Keempat Belas— Tentang Kita
Setelah istirahat beberapa menit di pos 3 mereka melanjutkan perjalanan lagi ke pos 4, sebentar lagi mereka akan sampai di Ranukumbolo. Tapi sayangnya, perjalanan menuju pos 4 pun hampir sama melelahkannya dengan berjalan ke pos 3. Jalanan setapak yang rimbun, jalanan menanjak yang licin dan berbatu.
Ara sempat meminta berhenti sebentar karena ia tampaknya kuwalahan, untungnya anggota tim nya yang lain mengerti dan mereka istirahat sebentar di jalan. Julian coba periksa kondisi Ara, dia kasih minum istrinya dulu dan mastiin Ara masih kuat jalan atau tidak. Dia gak masalah harus bayar porter buat bawa carier mereka demi ia bisa menggendong Ara hingga Ranukumbolo.
“Masih capek gak sayang? Aku gendong aja ya?” tanya Julian, dia nutup botol minum yang bekas di minum sama Ara. Dia ambil sapu tangan yang Ara kasih buat elap keringatnya tadi, dan dia pakai sapu tangan itu buat elap keringat istrinya.
Dalam nafasnya yang rasanya tersengal, Ara senyum samar. Dia masih kuat, dia cuma kelelahan aja, dia haus sebenarnya. “Masih kok, Jul. Aku baik-baik aja, cuma butuh istirahat sebentar aja.”
“Yakin?”
Ara mengangguk, dia ambil botol minum nya dan minum sekali lagi. Setelah itu Ara juga sempat memakai inhaler miliknya, cuacanya cukup dingin dan cuaca seperti ini rawan sekali menjadi pemicu asma nya kambuh.
“Istrinya gapapa, Mas?” tanya anggota tim nya Julian. Cowok, temannya Kanina juga namanya Pandu.
“Gapapa kok, cuma butuh istirahat sebentar.”
“Mas, Semeru waktu itu sempat erupsi lagi ya? Makanya sempat di tutup buat umum?” tanya Kanina, dia sempat baca berita kalau Semeru sempat erupsi beberapa tahun yang lalu.
“Iya, Mbak. Setelah itu malah sempat longsor. Mbak dan Mas-Mas ini bisa di bilang tamu pertama di Sumeru setelah bencana kemarin. Makanya jalan setapak masih rimbun dan pos 3 dan 4 sempat pindah,” jelas Mas Retno.
“Spesial banget berarti kita ya!” celetuk Pandu.
“Berarti di atas cuma ada berapa tenda, Mas?”
“Hanya ada 3 kurang lebih. Saya juga baru ke atas lagi.”
Julian awalnya menyimak obrolan ringan itu, tapi kemudian tangannya bergerak mengusap kepala Ara, Julian kemudian berjongkok. Dia baru ingat kalau Ara lepas sarung tangannya karena basah, dia gak mau Ara kedinginan. Jadi, Julian buka carier miliknya dan ambil sarung tangan miliknya.
“Sarung tangan kamu basah ya? Pakai punya aku aja ya sayang, gapapa kebesaran dikit ya, dari pada kedinginan,” Julian jongkok di depan Ara, dan memasangkan sarung tangan itu ke tangan istrinya.
“Kamu gimana?” Ara bukan memikirkan dirinya sendiri, dia memikirkan Julian juga.
“Aku gak kedinginan, aku gerah.” Julian jujur kok, dia memang gerah. Jalanan menanjak memaksanya mengeluarkan tenaga ekstra sampai-sampai Julian yang jarang keringetan itu jadi keringetan banyak.
“Kamu udah minum, Jul?”
“Udah sayangku.”
“Bisa kita mulai perjalanananya lagi, Mas, Mbak? Biar enggak sampai gelap kita sudah mendirikan tenda di Ranukumbolo,” tanya Mas Retno memastikan. Beliau benar, mereka gabisa beristirahat terlalu lama, nanti hari semakin gelap.
“Sudah, Mas,” jawab Ara, dia berdiri tapi kemudian dia sedikit kaget karena Julian mengambil alih carrier yang ada di punggungnya.
“Jul, berat. Aku masih bisa bawa kok.”
“Aku aja sayang, di depan jalur nya lebih menanjak lagi, kamu cukup fokus sama jalanan aja ya. Aku gak keberatan kalo cuma bawa 2 carrier.”
