Kesepuluh—Sandiwara?

Malam itu Julian pulang agak sedikit malam, waktu dia sampai rumahnya pun Ara udah tidur di kamar mereka, Istrinya itu tidur meringkuk seperti udang sembari memeluk selimut. Waktu Julian pulang, hanya ada Reno dan Karina saja di ruang TV yang masih menonton. Julian enggak banyak ngobrol sama Iparnya itu, dia justru langsung masuk ke dalam kamarnya begitu Reno mengatakan Ara sudah tidur.

Sebelum naik ke ranjang, Julian sempat berganti baju dan mencuci mukanya dulu. Di dalam kamar mandi dia menatap cermin di depannya yang menampilkan wajah penuh rasa bersalahnya pada Istrinya malam ini. Ada banyak kata seharusnya di kepala Julian, namun lagi-lagi dia hanya bisa menghela nafasnya dan berpikir ini untuk yang pertama dan terakhirnya ia melakukan hal itu, ah. Enggak, dia di jebak. Dan sialnya dia masuk ke perangkap itu tanpa bisa menolaknya dengan rasa tidak tega sialan ini.

Julian mematikan keran dari wastafel yang ada di kamar mandinya, membasuh wajahnya dengan handuk yang tergantung di depan kamar mandi. Kemudian meredupkan lampu kamar, dia naik perlahan-lahan ke ranjangnya dan Ara, masuk ke dalam selimut dan memeluk tubuh Istrinya itu yang membelakanginya.

maafin aku ya..” Julian memejamkan matanya, kepolosan Ara dan ketidaktahuan Julian siapa sangka di manfaatkan oleh orang lain.

Julian enggak tenang, dia terus teringat kejadian barusan yang sangat amat menyita pikirannya. Dia marah, kecewa dan merasa bersalah. Julian berani bersumpah, dia enggak akan mau berurusan dengan wanita itu lagi.

“happy birthday happy birthday, happy birthday Bella...

nyanyian yang di nyanyikan oleh Liliana dan Julian itu membuat senyum di wajah bocah kecil yang genap berumur 5 tahun itu terbentuk sempurna, Bella meniup lilin setelah Liliana ajarkan berdoa semoga keinginannya di tahun ini tercapai.

setelah lilin itu padam, Bella kembali melihat ke arah kedua orang tua nya. Hanya ada senyum bahagia di wajah Ibu nya, namun berbeda dari raut wajah Ayahnya. Julian sama sekali enggak tersenyum, wajah datarnya itu dan helaan nafasnya menggambarkan jika ia sama sekali tidak nyaman berada di situasi seperti ini.

Papa kenapa enggak senyum? Papa enggak senang yah?” tanya bocah itu, Bella sudah cukup mengerti dari bagaimana mimik wajah itu tergambarkan.

Julian yang di tanya seperti itu akhirnya tersenyum. ya, dia menyunggingkan senyum yang ia paksakan. Dia sudah terlanjur berjanji pada Liliana untuk membantunya bersandiwara demi membahagiakan anak satu-satunya itu.

senang kok,” awalnya Julian memang tidak tega dengan Bella. Anak itu enggak tau apa-apa, Liliana yang salah karna sudah menanamkan kebohongan yang akhirnya menjadi bom waktu untuknya.

Julian setuju untuk melakukan sandiwara itu, ini pun bukan untuk Liliana, ini untuk Bella. Dan sudah Julian tekankan pada Liliana bahwa ini adalah sandiwara pertama dan terakhirnya. Julian enggak ingin ada kebohongan lagi, Julian juga menegaskan pada Liliana bahwa dia harus jujur dengan Bella.

Julian tahu mungkin kejujuran itu akan terdengar menyakitkan di telinga Bella, namun hidup dalam kebohongan yang orang tuanya ciptakan dengan tangannya sendiri pun akan lebih menyakitkan jika suatu hari Bella mengetahui kebenarannya.

Bella tadi berdoa apa saja?” tanya Liliana mengalihkan pembicaraan

Bella tersenyum, dia duduk di antara Julian dan Liliana dengan riang. “Aku tadi berdoa supaya Papa sama Mama bisa sayang sama Bella terus, terus berdoa supaya Papa bisa tinggal disini sama kita.”

mendengar peryataan itu Julian membuang pandangannya ke arah lain. Jelas harapan Bella enggak akan pernah terwujud sampai kapanpun itu. Jika suatu hari Liliana meminta Julian untuk mewujudkannya pun Julian enggak akan mau, itu sudah keterlaluan. Liliana memanfaatkan rasa simpatinya dan Ara demi kebohongannya sendiri.

