Kesembilan— Tanda Peringatan
“Sekali lagi selamat bergabung yah Ara di klinik kami, semoga betah bekerja disini,” Buk Halimah menjabat tangan Ara, wanita itu lega akhirnya bisa menemukan orang untuk mengisi posisi psikolog anak si kliniknya.
“Sama-sama, Buk. Saya juga senang bisa di kasih kesempatan buat bergabung di klinik ini.”
Julian akhirnya memberi izin Ara untuk bekerja di klinik setelah memikirkan beberapa pertimbangan, yang membuat Julian akhirnya mengizinkan Istrinya itu buat bekerja di klinik. ya, apalagi kalo peluang ini bagus buat menambah pengalaman Ara sebagai seorang psikolog, yang mana nantinya akan membantunya untuk mendapatkan izin membuka klinik sendiri, selain itu jam kerja nya juga Julian rasa enggak akan menyita waktu Ara karena dia enggak tiap hari ke klinik.
Makanya hari ini Ara datang ke klinik tempat Niken bekerja untuk menyerahkan berkas-berkas miliknya dan melakukan sesi wawancara, dan hasilnya pun Buk Halimah sangat cocok pada kepribadian Ara dan juga reputasinya. Wanita itu enggak nyangka kalau orang yang di rekomendasikan oleh Niken adalah Arumi Naura Shalika, konten kreator yang suka berbagi ilmu seputar kesehatan mental.
Setelah berpamitan dengan Buk Halimah, Ara keluar dari ruangan wanita itu. Di depan ruangan Buk Halimah sudah ada Niken yang menunggu Ara, dia kebetulan memang sedang praktik.
“Gimana, Ra?” tanya Niken begitu Ara keluar dari ruangan Buk Halimah.
Ara mengangguk dan menyunggingkan senyum nya, “Buk Halimah terima aku, Teh. Besok aku udah bisa mulai praktik!” pekik Ara, tidak lama kemudian dia menutup mulutnya sendiri dengan kedua tangan setelah sadar suaranya lumayan menyita perhatian orang-orang di sekitarnya.
Niken yang mendengar itu membulatkan matanya dan langsung menghampiri Ara, dia meluk wanita itu dengan penuh rasa bahagia. “Syukur deh, seneng banget aku tuh kalau Buk Halimah cocok sama kamu, Ra. Ya gak mungkin gak cocok juga sih, beliau tuh selalu ngikutin konten-konten kamu loh.”
“Masa sih, Teh?”
Kedua wanita itu memilih untuk duduk di salah satu kursi yang ada di sana, sebelum Ara pulang Niken mau ngobrol sebentar sama Ara mengenai Buk Halimah dan klinik. Ya biar bagaimana pun sekarang Niken sudah menjadi seniornya di klinik kan.
“Iya serius, beliau tuh pernah tanya ke aku tau kalo aku satu kampus sama kamu, terus nanya-nanya tentang kamu gitu. Tapi pas aku bilang aku punya kenalan buat ngisi posisi ini, aku gak bilang itu kamu.” Niken emang enggak bilang kalau ia merekomendasikan Ara, ya itu supaya Buk Halimah bisa mempertimbangkannya secara objektif bukan menilai Ara secara bias karena beliau memang mengidolakannya.
“Pantesan tadi waktu wawancara beliau sempat nyinggung soal konten-konten aku.” Ara manggut-manggut, dia sendiri gak nyangka kalau konten yang berawal karena iseng dan niatnya hanya ingin membagi sedikit ilmunya tentang kesehatan mental. Bisa menjadi jembatan bagi banyak orang untuk perduli lagi pada kesehatan mental, dia gak nyangka nama nya akan sebesar ini.
“Dengan kamu gabung disini tuh pasti bawa banyak klien juga buat Buk Halimah, Ra. Gak mungkin dia gak terima kamu.”