“Beneran?”
Julian senyum, kemudian mengusap pucuk kepala Ara. “Yuk, jalan lagi. Sebentar lagi kita sampai di surga nya Gunung Semeru.”
Mendengar itu Ara jadi terkekeh dia jadi ingat potongan adegan di film yang di rilis 2012 lalu. “Kamu Julian apa Genta sih?”
“Aku Julian suami kamu!”
“Ish keju bangetl!!” Ara mukul lengan Julian gemas dan kemudian melangkah jalan lebih dulu.
Julian yang di pukul gitu cuma cengengesan aja kaya biasanya, mereka kembali lagi berjalan. Kali ini lebih konsentrasi dari pada yang barusan, jalanan benar-benar sedikit sempit dan rimbun tertutup tanaman. Di atas kepala mereka ada beberapa burung yang hinggap kemudian terbang, udaranya masih sangat bersih.
Ara beberapa kali menghirup udara lalu menghembuskannya, benar-benar cocok untuk healing ketika kembali menanjak, Ara di bantu oleh anggota yang lain. Julian gak bisa bantu banyak karena dia bawa dua carrier dan harus menjaga keseimbangannya, yang lain juga bantuin Julian kok.
“Sayang liat ke kiri deh,” ucap Julian, agak sedikit ngos-ngosan.
Ara gak jawab pertanyaan Julian, dia berhenti sebentar dan lihat ke sisi kirinya. Ternyata Ranukumbolo sudah terlihat dari atas, itu artinya sedikit lagi mereka akan segera sampai di pos 4 kemudian berjalan sedikit lagi dan sampai di Ranukumbolo.
“Indah banget yah, Jul.”
Julian mengangguk samar, ia kemudian menggandeng tangan Ara dan mereka kembali berjalan lagi. Mereka tiba di pos 4, hanya istirahat sebentar saja untuk minum, lalu cepat-cepat berjalan lagi hingga akhirnya sampai di Ranukumbolo. Meski mereka sampai di jam 5 sore, cuaca agak sedikit mendung dan langit mulai gelap. Jadi Julian buru-buru mendirikan tenda.
Selama Julian diriin tenda, Ara memutuskan untuk memasak air. Perutnya lapar dan ia sedikit kedinginan, ia mau membuat teh hangat atau coklat panas. Sekalian bikin mie instan juga karena tadi Julian mengeluh lapar.
“Kamu tuh ketemu suamimu dimana, Mbak?” tanya Kanina saat mereka berdua sedang memasak mie instan.
Ara terkekeh pelan, “di toko buku, Na.”
“Hah, serius?” Kanina memekik, baginya itu klise sekali. Seperti adegan drama. “Masa sih, Mbak?”
“Iya serius, terus kita ketemu lagi di kampus. Dia teman kampusku, satu fakultas, satu jurusan, satu kosan juga.”
“Manisnya...” Kanina mengerucutkan bibirnya. “Mbak mau tau gak?” bisiknya pada Ara.
“Apa?”
“Aku sebenarnya naksir sama Pandu tau, tapi dia mah gak peka. Terus kita juga temenan udah lama, jadi bingung mau bedain dia suka juga sama aku atau gak.” Kanina melihat ke arah Pandu yang sedang sibuk mendirikan tenda sama Julian, tadi tendanya Pandu sudah berdiri lebih dulu. Tapi karena tertiup angin ada bagian yang lepas dan Julian membantunya.
“Oh ya? Pandunya jomblo gak?”
“Ya jomblo lah, Mbak. Apa aku gas aja ya? Aku confess disini, biar kalo orang-orang tanya. Eh lu sama Pandu jadian dimana? Di Ranukumbolo, keren kan?” Kanina terkekeh sendiri, dia ini tipe perempuan yang ceria banget.
“Boleh tuh, kalau kamu berani sana confess sama dia gih. Udah temenan lama juga kan? Harusnya gausah malu lagi.”
“Malu, Mbak. ntar dia ngira aku lagi ngeguyon lagi.”
“Ck,” Ara berdecak. “Makanya kamu ngomongnya jangan sambil ketawa ketiwi.”
“Harus serius gitu?” Kanina mengerutkan keningnya.
“Tunggu moment yang pas.”
“Kapan tuh?”
“Nanti malam mungkin? Atau besok pagi, pas kalian ada waktu berdua. Atau kamu bisa ajak dia ke Tanjakan Cinta berdua. Gak jauh dari sini kan.”
