KetigaBelas— Bergema Selamanya
Sesampainya di Malang, mereka di jemput oleh temannya Julian yang juga seorang ranger di Gunung Sumeru. Namanya Mas Adi, di jeep keduanya banyak sekali bercerita terutama tentang kenapa puncak Sumeru harus di tutup dan pendakian hanya mencapai Ranukumbolo saja.
Ara pikir mereka hanya berdua saja saat di jemput oleh Mas Adi, ternyata ada pendaki lainnya juga. Mas Adi bilang Ara dan Julian bisa berangkat mendaki bersamaan dengan pendaki yang Mas Adi jemput juga, mereka berasal dari Jakarta ternyata. Sesapainya di desa Ranu Pani sekaligus tempat basecamp mereka, di sana Julian sempat menyerahkan beberapa surat-surat keperluan mendaki sekaligus melapor logistik apa saja yang mereka bawa.
Ara duduk tak jauh dari sana, tadi Julian beli pecel di jalan. Jadi Ara makan dulu sambil Julian selesai melakukan registrasi, karena hanya berdua, Julian sama Ara masuk ke dalam tim dari Jakarta, Mas Adi juga bilang kalo di atas hanya ada 10 orang saja. Kalau Ara dan tim yang bersama nya naik, itu artinya nanti di Ranukumbolo hanya akan ada 16 orang saja.
Sumeru memang baru di buka lagi setelah terjadi longsor, bahkan Mas Adi juga memberi tahu Julian jika keberadaan pos 3 dan 4 sudah berubah. Makanya mereka enggak bisa mendaki berdua saja, akan sangat bahaya dan rawan masuk ke hutan.
“Enak gak?” Tanya Julian setelah ia selesai menyerahkan surat-surat mereka.
“Enak, mau coba?”
Julian mengangguk, “suapin ya?”
“Manja ih,” Ara terkekeh, walau begitu dia tetap nyuapin Julian pecel nya.
Oiya mereka enggak bisa mendaki saat itu juga, karena cuaca sedang buruk. Angin sedikit kencang dan hujan nya lumayan lebat, jadi Ara sama Julian mendirikan tenda dulu di sana untuk besok pagi memulai pendakian.
“Kahu kehinginan hak?” Tanya Julian dengan mulut penuh berisi pecel yang Ara suapin ke dia barusan. Ada gorengannya juga makanya penuh banget mulutnya.
“Kamu ngomong apa sih?” Ara terkekeh, Julian benar-benar terlihat menggemaskan.
Julian cepet-cepet nguyah makanan di dalam mulutnya, “kamu kedinginan enggak?”
“Lumayan, nanti aku pakai jaket yang tebal lagi aja ya. Pas udah diriin tenda nanti aku ambil, ada di carrier soalnya.”
Julian menggeleng pelan, dia lepasin jaket punya dia dan pakain jaket itu ke Ara. Udaranya memang dingin, tapi Julian masih kuat untuk menahan dinginnya.
“Ihhh Bang, nanti kamu kedinginan.” Ara protes karna dia takut Julian kedinginan, meski dia tau Julian lumayan kuat nahan dingin.
“Enggak, masih bisa tahan kok. Kamu kan gak kuat, tuh bibirnya udah pucet. Pakai aja ya, baju aku lumayan tebal kok.”
“Beneran?”
“Iya sayangku.” Julian ngusap-usap kepala Ara, habis itu dia pergi lagi buat ngobrol sama tim yang bakalan mendaki bareng mereka.
Sementara Ara, masih duduk dan menghabiskan pecel yang ada di pangkuannya dengan jutaan kupu-kupu yang berterbangan liar di perutnya. Malamnya mereka membuat api unggun di depan tenda, Ara juga sudah mulai berbaur dengan para pendaki di sana. Dia bukan perempuan sendiri, ada 1 orang perempuan lain juga di sana. Umurnya hanya berbeda 2 tahun dengan Ara, ya seumuran Reno lah kira-kira.