Niken mikirnya gitu, reputasi Ara sebagai seorang influencer kesehatan mental dan dirinya sebagai seorang psikolog itu baik banget. Ara bahkan pernah di undang ke seminar waktu hari kesehatan mental, dan menjadi pembicara di kampus-kampus. Orang-orang pasti akan mudah melirik klinik Buk Halimah karena mempekerjakan orang dengan reputasi yang baik. Ini menambah citra baik juga untuk kliniknya juga.
“Syukur deh, Teh. Aku juga senang banget bisa kerja lagi. Julian juga setuju aku kerja disini karena jam kerjanya gak menyita banyak waktu aku.”
“Syukur deh. oiya, kamu ke sini sendiri?”
Ara mengangguk, dia memang membawa mobilnya sendiri. Julian masih kerja, Ara tuh bukan tipe cewek yang selalu bergantung sama Suaminya. Kalau dia masih bisa lakuin banyak hal sendiri, dia bakalan lakuin hal itu sendiri kok. Ya walau gak bisa di pungkiri kalau sama Julian dia tuh manja banget, soalnya Julian sendiri senang banget manjain Istrinya.
“Iya, Teh. Ijul mah masih kerja jam segini.”
Tidak lama kemudian resepsionis yang ada di klinik itu memanggil Niken, setelah menerima telfon barusan. “Mbak, Niken. Ada klien, udah nunggu di ruangan.”
“Oh iya, sebentar lagi saya ke sana,” jawab Niken pada wanita yang menjadi resepsionis di kliniknya itu. “Ra, aku balik lagi yah. Kamu pulangnya hati-hati.”
Niken genggam tangan Ara, dia beneran senang banget Ara bisa bekerja di klinik yang sama dengannya. Walau jam praktik mereka berbeda setidaknya kan, mereka bakalan sering ketemu nantinya.
“Iya, Teh. Aku juga udah mau balik, Teteh semangat yahhh.”
Begitu Niken kembali ke ruangannya, Ara juga langsung pulang. Dia mencet lift buat ke lantai 1, tapi siapa sangka saat lift berhenti di lantai 2 ia justru bertemu dengan Kamila. Yup, Kamila tunangannya Jonas itu. Entah sedang apa cewek itu di sana.
“Loh, Ara? Haiii ketemu lagi,” sapa nya, cewek itu tersenyum dan memeluk Ara seperti biasanya.
“Haii, Mil. by the way kamu ngapain?” Ara sempat melirik ke arah luar lift tadi saat pintunya terbuka, kalau enggak salah di lantai 2 tadi ada tempat bimbel anak-anak.
“Aku habis nganterin keponakan aku bimbel, kamu sendiri?”
“Aku habis wawancara kerja, di lantai 3 tadi.”
Kamila menyipitkan matanya, dia sudah hapal betul di gedung ini ada apa saja karena sering mengantar keponakannya buat bimbel. “Klinik?” tanyanya.
“Um.” Ara mengangguk, “Sunshine klinik, aku baru aja di terima jadi psikolog anak di sana.”
“Wahhh!!” pekik Kamila, dia senyum sumringah banget, Kamila ini emang positif vibes banget anaknya. “Congratulation, Ra. happy banget dengarnya. Berarti kita bisa sering-sering ketemu kalau gitu, kebetulan aku nganter jemput keponakanku setiap selasa sama kamis.”
Kedua bahu Ara merosot, dia memang bekerja hanya 3 kali dalam seminggu tapi hari nya praktik berbeda dengan hari Kamila mengantar keponakannya. “Sayangnya aku gak praktik di hari itu, Mil. Aku praktik setiap senin, rabu sama jumat.”
“Ahhh sayang banget.”
Kebetulan pintu lift terbuka, mereka sudah sampai di lantai 1. Disana ada restoran ayam goreng yang cukup terkenal, Kamila rasa dia masih mau mengobrol sebentar dengan Ara. “by the way, Ra. Mau ngobrol-ngobrol sebentar gak?”
