kelima Belas— Photocopy
Beberapa tahun kemudian
Julian berkali-kali menghela nafasnya ketika mobil yang ia kendarai sampai di parkiran gedung SMA di sebuah SMA Negeri di Bandung, hari ini dia sibuk. Tapi wali kelas Abi menelfonya meminta Julian untuk datang ke sekolah. Tadinya Ara yang mau datang, tapi ternyata Ara gak bisa datang karena harus bertemu dengan klien nya.
Langkah kaki yang ia pijaki besar-besar itu mengantarnya ke ruang Bimbingan Konseling, di sana ada wali kelas Abi dan juga guru BK SMA itu yang rasanya sudah sering Julian temui. Yup, apalagi kalau bukan Abi bikin ulah di sekolahnya.
“Silahkan duduk Pak Julian,” ucap wali kelas Abi, namanya Buk Saski.
Julian duduk di sofa ruang bimbingan konseling itu, di sebrangnya ada Abi dengan wajah babak belurnya dan satu orang anak laki-laki seusia dengannya. Yup, tentunya sama babak belurnya seperti Abi. Tanpa wali kelasnya menjelaskan kayanya Julian udah tahu apa yang di buat oleh anaknya itu.
“Ada apa ya, Buk? Abi buat ulah lagi ya?” Tanya Julian.
Wali kelas Abi itu meringis, “begini, Pak. Ya memang benar Abi buat ulah lagi. Biasa, Pak. Dia berantem sama teman sekelasnya lagi, kayanya emang anak Bapak ini minat menjadi atlet tinju deh.”
Buk Saski bergurau, beliau sudah lelah sebagai wali kelas menangani Abi yang selalu keluar masuk ruangan BK. Bukan cuma berantem sih, Abi itu kelakuannya kadang nyeleneh. Kaya dia suka main bola di lapangan pakai kemeja sekolahnya sampai keringetan banget, padahal bukan jam olahraganya.
Kemudian suka ketiduran di kelas, makan di kelas, sampai berantem sama kakak kelasnya karena Abi bilang dia lihat Kakak kelasnya itu malak anak kelas sepuluh. Oiya, Abi sudah kelas sebelas. Wajahnya mirip sama Julian. Rahangnya sama-sama tegas, matanya sipit, kulitnya tan. Pokoknya gak ada satu inci pun yang Abi lupakan dari Ayahnya itu. Parasnya kaya nunjukin 'aku ini anak Ayah banget loh.'
Meski kedengarannya slengekan, Abi itu masuk ke dalam jajaran siswa berprestasi di sekolahnya dalam bidang akademik dan non akademik. Jadi dia bukan cuma nyeleneh-nyeleneh tanpa bawa kebanggan buat orang tua nya kok.
“Kayanya Abi ini emang lebih baik di pindahkan ke sekolah atlet aja deh, Pak. Anak Bapak tuh udah mukulin anak saya, atau emang cita-citanya mau jadi preman,” cerocos orang tua dari anak laki-laki yang berdiri di sebelah Abi.
“Ibu yang harusnya bisa ngajarin anak Ibu buat menghargai perempuan!” sela Abi, sedari tadi dia terus di hakimi. Di katain jagoan lah, preman lah tapi Abi cuma diam. Dia ngerasa yang dia lakuin emang salah, tapi disisi lain Abi juga ngerasa teman yang ia pukul pantas mendapatkan pukulan itu.
“Abi..” Julian memperingati, beruntungnya Abi diam. Dia sangat amat menghormati Ayah dan Bunda nya. “Ini sebenarnya ada apa ya, Buk? Dari tadi saya cuma dengar Abi di salahkan aja tanpa saya tau apa masalah sebenarnya.”
Buk Saski menggaruk belakang kepalanya yang sebenarnya tidak gatal itu, ia merasa terhimpit. Tidak enak karena anak yang Abi pukul itu adalah anak dari donatur di sekolah. Tapi disisi lain kedua orang tua Abi adalah wali murid yang baik dan keduanya sangat-sangat di hormati di sekolah.
“Jadi begini, Pak. Abi memukul Rama karena menurut Abi, Rama ini tidak menghargai perempuan.”
“Maksudnya?” Julian mengerutkan keningnya bingung.
“Rama bukan lagi enggak menghormati perempuan, Buk. Rama itu ngelecehin Kalula,” jelas Abi. Anak laki-laki di sebelahnya itu menggertakan rahangnya pada Abi.