“Ah masa cewek sih yang ngajak, Mbak.” Kanina putus asa, dia gak ngerasa harga dirinya terlukai kok. Cuma agak gengsi dan sedikit malu aja.
“Katanya udah naksir berat, nanti keburu Pandu jadian sama yang lain loh.”
“Ah jangan ihhh!!” rengek Kanina.
“Makanya di omongin,” Ara ngangkat mie instan miliknya yang sudah matang lebih dulu, dia juga buatkan teh hangat buat Julian. Suaminya itu sedang ganti baju sekarang, Julian pasti kedinginan.
Sementara itu Kanina di dekat api unggun seperti sedang menimang-nimang saran dari Ara, sampai Ara pamit untuk masuk ke tenda nya pun. Perempuan itu cuma mengagguk kecil saja, di dalam tenda, Ara sempat ambil kamera nya. Dia foto suasana Ranukumbolo menjelang malam, masih kelihatan kok. Ada cahaya dari dalam tenda mereka dan juga cahaya dari api unggun.
“Udah jadi sayang mie nya?” Julian masuk ke dalam tenda sembari menggosok-gosokan tanganya.
“Udah, punya kamu yang gak pake bawang.” Ara kasihin mangkuk mie milik Julian.
“Asikkk..”
“Besok pagi, kita ke Tanjakan Cinta yuk, Bang. Aku mau foto-foto di sana, sekalian di Oro-Oro Lombo sembelum kita turun.”
“Iya sayangku,” Julian senyum, habis itu dia makan mie instan buatan istrinya itu.
Malamnya mereka berdua enggak langsung tidur, Julian sempat ngobrol-ngobrol sebentar sama cowok-cowok lain yang juga ngecamp disana. Habis itu baru dia masuk ke dalam tenda, Ara belum tidur. Dia masih liatin video-video yang dia rekam hari itu.
“Tidur, sayang.”
“Aku nungguin kamu.” Ara nyimpan kamera miliknya, kemudian masuk ke dalam sleeping bag miliknya.
Julian juga sudah mengambil posisi untuk tidur setelah ia menutup tenda mereka, cuacanya semakin dingin. Tapi tenang, bahkan Ara merasakan ketenangan luar biasa di sini. Pantas saja, Julian suka sekali mendaki. Mungkin cara itu ia mendapatkan ketenangan.
“Kayanya aku bisa tau sekarang, kenapa suami aku ini suka banget mendaki.” Ara senyum, dia usap-usap hidung mancung Julian pakai telunjuknya.
Julian senyum, “kamu juga ngerasain hal yang sama kan? Bukan cuma indah, tapi tenang. Kamu tau gak sayang? Naik gunung itu sama aja kaya perjalanan hidup manusia tau.”
“Maksudnya?” Ara mengerutkan keningnya.
“Iya, kamu bayangin kita naik ke sini enggak mudah, kena badai, jalanan licin, nanjak, turun. Itu kaya hidup tau, badai itu kaya cobaan, ada kalanya kita jalan di nanjak, nanjak dan sampai di atasnya itu ibarat kita lagi di kasih kebahagiaan, terus waktu jalan menurun itu kaya ibaratnya kita lagi ada di titik rendah, tapi habis itu kita nanjak lagi dan sampai buat liat hal-hal indah,” Julian jelasin filosofi pendakian menurutnya.
“Iya juga ya, kamu nih emang suka banget sih meromantisasi segala hal.” Ara terkekeh, “Jul?”
“Hm?”
“Andai kamu enggak trauma sama naik pesawat, apa kamu bakalan wujudin cita-cita kamu buat jadi pilot?” sebenarnya Ara udah lama banget mau ngomong kaya gini, tapi dia tahan. Takut pertanyaan ini jadi hal sensitif buat Julian, tapi kali ini dia ngerasa Julian udah bisa berdamai sama dirinya dari kehilangan Bapaknya.
“Kayanya enggak, Sayang.”
“Kenapa?”
“Kalau jadi pilot nanti aku gak ketemu kamu gimana?”
Ara terkekeh, “apasih gombal mulu ih.”
“Loh beneran aku ini, nanti aku keseringan terbang kaya burung terus gak ketemu kamu. Istri kaya kamu gini kan gak ada di keranjang kuning.”
