Keenam— Di Luar Ekspektasi
Sembari menerawang pada lampu ruang rawat Istrinya itu, Julian berusaha memejamkan matanya di atas sofabed untuk penunggu pasien. Matanya belum juga mengantuk meski kini sudah hampir pagi, kepalanya terus berputar pada kejadian semalam di rumah Liliana yang terus menganggu pikirannya.
Bella yang di seret oleh Ibu-Ibu berbadan gempal kemudian bocah itu yang tiba-tiba memanggilnya dengan sebutan Papa, Liliana sudah memberikan penjelasan. Julian juga sudah melihat foto mendiang Suami Liliana, kalau Julian perhatiin memang ia dan mendiang Suami Liliana itu sekilas agak mirip jadi wajar saja kalau Bella mengira ia adalah Papa nya.
“Bella, jangan manggil Paman pakai sebutan Papa. Paman ini temannya Mama bukan Papa nya Bella,” Jelas Liliana pada Bella.
“Tapi mukanya mirip Papa, Mah. Ini Papa kan?” bocah itu mengambil bingkai foto milik Ayahnya kemudian mendekatkannya ke wajah Julian “Tuh kan, mirip.”
Julian yang menyaksikan itu hanya bisa tersenyum, dia mau menolak pun enggak enak biar sudah di jelaskan, Bella tetap kekeuh untuk memanggilnya dengan sebutan Papa. Menurut Julian pun enggak masalah kayanya untuk sementara ini, toh besar nanti Bella akan paham jika ia memang bukan Ayah kandungnya.
“Gapapa, Li. Saya enggak keberatan kok di panggil gitu,” ucap Julian.
“Jangan, Pak. Saya enggak enak.”
Julian hanya menggeleng, mengisyaratkan dia baik-baik saja dengan panggilan itu. Bella yang duduk di sebelahnya itu Julian pangku, bocah itu tampak tenang dalam pangkuan Julian bahkan Bella memeluknya. Seperti memeluk Ayahnya sendiri, bocah itu benar-benar merindukan Ayahnya? Pikir Julian.
“Papa malam ini bobo sama Bella sama Mama kan? Bella kan nunggunya lama banget.” mata bocah itu berkedip, tangan kecilnya memainkan tangan Julian yang besar itu.
“Maaf yah, Papa gak bisa bobo di sini.”
“Kenapa?”
“Karena Papa punya rumah sendiri. Nanti kapan-kapan Papa main lagi.”
Bella yang mendengar itu mengerutkan keningnya bingung, ia melihat ke arah Liliana yang tengah menunduk. Liliana benar-benar tidak enak dengan seniornya itu, kalau Ara tahu pun Ara pasti akan marah Suaminya di panggil seperti itu oleh anak orang lain.
Belum lagi omongan tetangga sekitar rumah Liliana, Buk Ijah saja sudah mengira Julian ini adalah pacarnya. Liliana cuma enggak mau ada rumor yang tidak-tidak mengenai dirinya disini.
“Tapi kan ini juga rumah Bella sama Mama, Papa kan Papa nya Bella harusnya juga boleh bobo di sini. Ya kan, Mah?” Bella menuntut jawaban dari Ibu nya itu namun reaksi Liliana justru berbeda dari yang Bella harapkan, wanita itu berdiri dan mengambil alih Bella dari pangkuan Julian.
“Mah, Bella mau sama Papa!!” pekik Liliana.
Tanpa memperdulikan teriakan Bella dan ayunan kakinya, Liliana membawa Bella masuk ke dalam kamarnya dan ia kunci bocah itu di dalam. Sejujurnya hati Liliana sakit harus bersikap kasar pada Bella lagi, tapi ia sungguh tidak ingin Bella benar-benar beranggapan jika Julian adalah Ayahnya. Liliana gak mau mempersulit keadaan.
“MAH BUKAIN MAH!! BELLA MAU SAMA PAPA!!” teriak Bella dari dalam kamarnya.
“Pak, Maaf sebelumnya atas perilaku Bella ke Pak Julian. Terima kasih juga sudah bantu saya hari ini dan anterin pulang, saya janji begitu gajian saya bakalan ganti semuanya,” ucap Liliana tanpa melihat wajah Julian dia benar-benar tidak enak.
“Li, saya gak masalah.” Julian menggeleng kepalanya, dia gak nyangka Liliana bisa bersikap kasar kaya gitu sama Bella. “Li, kasian Bella. Harusnya kamu gak bersikap kaya gitu ke dia—”
“Bella anak saya, Pak. Saya yang tau dia bagaimana dan saya yang paham harus melakukan apa untuk Bella, sekali lagi terima kasih, Pak Julian. Kalau sudah tidak ada yang ingin Bapak bicarakan lagi sama saya, Bapak bisa pulang, Pak.”
Hati dan pikiran Liliana sangat bertentangan dengan ucapan yang ia keluarkan, ia merasa sudah sangat tidak sopan dan tidak tahu diri atas kebaikan yang Julian lakukan untuknya hari ini. Namun rasanya semua semakin sulit untuknya karena Bella mengira Julian adalah Ayahnya.
Biar besok Liliana akan meminta maaf pada Julian tentang hari ini, yang terpenting sekarang adalah Julian harus segera meninggalkan rumahnya dan ia harus menenangkan Bella di kamar.
Julian yang di bilang seperti itu hanya bisa menggeleng pelan, ia berdiri dan meninggalkan rumah Liliana tanpa sepatah katapun lagi. Ia agaknya kecewa dengan sikap Liliana yang kasar sama anaknya sendiri.