“Tapi Abi nyerang saya duluan, Buk.”
“Iya itu karena elo pantes dapetinnya mulut sama isi kepala lo tuh harus di hajar biar sadar!!”
“Eh!! Sudah-sudah!!” Buk Saski menengahi. “Kalian ini ribut terus.”
Julian hanya bisa memijat pelipisnya yang terasa sudah semakin pening itu, dia paham anaknya bukan sok jagoan. Abi gak gak akan mukul duluan kalau orang itu enggak keterlaluan, Abi memang sering berantem tapi itu juga bukan tanpa alasan. Bukan semata-mata karena anak laki-laki sulungnya itu merasa pandai bela diri.
Abi berantem itu untuk membela dirinya, untuk membela orang lain. Walau kadang hal itu suka di salah artikan oleh orang lain, Julian sama Ara itu bukan tipe orang tua yang menghakimi. Mereka akan dengarkan penjelasan Abi dulu baru setelahnya menasihatinya.
“Begini saja, saya minta Abi minta maaf ke Rama!” ucap orang tua Rama.
“Anak Ibu juga harus minta maaf sama Kalula kalau begitu,” ucap Julian pada akhirnya. Dia dari tadi sudah cukup diam.
“Memang Kalula di apain sih sama Rama? Di lecehin seperti apa? Di pegang-pegang? Mungkin mereka cuma bercandaan aja, Pak. Anak Bapak aja yang sensitif.”
“Ibu ini wanita juga kan? Harusnya Ibu bisa menghargai sesama wanita, pelecehan itu bukan hanya tentang fisik aja, Buk. saya tahu Ibu bela anak Ibu. Tapi Rama juga salah, kayanya saya rasa bukan cuma Rama yang harus di ajari menghargai orang lain terutama perempuan. Tapi Ibu nya juga.”
Di tempatnya Abi tersenyum samar, dia tahu Ayahnya akan membela nya. Oh bukan hanya itu, hari ini Abi bangga karena Ayah juga menegur orang tua nya Rama ini dengan cara yang paling keren.
“Saya akan menyuruh Abi minta maaf ke Rama, setelah Rama minta maaf ke Kalula,” ucap Julian pada akhirnya.
Pertemuan antar orang tua murid itu bikin kepala Julian sedikit pening. Setelah menjemput Abi, kedua nya pulang ke rumah. Tadinya Abi akan di beri hukuman skorsing, namun Julian meminta banding. Ia akan setuju Abi di skorsing kalau Rama juga di skorsing. Sementara itu orang tua Rama dan Rama sendiri bersikukuh tidak ingin minta maaf dengan Kalula.
Oiya, Julian sudah tahu siapa Kalula. Abi memang suka banget curhat sama Ayahnya, apapun itu di sekolah. Termasuk tentang percintaanya dengan Kalula.
“Maafin, Mas ya, Yah.” Abi menunduk, namun tidak lama kemudian dia melirik Ayahnya itu.
“Iya gapapa, Mas. Memang apa yang di bilang Rama sih sampai kamu marah banget?” Julian menoleh ke arah anaknya itu, di depan sedang lampu merah kebetulan. Julian juga memperhatikan jika lebam di wajah putra nya itu tidak cukup parah meski keningnya berdarah.
“Rama marah sama Abi karena akhir-akhir ini Abi jarang ngumpul sama anak-anak, dia bilang semenjak Abi pacaran sama Kalula. Abi jadi kaya bencong, Abi gak masalah di katain kaya gitu. Dia anggap Abi kaya bencong karena nurut sama Kalula, dia bilang Abi tunduk banget ke Kalula karena udah berhasil nidurin dia, bajingan banget kan Yah kata-katanya,” jelas Abi yang bikin darah di dalam tubuh Julian mendidih. Pantas saja Abi memukulnya, ya walau itu tidak bisa di jadikan pembenaran juga sih.
“Pantesan aja anaknya kaya gitu, Ibu nya juga suka ngerendahin perempuan.” Julian geleng-geleng kepalanya heran.
Sampai di rumah, Julian pikir Ara belum pulang ternyata istrinya itu udah di rumah, kayanya Ara baru saja sampai juga deh. Soalnya istrinya itu juga belum berganti pakaian. Masih dengan kemeja tadi pagi saat ia bekerja, begitu lihat Suami dan anaknya itu pulang. Ara cuma bisa menghela nafas waktu sadar wajah Abi itu babak belur.