Ara yang denger gitu langsung nabok lengan Julian sambil ketawa, “apasih makin gak jelas ih, emangnya aku barang apa!”
“Dunia dan seisinya aku obrak abrik kalo gak sama kamu kayanya.”
“Lebay ih.” walau bilang lebay gini Ara tetap aja salting, dia yakin kalo teman-temannya yang lain dengar Julian ngomong gini pasti mereka semua udah muntah berjamaah.
“Penawaran premium dari aku cuma kamu yang dapat tau, Sayang.”
“Penawaran apa lagi?” Ara muter bola matanya malas, tapi tetap aja senyum salah tingkah.
“Penawaran buat jadi istri aku lah.”
“Julian stop ahhh kamu keju banget tau gak.”
Paginya, Julian dan Ara sempat merekam mini vlog dulu suasana di Ranukumbolo, setelah matahari agak sedikit naik barulah keduanya berjalan-jalan ke Oro-Oro Lombo dan juga Tanjakan Cinta. Julian juga fotoin Ara di sana, mereka beruntung banget hari itu karena cuaca nya sedang mendukung.
Udara dingin masih menyelimuti Semeru hari itu, tapi mataharinya cerah angin nya juga berhembus sejuk. Siang nanti mereka harus segera turun, Julian dan Ara sudah booking penginapan. Mereka akan melanjutkan pendakian ke Gunung Lawu.
Kalau ada yang bertanya apakah Julian dan Ara sedang melakukan pelarian? Jawabanya, enggak. Mereka cuma menunggu, mereka sudah berdamai dan memanfaatkan waktu yang di berikan untuk pergi ke banyak temapat-tempat indah. Julian bilang, dia mau suatu hari perjalanan yang di lakukan oleh mereka bisa menjadi sebuah cerita yang bakalan dia ceritakan ke anak-anak mereka nanti.
Mereka benar-benar menjalankan rencana nya, jeda beberapa bulan saja. Julian kembali mengajak Ara untuk mendaki kembali, mereka ke Gunung Gede, Papandayan dan Merbabu. Yup, mungkin cuma sampai situ dulu. Karena perjalanan mereka ke Rinjani tertunda mungkin untuk waktu yang cukup lama.
Pagi itu Julian mundar mandir di depan kamar mandi kamarnya dan Ara, dia menunggu istrinya itu keluar dari sana. Namun tampaknya Ara masih betah berlama-lama di dalam.
“Sayang, cepetan dong. Aku udah kebelet banget ini udah di ujung!” keluh Julian, keringat sudah bercucuran di keningnya. Sesuatu yang mendesak ingin segera di keluarkan. Kebiasaan Julian di pagi hari, sebenarnya bisa saja sih dia pakai kamar mandi di ruang tamu, tapi sayangnya Julian lebih nyaman buat pakai kamar mandi di kamar mereka.
Ara membuka pintu kamar mandi, wajahnya sembab dan ia tertunduk sambil kedua tanganya menyembunyikan sesuatu di belakang punggungnya.
“Kamu kenapa?” tanya Julian sedikit panik, ajaib nya rasa mulas mendesak tadi begitu saja lenyap entah kemana begitu liat Ara menangis.
“Jul, kayanya aku muntah-muntah bukan karena gerd ku kumat deh.”
“Kenapa? Kamu gak usus buntu lagi kan, sayang?”
Ara menggeleng, ia mengeluarkan 3 testpack yang baru saja ia gunakan. Tiga-tiga nya menunjukan garis dua, yup. Penantian mereka untuk memiliki anak setelah 2 tahun pernikahan akhirnya terjawab.
“Sayang...” Julian gak bisa melanjutkan kata-katanya, matanya berkaca-kaca penuh haru sekaligus tidak menyangka. “Sayang, kamu hamil?”
Ara mengangguk, dan tangis keduanya pecah begitu saja. Julian meluk Ara erat sambil dia ciumin pucuk kepalanya, dia bersyukur banget, bahagia banget dan berterima kasih banget sama istrinya itu.
“Kita bakalan di panggil Ayah Bunda, sayang,” ucap Julian di sela-sela isaknya.
“Iya tapi kamu jangan nangis aku jadi ikutan nangis..”
“Aku nangis karena kamu duluan nangis—” saking bahagia nya Julian nangis sampai enggak mau lepasin pelukan Ara, dia bahkan lupa kalau dia tadi mau buang air besar.
bersambung..