“Berarti ini pendakian kedua Mbak dong ke Sumeru?” tanya gadis yang sekarang ini menjadi tim nya, nama Kanina.
“Iya bisa di bilang begitu sih, kalo kamu udah pernah naik ke mana aja?”
“Baru dua kali Mbak, yang pertama itu ke Gunung Gede via Putri. Agak berat sih menurutku karna masih pemula banget, tapi malah jadi ketagihan sampai mau-mau aja di ajak ke Sumeru.”
“Hebat, Suamiku juga udah pernah ke Gede.”
“Oh ya?!” Kanina jadi excited sendiri, oiya dia kayanya masih belum paham Ara ini siapa. Ya meski terbilang terkenal di dunia maya, gak semua orang tahu Ara kok. Walau kalau ada yang mengenalnya dia tetap saja senang. “Aku pikir Mas yang tinggi tadi itu pacarmu, Mbak.”
“Gak kelihatan udah menikah ya?” Ara terkekeh pelan.
“Iya gak kelihatan, pengantin baru ya Mbak?”
Ara mengangguk kecil, “baru satu tahun menikah.”
“Wah...” Kanina mengacungkan dua jempolnya, gadis ini beneran excited banget dari tadi. “Keren, udah menikah terus mendaki berdua. Kaya cita-citaku, tapi belum kesampaian.”
“Semoga nanti kesampaian ya,” Ara nepuk pundak Kanina.
“Aamiin, kapan-kapan kita naik bareng yuk, Mbak. Aku ada rencana habis naik Sumeru, mau ke Merbabu loh. Mbak mau ikut, mungkin tahun depan.”
“Nanti aku kabarin lagi ya.”
Setelah ngobrol kecil sama Kanina, Ara dan Julian memutuskan untuk masuk ke dalam tenda. Udara di luar semakin dingin menusuk hingga ke kulit, di dalam tenda meski belum mengantuk keduanya hanya berceloteh kecil saja sambil sesekali tangan keduanya menempel pada hot pack yang Julian bawa.
Posisi keduanya saling berhadapan, bedanya Ara tidur di dalam sleeping bag sedangkan Julian hanya memakai jaket outer layer dan selimut yang tidak terlalu tebal. Julian lumayan tahan dingin, mungkin karena sudah sering melakukan pendakian sehingga tubuhnya tidak lagi kaget dengan cuaca dingin.
“Sayang?” panggil Ara.
“Hm?”
“Waktu kita ketemu di toko buku buat pertama kalinya itu, kenapa akhirnya kamu milih buat ngasih buku nya ke aku? Padahal kan kamu juga butuh.” Ara ingat banget pertama kali dia ketemu Julian di toko buku, waktu itu dia lagi nyari buku dan kebetulan sisa stok buku di toko itu tinggal satu. Mereka hampir berebut dan pada akhirnya Julian mengalah, memberikan buku itu untuk Ara. Mereka belum kenal waktu itu dan Ara sempat mengira Julian bukan laki-laki seumurannya.
Julian terkekeh, Ara masih ingat kejadian itu ternyata, “karena tangan kamu duluan yang megang buku itu. Lucu ya kalo di ingat-ingat.”
Ara mengangguk, “tapi kamu dapat bukunya?”
“Dapat, tapi bekas. Aku cari di tukang buku bekas di Kwitang. Jauh lebih murah malahan.”
“Tapi kamu nyangka gak sih kita bakalan ketemu lagi di Bandung?” tangan Ara yang menggengam hot pack itu kini beralih menggenggam tangan Julian, tangan Julian enggak dingin. Tangan besar itu hangat, kayanya Ara ngerasa tangan Julian cukup untuk menjadi penghangat telapak tangannya.
“Enggak lah, lucu ya. Berawal dari di toko buku, terus kita jadi teman satu fakultas, teman kosan juga lagi.”
“Menurut kamu, kalo kita ketemunya lebih awal. Siapa yang bakalan jatuh cinta duluan?”