Papa mau kan tinggal disini sama Bella dan Mama?” kali ini Bella bertanya langsung sama Julian, kedua bola mata anak itu berbinar penuh harap. Ia berharap laki-laki yang di yakini Papa nya itu akan mengabulkan keinginannya.

Bella maaf tapi Pam—

Iya!! Papa nanti akan tinggal sama kita disini, Iya kan, Pah?” Liliana menggeser tubuhnya menjadi lebih dekat ke arah Julian, Bella ada di depan mereka. Berdiri sembari menatap mereka. Dan dengan lancangnya Liliana mengalungkan tangannya di lengan Julian, pegangannya sangat erat wanita itu juga seperti sedang mengisyaratkan jika Julian harus menyetujui ucapannya barusan sekali lagi.

Menurut Julian ini sudah kelewatan, jadi dia singkirkan tangan Liliana dan duduk menjauh darinya. “Enggak, maaf Bella. Paman ini bukan Papamu. Bella bisa tanya sendiri sama Mama kemana Papa nya Bella pergi.

mendengar ucapan tegas dari mulut seniornya itu, membuat hati Liliana memanas. Julian benar-benar melanggar perjanjian mereka berdua, padahal jelas-jelas Julian sudah menyetujuinya di awal. Julian berdiri, dia menarik nafasnya dalam. Rasa marah berkecamuk dengan perasaan bersalah bersarang di dadanya saat ini. Dalam hati dia mengucapkan maaf berkali-kali karna mungkin saja Bella sedih mendengar ucapannya barusan.

sekali lagi selamat ulang tahun, Bella. Paman pulang dulu yah.” Julian mengusap pucuk kepala Bella dan keluar dari rumah itu.

Ia mempercepat jalannya ketika ia sadar kalau Bella mengejarnya, bocahnya itu menangis menyesakan sembari memanggilnya dengan sebutan Papa. Begitu Julian masuk ke dalam mobilnya, Julian sempat melirik ke arah rumah Liliana lagi. Ternyata Liliana menahan Bella untuk berhenti mengejarnya.

“Umm.. kamu udah pulang?” Ara membuka matanya waktu dia sadar ada sepasang tangan melingkar di perutnya, Ara membalikan tubuhnya dan memeluk Suaminya itu.

Suara halus dan gerakan kecil dari Istrinya itu kembali membawa Julian pada kenyataan, lamunan nya akan kejadian barusan sekejap hilang.

“Um..” Julian hanya bergumam, dia liatin wajah tenang Ara yang kembali terpejam di dalam pelukannya. “Maaf yah agak malam.”

“Gapapa kok.” Ara membuka matanya lagi, dia senyum ke arah Julian. “Bella suka gak sama kadonya?”

Mendengar nama anak itu lagi, Julian merasa muak rasanya. Ah, enggak. Dia bukan muak sama Bella, bocah itu hanya korban kebohongan orang tua nya. Dia muak dengan Liliana, mulai hari ini dia akan membatasi interaksi dirinya dengan Liliana.

“Suka sayang.”

“Syukur deh.”

“Bun?”

“Hm?”

“Besok ke klinik aku antar ya?” sungguh, perasaan bersalah sialan ini rasanya membuat Julian enggak nyaman. Kalau dia jujur dengan Ara pun, dia takut akan membuat Ara kepikiran. Dia gak mau Istri dan calon bayi mereka kenapa-kenapa.

“Kamu gak kerja?” Ara mengerutkan keningnya, setahunya besok Julian ada kunjungan ke departemen store buat ngelakuin riset.

“Kerja, aku izin setengah hari. Pengen anterin kamu aja boleh ya?”

Ara terkekeh, Suaminya ini lucu banget. Ya jelas boleh lah, Ara justru senang banget kalau besok dia di antar sama Julian. “Terus pulangnya aku minta jemput Reno aja kali ya?”

“Reno pulangnya lusa kan?”

Ara mengangguk, “um. Karina masih mau di Bandung katanya.”

“Yaudah, tidur lagi yah. Besok pagi aku masakin buat sarapan kita.” Julian meluk Ara lagi, dia kecup pucuk kepala Istrinya itu dan ngusap-ngusap punggung mungilnya.

Dia berharap perasaan bersalah sialan ini bisa segera hilang, ya. Julian harap begitu. Selain itu, Julian juga berharap semoga Liliana enggak membuka mulutnya tentang hari ini pada Ara. Ara enggak boleh sampai tahu dan salah paham sama semuanya.