Sebenarnya dia gak kaget, bukan pemandangan aneh tapi tetap saja kadang ada rasa kesal sekaligus khawatir pada Ara. Walau pun tiap kali Abi babak belur kaya gini anak sulungnya itu cuma cengengesan, seolah-olah itu bukanlah perkara yang serius. Persis Ayahnya waktu masih muda, pikir Ara.
“Kenapa lagi mukanya, Mas? Ck ck ck,” Ara geleng-geleng kepala. Dia hampiri anaknya itu dan pegang dagu Abi, dia telisiki luka-luka serta lebam di wajahnya itu.
“Kamu tuh kalau dalam satu bulan gak babak belur gak bisa apa, Mas?” Tanya Ara.
“Mau nya juga gitu, Bun. Tapi gimana ada aja yang bikin kesal.” Abi cengengesan, habis itu dia peluk Bunda nya, Abi kalau di rumah tuh clingy banget persis Julian. Bahkan Aleena aja yang perempuan gak semanja itu.
“Ayah aja heran slengekan gitu mirip siapa, Bun.” Julian menghela nafasnya pelan, kadang dia heran sama Abi. Kalau anak itu meniru dirinya dalam hal bela diri mungkin iya, tapi sifat nyeleneh Abi ini gatau mirip siapa.
“Ya Ayah lah, masa Abi mirip Papa nya Raja kan gak mungkin,” jawab Ara ketus dan Abi yang menyaksikan itu cuma nahan tawa.
Oiya nama anak Julian dan Ara yang kedua itu Aleena Askara Kenandra, kadang-kadang Julian suka manggil putri nya itu dengan nama Ara soalnya sifatnya mirip banget kaya Ara, tukang ngambek dan kalau ngambek tuh suka banget ngehentak-hentakin kaki.
“Tolong ambilin kotak P3K nya, Yah. Bunda mau obatin muka nya Mas Abi dulu.” Ara minta tolong ke Julian, kebetulan Suaminya itu lagi berdiri di dekat kotak obat yang di gantung di dekat meja makan.
Julian ambilin kotak obatnya itu dan kasih ke istrinya, dia duduk di sofa sambil meriksa surel miliknya. Ya kadang-kadang Julian juga suka liatin Istrinya itu ngobatin lebam di muka anak mereka.
“Duduk kamu, Mas.”
“Bun, pelan-pelan tapi ya, Bun.” rengek Abi. Padahal mulai di obatin juga belum.
“Enggak, mau bunda siksa aja kamu,” jawab Ara ketus, dia cuma bercanda kok. Sebelum obatin muka anaknya itu Ara cuci tanganya dulu. Dia habis dari luar, habis nyetir takut ada bakteri di tanganya yang bisa saja berpindah ke luka di wajah Abi.
“Assalamualaikum!! Bundaaaaa!!” pekik suara anak perempuan dari depan, itu Aleena. Anak itu beda 3 tahun dengan Abi, Aleena sekarang kelas 8.
“waalaikumsallam, cantiknya Ayah.”
“*waalaikumsallam,” ucap Ara.
“Ih, Mas Abi berantem lagi!!” pekik Aleena, dia pegang lebam di wajah kakak laki-lakinya itu sampai Abi meringis.
“Aaaaghhh sakit, Ra!” pekik Abi.
“Bundaaaaa masa Mas Abi manggil Ara-Ara aja nih gak sopan!”
“Heh, Mas manggil kamu tau bukan Bunda. Nama kamu kan Askara.”
Aleena yang melihat kakaknya itu kesal cuma ketawa-tawa aja, Ara cuma bisa geleng-geleng kepala. Setelah itu Aleena duduk di samping Julian, buka sepatu yang ia pakai kemudian buka jaket yang ia pakai sebagai luaran untuk menutupi seragam sekolahnya.
“Hari ini Ara gak latihan padus ya, sayang?” tanya Julian.
“Enggak, Yah. Miss nya lagi ada urusan. Oiya yah, nanti Ayah sama Bunda jadi kan datang ke pentas nya Ara?” anak perempuan yang wajahnya menyerupai Ara istrinya itu menatap Julian, sungguh. Kalau lihat anak perempuannya itu dia kaya lihat Ara versi kecil, bawelnya, ngerajuknya, manja nya, ngambeknya semua dia copy dari Bunda nya.
