu daftar S2 nya tuh Ara sempat ikut kursus bahasa Korea dan punya sertifikat. Makanya dia bisa menjadi penerjemah juga.

“Nanti kita manfaatin waktu weekend kita yah.”

“Aku juga mau konsul ke dokter, gapapa kan, Mas?”

“Aku temenin yah.”

Ara hanya mengangguk kecil saja, semoga setelah ia mengorbankan satu pekerjaannya dan konsul ia akan segera mendapatkan kabar baik. ya, Ara harap akan secepatnya begitu.