Ara mengangguk, “boleh-boleh. Aku juga gak buru-buru sih.”
Ara ngerasa gak enak kalau bertemu Kamila langsung pulang, mengingat terakhir kali mereka bertemu itu di supermarket dan mereka belum banyak mengobrol. Kedua nya akhirnya masuk ke dalam restoran ayam itu, Kamila sempat pesan spicy wings dan cola, sementara Ara hanya memesan ice cream vanila dan kentang goreng saja. Dia kebetulan sudah makan sebelum pergi ke klinik, dan lagi pula Ara masak di rumah.
“by the way, Ra. Sebenarnya di hari terkahir kita ketemu di supermarket tuh ada yang mau aku tanyain sama kamu deh.” Kamila sudah mempertimbangkan hal ini, dia bukan berniat buat ikut campur sama rumah tangga Ara dan Julian. Dia cuma gak mau Ara mengalami hal yang di alami oleh kedua orang tua nya. Intinya niat Kamila baik kok, dia mau memberikan peringatan untuk temannya Jonas itu.
Ara mengerutkan keningnya, kalo gak salah ingat memang di supermarket hari itu Kamila terlihat ingin mengatakan sesuatu. Namun keburu Julian datang dan mereka berpisah karena Julian keburu ngajak Ara antre duluan di kasir, dia dan Julian sudah selesai berbelanja.
“Nanya apa, Mil?”
“Sebenernya udah agak lama sih, Ra.”
“Um,” Ara mengangguk, Kamila tampak ragu dan merasa tidak nyaman ingin bicara dan itu membuat Ara semakin penasaran.
“Soal Julian, Ra.” Kamila mengulum bibirnya sendiri.
“Kenapa sama Julian, Mil?”
“Aku sempat ngeliat Julian waktu lagi main ke rumah temanku, dia masuk ke rumah tetangganya temanku. Malam-malam, Ra.” melihat perubahan wajah Ara membuat Kamila jadi merasa enggak enak.
“Tetangga teman kamu?”
Kamila mengangguk, “cewek, Ra. Kata temanku dia janda. Tinggal berdua sama anaknya aja, dan Julian masuk ke dalam rumah itu cukup lama. Tapi yang bikin aku kaget tuh, anak itu manggil Julian pakai sebutan Papa.”
Mendengar hal itu, hati Ara mencelos dia jadi bingung sekaligus merasa ada yang mengganjal di hatinya. 'Papa?' kenapa anak itu memanggil Julian dengan sebutan 'Papa?' dan siapa wanita yang Kamila maksud.
“Itu mungkin kerabat atau keluarga kamu atau Julian, Ra?” tanya Kamila hati-hati.
“Keluarga aku sama Ijul gak ada yang di Bandung, Mil.” kedua bahu Ara merosot, dia cukup percaya sama Suaminya itu lagi pula selama berpacaran sama Julian dalam kurun waktu yang cukup lama. Sejauh itu Julian enggak pernah aneh-aneh, Julian baik dan sangat menghargainya. Tapi kenapa rasanya ucapan Kamila barusan menambah beban pikirannya.
“Mungkin temannya kali, Ra? Atau siapa mungkin? Teman kosan lo sama dia?”
Ara hanya menggeleng, pikirannya jadi mengawang. Tapi dia berusaha untuk tetap berpikir positif tentang Suaminya itu, biar nanti Ara yang akan menanyakan hal ini langsung dengan Julian pakai caranya sendiri. Dia mau melihat kejujuran Suaminya itu, biasanya Julian selalu bercerita apa saja yang ia lakukan sehari-hari dan kemana ia pergi.
Tapi soal cerita Kamila yang melihat Julian masuk ke rumah seorang perempuan yang hanya tinggal berdua dengan anaknya, Julian enggak pernah cerita. Dan hal yang paling menganggu Ara adalah, kenapa anak itu harus memanggil Julian dengan sebutan 'Papa?'