“Iyalah jadi, masa enggak jadi sih.”
“Aduh duhhh Bund sakit Bund,” rengek Abi sembari meringis.
Bunda nya itu cuma bisa mengehela nafasnya pelan, “kalau sakit makanya gausah berantem-berantem, kamu tuh kenapa berantem lagi, Mas?”
“Ayah gak dukung cara kamu belain Kalula, Mas. Tapi menurut Ayah, Rama ini memang harus di kasih pelajaran supaya dia bisa menghargai perempuan. Biar enggak kebiasaan mulutnya.”
“kenapa sih, Yah?” Ara menoleh ke arah suaminya itu.
“Mas mukul Rama karena Rama rendahin perempuan, Bun. Mas emang belain Kalula, tapi kayanya kalau Mas dengar orang lain ngomong kaya gitu Mas juga akan tetap marah,” jelas Abi.
“Emangnya Rama bicara apa, Mas?” Ara memang gak suka liat Abi berantem terus, Julian memang membekalinya ilmu bela diri tapi bukan untuk dia jadikan anak itu kasar. Tapi Ara selalu mau dengar apa alasan Abi berantem dia gak mau menghakimi anaknya dulu.
“Rama bilang, Mas terlalu nurut sama Kalula, dia bilang Mas udah nidurin Kalula. Gak sopan banget kan, Bun?”
Ara menghela nafasnya pelan, “Bunda paham, tapi Mas juga harus bisa kontrol emosi ya? Ayah bekali kamu bela diri bukan buat bikin kamu jadi jagoan.”
“Maaf ya, Bun.” Abi natap kedua mata Bunda nya itu. Bikin Ara tersenyum, biarpun Abi sudah remaja. Di matanya bocah itu tetap anak sulungnya yang manja.
“Iyaa”
Malam nya Julian sama Ara tuh biasanya suka ngobrol-ngobrol di balkon kamar mereka, kadang kalau ingat beberapa tahun lalu dia masih suka gak nyangka bisa sampai di titik ini. Kaya rasanya semua berjalan cepat sekali, ia lulus kuliah, menikah, punya anak dan sekarang anak-anak mereka sudah besar.
Oiya, anak-anak dari teman-teman mereka juga sudah besar. Abi dan Aleena itu bisa di bilang masuk ke golongan yang termuda. Anak-anak mereka juga dekat, mereka tumbuh bersama bahkan di sekolah yang sama. Kalau ngumpul pun jadi tambah rame, kosan Abah bukan lagi jadi base camp tempat Ara, Julian, Gita, Arial, Janu, Chaka, Kevin dan pasangan mereka berkumpul. Kosan itu jadi tempat berkumpul anak-anak mereka juga.
“Nyangka gak sih, Bun. Kita bisa ada di titik ini?” tanya Julian setelah ia menyeruput teh miliknya.
“Nyangka kok, cuma gak nyangka nya bakalan secepat ini aja. Padahal kayanya kemarin kita baru nikah ya? Terus aku uring-uringan karena gak hamil-hamil.”
“Terus kita jadi Dora,” celetuk Julian asal-asalan.
“Kamu monyet nya ya berarti?” Ara terkekeh pelan.
“Enak aja, yaudah deh jangan Dora. Kita Jejak Si Gundul aja.”
Ara kembali terkekeh, “bulan depan pas liburan sekolah kamu jadi ajak Abi ke Rinjani?”
“Jadi lah, Raja juga mau ikut katanya.”
“Kok bisa?” Ara agak kaget.
“Abi yang ngajak. Gapapa lah, buat pengalaman mereka.”
Masih ingat soal jeda perjalanan pendakian Ara dan Julian? Mereka berencana ke Rinjani berdua, tapi justru rencana itu belum terleksana sampai saat ini. Dan Julian justru akan kembali ke sana bersama dengan Abi, yup. Abi punya hobi yang sama kaya Julian. Si sulung itu terlalu meniru Ayahnya.
Mungkin perjalanan mereka gak akan terus berjalan mulus, sama kaya kata Julian kalau hidup ini rasanya seperti ia sedang mendaki. Tapi selama mereka saling memiliki satu sama lain, Julian yakin mereka akan tiba di puncak dengan selamat.
Selesai