Julian senyum, dia sejujurnya jadi salah tingkah cuma masih bisa menutupinya. “Hmm..”
Cowok itu berdeham, keningnya berkerut dan netranya berpendar ke arah lain seolah ia tengah mencari jawaban. Membuat Istrinya itu terlihat penasaran dengan jawaban yang akan Julian berikan itu.
“Aku lah, tetap aku yang jatuh cinta duluan.”
“Kenapa emangnya?”
“Karena aku suka suara kamu waktu ngomong.” sederhana dan agak sedikit aneh memang, tapi itu sebuah kejujuran bagi Julian. Alasan kenapa Julian suka banget ngobrol sama Ara adalah karena suara wanita itu membuatnya tenang, celotehannya, cerita nya selalu membuat Julian penasaran seperti ia tengah di bacakan sebuah dongeng.
“Ih kok gitu,” Ara terkekeh. “Jadi awalnya kamu suka sama aku karena suaraku?”
“Suara salah satunya, tapi setelah kenal kamu lebih dekat. Aku suka sama kepribadian kamu, kamu perduli sama sekitar kamu, aku suka kamu yang manja, yang serius banget kalau lagi diskusi, yang sabar kalau lagi ngejelasin sesuatu, kamu yang keras kepala. Pokoknya apa yang ada sama kamu aku suka. Tapi aku paling suka kalau kamu lagi manja, karena aku suka banget manjain kamu.”
Dengar ucapan Julian bikin Ara tahu kalau Julian bukan hanya mencintai kelebihannya tetapi juga mencintai kekurangannya. Hubungan mereka gak bisa di bilang selalu sehat, tapi keduanya mau tumbuh bersama dan belajar bersama untuk menjadi lebih baik lagi. Dan tampaknya mereka telah melewati kedua fase itu.
“Kamu pasti pernah kuwalahan ya kalau keras kepalaku lagi kumat?”
“Ohh udah jelas itu sih,” Julian gak mau bohong soal ini, terkadang dia juga suka kehilangan kesabaran kalau Ara sedang mempertahankan ego nya. Tapi Julian tahu kalau wanitanya itu hanya butuh di dengar dulu kemudian di berikan pengertian. Ara memang keras tapi dia bukan wanita egois.
“Tapi kamu enggak sekeras itu, aku pikir kamu cuma butuh di dengar setelah itu di kasih pengertian dan sedikit waktu buat kamu mikir lagi.”
“Suamiku sabar banget sih, gemes.” Ara usap-usap pipi Julian.
“Tidur ya, besok subuh kita mulai pendakian kita. Walau mungkin enggak seberat pertama kali ke sini.”
“Jul?”
“Ya sayang?”
“Aku sayang kamu,” bisik Ara.
“Aku lebih sayang kamu.” kalau mereka sedang berada di rumah, mungkin Julian bakalan cium Ara entah itu bibir atau keningnya. Tapi ia ingat kalau mereka sedang berada di desa orang lain, berada di alam yang mana mereka harus menjaga adab dan ucapan.
Setelah mematikan lampu tenda, keduanya tidur. Ara tidur pulas sekali sementara Julian terkadang suka terbangun karena di luar hujan, dan sesekali ia harus memeriksa keadaan di luar tenda. Berjaga-jaga juga takut ada hewan yang masuk ke dalam tenda mereka.
Paginya, setelah melakukan doa bersama mereka mulai mendaki. Tim mereka yang beranggotakan enam orang, dengan Julian yang berada di paling belakang menjaga anggota yang lainnya, perjalanan awal-awal masih nampak landai meski sedikit licin karena semalam di guyur hujan.
Sesekali Julian mengawasi kanan kirinya, ia hanya takut jalanan yang landai itu tiba-tiba saja terkena longsor. Karena Mas Adi sempat memberi ultimatum jika mereka harus ekstra hati-hati karena Semeru pernah longsor hingga keberadaan pos 3 dan 4 harus berpindah.