Julian membalikan badannya, ia mengusap wajahnya dengan gusar. Ia benci melihat anak kecil mendapatkan perlakuan kasar seperti itu, Julian hanya berpikir ia pernah ada di posisi Bella dulu. Saat dirinya benar-benar merindukan mendiang Bapaknya, Julian juga pernah bertemu dengan orang lain yang mirip dengan Bapaknya.
Om Sagara, Ayahnya Gita. Bahkan saat berada dalam pelukan pria itu Julian bisa merasa seperti Bapaknya juga sedang memeluknya. Dan itu cukup mengobati kerinduan Julian dengan mendiang Bapaknya.
“Bang?” panggil Ara, dia terbangun karena ingin ke kamar mandi dan kebetulan malah melihat Julian yang masih sibuk membolak balikan badannya di atas sofa bed.
Julian yang mendengar Istrinya bangun itu spontan langsung duduk, dan kemudian berjalan ke arah ranjang Istrinya itu. “Kenapa, sayang?”
“Kamu belum tidur?”
Julian menggeleng, “enggak bisa tidur.”
“Kenapa? Ada yang di pikirin?”
Julian diam, dia menimang-nimang untuk bercerita soal kejadian tadi di rumah Liliana atau tidak. Namun pada akhirnya Julian memilih untuk merahasiakannya, dia enggak mau Ara banyak pikiran dulu. Ara itu mudah iba dengan cerita-cerita seperti ini, Julian tahu banget. Selain hewan, anak-anak juga menjadi salah satu kelemahan Ara.
“Enggak, sayang. Lagi gak bisa tidur aja, gatau kenapa.” Julian terkekeh. “Kamu kenapa bangun?”
“Mau pipis.” Ara nyengir dan mengalungkan tangannya di leher Suaminya itu dengan manja.
“Aku anterin yah, manja banget Istriku. Mau di gendong aja apa ya?”
“Ih gak usah, infusan aku gimana kalo di gendong?”
“Oiya aku lupa,” Julian nyengir, kemudian membantu Ara untuk berdiri dan mengantarnya ke kamar mandi sembari memegangi tiang infusan nya.
Paginya, Liliana tengah bersiap-siap untuk berangkat ke kantornya. Ia sudah memeriksa kotak bekal miliknya, milik Bella dan juga buku-buku yang harus di bawa Bella hari ini, Kebetulan Bi Narsih juga sudah datang. beliau lagi menyuapi Bella yang asik bermain di ruang TV.
Liliana tahu Bella masih marah dengannya, bahkan saat melihatnya dengan kemeja kerja dan tasnya. Bocah itu membuang pandangannya ke arah lain, ia enggan melihat Liliana pagi ini.
“Non Bella, salam dulu sama Mama. Mama mau kerja tuh,” kata Bi Narsih.
“GAK MAU! MAMA JAHAT!” teriak Bella.
Hati Liliana sakit sebenarnya mendengar Bella berucap seperti itu, namun dia bisa memaklumi sikap Bella pagi ini. Semalam Liliana juga merasa dia sudah keterlaluan sama Bella, Liliana akui itu.
Liliana berjongkok, sedikit merangkak mendekati Bella yang sedang duduk di karpet bulu dengan boneka-boneka miliknya. “Bella?”
“Sana pergi!! Bella gak mau sama Mama, Mama jahat. Mama gak sayang sama Bella, Mama usir Papa nya Bella!” pekik bocah itu.
“Maafin Mama ya.”
“Gak mau!”
Liliana menunduk, ia melirik foto Suaminya itu yang ada di meja dekat TV. “Tapi Paman Julian kan bukan Papa nya Bella.”
“Itu Papa nya Bella! Mukanya mirip Papa, dia Papa nya Bella!!” teriak Bella, bocah itu membuang mainannya dan mengenai bingkai foto Liliana dan Bella yang sedang ada di taman bermain. Bingkai itu jatuh ke lantai, untung saja tidak pecah.
“Non Bella, gak boleh begitu sama Mama, Non.” Bi Narsih memperingati. Beliau juga mengambil bingkai foto yang sempat jatuh itu dan menaruhnya lagi di meja.
Liliana hanya menggeleng, dan memberi isyarat pada Bi Narsih bahwa dia bisa menghandle Bella. “Gapapa, Bi.”
“Mama kenapa usir Papa?”
“Karena Paman bukan Papa nya Bella. Papa nya Bella sudah enggak ada, sudah bersama Tuhan,” jelas Liliana.
Salahnya sendiri dari dulu dia selalu menjelaskan pada Bella jika Papa nya sedang bekerja dan suatu hari nanti akan pulang ke rumah. Jadi, wajar sebenarnya Bella beranggapan Julian adalah Papa nya terlepas dari wajah mereka memang agak mirip.
“BOHONG!! PAPA MASIH ADA YANG SEMALAM ITU PAPA!” Bella yang kepalang kesal, mengambil boneka barbie miliknya dan melemparnya ke arah Liliana dan mengenai kening wanita itu. Kening Liliana merah dan terasa sangat ngilu, setelah itu Bella lari keluar dari rumahnya dan di kejar oleh Bi Narsih.
“Non Bella, mau ke mana, Non? Jangan lari-lari!!” teriak Bi Narsih, sementara Liliana memejamkan matanya bersamaan dengan air matanya yang kembali turun ke wajahnya.