Julian juga baru menyadari jika jalanan setapak menuju pos 1 pun lebih rimbun dari yang terakhir ia kunjungi, jalannya bahkan tertutup tanaman liar dan itu membuat Julian terkadang harus menyingkirkan ranting-ranting kecil berduri agar tidak mengenai tangan istrinya itu. Oiya, Ara berjalan di depan Julian.
Mereka berangkat dari desa Ranupani sekitar jam 9 pagi dan tiba di pos 1 jam 11:15 iya memang lebih lama karena jalanan benar-benar licin. Mereka sempat istirahat dulu di sana, sembari duduk Julian mastiin kalau Ara enggak kelelahan. Karena di perjalanan pun wanita itu lebih banyak diam.
“Capek gak sayang?” tanya Julian, pria itu membukakan botol air milik istrinya itu.
“Sedikit.”
“Beneran?”
Ara mengangguk, “um, Kamu minum dulu.”
“Nanti ya, aku mau ngecek yang lain dulu.” kebiasaan Julian sewaktu di MAPALA ia sering memeriksa keadaan anggota tim nya. Apalagi sewaktu pendakian terakhirnya ke Gunung Rinjani, karena waktu itu Julian lah yang paling senior disana.
Ngeliat Julian yang mastiin keadaan orang lain dulu dari pada dirinya sendiri, bikin Ara selalu kagum meski kadang hal itu juga yang membuatnya sedikit marah sama Julian. Ara tuh sering banget ngasih tahu Julian buat utamain dirinya sendiri dulu sebelum orang lain, Julian tuh sering banget ngalah. Dan kadang Ara enggak nyaman sama sifat Julian yang itu.
Mereka istirahat enggak begitu lama, hanya sekitar lima belas menit kemudian lanjut untuk berjalan kembali sampai di pos 2. Untung nya cuaca pagi itu cukup bersahabat, meski sedikit mendung tapi tidak hujan. Oiya di pos 1 itu masih ada beberapa warung yang buka kok, enggak seperti pertama kali Ara datang belum ada warung sama sekali.
Julian pun menyadari perubahan itu, bahkan Mas Adi bilang mereka gak perlu takut buat mandi dan buang air di Ranukumbolo karna di sana sudah ada kamar mandi, musholla dan basecamp untuk guide dan porter. Beda banget sama dulu waktu Ara pertama kali ke sana. Ya meskipun begitu, mereka masih tetap boleh kok ambil air dari danau meski peraturannya lebih ketat. Seperti tangan mereka enggak boleh tersentuh sama sekali ke air.
“Sayang, capek bilang ya,” ucap Julian di belakang Ara.
Ara senyum setelahnya dia menoleh ke belakang, masih sambil jalan di depan Julian. Waktu liat Julian senyumnya makin mereka, meski dingin karena mereka terus bergerak, keringat tetap muncul sedikit-sedikit dari kening Suaminya itu.
“Enggak capek kok.” Ara merogoh saku jaketnya, memberikan sapu tangan miliknya pada Julian. “Elap keringetnya, Bang. Nanti perih kalau masuk ke mata.”
“Duh, Suami istri yang di belakang manis banget sih,” gumam Kanina, perempuan itu berjalan tepat di depan Ara.
Ara yang mendengar itu jadi senyum-senyum sendiri, ia jadi mencubit siku Kanina karena salah tingkah. Iya meski sudah menikah kalau di godain kaya gitu tetap aja rasanya malu.
“Apasih kamu, nih,” gumam Ara malu-malu.
“Makanya cepetan nyusul, Nin. Elo sih kebanyakan PDKTan tapi gak jadi-jadian,” gumam teman laki-laki Kanina yang berjalan di paling depan sana.
“Ishhh apaan sih, gak gitu ya!”
“Eh udah-udah, jangan teriak-teriakan. Liat kedepan jalannya, hati-hati licin,” imbuh Julian menengahi.
Jika jalur dari pintu gerbang ke pos 1 itu termasuk jalur yang panjang walau landai, berbeda dengan jalur menuju pos 2. Jalur ini relatif pendek, buktinya saja di jam 12:40 mereka sudah tiba di pos 2. Di pos 2, karena kaki Kanina sedikit lecet akibat terkena duri dari tanaman liar. Mereka sempat beristirahat sebentar dan mengobati kaki Kanina dulu.
Ara yang mengobatinya, dari dulu dia itu paling sigap jika ada yang sakit seperti ini. Dulu saja waktu anak kosan berlibur ke Malang, Ara yang dipercaya buat megang obat-obatan dan mengurus teman-teman mereka yang sakit.
“Perih ya, Nin?” tanya Ara, luka di kaki Kanina itu ada di betis kanannya, bukan hanya tertusuk tanaman liar saja tapi bagian tumit kaki Kanina juga lecet karena mungkin sepatu yang ia pakai kurang nyaman.
“Perih dikit, Mbak. Tapi gapapa kok masih bisa tahan.”
“Masih kuat kan, Nin?” tanya Julian memastikan. Meski mereka mendaki bersama guide, Julian tetap memastikan anggota tim nya sendiri. Karena guide hanya memberikan petunjuk arah pada mereka.
“Masih kok, Mas. Gapapa masih bisa tahan.”
“Gapapa, Mas. Kawannya?” guide mereka ini namanya Mas Retno.
“Gapapa, Mas. Aman kok.”
Setelah istirahat sekitar sepuluh menit di pos 2 mereka melanjutkan perjalanan lagi, kali ini Julian yang memimpin di depan. Enggak depan banget sih karena masih ada Mas Retno guide mereka. Yang berada di paling depan sebagai penunjuk jalan, sesekali Julian menoleh ke belakang untuk memastikan istrinya itu baik-baik saja.
Jika perjalanan dari pos 1 dan 2 mereka masih bisa sedikit bersantai, berbeda dari jalur pos 2 ke pos 3 ini, mereka agak sedikit lelah, jalanan masih sangat licin karena hujan di tambah siang ini juga sedikit gerimis, jalanan benar-benar menurun hingga mereka tiba di Watu Rajeng nanti.
Dan disini lah yang membuat Ara benar-benar kagum sama Julian, pria itu enggak pernah melepaskan tanganya pada Ara ketika mereka turun. Tapi Julian juga enggak lupa buat memastikan anggota tim nya di belakang sana baik-baik saja, sedangkan Mas Retno agak sedikit sibuk menyingkirkan beberapa ranting pohon yang menghalangi jalan.
Setelah longsor beberapa waktu lalu, pendakian sempat di tutup. Semeru sempat tidak menerima tamu, makanya jalur menuju ke atas pun di penuhi oleh pohon-pohon.
“Di belakang aman kan?” Julian sedikit mengecangkan suaranya agar terdengar hingga ke belakang.
“Aman, Mas.” jawab yang lainnya.
“Jalan nya pelan-pelan ya licin.”
Mereka kembali melanjutkan perjalanan lagi, Ara sesekali menoleh ke kanan dan kirinya. Beberapa kali lengannya sempat terkena ranting, tapi untung saja ia memakai baju lengan panjang yang lumayan tebal. Tapi tetap saja ia harus tetap berhati-hati.
Mereka sudah sampai di Watu Rejang, dan sialnya hujan yang tadinya ringan itu berubah sedikit lebat. Julian dan anggota tim serta Mas Retno buru-buru memakai jas hujan mereka, angin juga sedikit bertiup lebih kencang. Julian agak sedikit khawatir, pasalnya, bibir Ara sudah sedikit pucat.
“Sayang, dingin ya? Mau turun?” tanya Julian memastikan Ara setelah ia selesai membantunya memakaikan jas hujan.
“Gapapa, Jul. Dingin sih, tapi masih bisa aku tahan kok.”
“Beneran?”
Ara mengangguk, “i'm fine.“
“Setelah ini jalannya bakalan nanjak. Kalo kamu enggak kuat bilang ya.”
“Kalo bilang kamu bakalan gendong aku?”
“Iya, mau aku gendong?” Julian ngomong dengan nada serius nya, bukan hanya nada nya saja bahkan tatapannya berubah menjadi lebih serius. Ia benar-benar mengkhawatirkan istrinya itu. Dia jadi ngerasa enggak datang di waktu yang tepat karena hujan dan angin yang agak sedikit kencang.
“Gausah, aku masih kuat ih. Beneran kok, aku bakalan bilang ke kamu kalo aku enggak kuat atau ada yang aku rasain.”
Julian mengangguk pelan, setelah memastikan anggotanya sudah mengenakan jas hujan. Mereka melanjutkan perjalanan, di tengah hujan dan udara yang semakin dingin. Enggak boleh berhenti lama-lama, karena nanti tubuh mereka akan semakin kedinginan dan itu akan sangat rawan terkena hipotermia.
Pada jalan yang sedikit menanjak dan licin, Julian bantu Ara naik lebih dulu. Memastikan Istrinya itu sudah naik dengan aman barulah ia memastikan anggota tim nya juga naik dengan aman, untungnya dewi fortuna berpihak pada mereka. Meski jalanan licin dan hujan yang menerjang mereka akhirnya tiba di pos 3 di jam 15:20.
Di pos 3 mereka beristirahat lagi, nafas Ara sempat tersenggal karena jalanan begitu menanjak dan kembali turun. Rasanya kaya nafas dia pendek banget, dia duduk di kursi yang ada di pos 3 sambil megangin botol air minumnya. Julian tadi sedang memeriksa tim mereka yang sempat terjatuh karena licin, untung nya tidak apa-apa. Pergelangan kakinya hanya sedikit nyeri saja.
“Sayang? Kamu nyesek?” tanya Julian dengan nafas yang sedikit terengah-engah dan suara yang serak, beberapa air hujan jatuh ke wajahnya dari penutup kepala jas hujan yang ia pakai.
“Enggak, Jul. Capek aja, jalannya nanjak banget.” Ara nepuk kursi yang masih tersisa di sana, menyuruh Suaminya itu untuk duduk. Dan Julian menurutinya.
“Gapapa?” tanya Julian sekali lagi, dia takut Ara pura-pura kuat aja demi keinginanya ke Ranukumbolo itu tercapai.
“Yup, beneran gak nyesek kok. Cuma ngos-ngosan aja.”
“Basah gak bajunya?”
Ara menggeleng pelan, “enggak kok, baju kamu tuh yang basah karena tadi kamu pakai jas hujan telat kan, kamu bantuin aku dulu sih.”
Julian mengusap wajahnya dari air hujan yang menetes dari jas hujan nya, “nanti pas sampai Ranukumbolo aku ganti baju.”
“Nanti jalannya lebih hati-hati lagi ya, Mas, Mbak. Jalanan masih sangat licin, apalagi jalur pendakian juga semakin sempit karena terutup tanaman-tanaman liar, Mas Julian. Tolong di bantu ya sekalian anggota tim nya,” Mas Retno memperingati, mengingat setelah ini track mereka untuk sampai di Pos 4 hingga Ranukumbolo mungkin agak lebih berat dari pada perjalanan mereka menuju pos 3.
“Siap, Mas,” ucap Julian. Setelah itu dia kembali memeriksa Ara lagi, memegang tangan Istrinya itu. Memastikan jika Ara tidak kedinginan, dia beneran takut Ara hipotermia lagi.
“Kenapa?” tanya Ara.
“Dingin gak?”
Ara mengangguk, “tapi aku agak keringetan kayanya. Masih bisa tahan kok.”
“Aku jagain kamu dari belakang lagi nanti ya, sampai di Ranukumbolo. Aku bikinin kamu coklat panas.”
Ara senyum, Julian yang pertama kali ia kenal dan Julian yang sekarang menjadi Suaminya itu enggak pernah berubah sama sekali. Kalau pun Julian berubah, ia berubah menjadi lebih baik dan lebih dewasa.
“Iya, Jul.”
Bersambung...